MasukLucas menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Emily. Gedungnya tidak besar, tapi tampak nyaman, dengan cahaya lampu dari beberapa jendela yang masih menyala di malam yang semakin larut.
Liam memutuskan untuk mengantar ibunya pulang, sementara Emily diantar oleh Lucas. Saat Lucas melirik ke sebelah kanan, ia mendapati Emily tertidur dengan kepala sedikit miring, memeluk tote bag-nya erat-erat. Napasnya teratur, wajahnya terlihat begitu damai—sebuah ketenangan yang langka setelah hari panjang yang penuh emosi ini.
Lucas ragu. Ia tidak sampai hati membangunkannya.
Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Dua puluh menit. Emily masih terlelap, tubuhnya hampir tidak bergerak. Lucas mulai curiga bahwa jika dibiarkan, Emily mungkin akan tidur sampai pagi di dalam mobilnya.
Dengan hati-hati, ia menyentuh pundaknya, mencoba membangunkannya tanpa mengagetkannya. Kalau saja ia tahu Emily tinggal di lantai berapa, mungkin ia sudah membopongnya masuk ke dalam apartemen.
"Em... kita sudah sampai,” bisiknya lembut.
Kelopak mata Emily perlahan bergerak, lalu terbuka dengan sayup. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang masih tersisa.
“Kita sudah sampai sejak tadi?” tanyanya sambil mengucek matanya.
Lucas tersenyum tipis. “Tidak, kita baru saja tiba.” Ia bersandar di kursinya, menatap Emily dengan ekspresi menggoda. “Bangunlah, atau kau mau aku menggendongmu?”
Emily mendengus pelan, sebuah senyum kecil terukir di wajahnya—senyum yang jelas dipaksakan.
“Dalam mimpimu, Mr. Morrow.”
Lucas menatapnya lebih lama. Ada sesuatu yang tidak beres. Senyum Emily tidak seperti biasanya. Ada bayangan lelah di matanya, sesuatu yang tidak bisa disembunyikannya meski ia berusaha keras.
“Em... are you okay?” tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Emily langsung mengangguk cepat. Terlalu cepat. “Of course, Luke.”
Lucas tidak yakin. Tapi sebelum ia sempat mengatakan sesuatu lagi, Emily sudah meraih gagang pintu. “Terima kasih sudah mengantarku,” katanya, suaranya terdengar tergesa-gesa.
Lalu begitu saja, ia keluar dari mobil, menutup pintu tanpa menoleh ke belakang, melangkah cepat menuju pintu masuk apartemennya.
Lucas hanya bisa menatap kepergiannya dalam diam, mengikuti sosoknya yang semakin menjauh, hingga akhirnya menghilang di balik gedung.
Ada sesuatu yang mengganggu hatinya yang mengatakan gadis itu tidak baik-baik saja.
***
Emily keluar dari mobil dengan tergesa-gesa. Ia tidak bisa berlama-lama di ruang yang sama dengan Lucas. Ia harus segera pergi. Semakin lama ia berduaan dengannya, semakin berbahaya rasanya—terutama untuk jantungnya.
Sejak Lucas pertama kali mengunjungi apartemennya, Emily merasa tubuhnya tidak pernah bekerja dengan benar saat berada di dekat pria itu. Jantungnya selalu berdetak tidak karuan, pikirannya berantakan.
Ingat Em, pria itu pemain wanita!
Bahkan dalam seminggu, Lucas bisa berganti-ganti wanita seakan itu adalah hal paling alami di dunia. Bagi Lucas Morrow, bersikap lembut dan penuh perhatian pada perempuan bukanlah sesuatu yang sulit—bukan karena ia tulus, tapi karena itu sudah jadi bagian dari permainannya.
Emily harus tetap mengendalikan situasi.
Ia menghela napas dalam, mencoba menenangkan dirinya, lalu berjalan menuju pintu masuk apartemennya. Dalam perjalanannya, ia sempat menyapa satpam yang berjaga malam itu.
"Selamat malam, Mr. Orland," sapanya dengan senyum kecil.
"Selamat malam, Emily," sahut pria paruh baya itu ramah. Matanya melirik sekilas ke arah jalan. "Apakah itu mobil baru Liam?"
Emily menoleh ke belakang, melihat Tesla yang masih terparkir di depan gedung. Jendelanya gelap, tapi ia tahu Lucas masih ada di dalam sana.
"Oh, bukan," jawabnya cepat. "Itu temanku."
"Ah, pantas saja. Kukira dia akan ikut masuk, tapi sepertinya dia hanya menunggu di luar."
Emily mengernyit, rasa penasaran menggigit pikirannya. "Tunggu... sudah berapa lama mobil itu ada di sana?" tanyanya hati-hati.
Mr. Orland berpikir sejenak. "Hmm, mungkin sekitar 30 menit atau lebih? Aku tidak begitu ingat pasti. Kau bisa bertanya langsung pada temanmu, bukan?"
Emily membeku sejenak. Tiga puluh menit lebih...?
Lucas bilang mereka baru saja sampai. Tapi kenyataannya, ia sudah ada di sana jauh sebelum membangunkan Emily. Pria itu kembali berbohong padanya.
Emily merapatkan mantel di tubuhnya, mencoba mengabaikan rasa aneh yang menjalari dadanya. Ia tidak ingin mencari tahu. Tidak ingin menggali lebih dalam.
Tidak. Demi kenyamanan hatinya, ia akan pura-pura tidak tahu.
***
Emily menjatuhkan tubuhnya ke kasur begitu ia tiba di apartemennya. Seluruh tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena aktivitas hari ini, tetapi juga karena emosinya terkuras habis sejak pagi.
Dengan gerakan lamban, ia meraih ponselnya yang sudah mati seharian dan menyambungkannya ke pengisi daya di samping tempat tidur. Begitu layar menyala, berbagai notifikasi mulai berdatangan—SMS, email, dan puluhan panggilan tak terjawab.
54 missed calls from Liam.
Emily menelan ludah. Ada perasaan bersalah yang menyelusup ke dalam dadanya. Ia membuka aplikasi pesan dan mulai mengetik.
Emily: Kabari aku saat kau sudah sampai rumah. I miss you, Liam.
Setelah menekan tombol kirim, ia kembali menatap layar ponselnya, tapi balasan dari Liam tak kunjung datang. Apakah dia sudah tidur? Batin Emily mulai bertanya-tanya.
Emily menghela napas dan membuka kontaknya. Matanya tertuju pada satu nama yang sudah lama tidak ia hubungi: Eleanor Wilton Mitchell.
Ibunya.
Dengan sedikit ragu, ia menekan ikon panggilan. Nada sambung berbunyi. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
Tidak ada jawaban. Tentu saja. Ibunya selalu sibuk.
Sejak kematian ayahnya, Eleanor semakin mengubur diri dalam pekerjaannya. Sebagai dokter bedah ternama di Arizona, waktunya hampir selalu dihabiskan di rumah sakit. Emily sudah terbiasa dengan itu. Sudah terlalu sering menerima pesan suara sebagai ganti percakapan. Itu juga salah satu alasan mengapa ia memilih meninggalkan rumah dan berkuliah di California.
Jauh dari kenangan. Jauh dari rumah yang terasa semakin kosong.
Emily menatap layar ponselnya yang tetap sunyi. Liam pun masih belum membalas pesannya.
Apa yang harus ia lakukan?
Rasa tidak enak mulai menggerogoti hatinya. Apakah seharusnya ia menemani Liam saja hari ini? Apakah ia salah karena pergi? Tapi... apa yang harus ia katakan jika Liam kembali menyinggung soal lamarannya?
Pikiran itu membuat kepalanya semakin penuh.
"Aargh!" Emily mengacak rambutnya, frustrasi.
Mungkin mandi air hangat bisa sedikit menenangkan pikirannya.
Emily menanggalkan pakaiannya satu per satu dan memasuki shower room. Air hangat mengalir membasahi tubuhnya, mencoba meredakan kelelahan yang menggerogoti setiap inci dirinya. Badannya begitu lelah, bahkan untuk sekadar berteriak pun rasanya tak sanggup.
Saat ia masih menikmati aktivitasnya, suara pintu apartemennya terdengar terbuka.
Emily sontak mematikan keran shower, mencoba memastikan pendengarannya. Namun, belum sampai satu detik ia menghentikan air, pintu kamar mandinya terbuka.
Di sanalah Liam berdiri—dengan wajah lebam, luka memar menghiasi kulitnya.
Tanpa berpikir panjang, Emily keluar dari shower room, air masih menetes dari tubuhnya.
"Liam?! Apa yang terjadi?" tangannya refleks menyentuh wajah Liam yang babak belur, matanya mulai berkaca-kaca.
Liam hanya terkekeh pelan, meskipun jelas sekali ia menahan rasa sakit. "Kudengar kau merindukanku. Jadi aku langsung ke sini. Aku tahu kau menghindariku selama dua minggu ini, Em."
Emily menggigit bibirnya, rasa bersalah menyelimutinya. "Liam... siapa yang melakukan ini padamu? Kenapa wajahmu seperti ini?" suaranya bergetar, air matanya tak terbendung. Tanpa ragu, ia memeluk Liam erat—bahkan ia lupa bahwa tubuhnya masih basah, masih telanjang.
Namun, Liam tak peduli. Ia hanya membalas pelukan Emily, memeluknya seakan tak ingin melepaskannya lagi.
"Aku benar-benar mencintaimu, Em." Suaranya terdengar serak. "Kupikir, sepertinya aku tak bisa hidup tanpamu." Ia mengecup puncak kepala Emily, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang hanya bisa diberikan Emily.
Emily mencengkeram punggung Liam lebih erat. "Bagaimana kalau aku mengecewakanmu nanti? Bagaimana kalau aku mempermalukanmu? Jujur saja, kita berbeda, Liam. Kau tahu, Ibuku hanya seorang dokter, sementara keluargamu? Kau mungkin bisa membeli seluruh rumah di Valencia jika kau mau."
Liam terkekeh pelan. "Kalau itu bisa membuatmu menerimaku, aku akan beli seluruh rumah itu, Em." Ia mengangkat wajah Emily, menatap langsung ke dalam matanya. "Tapi bukan itu yang aku inginkan. Aku hanya ingin kamu, Emily."
Emily tersedu. "Berjanjilah kau tidak akan meninggalkanku jika suatu hari aku mengacau."
Liam mengusap pipinya yang basah, lalu tersenyum lembut. "Aku janji."
Dan saat itu, ia memberikan ciuman terhangat, terlembut, dan termanis yang pernah dirasakan Emily.
Ketika mereka saling menatap, Emily mengambil napas dalam, lalu berkata dengan suara lirih, "Lamarlah aku lagi kalau begitu, Liam."
Liam menatapnya dengan mata membelalak. "Apa yang kamu katakan? Babe, are you serious?"
Pipi Emily memerah. "Aku tidak akan mengulanginya lagi."
Liam tertawa pelan, masih tak percaya dengan yang baru saja ia dengar. Namun, dalam hitungan detik, ia berbalik dan berlari ke ruang tamu. Emily menatapnya bingung, hingga ia melihat Liam kembali dengan kotak beludru merah di tangannya.
Emily tertegun. Liam benar-benar menyiapkan semuanya.
Dengan satu gerakan, Liam membuka kotak itu, memperlihatkan cincin berlian yang begitu indah.
Liam berlutut di hadapannya, menatapnya penuh cinta. "Emily Grace Mitchell, will you marry me?"
Emily menatap cincin di jarinya—sudah melingkar sempurna di sana. Ia tertawa kecil sambil menghapus air matanya.
"Oh, Mr. Harris... aku sudah memakainya. Tentu saja aku mau."
Malam itu menjadi malam yang tak terlupakan untuk Liam dan Emily.
***
Hari itu seharusnya menjadi hari paling membahagiakan dalam hidup Emily Grace Mitchell. Tapi di ruang tunggu pengantin wanita—yang terasa lebih seperti ruang isolasi daripada tempat bersiap menuju altar—Emily hanya duduk terpaku, menatap pantulan dirinya di cermin. Gaun putih gading itu membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk lembut kehamilannya yang masih samar. Namun, yang terpancar dari matanya bukanlah kebahagiaan. Melainkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.Pintu ruangan terbuka perlahan. Ibunya masuk, membawa serta aroma kekhawatiran yang tak bisa disamarkan.“Emily…” ucapnya lembut, sebelum duduk di samping putrinya dan menggenggam tangannya erat. “Kamu tahu, tidak ada kata terlambat untuk mundur.”Emily menoleh, mata hazelnya membelalak pelan. “Mom, please…”“Aku serius,” lanjut sang ibu dengan suara penuh empati. “Kamu bisa membatalkan ini. Aku akan tetap di sisimu, apapun yang terjadi. Jangan merasa harus melangkah hanya karena semua orang sudah menunggu
Lucas berhenti mendadak. Langkahnya membeku di tengah derasnya hujan ketika matanya menangkap sosok itu—berdiri mematung di trotoar seberang jalan. Meskipun lampu jalan hanya berpendar samar di antara kabut dan embun malam, Lucas tahu betul siapa yang ada di sana.Tanpa berpikir panjang, ia menyeberang. Air hujan memercik di sekitar kakinya, menampar wajahnya yang dingin. Nafasnya memburu, dadanya naik-turun sampai akhirnya ia tiba di hadapan Emily.Tanpa sepatah kata, Lucas langsung menggenggam tangan perempuan itu—erat, hampir tergesa. Emily terperanjat.“Lucas? Why—”“Kenapa kau bertelanjang kaki?! Kau pikir kakimu terbuat dari batu?!” bentaknya tiba-tiba, suara seraknya membelah derasnya hujan.Emily terdiam. Ia menatap Lucas dengan mata membulat, terkejut sekaligus bingung. Tapi justru dari nada keras itu, sesuatu dalam dirinya runtuh perlahan. Matanya memanas. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.Lucas berlutut di hadapannya tanpa berkata apa-ap
Langit tampak mendung sejak pagi, seolah ikut mencerminkan kekacauan dalam kepala Emily. Sudah seminggu sejak kejadian di apartemen Liam malam itu, dan sejak itu pula mereka tak lagi saling menghubungi. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Emily hanya mendapat kabar dari ibu Liam atau dari ibunya sendiri, kebanyakan soal teknis pernikahan mereka.Dan hari ini—sehari sebelum hari pernikahan.Tapi yang membuat Emily gelisah bukan hanya soal Liam yang menghilang tanpa kabar. Yang membuat dadanya sesak adalah tentang janin di dalam rahimnya. Apakah ia harus memberitahu Lucas? Haruskah ia menyimpan semuanya sendiri? Atau... haruskah ia menghentikan semua sandiwara ini? Pernikahan, rencana masa depan, kebohongan yang ia tutupi dengan senyum?Sial. Kepalanya terasa seperti akan pecah.Di dalam apartemen yang sebentar lagi akan ia tinggalkan, Emily sedang sibuk mengemasi pakaiannya diatas lantai apartemenya. Jemarinya bergerak cepat, tapi pikirannya jauh. Terlalu jauh dari apa pun yang sedang i
Liam dan Emily kembali ke apartemen Liam setelah makan malam keluarga yang berakhir kacau. Begitu pintu terbuka, Liam melempar jasnya ke sofa dengan gerakan tergesa. Napasnya memburu, tubuhnya dipenuhi amarah yang tertahan sejak tadi. Ia langsung jatuh duduk, wajahnya terkubur di antara kedua tangannya.Emily yang menyaksikan itu hanya berdiri beberapa detik, ragu. Ia kemudian duduk di sebelah Liam, mengangkat tangannya hendak mengusap punggung pria itu, tapi ia mengurungkannya. Hatinya terasa sesak.“Liam… maaf. Aku—aku benar-benar minta maaf karena semuanya jadi berantakan.”“It’s not your fault, Em,” ucap Liam tanpa menoleh.Emily menggigit bibir bawahnya. “Aku berharap bisa memutar waktu sebelum semua ini terjadi…”Liam mengangkat wajahnya, kemudian bangkit dan mulai berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Emily ikut berdiri dan mencoba mendekat, lalu melingkarkan lengannya ke tubuh Liam dari samping, berusaha menenangkannya.“Em… aku tidak tahu harus bagaimana.” Suara Liam terdeng
Malam itu, angin berembus cukup kencang, membawa aroma lembap dari taman di sekitar mansion keluarga Harris.Emily turun dari mobil bersama ibunya, langkahnya terasa berat saat sepatu haknya menyentuh pelataran batu yang dingin. Jantungnya berdegup cepat. Sejak tadi, ia terus mengecek ponselnya—berkali-kali—berharap ada pesan masuk dari Liam.Namun layar itu tetap kosong.Sejak pertengkaran mereka kemarin, Emily belum berhasil menghubungi Liam. Tak ada satu pun panggilan atau pesan yang dibalas. Ia menunggu sepanjang malam, tapi nihil. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa, berharap tidak ada hal buruk yang terjadi pada pria itu.“Em, kau siap?” suara Eleanor memecah keheningan malam ketika ia menutup pintu mobil. “Kamu menunggu kabar siapa? Sejak tadi sore, kamu terus memandangi ponselmu.”Emily tertegun sesaat, lalu tersenyum kecil. “Tidak, aku hanya gugup,” jawabnya pelan. Ia berjalan bersama ibunya menaiki tangga teras mansion.Eleanor menghela napas lembut, kemudian berbalik mengh
*Lima Tahun Lalu - University of California, Open House*Siang itu matahari menyengat, namun halaman kampus tetap ramai. Musik dari panggung kecil menyatu dengan suara ramai pengunjung dan mahasiswa. Spanduk warna-warni tergantung di setiap tenda. Liam, dengan kaus fakultas dan topi terbalik di kepala, sibuk menyiapkan booth jurusan bisnis bersama beberapa teman.“Hei, Liam!” teriak kakak tingkat dari seberang. “Roll-up banner-nya ketinggalan. Can you get it from the assembly room?”“Third floor?”“Yup. Also, the brochure box. Thank you!”Liam mengangguk, menyeka keringat dari keningnya, lalu segera menuju gedung fakultas bisnis yang berdiri tak jauh dari lapangan tenis tempat open house berlangsung.Di sisi lain, Emily berjalan berdampingan dengan ayahnya, Joshua, sambil melihat-lihat brosur dari booth yang baru saja mereka kunjungi.“Kamu yakin ingin kuliah di sini?” tanya Joshua, matanya menyapu sekeliling kampus.Emily mengangguk kecil, senyum menggantung di wajahnya. “Sepertinya







