LOGIN“KYAAA!”
Aria menutup matanya menggunakan tangan, tubuh kecilnya berbalik dan memunggungi pria yang sedang membenarkan posisi handuknya. Pria itu adalah Rexan Sagara, anak kedua di keluarga Putra. Dia menatap punggung Aria dengan tatapan tidak terbaca. Otaknya bertanya, tapi tidak berhasil menemukan jawabannya. “M-maafkan aku, aku tidak tahu—” “Keluar.” Nada suaranya yang tegas dan jelas itu membuat Aria takut dan memutuskan untuk pergi secepat mungkin dari sana. Aria berjalan lurus—nyaris berlari—masih dengan mata tertutup. Alhasil, dia menabrak tembok di depannya hingga jatuh dengan keadaan mengenaskan. Rexan yang melihat peristiwa itu pun dibuat melotot kaget dan secara refleks dia mendekati Aria lalu bertanya bagaimana keadaannya. “Kamu baik-baik saja?” Aria mengangguk “Aku baik-baik saja,” jawabnya, walau mulutnya meringis menahan perih di jidatnya. Rexan tersenyum tipis mengingat kelakuan Aria tadi. “Seharusnya kamu tidak perlu menutup mata lagi kalau kamu sudah balik badan, bukan?” Aria terdiam. “Oh, iya, benar juga, kenapa aku terus menutup mataku sejak tadi?” Aria menyingkirkan tangannya, lalu mulai membuka mata, dan wajah tampan Rexan langsung terpampang di manik cokelatnya. Gadis berusia awal sembilan belas tahun itu mengerjap dan menelan ludah melihat betapa tampannya sosok di depannya. “Keluar dulu, tunggu aku di ruang tamu, aku akan mengobati lukamu.” Aria masih diam sampai Rexan menyentil keningnya yang memar. “Keluar,” perintahnya lagi untuk yang ketiga kalinya. Aria terkesiap, dia bangun dan langsung pergi dengan ringisan di keningnya yang baru saja disentil oleh Rexan. Rexan melihat punggung Aria yang menghilang. Dia menatap ruang yang hendak dia jadikan kamar sementara, lalu menemukan sebuah koper besar berwarna putih yang belum dikeluarkan isinya. “Apa gadis itu akan tinggal di sini?” Rexan mengabaikannya dan segera memakai pakaian. Beberapa menit menunggu, akhirnya Rexan muncul dengan penampilan yang jauh lebih rapi dari harapannya. Dengan kemeja putih, celana hitam, dan sebuah kacamata berbingkai tipis yang menghias wajah tampannya, Rexan terlihat tampan, dewasa, dan sangat bisa diandalkan. “Tunjukkan lukanya padaku,” perintahnya langsung ketika sampai di hadapan Aria. Dia berjongkok tanpa ragu di depan gadis yang beberapa saat lalu baru ditemuinya. Aria menyibak rambut bagian depannya dengan patuh dan menunjukkan bekas memar di keningnya. “M-maaf, aku tidak tahu kalau kakak ada di kamar itu!” Rexan yang sedang melihat luka memarnya langsung mengernyit samar. “Kakak?” Aria mengangguk, wajah polosnya sama sekali tidak terlihat dibuat-buat ketika bicara, “Bukankah kakak akan menjadi salah satu saudaraku?” Rexan terdiam. Jadi, Papa benar-benar menikah lagi? Dia menatap Aria dengan tatapan yang intens. Dan gadis manis ini akan menjadi adik tiriku? Rexan terdiam, tampak menimang-nimang. Tidak buruk. “Siapa namamu?” “Aria.” “Usia?” “Sembilan belas tahun.” Rexan langsung menyipit. Untuk gadis usia sembilan belas tahun, bukankah dia terlalu kecil dan kurus? Apa dia mengalami malnutrisi sebelumnya? “Nama kakak siapa?” Aria memiringkan kepala. Ekspresi wajahnya terlihat lucu dan menggemaskan yang membuat Rexan tersenyum padanya. “Rexan Sagara, panggil saja Rexan.” Rexan berdiri. “Aku ambilkan es batu untuk mengompres bekas lukamu itu, jangan pergi ke mana-mana!” Aria hanya mengangguk dan diam saja di sana ketika Rexan pergi mengambil es batu secara langsung alih-alih menyuruh pelayan rumah yang melakukannya. Elvi dan Adikara pulang tepat ketika Rexan sedang mengompres kening Aria, sebelum lukanya berubah jadi memar. Adikara yang melihatnya sontak berlari mendekat dan menarik telinga Rexan bak seorang ayah yang sedang menghardik putranya. “Apa yang sudah kamu lakukan pada adikmu, hah?!” Aria melongo, Elvi juga sama. Mereka kaget melihat Adikara ternyata seekspresif itu pada putranya. Sedangkan Rexan meringis. Dia melepaskan tangan Adikara dan menatapnya tajam. “Aku tidak melakukan apa pun padanya!” “Oh, ya?” “Apa wajahku ini terlihat seperti orang-orang yang suka melukai wanita?” “Memangnya tidak begitu?” Adikara mendesis. “Tempo hari, kudengar kamu baru saja membuat anak gadis orang menangis.” Rexan terkesiap, dia langsung mengingat-ingat anak gadis mana yang sudah dia buat menangis tempo hari? “Minggu lalu dan bulan lalu juga, kamu membuat anak gadis orang menangis, kan?” desis Adikara. Rexan akhirnya bisa mengingat apa maksud ucapan ayahnya. “Apa boleh buat, kan?” Elvi terlihat syok. “Apa yang sudah kamu lakukan pada mereka?” “Kak, aku pikir kakak orang baik, tapi ternyata—” “Tunggu … tunggu, sepertinya kalian salah paham!” Rexan mengacak-acak rambutnya frustrasi. “Salah paham apalagi? Laporan yang datang padaku sangat banyak sekali tentangmu yang suka membuat anak gadis orang menangis selama ini!” Rexan langsung melotot tajam. “Siapa yang melapor soal itu pada Papa?” “Kamu tidak perlu tahu.” Rexan mendengkus sebal. “Bukannya sengaja, aku hanya terpaksa membuat mereka menangis saja.” Aria memiringkan kepalanya lucu. “Maksudnya?” Rexan menghela napas berat. “Mereka menyukaiku dan memaksaku untuk menerima perasaan mereka. Aku tidak mau, jadi ya ….” “Kakak sengaja menyakiti mereka untuk menolak cinta mereka?” Aria menatap Rexan dengan tatapan tidak percaya. “Mau bagaimana lagi, kan?” Rexan meringis. “Kenapa kamu tidak pilih saja salah satu di antara mereka? Bukankah kamu belum punya pacar? Kakakmu juga sama saja! Apalagi adikmu! Kapan aku bisa punya cucu kalau kalian semua betah melajang sampai tua, begitu?” “Mas!” tegur Elvi lembut sambil mengelus lengan atas suaminya. “Jangan memaksa mereka mencari pasangan seperti itu, karena hubungan yang didasari paksaan tidak akan pernah berakhir baik.” “Maafkan aku, Elvi. Aku hanya gemas pada kelakuan mereka berempat selama ini.” Adikara tersenyum masam. Elvi tersenyum lembut, dia menatap laki-laki dewasa yang akan menjadi putranya dengan tatapan teduh. “Halo, nama Tante Elvira, tante akan menjadi ibu tirimu mulai hari ini!” Rexan mengangguk. Dia merasa tidak asing dengan wanita ini, tapi dia tidak bisa mengingatnya dengan baik. “Rexan Sagara Putra, panggil saja Rexan, Mama.” Panggilan itu diam-diam menyentil Aria yang masih memanggil Adikara dengan panggilan om alih-alih papa seperti seharusnya.Aria yakin, apa yang terjadi semalam hanyalah bunga tidurnya saja. Mana mungkin Killian Elgara yang sangat populer di kampus itu adalah kakak tirinya?Dia yakin semua itu hanya mimpinya saja, karena otaknya masih terbayang-bayang soal peristiwa kemarin siang, ketika dia berurusan dengan Killian.Namun, saat dia turun ke ruang makan untuk sarapan bersama, Aria menemukan Killian sedang duduk di salah satu kursi yang ada.Killian ada di sana. Dia hanya melirik Aria dari ekor mata, tanpa bicara atau sekadar menyapanya, laki-laki itu hanya mengabaikan keberadaan Aria, seperti sosok tidak kasat mata.“Bagaimana tidurmu semalam, Aria?” tanya Adikara langsung saat Aria sudah duduk di kursinya.“Nyenyak, Om.” Aria langsung menggigit bibirnya. Lagi, dia lupa memanggil Adikara dengan panggilan papa seperti yang dicontohkan Rexan sebelumnya.“Baguslah kalau kamu bisa tidur nyenyak.” Adikara menatap Killian yang menyantap sarapannya tanpa rasa bersalah sedikit pun.Adikara berdeham pelan, memberik
“AAA—hmph!”“Lo pikir sekarang jam berapa?” desis lak-laki yang sedang membekap mulut Aria. “Bisa-bisanya lo teriak kayak gitu tengah malam gini? Lo mau bikin semua orang di rumah ini bangun, karena dengar suara teriakan lo yang keras itu, hm?”Suaranya terdengar tidak asing, tapi Aria yakin kalau dia salah satu kakak tirinya yang lain. Aria melirik rupa kakak tirinya dalam gelap, tapi dia hanya bisa melihat siluet yang tidak begitu jelas bagaimana bentuk wajahnya.“M-maaf, Kak, aku pikir tadi ada hantu,” jawab Aria ketika laki-laki itu mulai melepaskan bekapan tangannya.Laki-laki itu hanya mendengkus. “Harusnya gue yang mikir kayak gitu. Bisa-bisanya lo muncul di dapur tengah malam gini, mana lampunya nggak dinyalain lagi?”“Niatnya, aku cuma mau minum sebentar, Kak.” Aria menundukkan kepalanya merasa bersalah. “Aku nggak mau bangunin yang lain, makanya lampunya nggak aku nyalain.”Laki-laki itu berdecak, kemudian menyalakan lampu dapur yang membuat tatapan keduanya bertemu secara l
“Di mana saudaramu yang lain?” Adikara bertanya saat mereka sedang makan malam bersama setelah selesai berdebat soal kamar yang akan ditempati Aria.Rexan meminta Aria untuk menempati kamarnya saja yang ada di ujung koridor lantai dua, karena dia tidak pernah menempatinya dan hanya pulang sesekali saja. Itu pun dia hanya sekadar mampir atau tidur di kamar lain— kamar yang hendak digunakan oleh Aria sebelumnya.Sedangkan Adikara berniat merenovasi kamar Alva, anak sulungnya yang memang tidak pernah pulang setelah membuat rumah sendiri di pusat ibu kota. Namun, Rexan melarangnya, karena takutnya hal itu akan menimbulkan masalah untuk Aria ke depannya.Pada akhirnya, mereka sepakat untuk memberikan kamar Rexan pada Aria.“Entahlah!” Rexan mengangkat bahunya santai.“Bukankah aku sudah meminta kalian semua untuk pulang hari ini? Kenapa hanya kamu saja yang datang kemari?”“Jangan tanya padaku, aku sudah lama tidak bertemu dengan mereka akhir-akhir ini.”Walaupun mereka bersaudara, tapi me
“KYAAA!”Aria menutup matanya menggunakan tangan, tubuh kecilnya berbalik dan memunggungi pria yang sedang membenarkan posisi handuknya.Pria itu adalah Rexan Sagara, anak kedua di keluarga Putra. Dia menatap punggung Aria dengan tatapan tidak terbaca. Otaknya bertanya, tapi tidak berhasil menemukan jawabannya.“M-maafkan aku, aku tidak tahu—”“Keluar.” Nada suaranya yang tegas dan jelas itu membuat Aria takut dan memutuskan untuk pergi secepat mungkin dari sana.Aria berjalan lurus—nyaris berlari—masih dengan mata tertutup. Alhasil, dia menabrak tembok di depannya hingga jatuh dengan keadaan mengenaskan.Rexan yang melihat peristiwa itu pun dibuat melotot kaget dan secara refleks dia mendekati Aria lalu bertanya bagaimana keadaannya. “Kamu baik-baik saja?”Aria mengangguk “Aku baik-baik saja,” jawabnya, walau mulutnya meringis menahan perih di jidatnya.Rexan tersenyum tipis mengingat kelakuan Aria tadi. “Seharusnya kamu tidak perlu menutup mata lagi kalau kamu sudah balik badan, buk
Cup! Kecupan itu berhasil menggemparkan seisi kafetaria. Pasalnya yang menjadi sasaran ciuman nyasar itu adalah Killian Elgara, seorang mahasiswa populer yang tidak banyak bicara, tapi sangat disegani oleh mahasiswa lainnya. Sedangkan sang tersangka utama, Aria Valencia, mengedipkan kedua matanya berulang kali. Wajah polos dan tatapan tanpa dosanya membuat mahasiswa lain menatap iba. “Mau sampai kapan lo di sana?” desis Killian. “Eh?” Aria masih mencoba mencerna keadaan. Beberapa saat lalu dia sedang berjalan dengan pelan, takut kalau ada yang tiba-tiba saja menjegal kaki atau mungkin menyiramnya dengan kuah bakso sisa atau es teh Mbak Anisa. Walaupun sudah mengantisipasi, tapi Aria yang cukup ceroboh ini didorong dari belakang oleh orang lain yang membuatnya menabrak tubuh seseorang hingga jatuh. Tak hanya menimpa tubuh orang itu, dia juga tidak sengaja mencium pipinya. Aria menelan ludah susah payah. Dilihatnya laki-laki yang memasang ekspresi masam dengan wajah merah padam







