Share

Embun Cinta
Embun Cinta
Author: Azka Taslimi

Inilah Aku

Pagi hari yang cerah.

Udara masih sangat terasa dingin, sehingga aku masih belum beranjak keluar dari tempat tidur. Jam menunjukkan pukul 05:30 WIB, terlalu pagi jika aku bangun sekarang. Aku mengembalikan smartphone kesamping tempatku tidur setelah mengetahui jam berapa sekarang.

Namun sayang, tidak bertahan lama aku bisa membaringkan diri di atas tempat tidur, sebab pintu sudah diketuk keras dari luar. Nampaknya Mama sudah bangun, dan sepertinya juga menyuruhku bangun.

“Nisa … Bangun. Sudah siang ini, masih tidur saja.” Benar yang aku duga, pasti Mama kalau jam segini mengetuk pintu.

“Iya ma, sebentar lagi aku juga bangun.”

“NISA, jangan nanti-nanti. Sekarang juga BANGUN. Nanti kalau punya suami mau jadi apa kamu.”

Ini yang selalu menyebalkan dari Mama, setiap kali aku bangun pagi, selalu masa depan, suami, yang Mama bicarakan agar aku segera bangun.

Tapi benar juga, setelah aku pikir-pikir nanti aku mau menjadi apa jika selalu bangun sepagi ini, bukan pagi maksudku, mungkin ini sudah waktu yang cukup siang bagi seorang istri.

Selain itu, aku juga tidak akan pernah menang adu kata dengan Mama, dia jago sekali debat jika membangukan aku tidur.

Aku memutuskan bangun sepagi ini, mungkin hampir setiap hari Mama membangunkan. Tiada kata menyerah demi semangat 45 membangunkanku, kata Mama mungkin.

Matahari sepagi ini juga sudah mulai bersinar, menemani manusia yang mulai melakukan aktivitas. Aku menghampiri jendela kamar, membukanya, agar sinar matahari yang sejuk ini juga menghampiri kamarku.

Aku segera mengambil handuk. Dalam hati aku masih merasa tidak terima dengan pemaksaan ini. “Masak sepagi ini aku harus bangun, mandi lagi, lagi, dan lagi.”

Tapi untungnya, Papa orangnya baik hati, sejak satu tahun yang lalu, dia sudah membelikan keluarga kami mesin yang bisa mengeluarkan air hangat. Entah apa itu namanya, yang penting aku bisa menggunakan.

“Mama masih masak?” Aku melewati dapur tempat Mama memasak, basa-basi bertanya pekerjaan Mama. Sebenarnya aku sudah tahu, tapi dari pada hanya diam, nanti disindir lagi ketika sarapan

“Iya, Nisa. Ini lagi masak, nyiapin sarapan untuk putri Mama yang cantik sekali. Yang baru bangun tidur”. Mama tersenyum ketika mengucapkan kalimat terakhir, dan menengok kearahku dengan penekanan yang sangat jelas.

Tapi tidak masalah, sebenarnya juga aku yang diuntungkan dengan semua ini. Bukankah Mama melakukan semua ini untukku, untuk keluargaku?

Bau makanan yang khas, menusuk hidungku yang baru saja bangun. Sedap, juga menggugah selera. Masakan Mama selalu menjadi masakan yang spesial setiap hari, aku dan Papa akan selalu suka dengan masakan Mama.

****

“Eh putri Mama sudah cantik begini, tidak lagi bauk seperti ketika lewat dapur tadi.” Mama sepagi ini sudah tiga kali membuatku sebal, dan itu masih dengan masalah yang sama.

“Jangan begitu, Ma. Gitu-gitu juga putri kita satu-satunya, meskipun bandel.” Papa juga ikut-ikutan menggodaku, aku juga paham bahasa itu. Bahasa yang lebih halus lagi dibanding menyindir. Jadi itu adalah kakeknya menyindir.

“Nisa, makan yang banyak. Mama kamu pagi ini masak spesial sekali, rugi kamu tidak makan banyak.” Ujar papa ketika ketika mengetahui aku tidak mengambil nasi yang cukup.

“Papa, makan itu jangan banyak-banyak, Nisa kan anak muda, pasti banyak pertimbangan. Siapa tahu dia lagi diet, untuk sese ....”

“Mama bilang apa sih, sudah bangun pagi-pagi malah ditertawakan mulu, di buli mulu.” Aku segera memotong percakapan Mama dengan Papa, sebelum sampai ke mana-mana.

“Iya sudah, Nisa, kamu makan dulu. Setelah itu kita berangkat sekolah sekalian Papa berangkat ke kantor.”

Akhirnya aku bisa makan juga pagi ini, dengan selamat dan sentosa, tanpa ejekan Mama yang selalu menyinggung tentang aku yang bangun siang.

Benar sekali apa yang dikatakan Papa, pagi ini masakan Mama sangat spesial. Mungkin ini resep terbaru, daging ayam tanpa tulang, teksturnya halus, sangat nyaman dilidah.

Tidak terasa, aku menghabiskan sarapan pagi ini satu piring. Porsi yang cukup banyak bagiku. Biasanya aku hanya menghabiskan setengah, tapi pagi ini terasa sangat beda sekali. Tapi, aku harus menghilangkan gengsi terlebih dahulu untuk menambah nasi tadi.

****

Mobil pribadi yang Papa kemudikan telah beranjak dari tempatnya semula.

Setelah berpamitan dengan Mama, aku berangkat sekolah bersama dengan Papa. Sekarang pukul enam lebih sedikit, waktu yang cukup ideal untuk berangkat sekolah. Jarak sekolah dengan rumahku lumayan jauh, butuh waktu setidaknya dua puluh lima menit jika perjalanan tidak normal.

Seperti biasanya, jalanan Ibu Kota yang macet selalu menjadi suguhan utama, seperti juga dengan televisi-televisi, selalu menyiarkan kemacetan ini keseluruh negeri. Setelah itu, ujung-ujungnya, pasti menyalahkan Pemerintah Provinsi yang menjabat. Padahal, apakah benar dia yang bersalah?

“Bagaimana sekolahmu, Nisa?” Papa mengammbil sembarang tema percakapan di dalam mobil pagi ini.

“Baik, baik-baik saja kok, Pa.” jawabku sembari merapikan rambut yang terkena angin yang menutup dahi. “Bagaimana dengan pekerjaan Papa di kantor?” aku bertanya balik kepada Papa.

“Seperti biasa, syukurlah. Lancar-lancar saja sampai saat ini, belum ada masalah yang serius.” Papa menjawab singkat. “Oh iya, Papa lupa. Akhir semester nanti kalau jadi, akan pulang kampong, ke rumah Kakek dan Nenek. Kamu suka, Nisa?”

Aku hanya mengangguk kecil, juga tersenyum manis. Tapi entahlah, senyumku tadi manis atau tidak. Teman-temanku di sekolah bilang, bahwa aku ketika tidak senyum dan senyum sama saja, sama-sama manis. Jadi ke-PD-an aku. Sudah, jangan membahas itu lagi.

Sekarang mataku tengah mengedarkan pandangan pada kanan-kiri mobil. Angkot-angkot Ibu Kota sepertinya tidak pernah sekolah, berhenti sembarangan di pinggir jalan tanpa amit. Mungkin ini yang menjadi penyebab utama kemacetan, hal-hal yang sepele.

Klakson-klakson mobil terdengar memekakkan telinga. Setiap kendaraan sepertinya ingin sampai ke tempat tujuan terlebih dahulu, begitu juga dengan Papa, sesekali memukul-mukul setir mobil agar berbunyi klakson.

Sebentar kemudian… syukurlah, gerbang sekolahku sudah terlihat. Aku segera mengambil tas dari bangku sebelah, lalu memakainya.

“Hati-hati disekolah, Nisa!” Kata-kata yang selalu Papa ucapkan ketika aku akan turun kehalaman sekolah. Aku hanya mengangguk. Sebentar, aku menatap kaca depan mobil, merapikan rambutku dari cermin itu sebentar. Setelah aku merasa sudah cantik, eh, rapi maksudku, aku segera turun dari mobil.

“Selamat pagi, Papa.” Ujarku untuk yang terakhir kalinya.

Aku bergabung dengan pelajar lain yang mulai berdatangan memasuki gerbang utama sekolah. Wajar saja banyak anak yang suka sekolah di sini, sekolah ini namanya begitu besar, terkenal, sehingga banyak yang minat.

Tapi aku sekolah di sini bukan hanya karena terkenal, melainkan ini adalah sekolah satu-satunya yang terdekat dengan rumahku, dan juga satu arah dengan kantor kerja Papa.

“Hai, Nisa. Kebetulan ketemu kamu di sini.” Salah satu temanku, menyapa dari belakang, menyejajari langkahku.

“Hai juga, Zila.” Aku menoleh kepadanya sebentar, lalu melanjutkan perjalanan menuju kelas bersamaan.

“Kamu sudah dengar apa belum berita sekolah terkini?” Aku mengerutkan dahi, demi mendengar pertanyaan Zila yang membingungkan.

“Oh, kamu belum tahu? Bagaimana ini? Apa kata dunia? Gawat, masak anak kelas sebelas belum tahu?” kata Zila sambil memutar-mutarkan kepalanya.

“Kamu bicara apa, sih? Dari tadi nanya mulu tidak juga memberi tahu.” Kataku sebal. Aku berharap setelah keluar dari rumah akan selesai dari rasa sebal karena Mamah. Ah… ternyata sama saja.

“Begini, ini kabar bahagia. Tim sepak bola kelas sebelas akan beruji coba dengan sekolah lain nanti siang.” Kata Zila memberi tahu. Matanya berbinar-binar.

“Apa juga pentingnya untukku? Sejak kapan kamu suka sepak bola?”

Memang, hari-hari terakhir kelas sebelas terlihat sedang mati-matian melakukan latihan. Mungkin ini alasannya, untuk menghadapi laga uji coba dengan sekolah tetangga. Tapi mulai kapan aku suka sepak bola? Rasanya tidak akan pernah aku suka sepak bola. Sejak kapan Zila suka bola pula?

“Ya… setidaknya kita kan bisa memberikan semangat untuk mereka yang bertanding. Aku harap mereka akan menang.” katahya. Aku hanya mengangguk kecil, sebagai pertanda bahwa aku tidak tertarik dengan obrolan pagi ini.

“Omong-omong, kamu sudah sarapan apa belum, Nisa?” Akhirnya Zila mengalihkan percakapan juga. Ini juga bukan sebuah tema percakapan yang menarik.

“Sudah, tadi bareng keluarga di rumah, kamu?” Aku balik bertanya.

“Kamu tuh enak ya, setiap pagi ada yang masakin. Aku, boro-boro dimasakin, bangun tidur orang tua sudah berangkat kerja.” Keluh Zila. Aku hanya mengangkat bahu, pertanda tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Aku segera masuk ke kelas sebelas. Di sekolah ini ada dua belas ruangan kelas, masing-masing diisi oleh tiga puluh anak. Jadi di sekolah ini jumlah keseluruhan hanya 360 anak, hanya itu, yang bisa mendaftar hanya anak-anak dengan nilai formal tinggi, termasuk aku. Wkwkkw.

Tidak lama setelah masuk kelas, duduk di bangku nomor dua dari belakang, akhirnya lonceng tanda masuk sudah berbunyi. Saatnya menunggu pelajarann pertama, Bahasa Indonesia.

****

“Anak-anak, kalian harus lebih memperbanyak belajar lagi, karena sebentar lagi kalian akan menghadapi ulangan kenaikan kelas. Juga, nasib masa depan kalian akan ditentukan dengan belajar ini …”

Demikian kalimat penutup dari Miss Iren, guru matematika kami, pelajaran kedua pagi ini, setelah pelajaran bahasa Indonesia. Orangnya tinggi, kalau berteriak, dunia niscaya akan runtuh seketika.

Lonceng istirahat terdengar keras, semua pelajar berhamburan keluar kelas.

“Nisa, temani aku yuk, ke kantin. Mau kan?”

 Sepertinya sudah menjadi kebiasaan seluruh pelajar, jika waktu istirahat tiba maka waktu akan digunakan untuk ke kantin. Sebenarnya aku mau menolak, tapi demi melihat wajah Zila yang kusut, akhirnya aku segera bangit dari tempat duduk.

“Em… aku mau makan juga.” Kataku pada Zila.

“Katanya kamu sudah maka?” sahut Zila.

“Iya sih, tapi masa aku ke kantin hanya lihat kamu makan, gitu?” Aku menjawab dengan nada sebal.

“Iya juga sih. Tapi hati-hati, jangan sampai kebanyakan, nanti kamu gendut.” Ujarnya.

Siapa juga yang akan makan banyak. Sepertinya Zila juga sama menyebalkannya dengan Papa dan Mama di rumah.

Suasana kantin sekolah yang ramai.

Di kantin ini hanya ada beberapa saja yang berjualan, tidak banyak. Karena sekolah juga memperhitungkan laba yang didapat para penjual. Mereka yang berjualan menyewa tempat kepada sekolah dengan biaya yang tidak murah, maka sekolah juga berkewajiban ikut melancarkan kegiatan mereka di sini.

“Kamu mau makan apa?” Aku bertanya kepada Zila.

“Aku mau makan soto spesial saja, sudah lama aku jarang makan makanan itu di sini. Kamu?”

“Aku makan batagor saja, masih kenyang.”

Dari kejauhan nampak penjaga kantin datang. Aku sudah kenal, dan akrab sekali dengan Bang Ali, penjual salah satu dan langganan kami di sekolah ini.

“Eh neng Zila, Nisa. Mau pesan apa pagi ini?” Tidak salah lagi, para penjual di sini tentunya sudah terlatih untuk ramah kepada setiap pembeli.

“Batagor satu, sama soto spesial satu, bang. Minumnya seperti biasa saja.” Aku yang menjawabnya singkat.

“Omong-omong, kamu sudah tahu apa belum?” Zila sepertinya akan bicara lagi tentang sepak bola tadi pagi.

“Sudah, tadi kan kamu yang cerita kepadaku.” Jawabku dengan nada separuh sebal.

“Bukan itu yang aku maksud.” Sergah Zila.

“Lalu yang mana lagi, tim basket?”

“Bukan, bukan juga. Ini tentang seseorang.” Aku hanya ngerutkan dahi, pertanda belum paham dengan yang dia bicarakan.

“Oke, sambil menunggu pesanan datang, tidak ada salahnya cerita sebentar.” Zila mulai mengatur suara, aku masih biasa-biasa saja.

“Kamu kenal Faisal?”

Aku bingung, kenapa coba dia menanyakan orang itu. Aku tahu, karena dia juga masih satu kelas dengan aku dan juga Zila. “Pastinya kamu tau. Itu, dia yang jago banget main bola voli, yang tinggi seperti artis Korea.” Dia diam sejenak, lalu melanjutkan bicara lagi. “Kamu sadar apa tidak sih, akhir-akhir ini dia sering perhatiin kamu lo, Nisa.” Aku kaget, sekaligus bingung.

“Maksud kamu apa sih, jangan bikin bingung aja deh?” Aku belum paham alur pembicaraan kali ini.

“Oke. Singkatnya begini saja. Itu… dia… FAISAL itu suka sama kamu. Sudah jelas nona Nisa?” jelas Zila dengan nada mengejek.

“Ah… kamu jangan ngaco deh. Mana mungkin dia suka sama aku, kayak tidak ada yang lain saja.” Aku masih menyangkal apa yang dikatakan Zila.

“Terserah kamu, aku hanya memberi tahu temanku saja.” Tegas Zila lagi dengan mengangkat bahunya.

Stop… Pesanan datang.

Akhirnya pesanan kami datang juga, yang membuat percakapan kami terhenti. Hanya satu-dua kata yang terucap ketika kami makan, itu juga bukan tentang seseorang tadi.

Masakan di tempat ini memang cukup enak, berbeda dengan kantin-kantin yang lain. Tapi, satu yang membuat sebal, tentunya penjaga kantinnya yang sok tau. kapan-kapan aku akan ceritakan tentang bang Ali yang soto itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status