Pulang sekolah, siang hari.
Aku sudah sampai di rumah, setelah perjalanan setengah jam naik angkutan umum.
Mama terlihat sibuk membersihkan peralatan bekas masak di dapur. Inilah pekerjaan Mama setiap hari di rumah, membersihkan rumah, mencuci, serta menunggu kami yang pulang sekolah dan kerja.
Makan siang sebenarnya sudah siap di meja dapur, tapi demi melihat Mama yang masih sibuk kerja, aku tidak jadi makan duluan, menunggu Mama selesai.
Aku sudah ganti baju, ganti pakaian biasa, dan menggantung seragam sekolah di lemari kamar, dipakai lagi besok.
Sambil menunggu Mama selesai mencuci peralatan, entah apa saja namanya yang dicuci Mama selama ini, aku membaca novel di depan Tv yang menyala. Aku sangat suka sekali membaca novel, terutama novel yang sangat kental dengan kisah fiksinya, tentang masa depan bangsa ini yang akan tenggelam.
Setelah Mama selesai mencuci, Mama menghampiriku.
“Kamu belum makan, Nisa?” Mama bertanya dengan nada yang sedikit kelelahan.
“Mama lama banget tadi kerjanya. Aku jadi nunggu Mama dulu deh.”
Akhirnya kami makan berdua, di sofa tempatku tadi melihat televisi, setelah mengambil makanan dari meja dapur. Entah Papa sudah makan atau belum di kantor, tapi mungkin juga sudah.
Makan siang di rumah, bersama dengan Mama selalu menyenangkan, walaupun terkadang juga sedikit menyebalkan.
****
Sore hari, setelah makan siang dan melihat televisi.
Aku di kamar sendirian, dengan ditemani sebuah novel tebal dan handphone.
Aku hanya memegangi novel itu setelah melahapnya beberapa halaman. Entah kenapa sore ini, sepulang dari sekolah, mood membacaku agak berkurang.
Hp-ku mengeluarkan bunyi, seperti siulan burung. Pertanda sebuah pesan telah masuk.
“Ciee … yang lagi mikirin seseorang. So, jangan dipikirin terus, nanti keluar jerawat lo. Itu kan, bisa gawat juga, bisa-bisa dia tidak jadi naksir sama kamu.”
Panjang umur. Baru saja aku memikirkan tentang Faisal, tentunya juga Zila, potonya sudah keluar di hp-ku.
”Sok tahu kamu deh …” Aku menjawabnya singkat.
“Akhirnya, nona Nisa mengaku juga …”
Sebenarnya aku ingin menjitak kepala Zila, tapi kasihan juga hp-ku yang nantinya kena.
Aku tidak lagi membalas pesan tersebut, hanya membacanya saja. Semoga saja Zila jengkel dengan hal ini.
Sebenarnya, aku juga dari dulu, sejak kelas sepuluh tertarik dengan seseorang yang bernama Faisal itu. Tapi apa daya, aku tidak mempunyai nama baik di sekolah. Jadi, aku minder dahulu sebelum mengungkapkan perasaan itu. Lagi pula pantang bagi seorang wanita untuk mengungkapkan rasa terlebih dahulu.
***
Renungan dalam hatiku.
Perasaan cinta tidak akan masuk kedalam hati, jika di hati sudah tidak ada ruang lagi. Karena bagaimanapun, cinta itu juga materi, walaupun tidak terlihat, membutuhkan tempat. Jika di hati sudah tidak ada tempat lagi, maka niscaya cinta tidak akan masuk ke dalam hati.
Tidak hanya cukup sampai di situ, cinta yang sudah masuk tadi akan memperluas lokasinya berada. Maka saat itu juga, cinta berubah dengan sebutan nafsu. Mengalahkan hal-hal yang lain, yang sebenarnya lebih penting lagi.
Namun, tidak dengan cinta sejati. Cinta sejati akan memberikan ruang untuk seseorang yang dicintai, membuatnya bahagia. Rela melepaskan, walaupun rasanya sakit.
Hakikat cinta yang sebenarnya ialah tentang bagaimana memberikan, bukan dengan menerima. Seseorang yang mencintai tidak akan pernah meminta, namun malah sebaliknya, memberi, melepaskan hal-hal untuk orang yang dicintai, agar bahagia.
Atau… Ah… entah bagaimana selanjutnya.
Saatnya aku tidur siang.
Tidak terasa, jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Baiklah, aku akan tidur. Nanti sore, rencananya aku akan belajar bersama, atau les dengan teman-teman. Nanti sore juga, aku akan bangun jam lima, kalau itu tidak ada yang membangunkanku.
Baiklah, aku akan tidur.
Saat ini, sekarang ini aku sudah tidur pulas. Wkwkwk.
****
Sore hari, setelah bangun tidur.
Aku sudah bangun dari tidur, lebih awal juga. Saat ini baru setengah lima, setengah jam lebih awal. Tidak apa-apa, aku juga bisa mandi lebih awal.
Setelah mandi, ganti baju.
Duduk di ruang tengah, bersama dengan Mama melihat televisi. Seperti biasa acaranya, berita sore dari seluruh penjuru Indonesia.
Topik petang …
“Selamat sore pemirsa, saat ini kami sedang berada pada lokasi pengungsian warga yang terdampak banjir dan juga lumpur. Sungguh mengejutkan. Siang tadi, dibarengi dengan hujan deras, banjir bandang menyapu sebagian besar kota Ngawi, Jawa Timur. Tidak hanya itu, banjir itu membawa lumpur yang sangat banyak.
“Sementara sampai saat ini belum ada korban yang ditemukan dengan kondisi meninggal. Tapi, besar kemungkinan akan ditemukan korban yang tewas, melihat begitu mengerikannya banjir tersebut.”
Layar televisi memperlihatkan kejadian banjir bandang yang sempat diabadikan dengan Drone media massa. Memang, terlihat sangat mengerikan.
“Sampai saat ini, para pengungsi memperlukan bantuan kita semua. Oleh karena itu, kami membuka rekening peduli bencana …”.
Aku mengganti channel televisi, tidak suka dengan acara tersebut.
Hari semakin sore, pertanda aku harus bersiap-siap menuju rumah Zila. Aku akan belajar besama di sana. Bukan, tidak seperti yang kalian kira, kami tidak les dengan guru, tapi kami semua akan belajar bersama-sama.
“Ma, aku pergi ke rumah teman dulu ya.” Ijinku kepada Mama.
“Teman siapa?”
“Zila.”
Mama hanya mengangguk pelan, pertanda telah memberikanku ijin. Hanya satu pesan dari Mama, jangan pulang terlalu malam.
Zila sudah sejak lama akrab dengan keluarga kami. Maka, tidak sulit untuk meminta ijin kepada Mama jika akan pergi kerumah Zila.
Baiklah, jika hanya itu pesan Mama, aku siap melakukan.
Aku mulai mempersiapkan buku yang akan dipelajari nanti malam bersama teman-teman, di rumah Zila.
Aku akan berangkat sekarang. Rumahku tidak terlalu jauh dengan rumah Zila, lebih dekat dari pada sekolahan kami.
Ke sana, aku naik angkutan umum. Nanti malam kalau pulang, aku juga akan naik angkutan umum lagi. Di sini, angkutan umum bisa beroperasi sampai malam, karena satu arah dengan stasiun kota.
Syukurlah, aku mendapatkan angkutan umum yang tidak terlalu ramai, tidak pula terlalu sepi. Nah, aku ingin cerita sedikit. Aku pernah kecopetan ketika pulang sekolah, ketika naik angkutan umum. Nah, itulah yang membuat aku takut jika harus naik angkutan umum yang sepi. Sebab, kejadian itu aku alami ketika berada di dalam angkutan umum yang sepi.
Jalanan ramai oleh berbagai kendaraan, dengan berbagai keperluan. Ada satu pemandangan yang berhasil membuatku merenung, yaitu pandangan seorang laki-laki tua yang membawa tumpukan besar kerupuk, yang kadang-kadang aku membuangnya dengan tanpa dosa ketika aku makan dan tidak habis. Aku jarang, bahkan tidak pernah berpikir tentang bagaimana sulitnya seorang penjual kerupuk merawat hidupnya.
Ah, namun biarlah. Bukankah setiap manusia mempunyai takdirnya masing-masung? Nah, sekarang lebih baik aku menikmati saja perjalanan ini.
Kisah Nisa selalu menjadi menarik ketika manusia menjadi saling membunuh sebabnya. Maka dari itu, jangan sampai berhenti menjadi manusia yang lebih baik. ***Aku melirik jam pada dinding warung, pukul setengah sepuluh malam. Ah, aku lupa, aku juga memakai jam tangan sendiri. Aku melirik jam tanganku, sama persis dengan waktu yang ditunjukkan oleh jam dinding warung. Papa dan mama pasti akan mengomeliku ketika aku pulang nanti. Ini adalah waktu yang cukup malam untuk diriku.“Adi, aku mau pulang.” Kataku pada Adi yang sedari tadi hanya banyak diamnya.“Ayo.” Sahutnya tidak kalah lirihnya dengan suaraku.Oh, iya, teman-teman! Aku tadi tidak hanya minum es teh hangat. Eh, maksudku teh hangat. Aku tadi juga makan, sebab aku pun merasa lapar. Jadi, jumlah yang harus aku bayarkan sekitar sepuluh ribu rupiah. Murah sekali. Aku segera mengeluarkan uang dari saku celana, dan memberikannya kepada ibu penjaga warung. Tapi, belum sempat ibu itu menerimanya, Adi telah membayarnya terlebih dahulu.
Jika kalian mengira bahwa dimensi ruang itu hanya satu, maka adalah sebuah kesalahan besar. Dimensi tidak terkira jumlahnya, hanya saja kita tidak atau belum mengenalnya. Tahukah kalian bahwa bangsa Jin itu bisa hidup bahkan sampai dua ribu tahun? Tahukah kalian bahwa satu hari pada hari manusia, itu sama dengan satu tahun dalam waktu Jin? Atau, tahukah kalian bahwa di bawah tanah sana ada sebuah bangsa yang telah membodohi manusia bahwa yang membuat gempa adalah pergerakan lempeng? Merekalah yang menjadikan gempa bumi, dan novel ini akan menguak tabir misteri tersebut.***“Apakah semua sudah siap?” tanya Misa selaku ketua rombongan kecil itu.Mereka berkumpul dan berangkat dari rumah Misa, pukul setengah tujuh malam. Mereka menuju sebuah desa yang telah ditetapkan oleh dosen pembimbing. Dika, akan menjadi sopir mobil pribadi ayahnya yang mereka pinjam.Rombongan itu berjumlah empat mahasiswa. Misa, Dika, Aurel, dan Jimat. Sebenarnya nama Jimat bukanlah nama asli, aslinya Rahmat. Nam
Malam yang gelap telah tergantikan dengan sinar matahari yang menerangi. Hawa hangat berangsur-angsur kembali menemani setiap tarikan nafas manusia.Malam yang larut itu dilalui Danu dan Permata dengan bersembunyi di balik bongkahan batu besar, semak-semak mengelilinginya. Desa yang mereka berdua lewati tidak menyediakan penginapan, semua pintu telah tertutup ketika mereka mengamati dengan mengendarai kudanya. Tidak ada pintu yang terbuka, mereka berdua memilih untuk bermalam pada tempat yang aman. Batu akan melindungi dari hujan jika sewaktu-waktu turun kembali, semak-semak melindungi dari gangguan hewan ataupun manusia.“Kita lanjutkan perjalanan, Permata!” kata Danu.Perjalanan siang itu sepertinya tidak banyak halangan dan rintangan yang mereka alami. Perjalanan berlangsung lancar, dan nanti sore mereka akan sampai pada sebuah tempat yang menjadi tujuan mereka. Seseorang yang diharapkan bisa membantu melawan pasukan yang telah menawan Diana.Matahari bersinar cukup terang, tapi ti
“Kita harus segera melakukan sesuatu, Rosan!” ujar Karim, dia benar-benar tidak bisa konsentrasi untuk menghadapi para prajurit di depan sana, para prajurit yang bersembunyi di balik bukit juga bebatuan besar.“Tidak ada yang bisa kita lakukan, Karim. Hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menunggu para pasukan bangsat itu kehabisan anak panah dan kita bertarung jarak dekat!” sahut Rosan, matanya tidak lepas dari pandangan yang mengarah tajam ke depan, ia sama sekali tidak kehilangan konsentrasi entah bagaimanapun keadaannya.Karim tidak sependapat dengan kakaknya. “Kita tidak bisa hanya menunggu, Rosan. Siapa yang melangkah lebih cepat maka akan sampai terlebih dahulu!”“Percuma berjalan lebih dahulu dan cepat,” Rosan memandang Karim sekejap, lalu kembali menatap ke depan, “jika langkah kita salah!” lanjutnya.Gelengan kepala kecewa dari Karim terdengar, ia benar-benar berbeda sifat dengan Rosan. Rosan lebih tenang dan bersabar menunggu sebuah hal, namun sebaliknya, Karim sama sek
Tangan kanan Danu mengirimkan pukulan namun dengan mudah Karim menepisnya. Hampir dua belas kali Danu mengirimkan pukulan, dua belas kali tendangan dengan tenaga penuh, sebanyak itu pula Karim menangkisnya. Permata tidak kalah cekatan, dia telah mengirimkan belasan tendangan dan pukulan kuatnya, nihil, tidak ada yang mengenai sasaran.Karim memasang busur panah itu di pundaknya, tanpa merasa bersalah ia tertawa keras-keras, “Hahaha! Kalian bukan lawanku!”Danu bertambah geram, ini bukanlah soal harga diri, tepi lebih dari itu. Ini adalah tentang amanah yang Danu emban dari Rangkasa, menjaga tempat Serat Agung sekarang tengah berada.Tangan mengepal, rahang mengatup kuat, Danu konsentrasi penuh. Permata tidak pernah melihat Danu seperti itu, matanya terpejam dengan sendirinya menyaksikan kengerian itu. “Hati-hati, Danu!” ujar Permata, Danu bergeming.“Haa....” Pukulan Danu mengarah pada wajah Karim.Bug...Sebuah pukulan yang kuat mengenai rahang Karim, dia marah, meringis kesakitan. D
“Dari mana kalian berasal?” tanya seorang prajurit kepada Danu.“Aku dari desa Banjar Rejo!” jarab Danu.Permata tidak paham dengan apa yang ada dalam pikiran Danu. Tadi pagi ketika ada yang bertanya dari mana dia berasal Danu menjawab dari Lereng Gunung Tiga Maut, sekarang dengan pertanyaan yang sama ia menjawab dari Banjar Rejo. Manakah yang benar? Permata bingung sendiri.“Jauh sekali. Untuk keperluan apa kau melintasi wilayah kerajaan?” Seorang prajurit dengan nada mengancam bertanya, dan Danu sangat tidak menyukainya.“Aku mempunyai seorang saudara yang berada di desa Sambijajar, dan aku akan mengunjunginya dengan adikku ini!” Danu menunjuk Permata dengan jari telunjuknya. Permata tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan karena kaget.“Apakah kalian tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan orang lain?” tanya prajurit itu lagi, matanya menjelajah dari ujung kaki sampai rambut kepala, tidak ada yang terlewat.“Aku kira tidak ada yang membahayakan orang lain, aku bisa men
“Dari mana kalian berasal?” tanya seorang prajurit kepada Danu.“Aku dari desa Banjar Rejo!” jarab Danu.Permata tidak paham dengan apa yang ada dalam pikiran Danu. Tadi pagi ketika ada yang bertanya dari mana dia berasal Danu menjawab dari Lereng Gunung Tiga Maut, sekarang dengan pertanyaan yang sama ia menjawab dari Banjar Rejo. Manakah yang benar? Permata bingung sendiri.“Jauh sekali. Untuk keperluan apa kau melintasi wilayah kerajaan?” Seorang prajurit dengan nada mengancam bertanya, dan Danu sangat tidak menyukainya.“Aku mempunyai seorang saudara yang berada di desa Sambijajar, dan aku akan mengunjunginya dengan adikku ini!” Danu menunjuk Permata dengan jari telunjuknya. Permata tersenyum, sebuah senyum yang ia paksakan karena kaget.“Apakah kalian tidak membawa barang-barang yang bisa membahayakan orang lain?” tanya prajurit itu lagi, matanya menjelajah dari ujung kaki sampai rambut kepala, tidak ada yang terlewat.“Aku kira tidak ada yang membahayakan orang lain, aku bisa men
“Permata, aku harus segera menemukan bagaimana cara menangkap perkataan dua naga itu!” kata Danu kepada Permata ketika siang hari, matanya memandang Permata lekat-lekat.“Apakah itu adalah bantuan yang akan diberikan oleh Kosala?” Permata menebak-nebak, dan tebakannya benar.“Benar sekali Permata. Jika aku bisa menerjemahkan apa yang dikatakan dua naga itu, maka kita akan mendapatkan bantuan yang sangat besar!” kata Danu sungguh bersemangat.Permata diam sejenak, diam antara senang sebab mendapatkan bantuan, bingung sebab belum mengetahui bagaimana cara berbicara dengan dua naga. “Berarti apa sekarang yang bisa aku lakukan untukmu, Danu?” tanya Permata dengan senyum mengembang di kedua pipinya, alis terangkat.“Aku juga belum mengerti apa yang harus aku lakukan, Permata. Intinya beberapa hari ini kita akan di sini terlebih dahulu sampai akhirnya aku bisa berbicara dengan dua naga itu!” kata Danu menjawab. Dia juga belum menemukan apa gerangan yang dapat ia lakukan untuk bisa berbicara
“Danu, ayolah aku inginkanmu malam ini!” Permata merajut, wajahnya dibuat semenawan mungkin.“Tidak, Permata! Aku tidak berani melakukannya!” sahut Danu, ia berusaha memalingkan wajah.Namun Permata tidak membiarkan Danu lepas begitu saja, ia menghadkan kembali wajah Danu padanya. Permata benar-benar kehilangan kendali dalam dirinya, dia menginginkan Danu malam ini.“Aku takut jika kamu akan hamil, Permata!” Danu menjelaskan apa yang membuat dirinya tidak berani.“Tidak akan. Aku akan membuat ramuan yang bisa membuat aku tidak hamil!” jelas Permata.“Tidak, Permata! Itu adalah sebuah perbuatan gila dan akan membahayakan dirimu!” terang Danu.Beberapa saat diam, Permata kembali merayu dan meremas-remas telapak tangan Danu, mengelus-elusnya.“Danu, aku sungguh tidak tahan lagi!” Permata merayu, matanya menyipit, mulutnya dibulatkan agar Danu tergoda.“Gila, kau benar-benar gila, Permata!” Danu kembali mengelak.Permata tidak kehilangan akal, ia merah tangan Danu dan meletakkan di lehern