Semoga pembaca betah ya
Dion pusing mendengar istri dan anaknya adu mulut begitu hebatnya. Dia pun berteriak, meminta keduanya untuk diam.Mya pun diam, bagaimana pun dia diajarkan untuk menghormati yang lebih tua. Dia sendiri merasa terlalu berani terhadap Sari, meski sesungguhnya yang dilakukan olehnya karena jengkel.Tetapi Sari tetap melancarkan serangannya terhadap anak tirinya itu. Tidak terima dengan semua perkataan Mya.“Ajari anakmu sopan-santun, Mas!” seru Sari, memojokkan Mya.“Aku sopan kalau Tante Sari beres!” balas Mya. Dia terpancing lagi untuk marah.“Mya, masuk kamar!” Dion memberikan perintah.Dengan wajah tidak terima, Mya menuruti perintah ayahnya. Setelah itu, Dion menarik Sari masuk ke kamar.“Kamu bisa nggak sih, bersikap baik pada anakku?” tanya Dion, kesal dengan sikap istri sirinya.“Anakmu yang kurang ajar!” sanggah Sari.“Yang Mya sebutkan itu benar, Sari! Harusnya Kamu ngurus rumah dan masak,” Dion berkata, mengingat protes putri sulungnya.“Sebelum ada dia, Kamu nggak masa
Setelah tinggal terpisah dari anak sulungnya, Diah sempat terpuruk.Berhari-hari, Diah hanya dapat menangis mengingat putri sulungnya. Walaupun mereka tidak dekat, tetap saja berat terasa di hati tanpa kehadiran Mya di dekatnya.Pada saat itu, dia pun mengabaikan Qilla. Gadis remaja itu hanya diam melihat sikap ibunya. Mencoba mengerti, meski terasa sulit untuk anak seusianya.Sampai Rika mengingatkan Diah, Qilla pun butuh dirinya.“Mya bersama ayahnya, dia aman,” tegur sahabatnya yang berkunjung, setelah tiga hari kepergian putri sulungnya.Dia mendapati sahabatnya diam di kamarnya. Sementara Qilla menikmati ayam goreng krispi kesukaannya, yang tadi dibawakan oleh Rika.“Aku tahu, Ka. Hanya saja, rasanya nggak enak Mya nggak ada di sini,” Diah mengungkapkan isi hatinya.“Lalu bagaimana dengan Qilla?” tanya Rika, ada penekanan pada suaranya.“Kenapa Qilla?” Diah balik bertanya. Timbul rasa khawatir di hatinya.Dia merasa anak keduanya baik-baik saja. Perempuan berparas manis it
Sari terduduk kembali ke kursinya. Dan Mya tahu benar, tidak ada kondisi berbahaya yang dialami oleh ibu tirinya.Dia pernah melihat ibunya dalam kondisi yang lebih berat dibandingkan Sari.Tetapi perempuan itu memanfaatkan kehamilannya untuk menekan Mya di depan suaminya.“Aduh, sakit,” desis Sari, memegangi perutnya. Dion panik, segera mendekati istrinya, mencoba memeriksanya. Tetapi istri sirinya itu menghindari, dengan mendekap erat perutnya.Mya yang melihat cara Sari melindungi perutnya, hanya mendengus geli.“Kamu nggak apa-apa?” Dion bertanya, wajahnya panik dan berusaha meraih perut istrinya yang sudah sedikit menonjol.Sari masih pura-pura meringis, sekaligus mencoba membuat drama untuk memojokkan anak tirinya.“Aku cuma ingin melihat, Mas. Kenapa Mya sampai mendorongku?” Sari pun memulai dramanya. Menangis sengungukan sambil tetap memegang perutnya.Mya mendengus, geli melihat aksi Sari. Dia tahu sekali, bahwa dorongannya tidak kencang. Hanya menepis dan mendorong tangan ibu
Hari ini Diah sedikit lega, karena sudah berkomunikasi dengan putri sulungnya. Setidaknya sudah ada kabar dari Mya, meski tidak terlalu menggembirakan.Diah merasakan hatinya yang kesal. Mendengar anaknya tidak terurus dengan baik oleh pasangan selingkuh itu, rasanya ingin menjemputnya pulang.Tetapi saat ini yang bisa dilakukan hanya mengirimkan makanan untuk putri sulungnya itu. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan, Mya tidak harus bingung untuk urusan perut.Menjemput putrinya untuk pulang? Dia belum berani melakukannya. Menghargai keinginan Mya, itu yang diutamakan.“Ibu,” Qilla memanggilnya, menyadarkan dirinya dari lamunan tentang putri sulungnya.Diah mengingat teguran Rika, bahwa Qilla juga butuh dirinya. Dia mengulas senyum kepada putri keduanya, melambaikan tangannya.“Sini, Nak,” Diah berkata, seraya meminta anaknya untuk mendekat. Qilla menuruti ibunya, duduk di sampingnya.“Ada apa?” tanya Diah, tangannya mengelus bahu gadis kecil tersebut.“Apa—nggak sebaiknya
Setelah berbicara lewat telepon dengan Diah, Dion dan Sari bertengkar hebat.Mereka tidak peduli, magrib menjelang. Yang penting rasa marah keduanya tersalurkan.Mya berusaha tidak memperdulikan keadaan itu. Dia lebih sibuk membereskan barang-barangnya. Ibunya sudah berjanji akan menjemputnya nanti malam.Barulah, saat kumandang adzan terdengar, Mya keluar dan menegur keduanya untuk menghentikan pertengkaran.“Adzan, Sholat Magrib dulu,” ujar Mya, berjalan melewati keduanya.Dia ke kamar mandi, untuk mengambil wudhu. Lalu kembali ke kamar, ingin menunaikan sholat Magrib.“Tunggu Ayah, Kak,” kata Dion, kemudian meninggalkan Sari yang masih meradang.Mya sendiri memilih mengabaikan ibu tirinya, dan menunggu ayahnya di pinggir ranjang.Ketika Dion masuk kamar Mya, Sari masih marah-marah.“Mau ikut jamaah magrib atau tidak?” tanya Dion seraya menoleh ke arah perempuan seksi tersebut. Tidak peduli dengan omelan istri sirinya.Sari hanya melirik suaminya, tanpa ada niat mengikuti ajakan shol
Diah yang akan masuk ke dalam mobil,langsung balik kanan. Merengkuh Mya ke dalam pelukannya.Wajah putri sulungnya sudah memerah. Amarah tampak melingkupi remaja cantik tersebut.“Nak, istighfar,” bisik Diah tepat di depan telinga Mya.Di hadapan mereka, Sari sedang memegang pipinya yang memerah, bekas tamparan Mya.“Sudah merah kupingku, dari tadi dia menghina Ibu!” seru Mya, mengadu kepada Diah. Sepertinya sudah tidak mampu mengontrol emosinya lagi.Hari ini memang terlalu berat untuk ditanggung Mya seorang diri. Usianya baru belasan tahun, duduk di bangku SMP. Tetapi harus menghadapi Sari yang lisannya seperti tidak lulus sekolah.Satu hari ini, dua kali dia harus menghadapi drama perempuan, istri baru ayahnya tersebut. Tentu saja yang ketiga kalinya, merasa perlu untuk bereaksi keras.Diah harus menahan putri sulungnya, supaya tidak lagi menyerang ibu tirinya tersebut. Tetapi Sari sepertinya lahir untuk menguji kesabaran manusia waras. Dia main drama lagi.“Dasar anak tidak
Dion dan Sari duduk bersisian di ruang tamu. Di hadapan mereka, ada Pak RT dan istrinya yang bernama Aminah.“Pak Dion bilang, sedang menunggu buku nikah,” Pak RT langsung membicarakan poinnya, tanpa basa-basi.“Iya, Pak RT. Kami sudah nikah siri, untuk menghindari fitnah. Belum bisa menikah resmi, karena masih menunggu sidang cerai,” panjang lebar Dion menjelaskan.Pak RT mengangguk-angguk, mencoba memaklumi penjelasan tersebut.Nikah siri karena belum sah bercerai? Demi menghindari fitnah? Tetapi perut yang perempuan sudah tampak hamil? Pak RT merasa gagal paham.“Maaf nih Pak, kapan nikah sirinya?” tanya Aminah dengan raut wajah penasaran.“Sekitar dua bulan yang lalu, Bu,” jawab Dion, tidak menyadari Aminah sedang mengintrogasi dirinya.Aminah menganggukkan kepala. Seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu menatap perut Sari.“Oh, Mbak Sari sedang hamil ya?” tanyanya seraya tetap melihat perut istri sirinya Dion. Seakan-akan dia baru tahu keadaan tersebut.Sari tersenyum jumawa, tang
“Kita tinggal di rumahmu!” seru Dion, setelah berfikir cukup lama.Sari mendelik ke arah Dion, keberatan dengan keputusan yang diambil suaminya itu.“Kenapa harus ke sana? Kenapa bukan ke rumahmu yang dipakai Diah dan anak-anak?” protes Sari.Dion menghela nafas, merasa kesal dengan rongrongan istri sirinya itu.“Rumah itu warisan orang tuanya Diah, bukan hakku mengambilnya,” tegas Dion.Sari mendengus, kesal melihat suaminya masih membela sang mantan.“Tapi kan, Kamu yang membiayai perawatan rumah itu!”Rumah yang ditempati Diah memang besar. Terdiri dari lima kamar tidur dan dua kamar mandi. Halamannya cukup luas, ditata sebagai taman yang asri dan arena bermain. Sari pasti ingin sekali menempatinya.“Itu kewajibanku sebagai suaminya saat itu. Bukan hakku untuk menggugatnya sekarang,” sergah Dion jengkel.“Ya sekarang, sebagai suamiku punya kewajiban untuk memberi tempat tinggal,” Sari masih tidak terima.“Paling lambat, kita besok pagi harus pergi dari sini. Mau cari rumah kontrakan