"Mengapa Om ingin membeli rumah kami?" tanya Mya."Karena Om pernah tinggal di sana, jadi ingin kembali," jawab Arga.Mya mengerutkan keningnya."Maksudnya gimana? Tinggal di rumah kami?" Mya pun bertanya kembali.Arga susah payah menahan tawa dengan kepolosan gadis yang duduk di sebelahnya."Bukan, Om dulu tetangga ibumu saat kami masih seusia kalian. Lalu pindah karena pekerjaan orang tua," Arga memberikan penjelasan, setelah berhasil menahan tawanya.Mya pun menganggukkan kepalanya."Jadi ketika Om kembali ke Jogja, rumah itu sudah jadi milik orang lain. Tapi hanya bisa tinggal di kaliurang," Arga melanjutkan ceritanya."Dan tau Ibu jual rumah, makanya Om ingin beli?" Mya bertanya dijawab dengan anggukan kepala Arga."Selain tempat Om yang dulu ada di depan kalian, rumah kalian memiliki banyak kenangan," beritahu Arga.Laki-laki itu tersenyum, mengingat segala hal yang pernah dilewatinya bersama Diah."Apa tujuan Om membeli rumah kami?" Mya masih terus mengejar jawaban Arga."Yang p
“Kamu boros banget, sih!” teriak si lelaki.“Uang sekolah anak-anak naik, Mas. Sembako juga,” Diah mencoba menjelaskan.“Berapa sih naiknya? Kamu minta kenaikannya banyak banget!” Dion masih tidak terima.“Lalu terus gimana? Apa aku kerja aja?” suara Diah agak kencang. Dia frustasi atas sikap si suami.Baru kali ini mereka berselisih masalah keuangan. Diah tidak pernah meributkan seberapa pun suaminya itu memberikan uang kepadanya. Dan Dion juga bukan tipe orang yang pelit untuk kebutuhan rumah tangga mereka.Dan kali ini, baru kali ini, Dion meributkan hal yang tidak pernah jadi masalah besar buat rumah tangganya.“Kita cerai!”Deg-Dada Diah langsung terasa nyeri mendengar perkataan Dion, laki-laki yang sudah menjadi suaminya selama 13 tahun terakhir.Cerai? Semudah itu kah suaminya bicara? Ribut masalah keuangan lalu mengucapkan talak?“Mas, kamu serius dengan perkataanmu?” lirih suara perempuan berusia 35 tahun itu bertanya. Ditahannya air mata yang tiba-tiba ingin tumpah.“Ya, ak
“Itu memang hakku, Mas! Silahkan bertanya ke yang lebih paham,” sergah Diah kesal.“Wow! Sudah bicara hak! Bagaimana dengan hakku?” seru laki-laki itu jumawa.“Hakmu selama masa iddah adalah bisa tetap di rumah ini, meski bukan atas namamu. Aku juga tidak mengusirmu, Mas. Kamu saja yang ingin pergi,” jelas Diah panjang lebar.Dion mendengus mendengarnya, dia tidak bisa membalas ucapan perempuan yang secara hukum negara masih menjadi istrinya itu.“Aku juga tidak akan menghambat komunikasimu dengan anak-anak,” Diah masih melanjutkan ucapannya.“Kita tetap pisah, kamu sudah nusyuz kepada suamimu,” sergah Dion.“Bagian mana pada diriku disebut nusyuz, Mas? Apa ada kewajibanku sebagai istrimu dan ibunya anak-anak yang kulalaikan? Kalau ada, tolong sebutkan, biar kuperbaiki,” Diah masih sabar membujuk Dion.“Sudah lah! Aku tetap ingin kita bercerai. Tidak ada lagi yang perlu diperbaiki,” pungkas laki-laki itu. Dia sudah tidak mau dibujuk. Keputusannya sudah final, tidak lagi bisa diganggu-
Diah segera mengambil telepon selularnya. Nomor tidak dikenal yang memanggilnya. Dia pun mengangkatnya sambil mengerutkan dahinya.“Halo,” sapa Diah lirih."Halo Ibu direktur, atau mantan ibu direktur?" sambut suara di seberang sana seraya tertawa. Dia bingung dengan sapaan itu. Apalagi suara itu terdengar familiar di telinganya.“Ini siapa ya?” tanya Diah kebingungan."Saya Sari, pegawai Pak Dion...oh! Atau calon istri Pak Dion?" Suara itu semakin kurang ajar menghina Diah.Calon istri? Mantan Ibu direktur? Diah tidak mengerti arah pembicaraan lawan bicaranya di telepon.“Ada apa menelpon saya?” tanya Diah. Dadanya bergemuruh, perasaannya tidak nyaman hinggap di hatinya.Dia mempunyai firasat jelek pada panggilan telepon ini."Oh nggak, hanya ingin serah terima jabatan saja," semakin menjadi-jadi perempuan yang bernama Sari itu bicara.Serah terima jabatan? Diah semakin dibuat bingung dengan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan perempuan itu.“Serah terima jabatan apa?” D
“Ibu kenapa?” tanya Rika kepada Mya yang sudah berdiri di ruang tamu.“Pingsan, Tan,” jawab Mya gugup.Sekilas dilihatnya anak sulung Diah itu tampak menyembunyikan sesuatu. Tetapi diabaikan rasa ingin tahunya biar secepatnya tahu keadaan sahabatnya.Rika langsung masuk ke dalam rumah bersama Heri, sang suami.“Di mana Ibu?” tanya Rika tanpa menghentikan jalannya.“Di dapur,” jawab Mya, sedikit berlari mengikuti langkah para tamu dewasanya yang lebih cepat darinya.Rika menghentikan langkahnya.“Di dapur?” dia bertanya, mengulangi lagi perkataan Mya.Mya ikut berhenti, balas menatap Rika yang bingung dengan ucapannya.“Bunda pingsan di dapur, Tan,” Mya kemudian memberikan penjelasan.Begitu mendengar penjelasan Mya lebih lanjut, Rika langsung menarik suaminya ke arah dapur. Langkahnya lebih cepat dan gadis remaja di belakangnya makin sulit mengikuti.“Di!” seru Rika begitu masuk ke dapur. Dilihatnya sang sahabat yang berbaring di atas kursi bambu. Dia trenyuh melihat posisi tubuh saha
Setelah dibujuk bahkan sampai diancam oleh Rika, Diah pun mau diantar oleh sahabatnya itu pergi ke dokter kandungan yang dirujuk oleh Dokter Edy.Anak-anak masih betah bermain dengan Heri, sehingga Diah bisa meninggalkan mereka dengan tenang. Keduanya memang dekat dengan suami sahabatnya tersebut selain dengan sang ayah.Di ruang tunggu dokter kandungan, Diah gelisah. Sungguh, dia berharap jika dugaan Dokter Edy itu salah. Dirinya tidak tahu harus bagaimana bersikap jika benar-benar hamil.Suaminya berselingkuh, bahkan sudah menalaknya. Hamil dan melahirkan sendiri mungkin masih mampu dilaluinya. Tetapi bagaimana dengan membesarnya? Selama menikah saja dia sudah pontang-panting mengurusi kedua anaknya. Bagaimana kalau mereka sudah sah bercerai?Perempuan itu tidak mampu lagi untuk berfikir secara benar. Dia merasa buntu. Harapannya hanyalah, perkiraan dari Dokter Edy itu salah.“Ibu Diah Prameswari!” seorang perawat memanggil namanya untuk masuk ke dalam ruang periksa.“Di,” panggil R
Diah langsung melengos setelah melihat Dion dan perempuan itu berdiri di hadapannya. Talak karena nusyuz? Siapa yang selingkuh? Geram Diah dalam hatinya. Rika yang justru maju ke hadapan kedua pengkhianat itu. “Oh, istri lagi hamil diceraikan, jalan sama pelakor? Suami macam sih kamu?” teriak Rika memancing rasa ingin tahu orang sekitar mereka. Dion tersentak, memandang nanar ke arah Diah yang sibuk menarik Rika dari area itu. “Ayo Ka, ambil obat terus pulang,” bisik Diah jengah, orang-orang sudah memperhatikan mereka. Bahkan ada yang merekam lewat telepon seluler. “Nanti dulu, aku belum puas, Di,” tolak Rika. “Nggak usah cari ribut, Ka. Ayo pergi,” bisik Diah, tangannya sibuk menarik-narik sahabatnya. Sejujurnya, dia sudah malas berurusan dengan Dion. “Diah, benar kamu hamil?” Dion bertanya, dia pun berusaha melepaskan lengannya yang dibelit oleh Sari. “Ya! istrimu yang baru kamu talak demi pelakormu itu tadi pagi, sedang hamil empat minggu!” Rika yang menjawab, sedangkan Di
Diah tidak mengindahkan pertanyaan Dion. Dia langsung menarik tangan Rika, meneruskan langkah mereka untuk segera pulang. “Didi, jelaskan apa maksud perkataanmu,” Dion terus mengejar, tidak peduli banyak mata yang memperhatikan mereka. Begitu sampai ke depan lift, Dion meraih kembali lengan Diah. “Jelaskan apa maksudmu,” kejar Dion. “Apanya?” Diah balik bertanya, tidak acuh. “Kamu tadi bilang siapa yang mau hamil,” Dion mengingatkan kembali. Diah nyegir begitu mengingatnya. “Aku nggak mau hamil, puas?” Diah berkata, dan itu membuat Dion menatapnya waspada. “Kamu sekarang lagi hamil,” sergah Dion. Diah mengangkat bahunya. Acuh tak acuh menjawabnya. “Ya, tinggal digugurin. Repot amat,” dengan santai Diah menjawabnya. Rika memilih diam, walau hatinya teriris mendengarnya. Sedangkan Dion terkejut dengan jawaban yang keluar dari lisan istrinya itu. “Kamu tidak bisa menggugurkannya, aku tidak mengijinkanmu!” seru Dion marah. Diah berdecak mendengar kemarahan laki-laki berkulit