Home / Romansa / Emily'S Lover / CHAPTER FIVE

Share

CHAPTER FIVE

Author: Kowalska
last update Last Updated: 2025-08-11 18:54:25

Bunyi ketukan keyboard memenuhi ruang kerja Lucas di kampus CalArt. Di tengah kesibukannya menyusun laporan mingguan yang harus ia serahkan kepada Ms. Huang sore ini, pikirannya justru berkelana ke tempat lain.

Ia masih mengingat percakapan telepon dengan Liam pagi tadi—tepat saat Lucas masih terlelap. Liam bertanya, “Makanan apa yang baik untuk orang sakit?”

Lucas menjawab tanpa berpikir panjang. Bubur. Tentu saja, bukankah itu makanan standar bagi orang yang sedang sakit?

Namun setelah telepon itu berakhir, pertanyaan lain mulai merayapi pikirannya. Siapa yang sakit?

Liam adalah seorang workaholic kelas berat. Jika sampai ia mengambil cuti kerja, pasti orang itu bukan sembarang orang. Satu nama terlintas di benaknya.

Emily.

Lucas menggeleng, mencoba menepis pikiran itu. Tapi semakin ia mengusirnya, semakin kuat bayangan itu menghantuinya.

Apakah Emily jatuh sakit karena dirinya kemarin? Atau memang dia sering sakit-sakitan? Tidak mungkin. Emily bukan tipe yang lemah. Ia bahkan masih cukup kuat untuk beradu argumen dengannya di kelas kemarin.

Tidak. Ini bukan salahnya. Tidak mungkin Emily jatuh sakit hanya karena Lucas mengabaikannya di kelas. Lagi pula, alasan ia mendiamkan Emily cukup masuk akal. Pertanyaannya benar-benar tidak relevan dengan materi yang diajarkan.

Beberapa contoh pertanyaan bodohnya:

“Apakah Bapak pernah mempelajari subbidang ini saat kuliah?”

“Apakah tugas harus ditulis tangan atau diketik?”

“Apakah tugas boleh telat atau harus dikumpulkan tepat waktu?”

Lucas hampir tertawa sendiri mengingatnya. Benarkah ini pertanyaan seorang mahasiswa? Atau Emily memang sengaja menguji kesabarannya?

Tapi tetap saja… ada sesuatu yang mengganjal di benaknya.

Akhirnya, daripada terus bertanya-tanya, Lucas meraih ponselnya dan mengirim pesan pada Liam.

Lucas: Aku masih belum bisa melupakan pertanyaanmu tadi. Siapa yang sakit? Orang tuamu?

Beberapa detik berlalu sebelum Liam membalas.

Liam: Bukan. Emily. Kurasa dia lupa makan.

Lucas merasakan sesuatu menggerogoti dadanya.

Lucas: Mungkin dia hanya ingin makanan yang sesuai seleranya?

Liam: Sepertinya tidak. Dia hanya terlalu sibuk hingga lupa makan. Lagi pula, makanan Meksiko mudah ditemukan di mana-mana. That’s her favorite.

Lucas menatap layar ponselnya. Matanya terpaku pada satu kalimat.

Emily suka makanan Meksiko. Tiba-tiba, informasi itu terasa begitu penting.

Tapi untuk apa? Apa yang seharusnya ia lakukan? Mengajaknya makan bersama? Itu sama saja dengan mencari kuburannya sendiri.

Lucas menghela napas, melempar ponselnya ke meja. Ah, persetan. Besok saja ia memikirkan hal ini. Dia perlu menyelesaikan laporannya lagipula matahari sudah mulai tenggelam. Udara mulai terasa dingin. Dan Lucas tahu persis apa yang harus ia lakukan untuk mengalihkan pikirannya.

Klub malam di Los Angeles. Tempat terbaik untuk sedikit… melupakan semuanya.

***

Pagi masih terlalu dini ketika rasa pening menyergap Lucas.

Hari ini hari Selasa. Tidak ada jadwal mengajar, tidak ada meeting, tidak ada kewajiban yang menuntut perhatiannya. Sebenarnya, mengajar hanyalah bagian dari proyek perusahaan arsitektur tempatnya bekerja—sebuah kolaborasi dengan mahasiswa seni di CalArts untuk menciptakan instalasi yang akan menyatu dengan desain bangunan. Bisa berupa mural, patung, atau elemen interior yang memperkaya estetika proyek.

Namun pagi ini, proyek itu bukan yang memenuhi pikirannya.

Tangannya terasa kram. Lucas mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan kesadaran, lalu menoleh ke samping. Seorang wanita terbaring di lengannya, wajahnya tertutup helaian rambut panjang yang kusut. Lucas mendesah pelan. Tidak, dia tidak mengenal wanita itu. Sejenak, dia hanya diam, menatap langit-langit kamar hotel dengan perasaan kosong.

Dengan hati-hati, dia menarik lengannya yang mati rasa, lalu merogoh dompet dan meletakkan beberapa lembar dolar di atas nakas. Tanpa sepatah kata, dia bangkit, mengenakan jaketnya, dan melangkah keluar dari kamar hotel yang sudah tak ingin dia ingat lagi.

Udara pagi Los Angeles terasa dingin ketika Lucas keluar dari gedung hotel. Dia memijat pelipisnya, mencoba mengingat di mana dia memarkir mobil tadi malam. Dengan malas, dia mengeluarkan ponselnya dan menyalakan alarm Tesla Roadster-nya. Suara bip-bip nyaring terdengar beberapa meter dari tempatnya berdiri. Lucas mengikuti suara itu, mendapati mobilnya masih terparkir di pinggir jalan.

Namun sebelum sempat masuk ke dalam, matanya menangkap sesuatu.

Di seberang jalan, seorang pria tua sedang menyiapkan dagangannya di mobil pickup yang dimodifikasi menjadi food truck sederhana. Aroma rempah yang khas langsung menyergap hidung Lucas. Mexican food.

Dan dalam hitungan detik, semua alasan mengapa dia minum sampai tak sadarkan diri tadi malam kembali menerjangnya.

Tanpa berpikir panjang, Lucas menghampiri food truck itu, memesan beberapa burritos dan tacos, lalu kembali ke mobilnya. Ia menyalakan mesin, tetapi jari-jarinya membeku di atas kemudi. Seharusnya dia pulang. Seharusnya dia tidur lagi. Seharusnya dia melupakan segalanya.

Tapi sebelum dia menyadarinya, mobilnya sudah melaju menuju apartemen Liam.

Dan sekarang, di sinilah dia. Duduk di dapur apartemen sepupunya, menunggu Emily menyelesaikan aktivitas mandinya-sambil terus meyakinkan dirinya bahwa ini bukan keputusan bodoh.

Bahwa semua kebohongan yang baru saja ia lontarkan bukan karena perasaan konyol yang bahkan dirinya sendiri tidak berani akui.

Sepatu Liam? Dia bahkan belum memakainya.

Liam yang menyuruhnya membelikan makanan untuk Emily? Bohong.

Satu-satunya alasan dia ada di sini adalah karena pikirannya tak bisa berhenti memikirkan gadis itu. Gadis yang baru dikenalnya selama beberapa hari itu.

Lucas tersentak dari lamunannya ketika suara Emily terdengar di dekatnya.

“Kau belum mulai makan?”

Lucas mendongak. Emily sudah kembali, mengenakan hoodie kebesaran yang mungkin milik Liam, rambutnya masih sedikit basah.

“Belum,” Lucas tersenyum kecil. “Aku menunggumu.”

Emily mengeluarkan burrito dari paper bag, lalu mencuci tangannya sebelum mulai makan. Lucas memperhatikan dalam diam. Saat menggigit suapan pertama, mata hijau Emily berbinar. Senyum kecil muncul di wajahnya, lalu dia mengangguk-anggukan kepalanya sembari menikmati setiap gigitannya.

“Kau suka?” tanya Lucas, mendapati dirinya tersenyum hanya karena melihatnya.

Emily mengangguk penuh semangat, tanpa berhenti mengunyah. Ia terus melahap burrito itu, bahkan saat mulutnya masih penuh.

“Makanlah perlahan, Em. Tidak akan ada yang merebut makananmu,” ujar Lucas dengan nada geli.

Emily hanya tertawa kecil, masih menikmati makanannya. “Sudah lama sekali aku tidak makan ini,” gumamnya. “Dulu Daddyku selalu memasakkannya untukku… atau membelikannya.”

Lucas mengangguk, membiarkan dirinya mendengar cerita itu tanpa menyela. Lalu dia mulai menggigit burritonya sendiri.

Namun Emily tiba-tiba menatapnya dengan dahi berkerut, “Kau tidak pakai sausnya?”

Lucas melirik mangkuk saus merah di sebelah Emily dan langsung menggeleng.

“Nope. Sepertinya itu pedas. Lihat saja warnanya, merah menyala.”

Emily mendengus pelan. “Itu hanya pikiranmu saja. Saus ini tidak pedas sedikit pun. Kau harus mencobanya. Burrito jauh lebih enak kalau pakai saus ini.”

Ia mendorong mangkuk saus itu ke arah Lucas.

Lucas menatapnya dengan ragu, tapi demi menghindari tatapan menantang dari Emily, dia akhirnya mencelup burritonya ke dalam saus dan menggigitnya.

Sekejap kemudian, seluruh tubuhnya menegang.

Lidahnya seolah terbakar, tenggorokannya panas seperti ada lava yang mengalir. Mata Lucas melebar saat rasa pedas itu menyerang tanpa ampun.

“Shit-,” Lucas buru-buru berdiri, mencari gelas kosong, lalu menuangkan air sebanyak mungkin dan meneguknya dengan rakus.

Di sisi lain meja, Emily terlipat dalam tawa.

Bukan sekadar tawa kecil, tapi tawa lepas yang mengguncang bahunya, membuatnya harus berpegangan pada meja untuk menopang tubuhnya. Lucas menoleh dengan mata menyipit.

“Kau—”

Emily tidak bisa berhenti tertawa, bahkan sampai air mata menggenang di sudut matanya. “Bagaimana mungkin… seorang Lucas Morrow… si playboy… tidak tahan pedas?”

Lucas seharusnya kesal. Seharusnya ia membalas. Tapi ia justru terpaku.

Bukan karena ejekan Emily.

Bukan karena rasa pedas yang masih membakar lidahnya.

Tapi karena senyuman itu.

Emily tertawa begitu lepas, begitu tulus, begitu hidup. Sepanjang waktu yang ia habiskan dengan gadis ini, Lucas selalu melihatnya cemberut, marah, dan menatapnya dengan tatapan penuh kebencian. Dia menyukai saat Emily beradu argumen dengannya, menyukai setiap omelan dan sinisannya.

Tapi ternyata—melihatnya tersenyum jauh lebih menyenangkan.

Dan itu… adalah fakta yang paling berbahaya dari semuanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Emily'S Lover   CHAPTER NINE

    Angin pagi yang sejuk menyelinap melalui celah jendela, membangunkan Emily dari tidurnya. Mentari belum sepenuhnya menampakkan dirinya, namun mata Emily sudah tidak bisa kembali tertidur. Ia mengerjapkan kedua matanya perlahan. Tubuhnya terasa begitu hangat, terlindungi dalam dekapan Liam.Emily menggerakkan tangannya dan menatap cincin yang kini melingkar sempurna di jari manisnya."Cantik sekali..." gumamnya tanpa sadar, senyum kecil terukir di bibirnya.Tatapannya beralih ke wajah Liam yang tertidur tenang di sampingnya. Semalam, setelah Liam kembali melamarnya, mereka mandi bersama, dan Emily mengobati luka lebam di wajahnya. Dari cerita Liam, semuanya berawal saat ia mabuk dan tanpa sengaja menyenggol seseorang. Orang itu marah, mulai menghina Liam, dan dalam keadaan emosional, Liam tak terima—ia melayangkan tinjunya. Untungnya, ada orang yang melerai sebelum situasi semakin buruk.Emily menghela napas pelan. Ia menyentuh wajah Liam dengan lembut, jari-jarinya mengusap pipi pria

  • Emily'S Lover   CHAPTER EIGHT

    Lucas menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Emily. Gedungnya tidak besar, tapi tampak nyaman, dengan cahaya lampu dari beberapa jendela yang masih menyala di malam yang semakin larut.Liam memutuskan untuk mengantar ibunya pulang, sementara Emily diantar oleh Lucas. Saat Lucas melirik ke sebelah kanan, ia mendapati Emily tertidur dengan kepala sedikit miring, memeluk tote bag-nya erat-erat. Napasnya teratur, wajahnya terlihat begitu damai—sebuah ketenangan yang langka setelah hari panjang yang penuh emosi ini.Lucas ragu. Ia tidak sampai hati membangunkannya.Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Emily masih terlelap, tubuhnya hampir tidak bergerak. Lucas mulai curiga bahwa jika dibiarkan, Emily mungkin akan tidur sampai pagi di dalam mobilnya.Dengan hati-hati, ia menyentuh pundaknya, mencoba membangunkannya tanpa mengagetkannya. Kalau saja ia tahu Emily tinggal di lantai berapa, mungkin ia sudah membopongnya masuk ke dalam apartemen."Em... kita sudah sampai,”

  • Emily'S Lover   CHAPTER SEVEN

    Liam melamar Emily?Bagaimana bisa? Mereka baru mengenal setengah tahun, bukan? Apakah Liam benar-benar mencintai Emily sampai segitunya? Lucas tidak merasa cemburu—tidak, bukan itu. Hanya saja, ia khawatir sepupunya terlalu terbawa suasana. Kalap dalam semalam dan akhirnya mengambil keputusan yang mungkin akan disesalinya nanti.Saat mendengar kata-kata Emily barusan, kepala Lucas terasa kosong. Hampir saja dia bertanya, Apa kau yakin? Tapi yang keluar dari mulutnya justru, Selamat, sebelum ia buru-buru pergi, menjauh dari tatapan Emily.Lucas tidak ingin wajahnya menunjukkan sesuatu yang bisa disalahartikan.Namun, meski sudah berjalan cukup jauh, pikirannya tetap dipenuhi dengan kata-kata Emily. Ia menyesali keputusannya mendekati bangku taman tadi. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan Emily dan teman-temannya dari tatapan orang-orang sekitar yang mulai terganggu oleh teriakan mereka yang histeris. Bahkan, seorang Ms. Huang—profesor mereka—sempat bertanya pada Lucas apakah Emily dan

  • Emily'S Lover   CHAPTER SIX

    Warning! 18+***Derap langkah cepat menyadarkan aktivitas Emily saat ini. Dia masih merapikan sisa makanan di meja, matanya sesekali melirik jam di dinding yang menunjukkan angka lima. Sudah dua jam sejak Lucas pergi, tetapi sisa kehadirannya masih terasa—entah dari wangi parfumnya yang samar atau kenangan obrolan siang tadi yang terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan candaan, sesuatu yang selama ini terasa mustahil terjadi antara mereka.Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Emily. Liam masuk dengan langkah berat, wajahnya tampak lelah dan sedikit kusut, seolah beban dunia ada di pundaknya. Tanpa ragu, dia meletakkan tas, handphone, kunci, dan dompetnya di atas meja yang baru saja Emily bersihkan."Liam, jangan taruh barangmu di at—"Sebelum Emily bisa menyelesaikan kalimatnya, Liam sudah menarik tengkuknya dan menyapukan bibirnya ke bibir Emily dengan penuh gairah. Emily terkejut, tetapi dia merasakan sesua

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIVE

    Bunyi ketukan keyboard memenuhi ruang kerja Lucas di kampus CalArt. Di tengah kesibukannya menyusun laporan mingguan yang harus ia serahkan kepada Ms. Huang sore ini, pikirannya justru berkelana ke tempat lain.Ia masih mengingat percakapan telepon dengan Liam pagi tadi—tepat saat Lucas masih terlelap. Liam bertanya, “Makanan apa yang baik untuk orang sakit?”Lucas menjawab tanpa berpikir panjang. Bubur. Tentu saja, bukankah itu makanan standar bagi orang yang sedang sakit?Namun setelah telepon itu berakhir, pertanyaan lain mulai merayapi pikirannya. Siapa yang sakit?Liam adalah seorang workaholic kelas berat. Jika sampai ia mengambil cuti kerja, pasti orang itu bukan sembarang orang. Satu nama terlintas di benaknya.Emily.Lucas menggeleng, mencoba menepis pikiran itu. Tapi semakin ia mengusirnya, semakin kuat bayangan itu menghantuinya.Apakah Emily jatuh sakit karena dirinya kemarin? Atau memang dia sering sakit-sakitan? Tidak mungkin. Emily bukan tipe yang lemah. Ia bahkan masih

  • Emily'S Lover   CHAPTER FOUR

    Gemericik air memenuhi dapur, berpadu dengan dentingan halus peralatan masak yang saling bersentuhan.Emily berdiri di depan wastafel, kedua tangannya sibuk mencuci teflon yang baru saja ia gunakan. Matanya sedikit sayu, tubuhnya masih lemah, tetapi setidaknya ia merasa jauh lebih baik dibanding tadi malam.Dan yang terpenting—ia lapar.Bubur yang Liam berikan sejak tadi malam memang cukup untuk membuatnya bertahan, tetapi tidak cukup untuk memuaskan perutnya yang kini menuntut lebih. Ia butuh sesuatu yang lebih mengenyangkan—protein, karbohidrat, sesuatu yang benar-benar terasa seperti makanan.Namun bukan hanya untuk dirinya sendiri.Dengan infus yang masih terpasang di tangan, Emily menggantung teflon dengan sangat hati-hati. Di balik rasa laparnya, ada perasaan lain yang menyelimutinya—rasa bersalah.Liam tidak pantas diperlakukan seperti kemarin.Laki-laki itu tidak tahu apa-apa, tetapi Emily justru mengabaikannya.Bahkan saat ia berkali-kali menolak berbicara, Liam tetap di sisi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status