Gemericik air memenuhi dapur, berpadu dengan dentingan halus peralatan masak yang saling bersentuhan.
Emily berdiri di depan wastafel, kedua tangannya sibuk mencuci teflon yang baru saja ia gunakan. Matanya sedikit sayu, tubuhnya masih lemah, tetapi setidaknya ia merasa jauh lebih baik dibanding tadi malam.
Dan yang terpenting—ia lapar.
Bubur yang Liam berikan sejak tadi malam memang cukup untuk membuatnya bertahan, tetapi tidak cukup untuk memuaskan perutnya yang kini menuntut lebih. Ia butuh sesuatu yang lebih mengenyangkan—protein, karbohidrat, sesuatu yang benar-benar terasa seperti makanan.
Namun bukan hanya untuk dirinya sendiri.
Dengan infus yang masih terpasang di tangan, Emily menggantung teflon dengan sangat hati-hati. Di balik rasa laparnya, ada perasaan lain yang menyelimutinya—rasa bersalah.
Liam tidak pantas diperlakukan seperti kemarin.
Laki-laki itu tidak tahu apa-apa, tetapi Emily justru mengabaikannya.
Bahkan saat ia berkali-kali menolak berbicara, Liam tetap di sisinya. Tetap merawatnya. Tetap berjaga di sampingnya, mengompres dahinya, memastikan Emily tetap hangat di tengah demamnya yang tinggi.
Dan hingga pagi ini, Liam masih ada di sini.
Saat Emily terbangun tadi, sosok itu masih berada di sampingnya—tertidur dalam posisi duduk di lantai, kepalanya bersandar di kasur. Kemeja putih kerjanya masih sama seperti kemarin, sedikit kusut dan lekat di tubuhnya, tanda bahwa ia benar-benar mengorbankan waktu istirahatnya untuk menjaga Emily.
Emily menggigit bibirnya pelan.
Setidaknya, ia bisa melakukan sesuatu sebagai bentuk terima kasih.
Setelah menyelesaikan makannya sendiri, ia mulai menghias mac and cheese yang telah ia siapkan untuk Liam. Ia ingin membuatnya sesempurna mungkin.
Dengan hati-hati, ia mengambil piring itu dan membawa ke lantai atas, satu tangannya menarik tiang infus yang masih menggantung.
Setibanya di kamar, ia memutar kenop pintu dengan pelan.
Liam masih tertidur.
Sosoknya terbaring di atas kasur dengan posisi miring, satu lengannya tergeletak di atas perutnya. Napasnya teratur, wajahnya tampak lelah, tetapi tetap saja—Liam selalu terlihat menenangkan.
Emily tersenyum kecil, lalu mendekat.
"Liam, bangunlah. Aku memasak sesuatu untukmu," ujarnya lembut, tangannya menyentuh pundak pria itu.
Liam bergeming sejenak sebelum akhirnya mengerjapkan mata. Ia mengusap wajahnya dengan tangannya, masih setengah sadar, sebelum akhirnya menatap Emily dengan ekspresi sedikit terkejut.
"Hei... Kau sudah bangun? Dan... kau memasak?" suaranya masih serak, penuh ketidakpercayaan. "Ya ampun, Em, kau bisa saja memesan makanan kalau kau lapar. Bagaimana kalau kau jatuh sakit lagi?"
Emily menunduk, suaranya pelan. "Maafkan aku..."
Liam menghela napas, kini sepenuhnya terjaga. Ia menatap Emily dengan penuh perhatian, berusaha memahami apa yang dipikirkannya.
"Aku hanya takut kau sakit lagi, Em. Bukan maksudku melarangmu memasak," katanya sambil mengusap lembut kepala gadis itu.
Emily menggeleng. "Maksudku bukan itu, Liam."
Liam mengerutkan kening. "Huh?"
Emily menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menatapnya dengan mata penuh penyesalan. "Aku minta maaf... karena sikapku yang menyebalkan kemarin. Maaf sudah mengabaikanmu seharian. Padahal kau juga baru pulang kerja."
Liam terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa kecil sebelum akhirnya menarik Emily ke dalam pelukannya.
Emily membiarkan dirinya terjebak dalam dekapan itu selama beberapa saat, menikmati kehangatan yang selalu Liam berikan. Namun, ia masih belum puas.
Dengan suara manja, ia berujar, "Berjanjilah kau tidak marah, Liam. Katakan kalau kau memaafkanku!"
Ia memanyunkan bibirnya, menatap Liam dengan ekspresi yang ia tahu pasti tidak bisa ditolak laki-laki itu.
Dan benar saja.
Liam kembali tertawa, suaranya berat namun penuh kehangatan. Dengan satu tarikan lembut, ia menarik Emily lebih dekat ke dadanya.
"Yang aku butuhkan hanya kau sehat, Em." Bisiknya. "Aku tidak masalah kau mengabaikanku, selama kau masih mencintaiku. Lagipula... memang kau selalu marah-marah denganku, bukan?"
Emily tertawa pelan, lalu memukul pelan punggung Liam. "Jadi kau memaafkanku, kan?"
Liam mengangguk dalam pelukan Emily, suaranya terdengar lembut dan penuh kepastian.
"Always, Em."
***
Pagi itu masih terlalu dini.
Jarum jam baru saja menunjuk angka 7, tetapi Liam sudah sepenuhnya siap dengan setelan jasnya. Dasi sudah terpasang rapi, rambutnya tersisir sempurna, dan aroma parfum maskulin samar-samar memenuhi kamar. Ia berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya, sebelum menoleh ke ranjang di belakangnya.
Emily baru saja terbangun, matanya masih berat, helaan napasnya panjang, seakan ingin protes karena mendapati tempat di sebelahnya kosong. Dengan suara serak khas orang baru bangun, ia menggumam.
“Kenapa kau sudah bersiap, Liam? Ini masih pagi sekali... Bahkan anak sekolah pun masih nyenyak dalam tidurnya.”
Ia mengulurkan tangan, menepuk sisi kasur yang semalam ditempati Liam. “Bisakah kau kembali ke sini?” Liam tersenyum kecil, berjalan mendekat, lalu menangkup wajah Emily sebelum mencium bibirnya dengan lembut.
“Sayang, kau lupa? Kemarin aku mengambil cuti karena kau sakit. Padahal belum genap seminggu aku bekerja di perusahaan.”
Seketika itu juga, Emily memasang wajah cemberut. Ia merasa bersalah—ia yang menjadi alasan Liam mengambil cuti kemarin.
“Tapi aku masih merindukanmu.” Ia mengalungkan tangannya ke leher Liam, berusaha menariknya kembali ke kasur. “Bisakah kau cuti lagi? Bukankah ini perusahaanmu? Kau bisa melakukan apa saja, bukan?”
Namun sia-sia. Badan Liam jauh lebih besar dan kuat darinya. Tarikan Emily tidak ada artinya.
Liam terkekeh, lalu menunduk untuk mengecup keningnya. “Babe, we will meet again this afternoon, okay? And you can do whatever you like with me.” Ia tersenyum menggoda. “Kau tidak ingin perusahaan ini bangkrut, kan? Bagaimana kalau absennya aku dalam meeting hari ini menyebabkan kerugian besar?”
Ia kembali menciumi wajah Emily—di pipi, di dahi, bahkan di ujung hidungnya.
Namun Emily tetap merengut.
“Aku juga ingin menghabiskan waktu lebih lama denganmu, Em,” suara Liam terdengar lebih lembut kali ini, lebih serius. “Tapi tanggung jawab ini terlalu besar untuk aku abaikan. Aku janji akan pulang secepatnya setelah urusan ini selesai.”
Emily terdiam. Entah kenapa, pagi ini ia benar-benar ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Liam. Ada perasaan rindu yang bahkan belum sempat ia hilangkan sejak kemarin. Namun, apa daya? Pekerjaan selalu jadi penghalang mereka.
Akhirnya, Emily mengangguk lemah.
Liam tersenyum puas, lalu menangkup wajah Emily sekali lagi sebelum mengecup dahinya. “Be good, okay?”
Emily hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu. Dan yang tersisa kini hanya keheningan.
***
Suara bel apartemen berbunyi nyaring, membangunkan Emily dari tidur siangnya.
Ia menggeliat pelan di bawah selimut, enggan membuka mata. Sejak Liam pergi ke kantor tadi pagi, ia memutuskan untuk kembali tidur—hari ini tidak ada kelas, tidak ada jadwal, tidak ada kewajiban. Hanya kasur empuk milik Liam yang seakan menahannya untuk terus terlelap.
Tapi suara bel itu berbunyi lagi. Dua kali.
Emily menghela napas panjang. Dengan malas, ia akhirnya bangkit dari kasur, menuruni tangga menuju lantai bawah.
Tanpa berpikir panjang, ia meraih kenop pintu dan langsung membukanya.
Samar-samar, ia melihat sosok pria berdiri di ambang pintu. Bau parfum yang familiar menguar di udara, menyengat dan menggoda. Saat matanya mengerjap beberapa kali, kesadarannya langsung menghantam keras.
Lucas Morrow?
“Hai, Em—”
Brak!
Emily langsung menutup pintu dengan cepat. Napasnya tertahan. Lucas? Untuk apa dia di sini siang-siang begini?!
Ia berbalik, melihat pantulan dirinya di cermin yang tergantung di hallway. Astaga.
Ia hanya mengenakan kaus putih besar milik Liam—yang terlalu longgar di tubuhnya—dan… celana dalam. Tanpa bra. Payudaranya samar-samar terlihat di balik kain tipis itu.
Apakah Lucas melihatnya barusan?!
Rasa malu dan kesal bercampur aduk dalam dirinya. Dia harus diusir. Sekarang juga.
Namun, sebelum Emily sempat mengumpulkan keberanian untuk mengusir Lucas, suara ketukan terdengar dari pintu.
“Em, ada suatu hal yang perlu aku lakukan. Bukalah pintunya.”
Emily menggertakkan giginya. Ia melangkah mendekat ujung pintu, lalu membuka pintu sedikit—cukup hanya untuk memperlihatkan matanya yang mengintip dari balik celah.
“Berikan aku waktu lima menit,” bisik Emily cepat, sebelum buru-buru berlari ke kamar, meraih bra yang tercecer di lantai serta mengenakannya dengan gerakan terburu-buru.
Ketika akhirnya ia turun kembali, Lucas sudah duduk santai di kursi kitchen island. Emily menyilangkan tangan di dadanya. “Ada perlu apa ke sini?” tanyanya dengan nada ketus.
Lucas hanya mengangkat kantong kertas di tangannya. “Aku mengembalikan sepatu basket Liam yang kupinjam kemarin.”
Emily mengangguk pelan. “Taruh saja di rak sepatu, di ujung hallway. Kalau sudah tidak ada urusan lain, kau tahu cara menutup pintu, kan?” Ia berbalik, hendak kembali ke atas.
“Kudengar kau sakit? Apakah sudah baikan?” ucap Lucas untuk menahan Emily.
Emily memutar tubuhnya dan menatap Lucas dengan raut curiga.
Lucas tidak menunjukkan ekspresi bercanda atau meremehkan. Tatapannya serius, dan itu membuat Emily semakin bingung. Sejak kapan Lucas benar-benar peduli?
Ia menghela napas, mencoba menepis pertanyaan yang mulai mengganggu pikirannya. “Peduli apa kau, aku sakit atau tidak?”
Lucas mengangkat bahu. “Aku hanya berbaik hati menanyakan keadaanmu. Tapi sepertinya kau selalu berusaha untuk bertengkar denganku.”
“Cih. Berbaik hati? Sejak kapan Lucas Morrow berusaha baik padaku? Pulanglah. Aku tidak ingin melihat mukamu hari ini.” Kali ini, Emily berusaha meninggalkan Lucas Kembali. Namun, sebelum ia bisa menjauh, Lucas meraih pergelangan tangannya.
Emily menoleh cepat, matanya menyipit. “Lepaskan.”
Alih-alih menurut, Lucas justru mengangkat paper bag yang masih ia pegang, menyorongkannya ke arah Emily.
“Aku membelikanmu makan siang.”
Emily mengerutkan dahi, masih mencoba menepis genggaman Lucas. “Dan kenapa aku harus menerimanya?”
Lucas tidak segera menjawab, hanya menghela napas. “Liam bilang kau sering lupa makan. Dia memintaku mampir untuk memastikan kau makan dengan benar. Kudengar kau menyukai makanan Mexico”
Emily terdiam sejenak. Tatapannya beralih ke kantong kertas di tangan Lucas, lalu kembali menatap wajah pria itu. Lucas tidak menjawab. Ia hanya menyorongkan kantong makan siang itu lebih dekat ke arah Emily.
Emily akhirnya menarik paper bag itu dari tangan Lucas. Ia membukanya, mendapati tacos dan burritos di dalamnya. Bukan hanya satu porsi, tapi dua.
“Kau membelinya terlalu banyak,” desisnya.
Lucas menyandarkan punggungnya ke kursi. “Jaga-jaga kalau kau masih lapar.”
Emily menghela napas. “Kalau begitu, kau juga makan. Aku tidak akan habis sendirian. Lagipula, Liam tidak terlalu suka makanan Mexico.”
Ia meletakkan kantong makanan di atas kitchen island, lalu bangkit untuk mengambil piring di rak atas. Namun, tinggi rak itu membuatnya kesulitan menjangkau. Ia berjinjit, tangannya menggapai-gapai, tapi tetap tidak sampai.
Tiba-tiba, sebuah kehangatan muncul di belakangnya. Dada bidang Lucas menyentuh punggungnya.
“Biar aku bantu.”
Tangannya dengan mudah meraih dua piring, lalu menyerahkannya ke Emily. Emily terpaku sejenak. Lucas terlalu baik hari ini. Ada sesuatu yang berubah darinya, dan ia tidak tahu apakah ia menyukainya atau tidak.
Ia berdeham, mencoba menghilangkan keheningan yang terasa ganjil. “Aku mau mandi dulu. Kau makan saja dulu. Aku menyusul.” Tanpa menunggu jawaban, Emily berbalik dan buru-buru naik ke lantai atas. Detak jantungnya masih belum kembali normal.
***
Angin pagi yang sejuk menyelinap melalui celah jendela, membangunkan Emily dari tidurnya. Mentari belum sepenuhnya menampakkan dirinya, namun mata Emily sudah tidak bisa kembali tertidur. Ia mengerjapkan kedua matanya perlahan. Tubuhnya terasa begitu hangat, terlindungi dalam dekapan Liam.Emily menggerakkan tangannya dan menatap cincin yang kini melingkar sempurna di jari manisnya."Cantik sekali..." gumamnya tanpa sadar, senyum kecil terukir di bibirnya.Tatapannya beralih ke wajah Liam yang tertidur tenang di sampingnya. Semalam, setelah Liam kembali melamarnya, mereka mandi bersama, dan Emily mengobati luka lebam di wajahnya. Dari cerita Liam, semuanya berawal saat ia mabuk dan tanpa sengaja menyenggol seseorang. Orang itu marah, mulai menghina Liam, dan dalam keadaan emosional, Liam tak terima—ia melayangkan tinjunya. Untungnya, ada orang yang melerai sebelum situasi semakin buruk.Emily menghela napas pelan. Ia menyentuh wajah Liam dengan lembut, jari-jarinya mengusap pipi pria
Lucas menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Emily. Gedungnya tidak besar, tapi tampak nyaman, dengan cahaya lampu dari beberapa jendela yang masih menyala di malam yang semakin larut.Liam memutuskan untuk mengantar ibunya pulang, sementara Emily diantar oleh Lucas. Saat Lucas melirik ke sebelah kanan, ia mendapati Emily tertidur dengan kepala sedikit miring, memeluk tote bag-nya erat-erat. Napasnya teratur, wajahnya terlihat begitu damai—sebuah ketenangan yang langka setelah hari panjang yang penuh emosi ini.Lucas ragu. Ia tidak sampai hati membangunkannya.Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Emily masih terlelap, tubuhnya hampir tidak bergerak. Lucas mulai curiga bahwa jika dibiarkan, Emily mungkin akan tidur sampai pagi di dalam mobilnya.Dengan hati-hati, ia menyentuh pundaknya, mencoba membangunkannya tanpa mengagetkannya. Kalau saja ia tahu Emily tinggal di lantai berapa, mungkin ia sudah membopongnya masuk ke dalam apartemen."Em... kita sudah sampai,”
Liam melamar Emily?Bagaimana bisa? Mereka baru mengenal setengah tahun, bukan? Apakah Liam benar-benar mencintai Emily sampai segitunya? Lucas tidak merasa cemburu—tidak, bukan itu. Hanya saja, ia khawatir sepupunya terlalu terbawa suasana. Kalap dalam semalam dan akhirnya mengambil keputusan yang mungkin akan disesalinya nanti.Saat mendengar kata-kata Emily barusan, kepala Lucas terasa kosong. Hampir saja dia bertanya, Apa kau yakin? Tapi yang keluar dari mulutnya justru, Selamat, sebelum ia buru-buru pergi, menjauh dari tatapan Emily.Lucas tidak ingin wajahnya menunjukkan sesuatu yang bisa disalahartikan.Namun, meski sudah berjalan cukup jauh, pikirannya tetap dipenuhi dengan kata-kata Emily. Ia menyesali keputusannya mendekati bangku taman tadi. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan Emily dan teman-temannya dari tatapan orang-orang sekitar yang mulai terganggu oleh teriakan mereka yang histeris. Bahkan, seorang Ms. Huang—profesor mereka—sempat bertanya pada Lucas apakah Emily dan
Warning! 18+***Derap langkah cepat menyadarkan aktivitas Emily saat ini. Dia masih merapikan sisa makanan di meja, matanya sesekali melirik jam di dinding yang menunjukkan angka lima. Sudah dua jam sejak Lucas pergi, tetapi sisa kehadirannya masih terasa—entah dari wangi parfumnya yang samar atau kenangan obrolan siang tadi yang terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan candaan, sesuatu yang selama ini terasa mustahil terjadi antara mereka.Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Emily. Liam masuk dengan langkah berat, wajahnya tampak lelah dan sedikit kusut, seolah beban dunia ada di pundaknya. Tanpa ragu, dia meletakkan tas, handphone, kunci, dan dompetnya di atas meja yang baru saja Emily bersihkan."Liam, jangan taruh barangmu di at—"Sebelum Emily bisa menyelesaikan kalimatnya, Liam sudah menarik tengkuknya dan menyapukan bibirnya ke bibir Emily dengan penuh gairah. Emily terkejut, tetapi dia merasakan sesua
Bunyi ketukan keyboard memenuhi ruang kerja Lucas di kampus CalArt. Di tengah kesibukannya menyusun laporan mingguan yang harus ia serahkan kepada Ms. Huang sore ini, pikirannya justru berkelana ke tempat lain.Ia masih mengingat percakapan telepon dengan Liam pagi tadi—tepat saat Lucas masih terlelap. Liam bertanya, “Makanan apa yang baik untuk orang sakit?”Lucas menjawab tanpa berpikir panjang. Bubur. Tentu saja, bukankah itu makanan standar bagi orang yang sedang sakit?Namun setelah telepon itu berakhir, pertanyaan lain mulai merayapi pikirannya. Siapa yang sakit?Liam adalah seorang workaholic kelas berat. Jika sampai ia mengambil cuti kerja, pasti orang itu bukan sembarang orang. Satu nama terlintas di benaknya.Emily.Lucas menggeleng, mencoba menepis pikiran itu. Tapi semakin ia mengusirnya, semakin kuat bayangan itu menghantuinya.Apakah Emily jatuh sakit karena dirinya kemarin? Atau memang dia sering sakit-sakitan? Tidak mungkin. Emily bukan tipe yang lemah. Ia bahkan masih
Gemericik air memenuhi dapur, berpadu dengan dentingan halus peralatan masak yang saling bersentuhan.Emily berdiri di depan wastafel, kedua tangannya sibuk mencuci teflon yang baru saja ia gunakan. Matanya sedikit sayu, tubuhnya masih lemah, tetapi setidaknya ia merasa jauh lebih baik dibanding tadi malam.Dan yang terpenting—ia lapar.Bubur yang Liam berikan sejak tadi malam memang cukup untuk membuatnya bertahan, tetapi tidak cukup untuk memuaskan perutnya yang kini menuntut lebih. Ia butuh sesuatu yang lebih mengenyangkan—protein, karbohidrat, sesuatu yang benar-benar terasa seperti makanan.Namun bukan hanya untuk dirinya sendiri.Dengan infus yang masih terpasang di tangan, Emily menggantung teflon dengan sangat hati-hati. Di balik rasa laparnya, ada perasaan lain yang menyelimutinya—rasa bersalah.Liam tidak pantas diperlakukan seperti kemarin.Laki-laki itu tidak tahu apa-apa, tetapi Emily justru mengabaikannya.Bahkan saat ia berkali-kali menolak berbicara, Liam tetap di sisi