LOGIN
Cup!
Kecupan itu berhasil menggemparkan seisi kafetaria. Pasalnya yang menjadi sasaran ciuman nyasar itu adalah Killian Elgara, seorang mahasiswa populer yang tidak banyak bicara, tapi sangat disegani oleh mahasiswa lainnya. Sedangkan sang tersangka utama, Aria Valencia, mengedipkan kedua matanya berulang kali. Wajah polos dan tatapan tanpa dosanya membuat mahasiswa lain menatap iba. “Mau sampai kapan lo di sana?” desis Killian. “Eh?” Aria masih mencoba mencerna keadaan. Beberapa saat lalu dia sedang berjalan dengan pelan, takut kalau ada yang tiba-tiba saja menjegal kaki atau mungkin menyiramnya dengan kuah bakso sisa atau es teh Mbak Anisa. Walaupun sudah mengantisipasi, tapi Aria yang cukup ceroboh ini didorong dari belakang oleh orang lain yang membuatnya menabrak tubuh seseorang hingga jatuh. Tak hanya menimpa tubuh orang itu, dia juga tidak sengaja mencium pipinya. Aria menelan ludah susah payah. Dilihatnya laki-laki yang memasang ekspresi masam dengan wajah merah padam menahan marah di bawah tubuhnya. “Mau sampai kapan lo di atas badan gue?” geram Killian yang sudah tidak bisa menyembunyikan rasa kekesalan di hatinya lagi. “E-eh? Maaf, maaf, Kak!” Aria tersentak, wajahnya berubah menjadi pucat, kemudian bangun dengan cepat. “Ahh, maafkan aku! Aku nggak sengaja!” “Gue nggak salah lihat, kan?” Samar, Aria bisa mendengar suara di sekelilingnya. “Tuh cewek barusan nyium Killian, kan?” Wajah Aria semakin pucat pasi mendengar nama itu disebutkan. Killian? Jangan bilang dia … Killian Elgara? Kakak tingkatnya yang sangat populer di fakultas ekonomi dan bisnis. Laki-laki pendiam yang tidak suka berdekatan dengan wanita, tapi ia sangat diidolakan oleh kaum hawa karena ketampanannya. Killian menatapnya tajam. Tidak ada suara, tapi tatap mata hitamnya sanggup membuat Aria merinding ketakutan. “M-maaf, Kak! Aku benar-benar nggak sengaja!” Killian hanya mendesis, tanpa meninggalkan kata apa pun, laki-laki itu memunggungi Aria dan melangkah pergi dari kafetaria. Byur! “Ahh!” Aria mengerjap sembari mengusap wajah yang baru saja disiram oleh air es. Dilihatnya orang yang baru saja menyiramnya …. Claudia Arabella dan dua pengikutnya—Fara dan Mona—sedang menatap Aria sinis. “Awas lo!” desis Claudia, lalu pergi dari sana setelah melempar gelas plastik di tangannya tepat ke wajah Aria. Fara menunjuk matanya dan mata Aria dengan jari telunjuknya secara bergantian. “Tunggu aja tanggal mainnya!” Mona memutar-mutar ponsel di tangannya dengan seringai sinis, isyarat dia menyimpan sesuatu yang bisa digunakan untuk bahan ancaman berikutnya. Fakta itu membuat Aria merenung sepanjang sisa mata kuliah hari itu. Bahkan, ketika dosen memintanya menjawab soal karena dia adalah mahasiswi beasiswa, dia hanya diam saja. Hidupnya selama di kampus sudah cukup berat. Dia selalu menghadapi bully—baik verbal maupun fisik dari mahasiswa lain. Aria tidak begitu tahu apa alasannya. Dia sudah berusaha tampil biasa, bahkan cenderung tak kasat mata agar tidak terlalu menarik perhatian yang ada, tapi masih ada saja masalah yang terus mendatanginya. Aria masih merenung hingga dia pulang dan melihat sosok pria paruh baya berjas rapi dengan rambut klimis sedang duduk di sebelah mamanya. "Aria, kamu sudah pulang, Sayang?" tanya Elvira, mamanya dengan senyum lembut yang sanggup membuat Aria tenang sejenak. Aria mengangguk kemudian menatap pria di samping mamanya. “Dia siapa, Ma?” Elvi menepuk sisi sofa sampingnya yang lain. “Sini, Sayang, duduk dulu!” Aria menurut dan duduk di sebelah mamanya. “Kenalkan Sayang, dia Om Adikara, dia akan menjadi papa kamu mulai hari ini.” Aria mengerjap. “M-maksudnya?” “Mama menikah lagi, Sayang.” “T-tapi, kenapa, Ma? Bukannya Mama pernah bilang, kalau mama tidak akan menikah lagi sampai Aria lulus kuliah?” Elvi tersenyum sendu. “Maafkan Mama, Sayang, tapi Mama rasa, Mama tidak bisa hidup sendiri ….” Omong kosong! Jika memang mamanya tidak bisa hidup sendiri, dia tidak akan menunggu sampai lima tahun untuk menikah lagi! Aria ingin bertanya, tapi dia memilih untuk menelan kembali pertanyaannya. Aria bisa menebak, kenapa Elvi memutuskan untuk mengingkari janjinya pada Aria. Mungkin karena cinta Om Adikara yang sangat besar untuknya atau karena Elvi sudah tidak sanggup membayar hutang piutang yang telah ditinggalkan oleh almarhum papanya. “Aria!” Adikara mengulurkan tangan. “Salam kenal, ya! Om sudah banyak mendengar tentang kamu selama ini. Semoga kita bisa menjadi keluarga yang hangat dan harmonis!” Aria menyambut uluran tangan itu dengan ragu dan langsung melepaskannya dengan cepat. Raut wajahnya terlihat takut, tapi Adikara sama sekali tidak tersinggung. Elvi sudah mengatakan alasannya. “Sekarang kamu berkemas, ya! Kita akan langsung pindah, karena mulai sekarang, kita akan tinggal bersama di rumah Om!” Aria mengerjap pelan. Tiba-tiba sekali. Apa ini tidak ada masa orientasi dulu? Dia langsung pindah rumah, gitu? Aria menatap mamanya. “Biar Mama bantu.” Elvi berdiri, kemudian pergi ke kamar Aria yang mengikuti langkahnya dari belakang. “Ma ….” Aria memilin ujung bajunya dan terlihat ragu sejenak. “Apa Mama yakin menikah dengan Om Adikara?” Aria tahu, mamanya masih menyimpan trauma atas semua kejahatan papa pada mereka dulu. Itu mengapa dia memilih menjanda setelah suaminya meninggal dunia. “Keputusan Mama sudah bulat, Sayang.” Elvi tersenyum, tapi kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya. Aria bisa melihat gelagat anehnya dan dia pun dapat menerka alasan sebenarnya di balik keputusan mamanya. “Apa Om Adikara orang yang baik?” “Dia sangat baik, Sayang. Dia sangat-sangat baik. Dia juga punya empat anak laki-laki. Mereka akan menjadi saudara yang menyayangimu dengan sepenuh hati!” “Benarkah itu, Ma?” “Tentu saja, Sayang!” Elvi menjawab dengan nada positif. “Apa kamu keberatan dengan Om Adikara?” Aria menggeleng. “Tidak.” Selama mamanya bahagia, dia tidak akan menuntut apa pun lagi darinya. Setelah berkemas, mereka pun pindah ke kediaman keluarga Putra di hari itu juga. Sebuah kediaman besar dengan bangunan mewah dan halaman luas yang berhasil membuat Aria terpana begitu tiba di sana. “Ma, apa kita benar-benar akan tinggal di rumah sebesar ini? Rumah ini bahkan jauh lebih besar dan lebih luas dari rumah lama kita dulu, Ma.” Sejenak Elvi merasa wajahnya memanas mendengar ucapan putrinya. Sedangkan Adikara tertawa. “Tentu saja Aria! Mulai hari ini, kamu akan tinggal di sini dan rumah ini akan menjadi rumahmu juga.” “Beneran, Om?” “Tentu saja!” Adikara mengangguk. “Bukan hanya itu saja, kamu akan punya empat kakak laki-laki yang tampan dan sangat bisa diandalkan.” Adikara membelai puncak kepala Aria dengan lembut. “Mereka akan melindungimu dan membuatmu melupakan trauma masa lalumu.” Aria tersentak sejenak. Dia tidak menyangka Elvi sampai mengatakan tentang ketakutannya pada Adikara. Jika Elvi sampai memberi tahu masalah sensitif itu pada papa barunya, pasti hubungan mereka berdua sudah sangat dekat sebelumnya. “Terima kasih, Om!” “Tidak perlu berterima kasih untuk keluarga, Sayang! Ayo, Om akan membawamu mengelilingi rumah ini—” Elvi berdeham. “Mas, bukankah kamu sebelumnya berjanji mau menemaniku belanja kebutuhan Aria selama tinggal di sini?” “Oh, iya!” Adikara terkekeh pelan. “Maaf Elvi, aku terlalu senang karena akhirnya bisa memiliki anak perempuan juga setelah sekian lama.” Adikara menatap Aria. “Maaf ya Aria, kamu berkeliling dengan pelayan rumah ini saja.” Aria mengangguk. “Baik, Om! Aku tidak keberatan.” Adikara memanggil pelayan dan mengutusnya untuk mengantar Aria ke salah satu kamar yang ada di lantai dua. Sedangkan Adikara pergi bersama Elvi untuk belanja barang-barang keperluan putri barunya. Aria memasuki kamar barunya dengan tatapan penuh kekaguman. Walau kata pelayan, kamar ini hanya kamar biasa yang jarang digunakan, tapi kamar ini sangat luas. Kasurnya juga empuk saat Aria menjatuhkan tubuh di atasnya. Lampu yang menggantung pun terlihat indah dan mewah. Warna dindingnya yang putih menambah kesan elegan juga. “Kamar mandinya gimana, ya?” Aria yang penasaran pun berdiri. Dia berjalan menuju arah pintu kamar mandi saat pintu kamar mandi tiba-tiba saja terbuka dan sosok pria matang dengan rambut basah juga handuk yang menutup perut sampai paha muncul di sana. Aria mengerjap. Pria itu pun melakukan hal serupa. Mereka sama-sama terdiam hingga handuk yang dipakai pria itu melorot …. “KYAAA!”Aria yakin, apa yang terjadi semalam hanyalah bunga tidurnya saja. Mana mungkin Killian Elgara yang sangat populer di kampus itu adalah kakak tirinya?Dia yakin semua itu hanya mimpinya saja, karena otaknya masih terbayang-bayang soal peristiwa kemarin siang, ketika dia berurusan dengan Killian.Namun, saat dia turun ke ruang makan untuk sarapan bersama, Aria menemukan Killian sedang duduk di salah satu kursi yang ada.Killian ada di sana. Dia hanya melirik Aria dari ekor mata, tanpa bicara atau sekadar menyapanya, laki-laki itu hanya mengabaikan keberadaan Aria, seperti sosok tidak kasat mata.“Bagaimana tidurmu semalam, Aria?” tanya Adikara langsung saat Aria sudah duduk di kursinya.“Nyenyak, Om.” Aria langsung menggigit bibirnya. Lagi, dia lupa memanggil Adikara dengan panggilan papa seperti yang dicontohkan Rexan sebelumnya.“Baguslah kalau kamu bisa tidur nyenyak.” Adikara menatap Killian yang menyantap sarapannya tanpa rasa bersalah sedikit pun.Adikara berdeham pelan, memberik
“AAA—hmph!” “Lo pikir sekarang jam berapa?” desis laki-laki yang sedang membekap mulut Aria. “Bisa-bisanya lo teriak kayak gitu tengah malam gini? Lo mau bikin semua orang di rumah ini bangun, karena dengar suara teriakan lo yang keras itu, hm?” Suaranya terdengar tidak asing, tapi Aria yakin kalau dia salah satu kakak tirinya yang lain. Aria melirik rupa kakak tirinya dalam gelap, tapi dia hanya bisa melihat siluet yang tidak begitu jelas bagaimana bentuk wajahnya. “M-maaf, Kak, aku pikir tadi ada hantu,” jawab Aria ketika laki-laki itu mulai melepaskan bekapan tangannya. Laki-laki itu hanya mendengkus. “Harusnya gue yang mikir kayak gitu. Bisa-bisanya lo muncul di dapur tengah malam gini, mana lampunya nggak dinyalain lagi?” “Niatnya, aku cuma mau minum sebentar, Kak.” Aria menundukkan kepalanya merasa bersalah. “Aku nggak mau bangunin yang lain, makanya lampunya nggak aku nyalain.” Laki-laki itu berdecak, kemudian menyalakan lampu dapur yang membuat tatapan keduanya bert
“Di mana saudaramu yang lain?” Adikara bertanya saat mereka sedang makan malam bersama setelah selesai berdebat soal kamar yang akan ditempati Aria.Rexan meminta Aria untuk menempati kamarnya saja yang ada di ujung koridor lantai dua, karena dia tidak pernah menempatinya dan hanya pulang sesekali saja. Itu pun dia hanya sekadar mampir atau tidur di kamar lain— kamar yang hendak digunakan oleh Aria sebelumnya.Sedangkan Adikara berniat merenovasi kamar Alva, anak sulungnya yang memang tidak pernah pulang setelah membuat rumah sendiri di pusat ibu kota. Namun, Rexan melarangnya, karena takutnya hal itu akan menimbulkan masalah untuk Aria ke depannya.Pada akhirnya, mereka sepakat untuk memberikan kamar Rexan pada Aria.“Entahlah!” Rexan mengangkat bahunya santai.“Bukankah aku sudah meminta kalian semua untuk pulang hari ini? Kenapa hanya kamu saja yang datang kemari?”“Jangan tanya padaku, aku sudah lama tidak bertemu dengan mereka akhir-akhir ini.”Walaupun mereka bersaudara, tapi me
“KYAAA!”Aria menutup matanya menggunakan tangan, tubuh kecilnya berbalik dan memunggungi pria yang sedang membenarkan posisi handuknya.Pria itu adalah Rexan Sagara, anak kedua di keluarga Putra. Dia menatap punggung Aria dengan tatapan tidak terbaca. Otaknya bertanya, tapi tidak berhasil menemukan jawabannya.“M-maafkan aku, aku tidak tahu—”“Keluar.” Nada suaranya yang tegas dan jelas itu membuat Aria takut dan memutuskan untuk pergi secepat mungkin dari sana.Aria berjalan lurus—nyaris berlari—masih dengan mata tertutup. Alhasil, dia menabrak tembok di depannya hingga jatuh dengan keadaan mengenaskan.Rexan yang melihat peristiwa itu pun dibuat melotot kaget dan secara refleks dia mendekati Aria lalu bertanya bagaimana keadaannya. “Kamu baik-baik saja?”Aria mengangguk “Aku baik-baik saja,” jawabnya, walau mulutnya meringis menahan perih di jidatnya.Rexan tersenyum tipis mengingat kelakuan Aria tadi. “Seharusnya kamu tidak perlu menutup mata lagi kalau kamu sudah balik badan, buk
Cup! Kecupan itu berhasil menggemparkan seisi kafetaria. Pasalnya yang menjadi sasaran ciuman nyasar itu adalah Killian Elgara, seorang mahasiswa populer yang tidak banyak bicara, tapi sangat disegani oleh mahasiswa lainnya. Sedangkan sang tersangka utama, Aria Valencia, mengedipkan kedua matanya berulang kali. Wajah polos dan tatapan tanpa dosanya membuat mahasiswa lain menatap iba. “Mau sampai kapan lo di sana?” desis Killian. “Eh?” Aria masih mencoba mencerna keadaan. Beberapa saat lalu dia sedang berjalan dengan pelan, takut kalau ada yang tiba-tiba saja menjegal kaki atau mungkin menyiramnya dengan kuah bakso sisa atau es teh Mbak Anisa. Walaupun sudah mengantisipasi, tapi Aria yang cukup ceroboh ini didorong dari belakang oleh orang lain yang membuatnya menabrak tubuh seseorang hingga jatuh. Tak hanya menimpa tubuh orang itu, dia juga tidak sengaja mencium pipinya. Aria menelan ludah susah payah. Dilihatnya laki-laki yang memasang ekspresi masam dengan wajah merah padam







