Author's POVDan Miranda lega karena perjodohan itu batal. Sudah sejak masih kecil sebenarnya Miranda menyukai dua sepupunya itu. Andrean dan Hendriko. Ia merasa punya kakak jika dekat dengan mereka. Sebab ia tidak bisa akrab dengan satu-satunya kakak perempuannya. Dengan Andrean intensitas pertemuan sangat jarang, makanya ia lebih dekat dengan Hendriko. Karena Andrean memang tinggal dengan neneknya.Mungkin karena kedekatan mereka sejak kecil, membuatnya menyimpan rasa pada pria yang lebih tua empat tahun darinya. Perasaan yang ia pendam sendiri. Sesekali ia menunjukkan perhatiannya pada Hendriko, tapi dasar manusia kulkas yang tak peka. Hendriko cuek setengah mati kalau Miranda datang ke rumahnya. Namun perasaan itu tidak serta merta hilang begitu saja. Malah mengakar dan membuat Miranda jengkel sendiri."Mas!""Apa!""Hish, galaknya. Waktu itu Tante Salwa pernah cerita kalau sebenarnya mau jodohin Mas Hendri sama Mbak Embun."Saking terkejutnya, Hendriko hampir saja menginjak rem.
Author's POVHera tampak kaget bersitatap dengan Andrean. Perempuan itu jadi salah tingkah. Mau pergi juga sudah terlanjur basah, karena Andrean telah melihatnya. Ia malu atas apa yang terjadi tujuh tahun yang lalu. Rasanya kata maaf dari Andrean saja tidak bisa menghapus noda yang ia torehkan dalam hubungan mereka. Apalagi jika sampai Andrean tahu bagaimana kehidupannya dengan Rusdy.Sedangkan Andrean tetap tenang, kembali memandang istrinya dan melanjutkan berbincang dengan calon ibu dari anaknya. Ia tidak peduli akan kedatangan Hera di sana. Anggap saja dia juga sama seperti pengunjung lain yang tak dikenalnya.Rusdy, suami Hera yang juga melihat ada Andrean di sana menggiring dua anaknya mencari tempat duduk yang menjauh dari meja Andrean. Dua bocah kecil perempuan dan laki-laki itu lantas di dudukkan di dua baby chair. Anaknya berusia enam tahun dan empat tahun."Pengen makan apalagi?" tanya Andrean pada Embun. Dia menunjukkan daftar snack yang ada di buku menu."Apa ya?" Embun m
Hera's side story ....Setelah anak-anak tidur, Hera kembali ke kamarnya. Dua anaknya tidur di temani pengasuh. Namun di kamarnya sendiri ia tidak mendapati sang suami. Wanita itu melangkah menuju ruang kerja suaminya. Belum juga masuk ia mendengar Rusdy sedang menelepon seseorang dengan begitu mesranya. Hatinya kembali sakit. Rasa sakit yang bertumpuk-tumpuk dalam dadanya karena perselingkuhan yang dilakukan suaminya. Bahkan itu sudah terjadi ketika pernikahannya belum genap dua tahun.Makanya meski di restoran tadi ia sering mencuri pandang pada Andrean, Rusdy tidak peduli. Kenapa sang suami tidak peduli, karena ia sudah punya mainan baru. Rusdy hanya ingin melihat Andrean hancur saja ketika mengambil Hera dari temannya itu. Setelah Hera jatuh dalam dekapannya, sifat Rusdy kembali ke aslinya.Perkiraan Rusdy salah. Meski sudah dikhianati tunangan dan temannya sendiri, Andrean tidak terpuruk seperti sangkaannya. Bagaimanapun hancurnya hati, tapi lelaki itu tetap menomorsatukan peker
Author's POV"Papa ngobrolin tentang kamu dan Miranda dengan Tante Evi dan Om Bagas kemarin," jawab Pak Darmawan sambil memandang Hendriko di hadapannya."Ngobrolin apa?" tanya Hendriko datar. Dia sudah mendengar rencana mereka tadi."Jodohin kamu sama Miranda," jawab Pak Darmawan berterus-terang. Namun cukup membuat dada Bu Salwa berdebar kencang. Takut akan ada perdebatan antara papa dan anak sepagi itu. Beliau tahu bagaimana keras kepalanya si anak dan bagaimana sikap suaminya jika di lawan. Tapi pada Andrean sang suami tidak bisa bersikap sekeras pada Hendriko. Mungkin karena rasa bersalah, membuat Pak Darmawan tidak bisa bersikap kasar pada putra sulungnya."Apa tidak ada gadis lain, Pa? Kami sepupuan dan Miranda sudah kuanggap seperti adik sendiri." Bantah Hendriko. Ia tidak jadi menyendok nasi karena selera makannya tiba-tiba hilang. Entah apa yang dipikirkan mereka, bisa-bisanya mau menjodohkan dirinya dengan Miranda."Dalam agama kita diperbolehkan menikahi sepupu, Hendriko.
Author's POVHabis Maghrib Andrean dan Embun bersiap-siap. Seorang wanita pegawai salon datang di antar Cici untuk merias Embun. Hanya sebentar saja karyawan salon mendadani wanita itu karena Embun ingin dandanan yang natural dan sederhana saja. Embun tahu jika menghadiri jamuan makan, apalagi acara sebesar itu perlu penampilan yang layak dan tepat tanpa berlebihan. Memiliki kesan alami baik dalam berbusana atau berias. Karena dia nanti akan bertemu dengan karyawan perusahaan dalam berbagai jabatan. Terlebih akan bertemu ibu mertua dan tantenya sang suami. Pasti mereka yang akan memperhatikan penampilannya malam itu. Perempuan selalu seperti itu.Gaun berbahan satin denga kombinasi brokat warna pastel menjadi pilihannya untuk dipakai. Gaun yang dibelikan Andrean ketika mereka sedang menghabiskan akhir pekan di pantai waktu itu.Cici dan karyawan salon pamitan setelah menyelesaikan pekerjaannya. "Makasih ya, Mbak Cici.""Sama-sama, Mbak. Kalau ada apa-apa jangan sungkan ngubungi saya
Author's POV"Hamil?" Pak Darmawan mengeryitkan dahi sambil lebih mendekatkan tubuhnya pada sang putra, bertanya untuk memastikan bahwa apa yang didengarnya tidak salah. Apalagi suara Andrean tenggelam oleh musik yang berdentum keras.Andrean yang sudah terlanjur bicara menjawab dengan anggukan kepala. Harusnya ia bisa menahan diri untuk tidak memberitahu siapa pun terlebih dulu. Biarkan mereka tahu ketika kandungan istrinya sudah membesar.Sepertinya Bu Salwa tidak mendengar ucapan anak tirinya. Wanita itu tengah memandang panggung dan menikmati lantunan lagu nostalgia yang dibawakan oleh seorang penyanyi perempuan. Dan Hendriko sendiri tengah menyibukkan diri dengan ponselnya ketimbang peduli dengan suasana dinner malam itu. Mereka berdua tidak mendengarkan ucapan Andrean baru saja.Pak Darmawan langsung berbinar dan tersenyum. Ini kabar yang luar biasa untuknya. Dia akan segera memiliki cucu dari menantu yang dianggap mandul. Sebelum papanya bicara lagi, Andrean berbisik di telinga
"Halo, Mir.""Mas, ada di mana?""Lagi keluar. Ada apa?""Bisa nggak temui aku di Teras Cafe. Please, ada yang mau aku omongin. Tolonglah!""Kamu sama siapa?""Aku sendirian. Teman-temanku sudah pulang.""Baiklah, tunggu di situ." Terdengar dari suaranya, Miranda sedang cemas. Makanya Hendriko bergegas untuk menemuinya.Tidak butuh waktu lama, lelaki itu sampai di depan kafe tempat Miranda menunggu. Di hampirinya gadis yang duduk sendirian di bangku dekat jendela. "Ada apa?" tanya Hendriko setelah duduk."Mas, mau minum apa?""Kopi hitam tanpa gula."Miranda melambai pada pelayan kafe dan pesan minum yang diinginkan sepupunya."Kamu kenapa kusut gitu?" tanya Hendriko pada gadis berwajah polos yang tampak gelisah. Biasanya make up tak ketinggalan jika dia keluar rumah. Tapi pagi ini Miranda terlihat berantakan."Aku mau dijodohin."Hendriko kaget. Melihat wajah kusut Miranda, apa dia tidak mau dijodohkan dengannya. Bukankah selama ini gadis itu memang menyukainya? Ah, mungkin dia suda
Author's POVUntuk beberapa saat mereka terjebak oleh keheningan. Bu Atun yang tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi ikut merasakan canggung dan tak enak hati. Wanita itu beranjak pergi ke dapur belakang.Embun yang melihat Bu Salwa datang menghampiri segera mengangguk dan tersenyum. Kemudian menyalami dan mencium tangan mertuanya.Bu Salwa tercengang melihat perubahan pada diri Embun. Tubuhnya tidak berubah tapi perutnya membesar. Baju yang dikenakan menunjukkan kalau sedang berbadan dua."Embun, k-kamu mengandung?" tanya Bu Salwa dengan nada bingung dan tak percaya. Demi meyakinkan diri, tangan wanita itu meraba perut Embun yang terasa keras dan membulat. "Ya Allah, kamu hamil.""Ya, Bu," jawab Embun sambil tersenyum.Bu Salwa terdiam menatap wanita di depannya. Beliau masih tidak percaya. Namun rabaan telapak tangannya tadi tidak bisa berbohong. Perut itu menyembunyikan bayi di dalamnya."Sudah berapa bulan?""Lima bulan."Lima bulan, sama dengan usia pernikahannya dengan Andrea