MasukThe world is filled with hypocrites—yes, hypocrites. And I am one of them, a traitor to the heart that once held me dear. What am I to do when the one who is not mine, Is the only one I long to call my own? - Emily Grace Mitchel Emily Grace Mitchel, seorang gadis yang akan menginjak semester akhir di California Institute of the Arts. Awalnya hidupnya benar-benar indah saat bertemu dengan kekasih pujaan hatinya, Liam Harris si pewaris tahta Celestial Groups. Namun, segalanya berputar 180 derajat saat ia bertemu Lucas, sepupu Liam yang notabenenya adalah playboy nomor 1 dari Harris Family. Hidupnya, sikapnya bahkan hatinya! Sial, Lucas mengacaukan segalanya!
Lihat lebih banyakSore itu, semilir angin memainkan helaian rambut yang jatuh di wajah Emily, yang tengah bersiap memasuki ballroom perayaan 15 tahun Harris Corporation. Dengan sedikit gugup, Emily meraih lengan kiri Liam—kekasih yang baru dikenalnya beberapa bulan lalu—sambil menaiki tangga dan mengangkat sedikit gaun maxi berwarna peach yang membalut tubuhnya anggun.
Mereka menghadiri pesta keluarga Liam di mansion utama keluarga Harris, di jantung kota San Diego.
“Liam, aku gugup sekali.”
“It’s fine, Em. Kau terlihat cantik. Percayalah, mereka hanya akan memperhatikan aku. Pesta ini diadakan hanya demi gengsi keluargaku,” ujar Liam sambil menatap Emily dan tersenyum lembut.
“Benarkah? Bagaimana kalau mereka tidak menyukaiku?” Emily bertanya dengan nada khawatir.
Liam hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Sejujurnya, terlalu banyak hal yang ditakutkan Emily saat ini. Mulai dari bagaimana ia harus bersikap di depan keluarga besar Liam yang belum pernah ia temui sebelumnya. Pesta ini bukan sekadar perayaan ulang tahun ke-15 Harris Corporation—perusahaan keluarga Liam yang bergerak di bidang seni dan fashion—tetapi juga momen perkenalan Liam sebagai satu-satunya penerus utama perusahaan kepada para kolega orang tuanya.
“Liam! There you are! Mommy mencarimu dari tadi. Kenapa baru datang?”
Suara lembut seorang wanita paruh baya menyadarkan Emily dari lamunannya. Camila Vergara, ibu Liam, berdiri di depannya dengan senyum hangat. Wajahnya yang begitu mirip dengan Liam—seperti versi perempuan dari putranya. Rambut coklatnya yang terurai terlihat rapi, dengan beberapa helai rambut putih yang justru menambah kesan elegan. Meski usianya sudah lima puluhan, kecantikan alaminya tetap terpancar jelas melalui mata birunya.
Dengan gerakan lembut, Camila menyapa Emily dan mengusap punggung tangannya. Sentuhannya terasa hangat dan menenangkan, seperti seorang ibu yang menyambut anak sendiri.
“Jadi ini gadis yang selalu Liam bicarakan setiap hari? No wonder he was so fascinated by you. Aku sendiri, baru pertama kali melihatmu, sudah terpesona,” ujar Camila dengan senyum hangat.
Emily merasakan dadanya menghangat, perasaan campur aduk yang sedari tadi menggelayutinya sedikit mereda. Ia tersenyum tipis, menoleh ke arah Liam. Liam membalas tatapannya, mengangkat alis dengan ekspresi yang seakan berkata, jangan dengarkan ibuku.
“Oh, Mrs. Harris, Anda terlalu baik memuji saya seperti itu,” jawab Emily sopan. Jujur saja, dibandingkan Camila yang memiliki kecantikan klasik dengan rambut brunette bercampur pirangnya yang elegan, tidak heran dari mana Liam mewarisi ketampanannya.
Camila tertawa kecil, lalu meraih lengan Emily. “Ayo, aku harus memperkenalkanmu pada teman-temanku.”
Emily terperangah, matanya meminta pertolongan pada Liam. Tapi tentu saja, Liam tak bisa berbuat apa-apa. Sekali tuan rumah sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak.
Saat Emily dibawa Camila menuju sekumpulan wanita, Liam mengalihkan perhatiannya ke sosok yang berdiri di seberang ruangan. Leonard Harris, ayahnya, tengah mengobrol dengan beberapa kolega bisnis, namun tatapan tajamnya sesekali mengarah pada Liam. Memahami isyarat itu, Liam berjalan menghampiri mereka, menjulurkan tangan untuk menyapa para rekan kerjanya.
“So this is your son, Leo? How handsome he is!” puji seorang pria tua berkacamata tebal dengan rambut putih.
“Liam, kenalkan, ini Mr. Pervey, salah satu investor utama perusahaan kita.”
“Hello, Mr. Pervey. Terima kasih sudah hadir di acara ini,” sapa Liam sopan.
Dari kejauhan, Emily memperhatikan Liam yang tampak begitu percaya diri berbincang dengan kolega ayahnya. Sementara itu, Camila telah tenggelam dalam obrolan dengan teman-temannya, yang bagi Emily terdengar terlalu kompleks untuk dimengerti. Perlahan, ia memundurkan langkah, lalu berjalan menuju seorang pramusaji yang membawa nampan berisi gelas-gelas sampanye. Emily mengambil satu, menyesapnya perlahan, sebelum berjalan menuju balkon di lantai atas.
Dari sana, ia menatap ballroom luas yang dipenuhi ratusan orang dengan gemerlap lampu kristal menggantung di langit-langit. Emily tidak pernah menghadiri pesta semewah ini. Satu-satunya acara besar yang pernah ia hadiri hanyalah pesta penyambutan mahasiswa di kampusnya dulu. Lahir dari keluarga berkecukupan tidak berarti ia terbiasa dengan pesta bernilai jutaan dolar seperti ini.
Emily terkejut saat merasakan sepasang tangan menyelip di pinggangnya. Jantungnya berdebar, namun segera ia sadari bahwa itu adalah Liam.
“Kenapa kamu sendiri di sini?” bisik Liam, menyandarkan wajahnya di bahu terbuka Emily.
Demi Tuhan, Liam menyukai aroma khas gadis itu. Tidak menyengat, hanya ada jejak wangi floral bercampur buah jeruk yang samar. Ia tak tahu bagaimana mendeskripsikan aroma Emily, tetapi ia menyukainya.
“Aku hanya butuh udara segar. Bagaimana kamu menemukanku?”
Liam terkekeh. “Semua orang ada di bawah, Em. Hanya kamu yang berdiri sendirian di sini.”
Emily tersenyum kecil, lalu salah satu tangannya yang kosong mengusap lembut lengan Liam di perutnya. Sebelum ia sempat menjawab, Liam kembali berbisik.
“Ayo, aku ingin mengenalkanmu pada keluarga besarku.” Ucapnya sambil menarik lengan Emily perlahan.
Tak lama kemudian, Emily sudah dikelilingi oleh beberapa orang baru. Seorang wanita muda berusia dua puluhan dengan gaun biru beraksen bunga menjulurkan tangan, mengajaknya bersalaman. Cantik, batin Emily saat pertama kali melihat wajah wanita tersebut.
“Renata Morrow,” katanya ramah. “Aku sepupunya Liam.”
Emily membalas jabatan tangannya, lalu memperkenalkan diri. Setelahnya, ia disambut oleh lebih banyak kerabat Liam yang Emily tahu bahwa mereka sudah saudara jauh Liam, diajukan berbagai pertanyaan seputar pekerjaannya, usianya, hingga latar belakang keluarganya.
Namun tiba-tiba, Renata mengalihkan obrolan dan wajahnya berubah menjadi kesal dalam sepesekian detik, matanya melotot kesal ke arah seseorang. “Lihat itu! Anak itu memang tak bisa diatur! Emily, kamu harus hati-hati dengannya kalau sudah masuk keluarga kami! Lucas!”
Emily menoleh mengikuti arah yang ditunjukkan Renata. Seorang pria muda memasuki ruangan, mengambil segelas sampanye dengan santai. Ia berbeda dari semua orang di ruangan ini—tidak mengenakan jas, hanya kaos putih dan jeans. Rambutnya sedikit berantakan, sikapnya cuek seolah tak peduli dengan pesta ini. Renata berjalan cepat dengan tatapan kesal, mengangkat clutch di tangannya seolah ingin melemparnya ke pria itu. Lucas hanya memutar matanya malas, lalu berlari kecil menghindarinya.
Liam tertawa kecil. “Itu Lucas, satu-satunya sepupu laki-lakiku.”
Emily masih mencoba melihat lebih jelas wajah pria itu. Saat akhirnya pandangan mereka bertemu, Lucas mengangkat sudut bibirnya dengan seringainya. Emily menyipitkan mata, mengernyit. Ada sesuatu yang aneh tentang pria itu. Sesuatu yang membuatnya waspada.
Freak, pikir Emily dalam hati.
“It's enough, Ren. No one can catch him,” ujar Liam sambil tersenyum dan sedikit menaikkan nada bicaranya. Tanpa sadar, di sebelah kiri bahu Liam, sudah muncul lagi kepala Renata.
“Sepertinya aku perlu menyudahi perkenalan ini Liam," bisik Emily ditelinga Liam yang tanpa sadar dia sedang menahan untuk buang air kecil. Dia terkekeh sebelum akhirnya berpamitan menuju toilet setelah Liam menganggukinya.
Emily berlari kecil dengan balutan maxi dress yang mengurangi fleksibilitasnya menju bilik diujung ballroom tersebut. Segala design interior dimansion ini terlalu mewah batin Emily. Hampir saja dia tersasar menuju kamar mandi. Dan beberapa menit kemudian, Emily melangkahkan kaki keluar dari bilik. Hingga suara seseorang yang bersandar di tembok samping menyadarkan lamunan Emily.
“Emily, kan?” suara rendah seorang pria menyapanya.
Emily tersentak dan menoleh cepat. Lucas bersandar di dinding, memegang segelas sampanye, menatapnya tajam dengan mata coklat terangnya yang berkilat penuh misteri.
"Lucas?" jawab Emily sambil bertanya-tanya, apakah benar yang ia ajak ngobrol adalah lelaki itu.
“Well, I’m famous, right?” ucap Lucas sambil menyeringai. “Kau sudah tahu namaku, bahkan sebelum aku menyebutkannya.”
Emily terdiam, menatapnya lekat-lekat.
Saat itu, ia belum menyadari bahwa tatapan coklat terang itu akan mengubah hidupnya selamanya.
Hari itu seharusnya menjadi hari paling membahagiakan dalam hidup Emily Grace Mitchell. Tapi di ruang tunggu pengantin wanita—yang terasa lebih seperti ruang isolasi daripada tempat bersiap menuju altar—Emily hanya duduk terpaku, menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun putih gading itu membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk lembut kehamilannya yang masih samar. Namun, yang terpancar dari matanya bukanlah kebahagiaan. Melainkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.Pintu ruangan terbuka perlahan. Ibunya masuk, membawa serta aroma kekhawatiran yang tak bisa disamarkan.“Emily…” ucapnya lembut, sebelum duduk di samping putrinya dan menggenggam tangannya erat. “Kamu tahu, tidak ada kata terlambat untuk mundur.”Emily menoleh, mata hazelnya membelalak pelan. “Mom, please…”“Aku serius,” lanjut sang ibu dengan suara penuh empati. “Kamu bisa membatalkan ini. Aku akan tetap di sisimu, apapun yang terjadi. Jangan merasa harus melangkah hanya karena semua orang sudah menunggu
Lucas berhenti mendadak. Langkahnya membeku di tengah derasnya hujan ketika matanya menangkap sosok itu—berdiri mematung di trotoar seberang jalan. Meskipun lampu jalan hanya berpendar samar di antara kabut dan embun malam, Lucas tahu betul siapa yang ada di sana.Tanpa berpikir panjang, ia menyeberang. Air hujan memercik di sekitar kakinya, menampar wajahnya yang dingin. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun sampai akhirnya ia tiba di hadapan Emily.Tanpa sepatah kata, Lucas langsung menggenggam tangan perempuan itu—erat, hampir tergesa. Emily terperanjat.“Lucas? Why—”“Kenapa kau bertelanjang kaki?! Kau pikir kakimu terbuat dari batu?!” bentaknya tiba-tiba, suara seraknya membelah derasnya hujan.Emily terdiam. Ia menatap Lucas dengan mata membulat, terkejut sekaligus bingung. Tapi justru dari nada keras itu, sesuatu dalam dirinya runtuh perlahan. Matanya memanas. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.Lucas berlutut di hadapannya tanpa berkata apa-ap
Langit tampak mendung sejak pagi, seolah ikut mencerminkan kekacauan dalam kepala Emily. Sudah seminggu sejak kejadian di apartemen Liam malam itu, dan sejak itu pula mereka tak lagi saling menghubungi. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Emily hanya mendapat kabar dari ibu Liam atau dari ibunya sendiri, kebanyakan soal teknis pernikahan mereka.Dan hari ini—sehari sebelum hari pernikahan.Tapi yang membuat Emily gelisah bukan hanya soal Liam yang menghilang tanpa kabar. Yang membuat dadanya sesak adalah tentang janin di dalam rahimnya. Apakah ia harus memberitahu Lucas? Haruskah ia menyimpan semuanya sendiri? Atau... haruskah ia menghentikan semua sandiwara ini? Pernikahan, rencana masa depan, kebohongan yang ia tutupi dengan senyum?Sial. Kepalanya terasa seperti akan pecah.Di dalam apartemen yang sebentar lagi akan ia tinggalkan, Emily sedang sibuk mengemasi pakaiannya diatas lantai apartemenya. Jemarinya bergerak cepat, tapi pikirannya jauh. Terlalu jauh dari apa pun yang sedang i
Liam dan Emily kembali ke apartemen Liam setelah makan malam keluarga yang berakhir kacau. Begitu pintu terbuka, Liam melempar jasnya ke sofa dengan gerakan tergesa. Napasnya memburu, tubuhnya dipenuhi amarah yang tertahan sejak tadi. Ia langsung jatuh duduk, wajahnya terkubur di antara kedua tangannya.Emily yang menyaksikan itu hanya berdiri beberapa detik, ragu. Ia kemudian duduk di sebelah Liam, mengangkat tangannya hendak mengusap punggung pria itu, tapi ia mengurungkannya. Hatinya terasa sesak.“Liam… maaf. Aku—aku benar-benar minta maaf karena semuanya jadi berantakan.”“It’s not your fault, Em,” ucap Liam tanpa menoleh.Emily menggigit bibir bawahnya. “Aku berharap bisa memutar waktu sebelum semua ini terjadi…”Liam mengangkat wajahnya, kemudian bangkit dan mulai berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Emily ikut berdiri dan mencoba mendekat, lalu melingkarkan lengannya ke tubuh Liam dari samping, berusaha menenangkannya.“Em… aku tidak tahu harus bagaimana.” Suara Liam terdeng
Malam itu, angin berembus cukup kencang, membawa aroma lembap dari taman di sekitar mansion keluarga Harris.Emily turun dari mobil bersama ibunya, langkahnya terasa berat saat sepatu haknya menyentuh pelataran batu yang dingin. Jantungnya berdegup cepat. Sejak tadi, ia terus mengecek ponselnya—berkali-kali—berharap ada pesan masuk dari Liam.Namun layar itu tetap kosong.Sejak pertengkaran mereka kemarin, Emily belum berhasil menghubungi Liam. Tak ada satu pun panggilan atau pesan yang dibalas. Ia menunggu sepanjang malam, tapi nihil. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, berharap tidak ada hal buruk yang terjadi pada pria itu.“Em, kau siap?” suara Eleanor memecah keheningan malam ketika ia menutup pintu mobil. “Kamu menunggu kabar siapa? Sejak tadi sore, kamu terus memandangi ponselmu.”Emily tertegun sesaat, lalu tersenyum kecil. “Tidak, aku hanya gugup,” jawabnya pelan. Ia berjalan bersama ibunya menaiki tangga teras mansion.Eleanor menghela napas lembut, kemudian berbalik mengh
*Lima Tahun Lalu - University of California, Open House*Siang itu matahari menyengat, namun halaman kampus tetap ramai. Musik dari panggung kecil menyatu dengan suara ramai pengunjung dan mahasiswa. Spanduk warna-warni tergantung di setiap tenda. Liam, dengan kaus fakultas dan topi terbalik di kepala, sibuk menyiapkan booth jurusan bisnis bersama beberapa teman.“Hei, Liam!” teriak kakak tingkat dari seberang. “Roll-up banner-nya ketinggalan. Can you get it from the assembly room?”“Third floor?”“Yup. Also, the brochure box. Thank you!”Liam mengangguk, menyeka keringat dari keningnya, lalu segera menuju gedung fakultas bisnis yang berdiri tak jauh dari lapangan tenis tempat open house berlangsung.Di sisi lain, Emily berjalan berdampingan dengan ayahnya, Joshua, sambil melihat-lihat brosur dari booth yang baru saja mereka kunjungi.“Kamu yakin ingin kuliah di sini?” tanya Joshua, matanya menyapu sekeliling kampus.Emily mengangguk kecil, senyum menggantung di wajahnya. “Sepertinya


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen