Home / Romansa / Emily'S Lover / CHAPTER THREE

Share

CHAPTER THREE

Author: Kowalska
last update Last Updated: 2025-08-11 18:53:57

Emily merasa marah.

Tidak, lebih dari itu—murka. Rasanya ia ingin meninju wajah Lucas saat ini juga. Seakan mempermalukannya di depan kelas belum cukup, pria itu terus-menerus mengabaikan setiap pertanyaan yang ia ajukan di pertemuan selanjutnya bahkan hari ini. Sejak kapan seorang dosen bersikap seperti itu? Ya, mereka memang hanya terpaut enam tahun, tapi Lucas sama sekali tidak menunjukkan kedewasaan. Bahkan sedikit pun tidak.

Hari ini baru awal tahun, tetapi rentetan kejadian buruk seolah menempel padanya seperti kutukan. Dan entah bagaimana, setiap peristiwa sial yang terjadi selalu melibatkan satu orang—Lucas Morrow. Apa pria itu sengaja mengacaukan semester akhirnya? Atau ini hanya kebetulan yang menyebalkan?

Emily mengembuskan napas tajam. Dia butuh pelampiasan.

Liam.

Ya, hanya Liam yang bisa membuatnya merasa lebih baik sekarang. Tangannya meraih ponsel dengan gerakan cepat, lalu mengetik pesan tanpa berpikir panjang.

Emily: Babe, where are you? I need you right now ☹️

Liam: Hey, aku baru saja selesai meeting. What just happened?

Emily: My day is a disaster. I need to talk to you ☹️ Can we meet?

Liam: Of course. Kau ingin aku menjemputmu? Atau kita langsung bertemu di apartemenku?

Emily: Aku menuju apartemenmu sekarang.

Tanpa membuang waktu, Emily melompat ke tepi jalan dan menghentikan taksi.

Langit di atasnya cerah, tetapi hatinya penuh badai. Ditambah lagi, perutnya kosong sejak pagi karena harus menyelesaikan deadline tugas. Dan siapa yang memberikan tugas itu? Tentu saja Lucas.

Emily menggigit bibirnya, menahan frustrasi. Jika supir taksi bisa membaca pikirannya, ia pasti sudah menancap gas sejak tadi.

Saat akhirnya taksi berhenti di depan apartemen Liam, Emily nyaris berlari. Ia melesat menuju lift, menekan tombol lantai 15, dan begitu pintu lift terbuka, kakinya dengan cepat menuju unit 1501. Jemarinya dengan cekatan memasukkan kode pintu.

Beep.

Pintu terbuka, dan tanpa basa-basi, Emily melangkah masuk.

"Liam! Kamu di mana?" serunya.

"Di dapur, Em! Kemarilah."

Emily melepas sepatu dengan terburu-buru, hampir tersandung karena terlalu cepat melangkah. Dia tidak peduli. Dia hanya ingin melampiaskan kekesalannya.

"Kau harus tahu apa yang terjadi hari ini. Hari ini bahkan lebih buruk dari minggu lalu! Bajingan itu—"

Emily berhenti.

Tepat di depannya, di dapur, berdiri seseorang yang seharusnya tidak ada di sini.

Lucas.

Seolah semesta sedang bercanda dengannya. Seolah takdir sengaja mengatur agar setiap sudut dunia yang ia tempati berisi Lucas Morrow.

“Hai Em, sepertinya kau sedang kesal hari ini” sapa Lucas dengan nada mengejek sambil menatap Emily.

Emily membeku di tempatnya, menatap Liam dengan ekspresi yang jelas bertanya: Apa-apaan ini?

Namun, bukannya melontarkan protes, ia malah menarik napas panjang, mencoba mencari sisa-sisa kesabaran yang nyaris habis.

"Aku akan ke atas. Selesaikan dulu pembicaraan kalian," katanya datar. Itu satu-satunya hal yang bisa ia ucapkan saat ini.

Sebenarnya, otaknya memerintahkan tangannya untuk memukul kepala Liam sekarang juga, tetapi yang ia lakukan hanyalah berbalik dan menaiki tangga menuju kamar Liam di lantai atas. Begitu Emily menghilang dari pandangan, Lucas bersandar di meja dapur, menatap Liam dengan senyum mengejek.

"Kupikir kau harus mengejarnya, Liam. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini."

Liam mendesah, meremas tengkuknya. "Aku juga berpikir begitu. Tapi entah kenapa, firasatku buruk."

Lucas tertawa kecil, mengangkat alisnya. "Apa kubilang? Bukankah lebih menyenangkan kalau kita hanya bermain satu malam? Tidak perlu repot-repot berkomitmen seperti ini."

Liam hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum, lalu melangkah pergi menyusul Emily.

---

"Em, are you okay?"

Sesampainya di lantai atas, Liam menemukan Emily duduk di tepi sofa, menatap kosong ke luar jendela. Punggungnya tegang, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuannya, seolah mencoba menahan sesuatu yang ingin meledak.

Perlahan, Liam melangkah mendekat, tangannya terulur untuk menyentuh pundak Emily—tetapi sebelum ia sempat melakukannya, gadis itu menoleh. Tatapannya dingin, tapi di baliknya, ada kelelahan yang begitu dalam.

Sungguh, aku masih harus menjelaskan semuanya?

Liam mendesah, lalu duduk di sampingnya. "Maafkan aku," katanya, suaranya penuh rasa bersalah. "Aku tidak tahu kalau Lucas sudah menunggu di depan apartemenku sebelum aku sampai. Jika aku tahu kau akan bereaksi seperti ini, aku pasti akan mengusirnya. Tapi dia saudaraku, Em. Aku tidak bisa menutup pintu begitu saja, bukan?"

Emily tidak menjawab. Ia hanya membuang muka, kembali menatap jendela.

Keheningan menyelimuti mereka. Liam mengusap wajahnya, mencoba memahami bagaimana cara menenangkan wanita di hadapannya.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi, Em," katanya akhirnya. "Setidaknya berbicaralah. Biarkan aku mengerti apa yang membuatmu begitu marah."

Tetap tidak ada respons.

Liam menunggu, berharap Emily akan mengatakan sesuatu—apa pun. Tapi yang ia dapatkan hanyalah sunyi.

Hingga akhirnya, Emily bangkit berdiri.

Liam melihat celah, kesempatan untuk menariknya kembali. Dengan cepat, ia melingkarkan lengannya di pinggang Emily, memeluknya dari belakang.

Namun, bukan pelukan hangat yang ia dapatkan.

Emily menepis tangannya, melepaskan diri dari genggamannya. Dan beranjak meringkukkan tubuhnya diatas kasur.

"Aku lelah, Liam. Aku butuh istirahat."

Kata-katanya dingin, tapi bukan karena marah. Ada kelelahan yang lebih dari sekadar fisik di sana—kelelahan yang menumpuk, menyesakkan.

Liam terdiam sejenak, menatap punggungnya.

Lalu ia menghela napas panjang. "Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan menunggumu di bawah. Panggil aku saat kau sudah bangun."

Ia melangkah ke pintu, tetapi sebelum pergi, ia berhenti dan menoleh. "You know that I love you, right?"

Hening.

Lalu, suara lirih terdengar. "I know."

Liam hanya bisa menatapnya, tubuh kecilnya berbalik di atas kasur, membelakanginya.

Tak lama, suara langkah kaki Liam perlahan menghilang di balik pintu.

Dan di saat itulah, Emily menutup matanya. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya.

Bukan Liam yang ia marahi. Bukan Liam yang ia benci. Dia hanya marah pada keadaan.

Marah pada Lucas. Dan yang paling membuatnya malu adalah…

Lucas benar—dia memang terlihat sangat kesal hari ini. Emily membenamkan wajahnya ke bantal, menahan sesak di dadanya. Dia lelah. Teramat lelah. Bahkan untuk berbicara pun, dia tak sanggup. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah tidur.

---

Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam.

Lucas sudah pergi sejak tadi, hanya mampir sebentar untuk meminjam sepatu basket Liam sebelum berangkat menemui teman-teman lamanya di California. Apartemen terasa lebih sepi sekarang, tetapi ada satu hal yang mengusik pikiran Liam—Emily.

Sejak naik ke lantai atas, ia belum menghubunginya. Tidak ada panggilan. Tidak ada pesan.

Liam menatap tangannya sendiri, ragu. Haruskah ia memeriksanya? Tapi bagaimana jika Emily masih marah? Bagaimana jika kehadirannya justru memperburuk keadaan?

Namun, di sisi lain, sesuatu dalam dirinya terus berbisik—rasa khawatir yang tak bisa diabaikan. Akhirnya, dengan tarikan napas panjang, Liam memutuskan untuk naik ke atas.

Setibanya di depan pintu, ia mengetuk pelan. "Em?"

Tidak ada jawaban.

Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. "Emily, kau masih tidur?"

Tetap tidak ada sahutan. Rasa cemasnya semakin meningkat. Dengan hati-hati, Liam memutar kenop pintu dan membukanya.

Kamar itu gelap, hanya diterangi lampu tidur redup di sudut ruangan. Di atas tempat tidur, Emily masih meringkuk di bawah selimut, tubuhnya tampak tenggelam dalam gulungan kain tebal.

Liam melangkah mendekat dan duduk di tepi kasur. Perlahan, ia menjulurkan tangan, mencoba menarik selimut dari tubuhnya.

"Em, bangunlah. Kau harus mak—"

Namun Emily bergeming. Liam menghela napas, tangannya berpindah ke pergelangan tangan Emily. Saat menyentuhnya, matanya melebar.

Panas. Sangat panas.

Sekelebat perasaan tak enak menyelimutinya. Segera, Liam menyentuh dahi Emily, dan saat itulah ia menyadari sesuatu— Emily demam.

"Ya Tuhan, Em, kau sangat panas!"

Tubuhnya tegang. Rasa bersalah bercampur dengan kekhawatiran mulai menyelimutinya. Emily bergerak sedikit, keningnya berkerut menahan sakit. Suaranya terdengar lemah, hampir seperti bisikan.

"Liam... aku pusing sekali."

Tanpa berpikir dua kali, Liam segera merogoh ponselnya dan menekan nomor yang sudah sangat ia hafal—dokter keluarganya.

Begitu panggilan tersambung, suaranya tegas, penuh urgensi.

"Aku butuh kau ke apartemenku sekarang. Emily sakit—demamnya tinggi. Aku tidak mau mengambil risiko."

Setelah menutup telepon, Liam menatap Emily yang masih tergolek lemah. Ia meraih tangan gadis itu, menggenggamnya erat seolah ingin mentransferkan sedikit kekuatan.

"Aku di sini, Em," bisiknya. "Aku tidak akan ke mana-mana."

Dan untuk pertama kalinya malam ini, Emily tidak menolak pelukannya.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Emily'S Lover   CHAPTER NINE

    Angin pagi yang sejuk menyelinap melalui celah jendela, membangunkan Emily dari tidurnya. Mentari belum sepenuhnya menampakkan dirinya, namun mata Emily sudah tidak bisa kembali tertidur. Ia mengerjapkan kedua matanya perlahan. Tubuhnya terasa begitu hangat, terlindungi dalam dekapan Liam.Emily menggerakkan tangannya dan menatap cincin yang kini melingkar sempurna di jari manisnya."Cantik sekali..." gumamnya tanpa sadar, senyum kecil terukir di bibirnya.Tatapannya beralih ke wajah Liam yang tertidur tenang di sampingnya. Semalam, setelah Liam kembali melamarnya, mereka mandi bersama, dan Emily mengobati luka lebam di wajahnya. Dari cerita Liam, semuanya berawal saat ia mabuk dan tanpa sengaja menyenggol seseorang. Orang itu marah, mulai menghina Liam, dan dalam keadaan emosional, Liam tak terima—ia melayangkan tinjunya. Untungnya, ada orang yang melerai sebelum situasi semakin buruk.Emily menghela napas pelan. Ia menyentuh wajah Liam dengan lembut, jari-jarinya mengusap pipi pria

  • Emily'S Lover   CHAPTER EIGHT

    Lucas menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Emily. Gedungnya tidak besar, tapi tampak nyaman, dengan cahaya lampu dari beberapa jendela yang masih menyala di malam yang semakin larut.Liam memutuskan untuk mengantar ibunya pulang, sementara Emily diantar oleh Lucas. Saat Lucas melirik ke sebelah kanan, ia mendapati Emily tertidur dengan kepala sedikit miring, memeluk tote bag-nya erat-erat. Napasnya teratur, wajahnya terlihat begitu damai—sebuah ketenangan yang langka setelah hari panjang yang penuh emosi ini.Lucas ragu. Ia tidak sampai hati membangunkannya.Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Emily masih terlelap, tubuhnya hampir tidak bergerak. Lucas mulai curiga bahwa jika dibiarkan, Emily mungkin akan tidur sampai pagi di dalam mobilnya.Dengan hati-hati, ia menyentuh pundaknya, mencoba membangunkannya tanpa mengagetkannya. Kalau saja ia tahu Emily tinggal di lantai berapa, mungkin ia sudah membopongnya masuk ke dalam apartemen."Em... kita sudah sampai,”

  • Emily'S Lover   CHAPTER SEVEN

    Liam melamar Emily?Bagaimana bisa? Mereka baru mengenal setengah tahun, bukan? Apakah Liam benar-benar mencintai Emily sampai segitunya? Lucas tidak merasa cemburu—tidak, bukan itu. Hanya saja, ia khawatir sepupunya terlalu terbawa suasana. Kalap dalam semalam dan akhirnya mengambil keputusan yang mungkin akan disesalinya nanti.Saat mendengar kata-kata Emily barusan, kepala Lucas terasa kosong. Hampir saja dia bertanya, Apa kau yakin? Tapi yang keluar dari mulutnya justru, Selamat, sebelum ia buru-buru pergi, menjauh dari tatapan Emily.Lucas tidak ingin wajahnya menunjukkan sesuatu yang bisa disalahartikan.Namun, meski sudah berjalan cukup jauh, pikirannya tetap dipenuhi dengan kata-kata Emily. Ia menyesali keputusannya mendekati bangku taman tadi. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan Emily dan teman-temannya dari tatapan orang-orang sekitar yang mulai terganggu oleh teriakan mereka yang histeris. Bahkan, seorang Ms. Huang—profesor mereka—sempat bertanya pada Lucas apakah Emily dan

  • Emily'S Lover   CHAPTER SIX

    Warning! 18+***Derap langkah cepat menyadarkan aktivitas Emily saat ini. Dia masih merapikan sisa makanan di meja, matanya sesekali melirik jam di dinding yang menunjukkan angka lima. Sudah dua jam sejak Lucas pergi, tetapi sisa kehadirannya masih terasa—entah dari wangi parfumnya yang samar atau kenangan obrolan siang tadi yang terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan candaan, sesuatu yang selama ini terasa mustahil terjadi antara mereka.Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Emily. Liam masuk dengan langkah berat, wajahnya tampak lelah dan sedikit kusut, seolah beban dunia ada di pundaknya. Tanpa ragu, dia meletakkan tas, handphone, kunci, dan dompetnya di atas meja yang baru saja Emily bersihkan."Liam, jangan taruh barangmu di at—"Sebelum Emily bisa menyelesaikan kalimatnya, Liam sudah menarik tengkuknya dan menyapukan bibirnya ke bibir Emily dengan penuh gairah. Emily terkejut, tetapi dia merasakan sesua

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIVE

    Bunyi ketukan keyboard memenuhi ruang kerja Lucas di kampus CalArt. Di tengah kesibukannya menyusun laporan mingguan yang harus ia serahkan kepada Ms. Huang sore ini, pikirannya justru berkelana ke tempat lain.Ia masih mengingat percakapan telepon dengan Liam pagi tadi—tepat saat Lucas masih terlelap. Liam bertanya, “Makanan apa yang baik untuk orang sakit?”Lucas menjawab tanpa berpikir panjang. Bubur. Tentu saja, bukankah itu makanan standar bagi orang yang sedang sakit?Namun setelah telepon itu berakhir, pertanyaan lain mulai merayapi pikirannya. Siapa yang sakit?Liam adalah seorang workaholic kelas berat. Jika sampai ia mengambil cuti kerja, pasti orang itu bukan sembarang orang. Satu nama terlintas di benaknya.Emily.Lucas menggeleng, mencoba menepis pikiran itu. Tapi semakin ia mengusirnya, semakin kuat bayangan itu menghantuinya.Apakah Emily jatuh sakit karena dirinya kemarin? Atau memang dia sering sakit-sakitan? Tidak mungkin. Emily bukan tipe yang lemah. Ia bahkan masih

  • Emily'S Lover   CHAPTER FOUR

    Gemericik air memenuhi dapur, berpadu dengan dentingan halus peralatan masak yang saling bersentuhan.Emily berdiri di depan wastafel, kedua tangannya sibuk mencuci teflon yang baru saja ia gunakan. Matanya sedikit sayu, tubuhnya masih lemah, tetapi setidaknya ia merasa jauh lebih baik dibanding tadi malam.Dan yang terpenting—ia lapar.Bubur yang Liam berikan sejak tadi malam memang cukup untuk membuatnya bertahan, tetapi tidak cukup untuk memuaskan perutnya yang kini menuntut lebih. Ia butuh sesuatu yang lebih mengenyangkan—protein, karbohidrat, sesuatu yang benar-benar terasa seperti makanan.Namun bukan hanya untuk dirinya sendiri.Dengan infus yang masih terpasang di tangan, Emily menggantung teflon dengan sangat hati-hati. Di balik rasa laparnya, ada perasaan lain yang menyelimutinya—rasa bersalah.Liam tidak pantas diperlakukan seperti kemarin.Laki-laki itu tidak tahu apa-apa, tetapi Emily justru mengabaikannya.Bahkan saat ia berkali-kali menolak berbicara, Liam tetap di sisi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status