Pagi hari, seperti biasa, setelah berkali-kali dibangunkan Mama.
Kali ini, aku sudah mandi dengan air hangat. Dan sudah memakai seragam sekolah.
Seperti biasa, aku dan keluarga berkumpul sebelum malakukan aktivitas masing-masing. Sarapan.
“kamu kok nggak seperti biasanya, Nisa?” Mama mulai pembicaraan di meja makan.
“Nggak sama bagaimana sih, Ma?” Aku balik bertanya.
“Tidak biasanya kan kamu berangkat sekolah memakai parfum sewangi ini? Atau jangan-jangan …,” Mama menolah ke arah Papa, tidak melanjutkan pembicaraan.
“Biarin saja, Ma. Nisa kan sudah mulai dewasa. Wajar saja jika dia mulai memperhatikan penampilan. Tidak seperti Mama dulu, yang selalu berpakaian kusut jika berangkat sekolah.” Sahut Papa, sepertinya sedang berpihak kepadaku, tidak membela Mama yang mengejekku.
Mama merengut, pertanda bahwa Mama tidak suka diejek seperti itu. Tapi tidak dengan Papa, dia masih tertawa sekali-kali melihat Mama yang masih merengut.
Ini sungguh pagi yang indah. Di luar sana, matahari bersinar tidak terlalu panas. Angin sesekali masih tertiup nyaman mendatangi jiwa-jiwa yang masih mati.
“Nisa, cepat … kita harus berangkat lebih awal hari ini.” Papa mengucapkan kalimat tersebut sambil memakai jas yang telah disiapkan Mama. Tanpa disuruh dua kali, aku segera mengambil tas dari kamar, lantai dua.
Setelah berpamitan dengan Mama, dan melihat senyum manis Mama yang terakhir kalinya, akhirnya aku dan Papa berangkat, menaiki mobil pribadi warna abu-abu.
Jalanan Ibu Kota masih sama dengan hari-hari yang lalu. Mungkin, siapapun Gubernunya, jika kesadaran masyarakat masih sangat kurang, entah itu mentaati rambu, maka kemacetan hanya akan menjadi perdebatan menjelang pemilihan Presiden. Bukan masalah siapa yang menjabat, menurutku, pasti akan selalu terjadi jika tidak ada mental ingin berubah.
Sesekali aku lihat angkot berwarna kuning, yang terlihat dari kaca samping mobil, berhenti tidak beraturan, berbelok tidak menyalakan lampu sent, dan hanya ingin mendapat penumpang banyak tanpa memikirkan keselamatan mereka.
“Nisa, kamu sudah punya rencena atau belum nanti mau kuliah di mana?” Papa memecah kelengangan suasana mobil yang dia kemudikan.
“Entahlah, Pa. Nisa masih bingung. Banyak sekali kampus di Jakarta.” aku membalas singkat pertanyaan Papa dengan tidak beralih pandangan dari kaca sebelah mobil.
“Papa punya rencana untuk kamu, Nisa. Jika kamu tidak keberatan mendengarkan,” Papa menoleh ke arahku sejenak, akupun menolehnya. “Pesantren. Iya, Papa punya rencana kamu akan belajar di sana.” ucap Papa dengan nada datar.
Aku bingung, kenapa pula Papa punya rencana segila itu. Untuk apa coba ke pesantren. Demi melihat gambar-gambar di internet tentang pesantren, rasanya sangat tidak bisa aku hidup di sana. Kebanyakan yang aku tahu (Maaf jika menyinggung kalian yang di pesantren), pesantren itu tempat yang sangat kumuh, entahlah apa alasan mereka.
Sudahlah, aku tidak perlu menambah beban pikiran lagi. Mungkin, cepat atau lambat aku akan mendapatkan kampus yang ideal denganku.
Memang benar, kadang Papa suka menonton acara-acara pengajian di televisi, tapi juga apa alasan Papa menyekolahkan aku di pesantren? Bukankah Papa juga bukan lulusan pesantren? Ibu pula juga bukan.
Mobil abu-abu merapat ke trotoar jalan, depan gerbang sekolah. Terlihat di sana, petugas lalu lintas sekolah mengatur kendaraam yang akan masuk, atau juga yang akan lewat. Sekolah sudah ramai oleh pemuda-pemudi seusiaku. Aku turun dari mobil, setelah berpamitan dengan Papa.
“Selamat pagi, Nisa. Hati-hati di sekolah!” Kalimat standar penutupan berangkat ke sekolah bersama. Papa melanjutkan perjalanan menuju kantor.
****
Pelajaran kedua, masih Bahasa Indonesia dua hari berturut-turut.
“Murid-murid, sekali kali kalian harus rajin belajar. Kalian pasti punya kampus yang ingin kalian masuki, dengan belajar semoga kalian bisa diterima.” semua murid terdiam mendengarkan, takdzim, petuah yang sebenarnya standar-standar saja.
Teng … Teng …
Suara lonceng terdengar, pertanda waktu istirahat telah dimulai.
“Baiklah, murid-murid semua … selamat istirahat dan belajar dengan lebih giat lagi.” Tutup ibu guru.
akhirnya istirahat juga.
“Nisa, ke kantin yuk. Lapar sekali hari ini!” seperti biasa, jika waktu istirahat tiba, maka Zila akan mengajakku pergi makan, atau setidaknya minum.
Aku berlagak seperti ingin menolak ajakan Zila, dengan memasang muka mengabaikannya. Demi melihat ekspresiku itu, Zila langsung merayuku.
“Nisa, maafkan aku deh soal tadi malam. Aku janji tidak akan mengejekmu lagi, janji!” Zila berkata dengan ekspresi wajah seperti menyesal. Aku tahu, itu hanya ekspresi luar. Dan aku juga tahu, pasti sebentar lagi, entah itu setelah kembali dari kantin, atau sepulang sekolah nanti, pasti dia akan kembali mengejek.
Baiklah, tiada salahnya aku pergi menemani Zila ke kantin. Aku langsung berdiri, tidak berkata apapun.
“Eh, Nisa. Aku kan sudah minta maaf. Kau masih ngambek ya? Kamu mau ke mana?” Sepertinya Zila belum tahu apa yang aku maksud.
“Katanya tadi mengajak ke kantin?” aku berkata dengan nada kesal kepadanya.
“Oh, kamu mau ke kantin juga, ya. Baiklah, aku akan ikut denganmu.” Sahut Zila.
Enak saja, aku yang mengajak Zila ke kantin? “Dasar bloon.” aku menyumpahi Zila dalam hati.
Kantin ramai dengan kesibukan masing-masing.
Semua siswa seperti belum sarapan semua siang ini, beramai-ramai makan di kantin. Seperti biasa, aku memesan satu buah batagor mini, dan soto spesial untuk Zila.
Dari kejauhan, nampak segerombolan siswa yang berjalan, akan melewati meja kami berdua.
Aku hanya terdiam, berusaha untuk tidak melihat, atau bergaya tidak melihat gerombolan siswa itu. Cuek.
“Kenapa kamu, Nis. Kok tiba-tiba menunduk terus.” Zila mulai mengetahui apa yang aku lakukan.
“Oh, aku tahu. pasti kamu …”
“Udah diam, jangan banyak omong mulu.” cepat-cepat aku mencegah kata yang akan dikeluarkan Zila, karena rombongan itu semakin dekat dengan kami.
“Hai, Zila, Nisa!” suara itu sepertinya menyapa kami berdua.
“Hai juga …” Zila yang membalasnya. Aku masih menundukkan kepala, lebih karena minder, bukan malu.
Tidak salah lagi, yang menyapa kita berdua tadi adalah bintang kelas, jago main bola voli, FAISAL.
Deggg … Deggg …
Suara degub jantungku sampai mengalahkan suara berisik pelajar yang sedang bercanda. Aku kenapa ini? Apakah aku tiba-tiba sakit jantung?
Pulang sekolah, siang hari.Udara siang terasa panas, tapi tidak dengan suasana hatiku.Benar apa yang dikatan oleh mereka yang ahli dalam sebuah kata hikmah.‘Masalah yang ada di depan kita, atau juga yang di belakang kita itu sangatlah kecil. Tapi masalah yang sangat besar ialah, masalah yang berada dalam diri kita sendiri’.Aku masih di dalam kamar, berdiri di depan cermin yang jernih. Aku memandangi rambutku sejenak, hitam pekat. Setelah itu, aku pergi dari hada-pan cermin.Ganti baju, memakai pakaian biasa sehari-hari.Aku segera turun kebawah. Disana, terlihat Mama sedang membuat minuman. Aku segera menghampiri.“Lagi buat apa, Ma?”“Eh, Nisa. Ini Mama lagi buat kopi spesial. Kamu mau?”Inilah kebiasaan Mama, sama seperti Zila jika di sekolahanku. Mengatakan sesuatu spesial, padahal hanya soto biasa. Dan ini, hanya kopi hitam biasa.Aku hanya mengangguk. Tidak ada salahnya
Nisa adalah anak yang baik, walaupun dia jarang sekali membantu Mamanya mengerjakan pekerjaan rumah. tapi ada satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa sejak SMP, Nisa tidak pernah memberikan baju kotor kepada Mamanya. Selama ini, dia selalu mencuci pakaian yang kotor dengan tanganya sendiri, walaupun masih dengan bantuan mesin cuci.Saat ini, suasana hati Nisa sedang tidak menentu. Iya, cinta adalah salah satu dari sekian perasaan yang telah menemukan ruang baru di hati Nisa. Ini memang sangat menyenangkan, setelah sekian lama Nisa tidak mengenal apa itu yang dinamakan dengan cinta kecuali dari kedua orang tuanya. Akankah berjalan seperti yang dipikirkan oleh Nisa kisah ini? Atau yang terjadi akan sebaliknya?****Pagi hari, setelah bangun dari tidur yang menyenangkan.Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Tapi sayang, aku harus melewati ritual keluarga yang sangat khas, sarapan pagi. Aku sudah bersama dengan Papa dan Mama di meja makan, menghabiskan s
Pelajaran pertama sudah dimulai sejak tadi. Ibu guru terlihat semangat mengajar di depan papan tulis. Usianya yang sudah menginjak kepala lima tidak mempengaruhi semangatnya. Kali ini pelajaran IPA, atau lebih mengarah kepada Biologi.“Murid-murid, hari ini kita telah belajar tentang tubuh dan organ manusia. Tahukah kalian, berapa harikah manusia bisa bertahan tidak tidur?” Ibu guru memberikan semua murid satu pertanyaan. Aku belum mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. Maka aku memperhatikan guru yang sedang bertanya.Semua murid juga terlihat belum mengetahui fakta tentang hal ini. belum ada siswa yang angkat tangan untuk menjawab.“Baiklah, jika kalian semua belum mengetahui fakta ini, Ibu akan dengan senang hati memberikan ilmu tambahan kepada kalian semua. Jadi, menurut sebuah penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli, manusia bisa bertahan tidak tidur selama 14 hari. Juga manusia paling lama mampu bertahan tidak bernapas selama 11 m
Malam hari, pukul delapan, ketika waktu makan malam.Keluarga kami sudah berkumpul semua seperti biasa di meja makan, makan malam. Hari ini masih dengan suasana yang biasa, bahagia. Walaupun keluarga kami hanya tiga orang, kami sudah cukup lebih dari bahagia. Banyak di dunia ini orang yang ingin mempunyai keturunan, tapi Tuhan tidak menghendaki.“Bagaimana sekolah kamu, Nisa?” Papa bertanya kepadaku, yang duduk diseberang meja sendirian. Mama ikut menatapku dengan tatapan datar, dari seberang meja pula.“Eh, baik-baik saja, Pa.” Aku menjawab dengan sangat jujur, karena aku adalah anak yang jujur. Hehe …Papa menatapku sejenak, lalu bicara lagi kepadaku sambil menunggu Mama selesai mengisi piring Papa. “Papa kira hari ini kamu ada masalah, tidak seperti biasanya kamu banyak melamun seperti malam ini.”“Dari mana Papa tau?”“Eh, tau apanya? Beneran kamu ada masalah? Ceritakan saja, m
Seperti biasanya, ketika pagi hari aku berangkat sekolah dengan sebelumnya sarapan bersama keluarga. Sungguh sebuah momen yang sebenarnya ingin aku tinggalkan begitu saja, yaitu sarapan dengan keluarga, ada papah dan mama. Mengapa demikian? Sebab jika sarapan bersama dengan mereka berdua, selalu saja ada hal tentang keburukanku yang menjadi sasaran pembicaraan. “Nisa, kamu kok semakin wangi saja dari hari ke hari.” Ujar papa yang menyadari bahwa aku berbau wangi, tidak seperti minggu-minggu sebelumnya. Memang benar, minggu-minggu sebelumnya, sebelum aku mengenal sebuah rasa seperti ini, aku tidak terlalu suka dengan minyak wangi, atau bahkan aku jarang sekali menggunakannya. Aku merasa sudah cukup saja dengan bau wangi yang semerbak dari bajuku, pewangi yang digunakan mama ketika mencucinya. “Mumpung masih punya, pa.” Jawabku ringan sembari meneruskan makan. “Memangnya sebelum ini kamu tidak punya?” sahut mama. Benar apa yang aku sangkakan tad
Langit cerah, bintang-gemintang nampak di sana. Itulah pemandangan yang aku lihat ketika berada di teras lantai dua rumahku. Tidak ada yang menghalangi mata dari pemandangan tersebut. Namun sayang, malam ini tidak ada rembulan yang biasanya bersinar kekungingan. Rembulan mendapatkan jatah libur sampai beberapa hari ke depan, atau aku saja yang terlalu tidak kuat menunggu datangnya. Bintang-gemintang jauh mengangkasa menunjukkan bahwa dia adalah sang raja, untuk malam ini.Pukul delapan malam, aku tiba-tiba teringat dengan pasar malam, dan hatiku mengatakan bahwa aku harus ke sana. Ah, semoga saja mama mengijinkan aku untuk pergi malam ini. Mumpung waktu belum terlalu malam, akhirnya dengan segera aku meminta ijin kepada mama, juga papa. Mereka berdua tengah asyik mengobrol di depan layar televisi, entah apa yang mereka bincangkan aku tidak tahu. Dan, aku juga tidak ingin mengetahuinya. Palingan, itu adalah pembicaraan tentang masa depan dan urusan pekerjaan.“Pap
Dua malam yang lalu, ketika aku berkunjung ke pasar malam, aku bertemu dengan seorang penjual buku yang seumuran denganku. Namanya adalah Adi. Sebenarnya aku tidak tahu di mana hebatnya dia, lagi pula aku juga belum mengerti banyak tentang hidupnya. Hanya saja sekarang aku tahu apa yang lebih darinya jika dibandingkan dengan diriku, Adi adalah seorang pekerja keras. Aku kagum dengannya.Sekarang aku tengah berada di ruang kelas, jam istirahat. Hari ini aku tidak pergi ke kantin, sebab ada yang aneh dengan mama sepagi ini, mama membawakanku bekal makanan, padahal dari rumah aku sudah sarapan. Hemm... tidak apa-apa, hitung-hitung untuk menghemat uang jajan. Lumayan, bisa untuk membeli komik atou novel-novel. Kenapa tidak buku pelajaran saja? Aku tidak terlalu suka membaca buku pelajaran. Lagi pula, aku merasa bahwa di dalam komik itu ada banyak sekali pelajaran yang bisa aku ambil, tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.Aku dan Zila makan bersama, memakan bekal yan
Lima menit sudah aku berada di luar kelas. Benar sekali, seperti yang aku bayangkan, bahwa suasana di luar kelas ketika pelajaran berlangsung akan menjadi semakin nikmat. Angin sepoi-sepoi tertiup dari sudut lapangan, menggerak-gerakkan pepohonan tepian lapangan, lalu mengenai tubuh dan rambutku. Wow, benar-benar udara yang sangat nikmat. Tidak terasa, sudah hampir sepuluh menit aku berada di luar kelas.Ah, sebaiknya sekarang aku masuk. Lagi pula, aku juga sudah tidak terlalu mengantuk. Sekarang, aku lebih siap untuk mengikuti pelajaran, tapi tidak untuk paham. Wkwkw.Tapi sebelum aku masuk, aku melihat ada siswa lain selain diriku yang berada di luar ruang kelas. Lihat! Bukankah itu adalah Adi, pedagang buku yang pada awalnya sangat menyebalkan itu? Iya, aku tidak salah lihat, itu adalah Adi. Akan ke mana dia? Sepertinya dia akan ke kamar mandi. Dan, tentunya dia akan melewati tempatku berdiri sekarang ini. Baiklah, akhirnya aku memelankan langkah, berharap agar dia