Home / Romansa / Emily'S Lover / CHAPTER NINE

Share

CHAPTER NINE

Author: Kowalska
last update Last Updated: 2025-09-21 21:53:31

Angin pagi yang sejuk menyelinap melalui celah jendela, membangunkan Emily dari tidurnya. Mentari belum sepenuhnya menampakkan dirinya, namun mata Emily sudah tidak bisa kembali tertidur. Ia mengerjapkan kedua matanya perlahan. Tubuhnya terasa begitu hangat, terlindungi dalam dekapan Liam.

Emily menggerakkan tangannya dan menatap cincin yang kini melingkar sempurna di jari manisnya.

"Cantik sekali..." gumamnya tanpa sadar, senyum kecil terukir di bibirnya.

Tatapannya beralih ke wajah Liam yang tertidur tenang di sampingnya. Semalam, setelah Liam kembali melamarnya, mereka mandi bersama, dan Emily mengobati luka lebam di wajahnya. Dari cerita Liam, semuanya berawal saat ia mabuk dan tanpa sengaja menyenggol seseorang. Orang itu marah, mulai menghina Liam, dan dalam keadaan emosional, Liam tak terima—ia melayangkan tinjunya. Untungnya, ada orang yang melerai sebelum situasi semakin buruk.

Emily menghela napas pelan. Ia menyentuh wajah Liam dengan lembut, jari-jarinya mengusap pipi pria itu dengan penuh kasih.

Tiba-tiba, suara ponsel berdering, memecah keheningan pagi.

Emily segera meraih ponselnya dari atas meja, menatap layar yang menunjukkan Mom sebagai pemanggil. Ia menelan ludah, lalu bangkit hati-hati dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan Liam.

"Hey, Mom..." ucapnya, suaranya sedikit serak karena baru bangun tidur.

"Hey, sweetie. Maaf tidak sempat menjawab panggilanmu kemarin. Aku ada jadwal operasi," suara Eleanor terdengar profesional seperti biasa, tetapi tetap mengandung kelembutan seorang ibu. "Ada sesuatu yang terjadi?"

Emily terdiam sejenak, matanya melirik ke arah Liam yang masih terlelap. "No, everything is fine," jawabnya, meski nadanya terdengar kurang meyakinkan.

Eleanor mendesah. "Serius, Emily? Katakan padaku yang sebenarnya. Kau tahu aku bisa mengetahui segalanya hanya dari suaramu."

Emily berdecak pelan. Tidak ada gunanya berbohong pada ibunya—Eleanor Wilton Mitchell selalu bisa membaca dirinya dengan sempurna, bahkan hanya dari suara.

Akhirnya, Emily mengembuskan napas panjang dan berkata, "My boyfriend proposed to me, Mom."

Hening.

Sampai akhirnya suara ibunya terdengar tegas dan tanpa basa-basi.

"Come home then. We need to talk."

Dan sebelum Emily sempat merespons, panggilan itu sudah terputus.

***

Suara dentingan keras membangunkan Liam dari tidurnya. Dengan mata yang masih berat, ia mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah sumber suara. Di dekat lemari, Emily sedang memasukkan pakaian ke dalam koper dengan ekspresi tegang.

“Emily?” Suaranya serak, masih dipenuhi kantuk. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha memahami apa yang sedang terjadi. “Kau sedang apa?”

“Maaf aku membangunkanmu” ucap Emily cepat tanpa menoleh. Lalu dia menghentikan gerakannya sejenak, menarik napas dalam sebelum menatapnya. Matanya sedikit redup, seolah menyimpan banyak hal yang belum diucapkan. “Aku harus pulang ke Arizona,” jawabnya lirih sambil memanyunkan bibirnya kedepan, lalu kembali melipat sebuah sweater dan memasukkannya ke koper.

Liam mengernyit, langsung duduk di tempat tidur. “Kenapa mendadak? Apa yang terjadi?”

Emily menelan ludah. “Aku sudah memberitahu ibuku tentang lamaranmu,” katanya pelan, lalu menghela napas berat. “Dan dia ingin bicara denganku langsung.”

Liam terdiam beberapa saat, otaknya memproses kata-kata itu. Rasa tidak nyaman mulai merayapi dadanya. “Kalau begitu, aku ikut denganmu.”

Emily menutup koper dan menghadapinya. Wajahnya penuh dengan ekspresi lembut namun tegas. “Liam, kau tidak bisa. Daddymu masih di ICU. Kau harus tetap di sini untuk menemani Mommymu.”

Liam menggeleng cepat. “Tapi aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendirian. Aku ingin tahu apa yang ibumu pikirkan. Aku ingin berada di sampingmu.” Suaranya semakin dalam, mencerminkan kegelisahannya.

Emily melangkah mendekat, tangannya terulur untuk meraih tangan Liam yang mengepal di atas selimut. Sentuhannya hangat, menenangkan, namun tidak mengurangi ketegasannya. “Aku akan baik-baik saja,” katanya dengan nada lembut. “Aku hanya pergi beberapa hari. Aku juga sudah izin dari kuliah minggu ini.”

Liam menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. “Emily, aku tidak suka ini.” Suaranya lebih rendah, nyaris bergetar. “Aku takut sesuatu terjadi. Aku takut ibumu menolak kita. Aku takut… kau berubah pikiran.”

Emily tersenyum tipis, meski ada kesedihan di matanya. “Aku tidak akan berubah pikiran, Liam.” Ia mengusap jemari Liam perlahan. “Tapi ini bukan tentang kita sekarang. Ini tentang keluargaku, dan keluargamu. Daddymu butuh kau di sini. Kita bisa bicara dengan Mommyku nanti, bersama-sama. Tapi saat ini, prioritasmu adalah menemani Mommymu.”

Liam merasakan dorongan kuat untuk tetap bersikeras, namun bagian dalam dirinya tahu Emily benar. Meski sulit, ia mengangguk pelan, meremas tangan Emily sebagai tanda bahwa ia mengerti—meskipun hatinya berteriak ingin menahannya.

Emily tersenyum, kali ini lebih hangat. “Aku akan segera kembali.”

Liam menghela napas berat, kemudian menariknya ke dalam pelukan erat. “Pastikan kau kembali,” bisiknya di rambutnya, seolah itu adalah janji yang tak boleh dilanggar.

Emily memejamkan mata sejenak, meresapi kehangatan yang selalu membuatnya merasa aman. “Aku janji.”

Lalu, tanpa ragu, Emily menundukkan wajahnya dan mencium Liam dengan lembut. Bibir mereka bertaut dalam kehangatan yang seharusnya menenangkan, namun entah mengapa Liam merasakan sesuatu yang aneh. Ada ketidakseimbangan dalam ciuman itu, seolah-olah Emily tengah mengucapkan selamat tinggal tanpa kata-kata. Perasaan itu mencengkeram dadanya, menambah beban yang sudah ada. Namun, ia tidak bisa mengungkapkannya. Ia hanya bisa berharap bahwa ketakutannya salah.

***

Emily baru saja tiba di Arizona setelah penerbangan singkat selama satu setengah jam. Ia telah memilih penerbangan tercepat, meskipun rasanya perjalanan itu tetap terasa panjang. Liam mengantarnya ke bandara sebelumnya, dan perpisahan itu lebih sulit dari yang ia bayangkan. Tatapan Liam penuh kekhawatiran, genggamannya di tangannya begitu erat seakan ingin menahannya lebih lama. Namun Emily berjanji akan kembali, dan akhirnya, dengan berat hati, mereka berpisah.

Setibanya di Arizona, Emily melangkah keluar dari terminal kedatangan, matanya menyapu sekeliling, mencari sosok yang telah lama tak ia temui. Di kejauhan, seorang wanita dengan gaya yang tetap fashionable meski usianya hampir menginjak 50, berdiri dengan kacamata hitam bertengger di wajahnya. Apakah Emily sudah bilang kalau ibunya melahirkannya diusia muda?

Ketika mata mereka bertemu, Eleanor—ibunya—melepaskan kacamatanya dan tersenyum lebar. “Emily!” serunya penuh emosi.

Emily bergegas mendekat, dan mereka berpelukan erat. Ada kehangatan yang lama tak ia rasakan, kehangatan yang mengingatkannya pada rumah.

“Aku merindukanmu,” bisik Eleanor.

“I miss you too, Mom.”

Mereka saling bertatapan untuk sesaat, sebelum Eleanor mengambil koper Emily dengan ringan dan memasukkannya ke mobil mereka diparkiran.

Dalam perjalanan, Eleanor menoleh ke arah Emily dengan ekspresi lembut, namun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. “Kenapa kau jarang pulang? Padahal hanya dua jam dari apartemenmu.”

Emily menatap ke luar jendela, mencoba mengumpulkan kata-kata. Ia menghela napas panjang, seolah mencari keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya. “Aku sibuk, Mom. Kuliah, penelitian… dan aku juga ingin memberi ruang untuk diriku sendiri.” Suaranya sedikit bergetar di akhir kalimatnya, seolah menyimpan perasaan yang tak terucapkan. Ia menggigit bibirnya, lalu menambahkan dengan suara lebih lirih, “Maafkan aku.”

Eleanor menatap putrinya sejenak, ekspresinya melembut. Ia mengulurkan tangan dan menggenggam jemari Emily dengan hangat. “Sweetie, aku tidak marah. Aku hanya…” ia berhenti sejenak, menghela napas, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih lirih, “Aku hanya merindukanmu. Sangat.”

Emily menelan ludahnya, merasakan gelombang emosi yang tiba-tiba memenuhi dadanya. “Aku juga merindukanmu, Mom,” katanya, suaranya hampir berbisik sambil tersenyum menatap ibunya yang sedang menyetir itu.

Eleanor tersenyum kecil, meski matanya sedikit berkaca-kaca. Namun, ia segera mengalihkan suasana dengan ekspresi penuh misteri. “Baiklah, aku memaafkanmu. Dan sebagai tanda kebahagiaan, aku menyiapkan kejutan untukmu di rumah.”

Emily mengernyit, mencoba mencari petunjuk di wajah ibunya. “Kejutan?” tanyanya curiga, tapi juga tak bisa menahan rasa penasaran yang mulai mengusik pikirannya.

Eleanor hanya tersenyum, tidak memberikan petunjuk lebih lanjut.

Saat mereka tiba di rumah, Emily langsung mengenali dua sosok yang telah lama tak ia temui. Stevie dan Reine, teman SMA-nya, berdiri di depan rumah dengan senyum lebar.

“Surprise!” seru mereka bersamaan.

Emily terkejut, lalu tertawa. “Astaga, aku tidak menyangka akan melihat kalian di sini!”

Mereka bertiga langsung tenggelam dalam percakapan penuh nostalgia. Saling bertukar cerita, tertawa, dan mengenang masa lalu. Sementara itu, Eleanor mulai menyiapkan makan siang untuk mereka berempat dan Emily memutuskan untuk membawa kopernya ke kamarnya terlebih dahulu.

Saat memasuki kamarnya, ia merasakan nostalgia yang begitu kuat. Sudah dua tahun dia tidak mengunjungi kamar ini. Segala kenangan masa kecilnya masih terpampang jelas di dinding dalam bentuk foto-foto. Salah satunya adalah foto ayahnya, Joshua, saat mereka memancing bersama. Tatapan lembut pria itu seakan menatap langsung ke dalam hatinya, membuat dadanya sesak.

Matanya mulai berkaca-kaca. Rindu yang selama ini ia tekan akhirnya muncul ke permukaan. Ia mengusap perlahan gambar wajah ayahnya dalam foto itu, membiarkan air matanya jatuh tanpa tertahan.

“Emily?” Suara Eleanor lembut, penuh perhatian. Sang ibu sudah berdiri di ambang pintu, melihat Emily dengan ekspresi penuh kasih.

Emily buru-buru menyeka air matanya. “Aku hanya… merindukan Daddy.”

Eleanor melangkah masuk dan duduk di tepian kasur Emily. “Aku juga merindukannya.”

Emily menoleh dengan tatapan penuh pertanyaan. “Kalau begitu, kenapa Mom hampir tidak pernah membicarakannya?”

Eleanor terdiam sesaat, lalu menghela napas. “Karena jika aku berbicara tentangnya, aku harus menerima kenyataan bahwa dia benar-benar telah tiada.”

Suaranya bergetar, dan Emily bisa melihat bagaimana rahang ibunya sedikit mengeras, menahan emosi yang tiba-tiba membanjiri dirinya. Matanya berkaca-kaca, lalu ia tersenyum kecil, meski itu bukan senyuman bahagia—lebih kepada senyuman pahit dari seseorang yang telah lama menanggung luka.

“Ketika dia meninggal… rasanya seperti dunia berhenti, Emily. Aku tidak tahu bagaimana harus menjalani hidup tanpa dia. Aku tidak bisa menerima bahwa dia pergi begitu saja.” Eleanor menelan ludah, suaranya melemah. “Jadi aku memilih untuk menganggapnya… seperti sedang bepergian jauh. Seperti sedang bertualang dengan teman-temannya, dan suatu hari… dia akan pulang.”

Emily terisak pelan, tangannya secara refleks menggenggam tangan ibunya. “Mom…”

Eleanor menutup matanya sesaat, menghela napas dalam-dalam seakan mencoba mengusir rasa sakit yang kembali datang. “Aku tahu ini tidak masuk akal. Tapi itulah caraku bertahan.”

Emily tak bisa berkata-kata. Ia hanya menggenggam tangan ibunya lebih erat, seakan ingin meyakinkan bahwa mereka tidak sendiri dalam kesedihan ini. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka berbagi duka bersama, merangkul kenangan tentang Joshua dengan hati yang lebih terbuka.

***

Setelah Emily dan Eleanor berhasil mengendalikan tangisan mereka, mereka bergabung bersama Stevie dan Reine di meja makan. Aroma masakan hangat memenuhi ruang makan, membawa kenyamanan di tengah perasaan yang masih tersisa dalam hati Emily. Ia mengamati ibunya yang mulai tersenyum lagi, dan itu cukup membuatnya lega.

"Jadi, banyak yang berubah di Phoenix?" Emily membuka percakapan sambil mengambil sendoknya.

Reine mengangguk antusias. "Banyak! Kota ini semakin ramai. Oh, dan tahukah kau? Café di dekat sekolah kita dulu sudah tutup, dan sekarang jadi butik pakaian!"

Stevie tertawa kecil. "Dan yang lebih mengejutkan lagi, wali kelas kita, Mr. Harrington, akhirnya menikah! Di usia 52! Aku masih tidak percaya."

Emily ikut tersenyum, mengingat sosok Mr. Harrington yang selalu sibuk dengan pekerjaannya dan dulu sering mengatakan bahwa pernikahan hanya akan menghambat kariernya.

"Siapa yang menyangka, ya?" Emily menggeleng kecil. "Aku penasaran bagaimana istrinya bisa menaklukkan hatinya."

"Mungkin dengan sabar menunggunya selama bertahun-tahun," sahut Reine, membuat mereka semua tertawa.

Percakapan berlanjut ke rencana masing-masing setelah lulus. Reine ingin melanjutkan sekolah magister di New York, sementara Stevie berencana bekerja di kantor pajak kota mereka. Emily mendengarkan mereka dengan seksama, merasa senang melihat teman-temannya begitu bersemangat akan masa depan mereka.

Di sela percakapan mereka, Eleanor juga ikut bercerita tentang pekerjaannya di rumah sakit. "Kemarin, aku menangani pasien yang mengalami gagal donor jantung. Kami harus melakukan operasi dadakan saat itu juga. Jantungnya benar-benar sudah tidak bisa menunggu lebih lama. Itu salah satu malam paling menegangkan yang pernah aku alami."

Emily menatap ibunya dengan rasa bangga dan kagum. " You're always amazing, Mom.."

Eleanor tersenyum lembut, lalu mengangkat bahu. "Hanya melakukan tugasku."

Setelah makan siang yang penuh cerita, Reine tiba-tiba bertepuk tangan dengan semangat. "Hei, bagaimana kalau kita pergi ke pasar malam?"

Emily mengangkat alis. "Pasar malam?"

"Iya! Sudah lama kita tidak bersenang-senang seperti ini. Kapa terakhir kali kita bermain bersama Em?," timpal Stevie. "Ayo, anggap saja reuni kecil-kecilan."

Emily akhirnya setuju, dan beberapa jam kemudian, mereka bertiga sudah berada di pasar malam yang ramai. Lampu-lampu warna-warni menerangi langit malam, musik ceria menggema di udara, dan aroma manis dari berbagai makanan menggoda indera penciuman mereka.

Mereka mencoba berbagai permainan, mulai dari bianglala yang membawa mereka ke ketinggian dengan pemandangan kota Phoenix yang indah, hingga komidi putar yang membuat mereka tertawa seperti anak kecil lagi. Setelah itu, mereka berfoto bersama di bilik foto, mengabadikan momen kebersamaan mereka yang langka.

Saat mereka menyusuri jalanan pasar malam yang ramai, lampu-lampu warna-warni berkelip di atas kepala, Emily tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ada aroma yang menyusup di antara hiruk-pikuk wangi manisan gula, popcorn, dan asap panggangan. Aroma itu terlalu familiar. Aroma parfum yang sudah dua bulan ini melekat di ingatannya.

Dadanya mendadak terasa sesak. Aroma itu begitu khas, seolah langsung menohok ruang hatinya.

Emily menoleh ke kiri dan kanan, matanya menyapu kerumunan orang yang berdesakan. Namun, tidak ada wajah yang ia kenal. Tidak ada siapa pun. Mungkin ini hanya ilusi. Mungkin pikirannya yang terlalu lelah.

“Emily, c’mon! Kita mau beli cotton candy!” teriak Stevie dari ujung jalan, suaranya tenggelam di antara dentuman musik dan teriakan pedagang.

Reine melambaikan tangan, menyuruhnya cepat menyusul. Emily menarik napas panjang, mencoba mengusir kegelisahan yang menempel di dadanya. Ia baru akan melangkah, ketika tiba-tiba sebuah tangan hangat mencengkeram pergelangannya dari belakang.

Jantungnya seolah meloncat ke tenggorokan. Emily berbalik dengan cepat, dan waktu seakan berhenti.

Dua mata coklat itu ada di sana. Menatapnya tanpa kedip, penuh intensitas yang menghantam lebih keras dari keramaian di sekeliling mereka.

Wajah itu… sedikit berbeda dari terakhir kali Emily melihatnya—lebih tegas, lebih matang, dan sorot matanya… Tuhan, sorot mata itu seakan menyimpan ribuan kata yang tak pernah terucap.

Emily membeku, tubuhnya menolak bergerak, sementara dadanya bergemuruh hebat, nyaris pecah. Suaranya keluar nyaris berbisik, “Lucas…?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Emily'S Lover   CHAPTER NINE

    Angin pagi yang sejuk menyelinap melalui celah jendela, membangunkan Emily dari tidurnya. Mentari belum sepenuhnya menampakkan dirinya, namun mata Emily sudah tidak bisa kembali tertidur. Ia mengerjapkan kedua matanya perlahan. Tubuhnya terasa begitu hangat, terlindungi dalam dekapan Liam.Emily menggerakkan tangannya dan menatap cincin yang kini melingkar sempurna di jari manisnya."Cantik sekali..." gumamnya tanpa sadar, senyum kecil terukir di bibirnya.Tatapannya beralih ke wajah Liam yang tertidur tenang di sampingnya. Semalam, setelah Liam kembali melamarnya, mereka mandi bersama, dan Emily mengobati luka lebam di wajahnya. Dari cerita Liam, semuanya berawal saat ia mabuk dan tanpa sengaja menyenggol seseorang. Orang itu marah, mulai menghina Liam, dan dalam keadaan emosional, Liam tak terima—ia melayangkan tinjunya. Untungnya, ada orang yang melerai sebelum situasi semakin buruk.Emily menghela napas pelan. Ia menyentuh wajah Liam dengan lembut, jari-jarinya mengusap pipi pria

  • Emily'S Lover   CHAPTER EIGHT

    Lucas menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Emily. Gedungnya tidak besar, tapi tampak nyaman, dengan cahaya lampu dari beberapa jendela yang masih menyala di malam yang semakin larut.Liam memutuskan untuk mengantar ibunya pulang, sementara Emily diantar oleh Lucas. Saat Lucas melirik ke sebelah kanan, ia mendapati Emily tertidur dengan kepala sedikit miring, memeluk tote bag-nya erat-erat. Napasnya teratur, wajahnya terlihat begitu damai—sebuah ketenangan yang langka setelah hari panjang yang penuh emosi ini.Lucas ragu. Ia tidak sampai hati membangunkannya.Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Emily masih terlelap, tubuhnya hampir tidak bergerak. Lucas mulai curiga bahwa jika dibiarkan, Emily mungkin akan tidur sampai pagi di dalam mobilnya.Dengan hati-hati, ia menyentuh pundaknya, mencoba membangunkannya tanpa mengagetkannya. Kalau saja ia tahu Emily tinggal di lantai berapa, mungkin ia sudah membopongnya masuk ke dalam apartemen."Em... kita sudah sampai,”

  • Emily'S Lover   CHAPTER SEVEN

    Liam melamar Emily?Bagaimana bisa? Mereka baru mengenal setengah tahun, bukan? Apakah Liam benar-benar mencintai Emily sampai segitunya? Lucas tidak merasa cemburu—tidak, bukan itu. Hanya saja, ia khawatir sepupunya terlalu terbawa suasana. Kalap dalam semalam dan akhirnya mengambil keputusan yang mungkin akan disesalinya nanti.Saat mendengar kata-kata Emily barusan, kepala Lucas terasa kosong. Hampir saja dia bertanya, Apa kau yakin? Tapi yang keluar dari mulutnya justru, Selamat, sebelum ia buru-buru pergi, menjauh dari tatapan Emily.Lucas tidak ingin wajahnya menunjukkan sesuatu yang bisa disalahartikan.Namun, meski sudah berjalan cukup jauh, pikirannya tetap dipenuhi dengan kata-kata Emily. Ia menyesali keputusannya mendekati bangku taman tadi. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan Emily dan teman-temannya dari tatapan orang-orang sekitar yang mulai terganggu oleh teriakan mereka yang histeris. Bahkan, seorang Ms. Huang—profesor mereka—sempat bertanya pada Lucas apakah Emily dan

  • Emily'S Lover   CHAPTER SIX

    Warning! 18+***Derap langkah cepat menyadarkan aktivitas Emily saat ini. Dia masih merapikan sisa makanan di meja, matanya sesekali melirik jam di dinding yang menunjukkan angka lima. Sudah dua jam sejak Lucas pergi, tetapi sisa kehadirannya masih terasa—entah dari wangi parfumnya yang samar atau kenangan obrolan siang tadi yang terus berputar di kepalanya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan candaan, sesuatu yang selama ini terasa mustahil terjadi antara mereka.Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatian Emily. Liam masuk dengan langkah berat, wajahnya tampak lelah dan sedikit kusut, seolah beban dunia ada di pundaknya. Tanpa ragu, dia meletakkan tas, handphone, kunci, dan dompetnya di atas meja yang baru saja Emily bersihkan."Liam, jangan taruh barangmu di at—"Sebelum Emily bisa menyelesaikan kalimatnya, Liam sudah menarik tengkuknya dan menyapukan bibirnya ke bibir Emily dengan penuh gairah. Emily terkejut, tetapi dia merasakan sesua

  • Emily'S Lover   CHAPTER FIVE

    Bunyi ketukan keyboard memenuhi ruang kerja Lucas di kampus CalArt. Di tengah kesibukannya menyusun laporan mingguan yang harus ia serahkan kepada Ms. Huang sore ini, pikirannya justru berkelana ke tempat lain.Ia masih mengingat percakapan telepon dengan Liam pagi tadi—tepat saat Lucas masih terlelap. Liam bertanya, “Makanan apa yang baik untuk orang sakit?”Lucas menjawab tanpa berpikir panjang. Bubur. Tentu saja, bukankah itu makanan standar bagi orang yang sedang sakit?Namun setelah telepon itu berakhir, pertanyaan lain mulai merayapi pikirannya. Siapa yang sakit?Liam adalah seorang workaholic kelas berat. Jika sampai ia mengambil cuti kerja, pasti orang itu bukan sembarang orang. Satu nama terlintas di benaknya.Emily.Lucas menggeleng, mencoba menepis pikiran itu. Tapi semakin ia mengusirnya, semakin kuat bayangan itu menghantuinya.Apakah Emily jatuh sakit karena dirinya kemarin? Atau memang dia sering sakit-sakitan? Tidak mungkin. Emily bukan tipe yang lemah. Ia bahkan masih

  • Emily'S Lover   CHAPTER FOUR

    Gemericik air memenuhi dapur, berpadu dengan dentingan halus peralatan masak yang saling bersentuhan.Emily berdiri di depan wastafel, kedua tangannya sibuk mencuci teflon yang baru saja ia gunakan. Matanya sedikit sayu, tubuhnya masih lemah, tetapi setidaknya ia merasa jauh lebih baik dibanding tadi malam.Dan yang terpenting—ia lapar.Bubur yang Liam berikan sejak tadi malam memang cukup untuk membuatnya bertahan, tetapi tidak cukup untuk memuaskan perutnya yang kini menuntut lebih. Ia butuh sesuatu yang lebih mengenyangkan—protein, karbohidrat, sesuatu yang benar-benar terasa seperti makanan.Namun bukan hanya untuk dirinya sendiri.Dengan infus yang masih terpasang di tangan, Emily menggantung teflon dengan sangat hati-hati. Di balik rasa laparnya, ada perasaan lain yang menyelimutinya—rasa bersalah.Liam tidak pantas diperlakukan seperti kemarin.Laki-laki itu tidak tahu apa-apa, tetapi Emily justru mengabaikannya.Bahkan saat ia berkali-kali menolak berbicara, Liam tetap di sisi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status