Share

CHAPTER FOUR

Penulis: Kowalska
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-11 18:54:05

Gemericik air memenuhi dapur, berpadu dengan dentingan halus peralatan masak yang saling bersentuhan.

Emily berdiri di depan wastafel, kedua tangannya sibuk mencuci teflon yang baru saja ia gunakan. Matanya sedikit sayu, tubuhnya masih lemah, tetapi setidaknya ia merasa jauh lebih baik dibanding tadi malam.

Dan yang terpenting—ia lapar.

Bubur yang Liam berikan sejak tadi malam memang cukup untuk membuatnya bertahan, tetapi tidak cukup untuk memuaskan perutnya yang kini menuntut lebih. Ia butuh sesuatu yang lebih mengenyangkan—protein, karbohidrat, sesuatu yang benar-benar terasa seperti makanan.

Namun bukan hanya untuk dirinya sendiri.

Dengan infus yang masih terpasang di tangan, Emily menggantung teflon dengan sangat hati-hati. Di balik rasa laparnya, ada perasaan lain yang menyelimutinya—rasa bersalah.

Liam tidak pantas diperlakukan seperti kemarin.

Laki-laki itu tidak tahu apa-apa, tetapi Emily justru mengabaikannya.

Bahkan saat ia berkali-kali menolak berbicara, Liam tetap di sisinya. Tetap merawatnya. Tetap berjaga di sampingnya, mengompres dahinya, memastikan Emily tetap hangat di tengah demamnya yang tinggi.

Dan hingga pagi ini, Liam masih ada di sini.

Saat Emily terbangun tadi, sosok itu masih berada di sampingnya—tertidur dalam posisi duduk di lantai, kepalanya bersandar di kasur. Kemeja putih kerjanya masih sama seperti kemarin, sedikit kusut dan lekat di tubuhnya, tanda bahwa ia benar-benar mengorbankan waktu istirahatnya untuk menjaga Emily.

Emily menggigit bibirnya pelan.

Setidaknya, ia bisa melakukan sesuatu sebagai bentuk terima kasih.

Setelah menyelesaikan makannya sendiri, ia mulai menghias mac and cheese yang telah ia siapkan untuk Liam. Ia ingin membuatnya sesempurna mungkin.

Dengan hati-hati, ia mengambil piring itu dan membawa ke lantai atas, satu tangannya menarik tiang infus yang masih menggantung.

Setibanya di kamar, ia memutar kenop pintu dengan pelan.

Liam masih tertidur.

Sosoknya terbaring di atas kasur dengan posisi miring, satu lengannya tergeletak di atas perutnya. Napasnya teratur, wajahnya tampak lelah, tetapi tetap saja—Liam selalu terlihat menenangkan.

Emily tersenyum kecil, lalu mendekat.

"Liam, bangunlah. Aku memasak sesuatu untukmu," ujarnya lembut, tangannya menyentuh pundak pria itu.

Liam bergeming sejenak sebelum akhirnya mengerjapkan mata. Ia mengusap wajahnya dengan tangannya, masih setengah sadar, sebelum akhirnya menatap Emily dengan ekspresi sedikit terkejut.

"Hei... Kau sudah bangun? Dan... kau memasak?" suaranya masih serak, penuh ketidakpercayaan. "Ya ampun, Em, kau bisa saja memesan makanan kalau kau lapar. Bagaimana kalau kau jatuh sakit lagi?"

Emily menunduk, suaranya pelan. "Maafkan aku..."

Liam menghela napas, kini sepenuhnya terjaga. Ia menatap Emily dengan penuh perhatian, berusaha memahami apa yang dipikirkannya.

"Aku hanya takut kau sakit lagi, Em. Bukan maksudku melarangmu memasak," katanya sambil mengusap lembut kepala gadis itu.

Emily menggeleng. "Maksudku bukan itu, Liam."

Liam mengerutkan kening. "Huh?"

Emily menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menatapnya dengan mata penuh penyesalan. "Aku minta maaf... karena sikapku yang menyebalkan kemarin. Maaf sudah mengabaikanmu seharian. Padahal kau juga baru pulang kerja."

Liam terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa kecil sebelum akhirnya menarik Emily ke dalam pelukannya.

Emily membiarkan dirinya terjebak dalam dekapan itu selama beberapa saat, menikmati kehangatan yang selalu Liam berikan. Namun, ia masih belum puas.

Dengan suara manja, ia berujar, "Berjanjilah kau tidak marah, Liam. Katakan kalau kau memaafkanku!"

Ia memanyunkan bibirnya, menatap Liam dengan ekspresi yang ia tahu pasti tidak bisa ditolak laki-laki itu.

Dan benar saja.

Liam kembali tertawa, suaranya berat namun penuh kehangatan. Dengan satu tarikan lembut, ia menarik Emily lebih dekat ke dadanya.

"Yang aku butuhkan hanya kau sehat, Em." Bisiknya. "Aku tidak masalah kau mengabaikanku, selama kau masih mencintaiku. Lagipula... memang kau selalu marah-marah denganku, bukan?"

Emily tertawa pelan, lalu memukul pelan punggung Liam. "Jadi kau memaafkanku, kan?"

Liam mengangguk dalam pelukan Emily, suaranya terdengar lembut dan penuh kepastian.

"Always, Em."

***

Pagi itu masih terlalu dini.

Jarum jam baru saja menunjuk angka 7, tetapi Liam sudah sepenuhnya siap dengan setelan jasnya. Dasi sudah terpasang rapi, rambutnya tersisir sempurna, dan aroma parfum maskulin samar-samar memenuhi kamar. Ia berdiri di depan cermin, memastikan penampilannya, sebelum menoleh ke ranjang di belakangnya.

Emily baru saja terbangun, matanya masih berat, helaan napasnya panjang, seakan ingin protes karena mendapati tempat di sebelahnya kosong. Dengan suara serak khas orang baru bangun, ia menggumam.

“Kenapa kau sudah bersiap, Liam? Ini masih pagi sekali... Bahkan anak sekolah pun masih nyenyak dalam tidurnya.”

Ia mengulurkan tangan, menepuk sisi kasur yang semalam ditempati Liam. “Bisakah kau kembali ke sini?” Liam tersenyum kecil, berjalan mendekat, lalu menangkup wajah Emily sebelum mencium bibirnya dengan lembut.

“Sayang, kau lupa? Kemarin aku mengambil cuti karena kau sakit. Padahal belum genap seminggu aku bekerja di perusahaan.”

Seketika itu juga, Emily memasang wajah cemberut. Ia merasa bersalah—ia yang menjadi alasan Liam mengambil cuti kemarin.

“Tapi aku masih merindukanmu.” Ia mengalungkan tangannya ke leher Liam, berusaha menariknya kembali ke kasur. “Bisakah kau cuti lagi? Bukankah ini perusahaanmu? Kau bisa melakukan apa saja, bukan?”

Namun sia-sia. Badan Liam jauh lebih besar dan kuat darinya. Tarikan Emily tidak ada artinya.

Liam terkekeh, lalu menunduk untuk mengecup keningnya. “Babe, we will meet again this afternoon, okay? And you can do whatever you like with me.” Ia tersenyum menggoda. “Kau tidak ingin perusahaan ini bangkrut, kan? Bagaimana kalau absennya aku dalam meeting hari ini menyebabkan kerugian besar?”

Ia kembali menciumi wajah Emily—di pipi, di dahi, bahkan di ujung hidungnya.

Namun Emily tetap merengut.

“Aku juga ingin menghabiskan waktu lebih lama denganmu, Em,” suara Liam terdengar lebih lembut kali ini, lebih serius. “Tapi tanggung jawab ini terlalu besar untuk aku abaikan. Aku janji akan pulang secepatnya setelah urusan ini selesai.”

Emily terdiam. Entah kenapa, pagi ini ia benar-benar ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Liam. Ada perasaan rindu yang bahkan belum sempat ia hilangkan sejak kemarin. Namun, apa daya? Pekerjaan selalu jadi penghalang mereka.

Akhirnya, Emily mengangguk lemah.

Liam tersenyum puas, lalu menangkup wajah Emily sekali lagi sebelum mengecup dahinya. “Be good, okay?”

Emily hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu. Dan yang tersisa kini hanya keheningan.

***

Suara bel apartemen berbunyi nyaring, membangunkan Emily dari tidur siangnya.

Ia menggeliat pelan di bawah selimut, enggan membuka mata. Sejak Liam pergi ke kantor tadi pagi, ia memutuskan untuk kembali tidur—hari ini tidak ada kelas, tidak ada jadwal, tidak ada kewajiban. Hanya kasur empuk milik Liam yang seakan menahannya untuk terus terlelap.

Tapi suara bel itu berbunyi lagi. Dua kali.

Emily menghela napas panjang. Dengan malas, ia akhirnya bangkit dari kasur, menuruni tangga menuju lantai bawah.

Tanpa berpikir panjang, ia meraih kenop pintu dan langsung membukanya.

Samar-samar, ia melihat sosok pria berdiri di ambang pintu. Bau parfum yang familiar menguar di udara, menyengat dan menggoda. Saat matanya mengerjap beberapa kali, kesadarannya langsung menghantam keras.

Lucas Morrow?

“Hai, Em—”

Brak!

Emily langsung menutup pintu dengan cepat. Napasnya tertahan. Lucas? Untuk apa dia di sini siang-siang begini?!

Ia berbalik, melihat pantulan dirinya di cermin yang tergantung di hallway. Astaga.

Ia hanya mengenakan kaus putih besar milik Liam—yang terlalu longgar di tubuhnya—dan… celana dalam. Tanpa bra. Payudaranya samar-samar terlihat di balik kain tipis itu.

Apakah Lucas melihatnya barusan?!

Rasa malu dan kesal bercampur aduk dalam dirinya. Dia harus diusir. Sekarang juga.

Namun, sebelum Emily sempat mengumpulkan keberanian untuk mengusir Lucas, suara ketukan terdengar dari pintu.

“Em, ada suatu hal yang perlu aku lakukan. Bukalah pintunya.”

Emily menggertakkan giginya. Ia melangkah mendekat ujung pintu, lalu membuka pintu sedikit—cukup hanya untuk memperlihatkan matanya yang mengintip dari balik celah.

“Berikan aku waktu lima menit,” bisik Emily cepat, sebelum buru-buru berlari ke kamar, meraih bra yang tercecer di lantai serta mengenakannya dengan gerakan terburu-buru.

Ketika akhirnya ia turun kembali, Lucas sudah duduk santai di kursi kitchen island. Emily menyilangkan tangan di dadanya. “Ada perlu apa ke sini?” tanyanya dengan nada ketus.

Lucas hanya mengangkat kantong kertas di tangannya. “Aku mengembalikan sepatu basket Liam yang kupinjam kemarin.”

Emily mengangguk pelan. “Taruh saja di rak sepatu, di ujung hallway. Kalau sudah tidak ada urusan lain, kau tahu cara menutup pintu, kan?” Ia berbalik, hendak kembali ke atas.

“Kudengar kau sakit? Apakah sudah baikan?” ucap Lucas untuk menahan Emily.

Emily memutar tubuhnya dan menatap Lucas dengan raut curiga.

Lucas tidak menunjukkan ekspresi bercanda atau meremehkan. Tatapannya serius, dan itu membuat Emily semakin bingung. Sejak kapan Lucas benar-benar peduli?

Ia menghela napas, mencoba menepis pertanyaan yang mulai mengganggu pikirannya. “Peduli apa kau, aku sakit atau tidak?”

Lucas mengangkat bahu. “Aku hanya berbaik hati menanyakan keadaanmu. Tapi sepertinya kau selalu berusaha untuk bertengkar denganku.”

“Cih. Berbaik hati? Sejak kapan Lucas Morrow berusaha baik padaku? Pulanglah. Aku tidak ingin melihat mukamu hari ini.” Kali ini, Emily berusaha meninggalkan Lucas Kembali. Namun, sebelum ia bisa menjauh, Lucas meraih pergelangan tangannya.

Emily menoleh cepat, matanya menyipit. “Lepaskan.”

Alih-alih menurut, Lucas justru mengangkat paper bag yang masih ia pegang, menyorongkannya ke arah Emily.

“Aku membelikanmu makan siang.”

Emily mengerutkan dahi, masih mencoba menepis genggaman Lucas. “Dan kenapa aku harus menerimanya?”

Lucas tidak segera menjawab, hanya menghela napas. “Liam bilang kau sering lupa makan. Dia memintaku mampir untuk memastikan kau makan dengan benar. Kudengar kau menyukai makanan Mexico”

Emily terdiam sejenak. Tatapannya beralih ke kantong kertas di tangan Lucas, lalu kembali menatap wajah pria itu. Lucas tidak menjawab. Ia hanya menyorongkan kantong makan siang itu lebih dekat ke arah Emily.

Emily akhirnya menarik paper bag itu dari tangan Lucas. Ia membukanya, mendapati tacos dan burritos di dalamnya. Bukan hanya satu porsi, tapi dua.

“Kau membelinya terlalu banyak,” desisnya.

Lucas menyandarkan punggungnya ke kursi. “Jaga-jaga kalau kau masih lapar.”

Emily menghela napas. “Kalau begitu, kau juga makan. Aku tidak akan habis sendirian. Lagipula, Liam tidak terlalu suka makanan Mexico.”

Ia meletakkan kantong makanan di atas kitchen island, lalu bangkit untuk mengambil piring di rak atas. Namun, tinggi rak itu membuatnya kesulitan menjangkau. Ia berjinjit, tangannya menggapai-gapai, tapi tetap tidak sampai.

Tiba-tiba, sebuah kehangatan muncul di belakangnya. Dada bidang Lucas menyentuh punggungnya.

“Biar aku bantu.”

Tangannya dengan mudah meraih dua piring, lalu menyerahkannya ke Emily. Emily terpaku sejenak. Lucas terlalu baik hari ini. Ada sesuatu yang berubah darinya, dan ia tidak tahu apakah ia menyukainya atau tidak.

Ia berdeham, mencoba menghilangkan keheningan yang terasa ganjil. “Aku mau mandi dulu. Kau makan saja dulu. Aku menyusul.” Tanpa menunggu jawaban, Emily berbalik dan buru-buru naik ke lantai atas. Detak jantungnya masih belum kembali normal.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIFTY FOUR

    Hari itu seharusnya menjadi hari paling membahagiakan dalam hidup Emily Grace Mitchell. Tapi di ruang tunggu pengantin wanita—yang terasa lebih seperti ruang isolasi daripada tempat bersiap menuju altar—Emily hanya duduk terpaku, menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun putih gading itu membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk lembut kehamilannya yang masih samar. Namun, yang terpancar dari matanya bukanlah kebahagiaan. Melainkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.Pintu ruangan terbuka perlahan. Ibunya masuk, membawa serta aroma kekhawatiran yang tak bisa disamarkan.“Emily…” ucapnya lembut, sebelum duduk di samping putrinya dan menggenggam tangannya erat. “Kamu tahu, tidak ada kata terlambat untuk mundur.”Emily menoleh, mata hazelnya membelalak pelan. “Mom, please…”“Aku serius,” lanjut sang ibu dengan suara penuh empati. “Kamu bisa membatalkan ini. Aku akan tetap di sisimu, apapun yang terjadi. Jangan merasa harus melangkah hanya karena semua orang sudah menunggu

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIFTY THREE

    Lucas berhenti mendadak. Langkahnya membeku di tengah derasnya hujan ketika matanya menangkap sosok itu—berdiri mematung di trotoar seberang jalan. Meskipun lampu jalan hanya berpendar samar di antara kabut dan embun malam, Lucas tahu betul siapa yang ada di sana.Tanpa berpikir panjang, ia menyeberang. Air hujan memercik di sekitar kakinya, menampar wajahnya yang dingin. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun sampai akhirnya ia tiba di hadapan Emily.Tanpa sepatah kata, Lucas langsung menggenggam tangan perempuan itu—erat, hampir tergesa. Emily terperanjat.“Lucas? Why—”“Kenapa kau bertelanjang kaki?! Kau pikir kakimu terbuat dari batu?!” bentaknya tiba-tiba, suara seraknya membelah derasnya hujan.Emily terdiam. Ia menatap Lucas dengan mata membulat, terkejut sekaligus bingung. Tapi justru dari nada keras itu, sesuatu dalam dirinya runtuh perlahan. Matanya memanas. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.Lucas berlutut di hadapannya tanpa berkata apa-ap

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIFTY TWO

    Langit tampak mendung sejak pagi, seolah ikut mencerminkan kekacauan dalam kepala Emily. Sudah seminggu sejak kejadian di apartemen Liam malam itu, dan sejak itu pula mereka tak lagi saling menghubungi. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Emily hanya mendapat kabar dari ibu Liam atau dari ibunya sendiri, kebanyakan soal teknis pernikahan mereka.Dan hari ini—sehari sebelum hari pernikahan.Tapi yang membuat Emily gelisah bukan hanya soal Liam yang menghilang tanpa kabar. Yang membuat dadanya sesak adalah tentang janin di dalam rahimnya. Apakah ia harus memberitahu Lucas? Haruskah ia menyimpan semuanya sendiri? Atau... haruskah ia menghentikan semua sandiwara ini? Pernikahan, rencana masa depan, kebohongan yang ia tutupi dengan senyum?Sial. Kepalanya terasa seperti akan pecah.Di dalam apartemen yang sebentar lagi akan ia tinggalkan, Emily sedang sibuk mengemasi pakaiannya diatas lantai apartemenya. Jemarinya bergerak cepat, tapi pikirannya jauh. Terlalu jauh dari apa pun yang sedang i

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIFTY ONE

    Liam dan Emily kembali ke apartemen Liam setelah makan malam keluarga yang berakhir kacau. Begitu pintu terbuka, Liam melempar jasnya ke sofa dengan gerakan tergesa. Napasnya memburu, tubuhnya dipenuhi amarah yang tertahan sejak tadi. Ia langsung jatuh duduk, wajahnya terkubur di antara kedua tangannya.Emily yang menyaksikan itu hanya berdiri beberapa detik, ragu. Ia kemudian duduk di sebelah Liam, mengangkat tangannya hendak mengusap punggung pria itu, tapi ia mengurungkannya. Hatinya terasa sesak.“Liam… maaf. Aku—aku benar-benar minta maaf karena semuanya jadi berantakan.”“It’s not your fault, Em,” ucap Liam tanpa menoleh.Emily menggigit bibir bawahnya. “Aku berharap bisa memutar waktu sebelum semua ini terjadi…”Liam mengangkat wajahnya, kemudian bangkit dan mulai berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Emily ikut berdiri dan mencoba mendekat, lalu melingkarkan lengannya ke tubuh Liam dari samping, berusaha menenangkannya.“Em… aku tidak tahu harus bagaimana.” Suara Liam terdeng

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIFTY

    Malam itu, angin berembus cukup kencang, membawa aroma lembap dari taman di sekitar mansion keluarga Harris.Emily turun dari mobil bersama ibunya, langkahnya terasa berat saat sepatu haknya menyentuh pelataran batu yang dingin. Jantungnya berdegup cepat. Sejak tadi, ia terus mengecek ponselnya—berkali-kali—berharap ada pesan masuk dari Liam.Namun layar itu tetap kosong.Sejak pertengkaran mereka kemarin, Emily belum berhasil menghubungi Liam. Tak ada satu pun panggilan atau pesan yang dibalas. Ia menunggu sepanjang malam, tapi nihil. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, berharap tidak ada hal buruk yang terjadi pada pria itu.“Em, kau siap?” suara Eleanor memecah keheningan malam ketika ia menutup pintu mobil. “Kamu menunggu kabar siapa? Sejak tadi sore, kamu terus memandangi ponselmu.”Emily tertegun sesaat, lalu tersenyum kecil. “Tidak, aku hanya gugup,” jawabnya pelan. Ia berjalan bersama ibunya menaiki tangga teras mansion.Eleanor menghela napas lembut, kemudian berbalik mengh

  • Emily'S Lover   CHAPTER FOURTY NINE

    *Lima Tahun Lalu - University of California, Open House*Siang itu matahari menyengat, namun halaman kampus tetap ramai. Musik dari panggung kecil menyatu dengan suara ramai pengunjung dan mahasiswa. Spanduk warna-warni tergantung di setiap tenda. Liam, dengan kaus fakultas dan topi terbalik di kepala, sibuk menyiapkan booth jurusan bisnis bersama beberapa teman.“Hei, Liam!” teriak kakak tingkat dari seberang. “Roll-up banner-nya ketinggalan. Can you get it from the assembly room?”“Third floor?”“Yup. Also, the brochure box. Thank you!”Liam mengangguk, menyeka keringat dari keningnya, lalu segera menuju gedung fakultas bisnis yang berdiri tak jauh dari lapangan tenis tempat open house berlangsung.Di sisi lain, Emily berjalan berdampingan dengan ayahnya, Joshua, sambil melihat-lihat brosur dari booth yang baru saja mereka kunjungi.“Kamu yakin ingin kuliah di sini?” tanya Joshua, matanya menyapu sekeliling kampus.Emily mengangguk kecil, senyum menggantung di wajahnya. “Sepertinya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status