Diah masih terpaku, menatap laki-laki yang masih tampak tampan meski tidak lagi muda.“Siapa ya? Seperti pernah lihat,” gumam Diah, terus memandangi laki-laki tersebut.“Aduh, aku dilupain,” lirih suara laki-laki tersebut, memandang kecewa ke arah perempuan berparas manis tersebut.Sebenarnya, Diah bisa saja bersikap masa bodoh dengan sikap misterius tamunya. Tetapi entah kenapa, dia penasaran. Wajah laki-laki itu terasa familiar.Laki-laki itu tersenyum kecil. “Didi lupa sama Mas Gaga?” tanyanya“ya ampun! Mas Gaga? Yang dulu tinggal di sebelah?” Diah langsung heboh. Memory tentang masa kecilnya pun kembali hadir.Laki-laki tampan itu, namanya Arga Cahyo. Tetangga Diah di masa lalu. Seingatnya, laki-laki itu pindah ke luar kota saat remaja.“Alhamdulillah, sudah ingat sama Mas,” ada nada bersemangat pada suara laki-laki tersebut.Diah tertawa lirih. Dirinya pun senang bisa bertemu dengan tetangga masa kecilnya. Rasanya kenangan indah muncul kembali di kepalanya.“Apa kabar
Arga menerbitkan senyum, membuat hati Diah mendadak tegang."Asal syaratnya masih masuk akal, aku nggak masalah," Diah melanjutkan perkataannya."Sebuah kesepakatan yang insyaallah saling menguntungkan," Arga menyahut dengan suara tegas."Iya, apa syaratnya?" Diah balik bertanya, wajahnya terlihat penasaran."Assalamu'alaikum, Ibu!" sapaan dari Mya dan Qilla membuat percakapan kedua orang dewasa itu terhenti.Diah pun menyambut kedua anaknya yang baru pulang sekolah."Tadi dijemput Om Heri sama Tante Rika, Bu," beritahu Qilla, tetapi pandangannya terang-terangan mengarah kepada Arga."Tante sama Om langsung pergi, katanya ada urusan," timpal Mya, mencuri pandang ke arah Arga.Diah dan Arga menyadari rasa ingin tahu kedua gadis itu terhadap kehadiran laki-laki dewasa tersebut."Ganti baju dulu ya, nanti kembali ke sini. Ada yang ingin Ibu jelaskan," titah Diah.Kedua anaknya pun menuruti perkataan sang ibu."Apa syaratnya?" Diah mengulangi pertanyaannya kepada Arga. "Kita kerja sama,"
Arga menatap layar teleponnya, menimbang apakah perlu menerima atau diabaikan saja."Siapa tahu orang yang mau jual rumah itu, Pa," ujar Tania."Ah betul juga, Nia. Papa belum punya nomer teleponnya," sahut Arga. Dia pun akhirnya menjawab panggilan tersebut.Tetapi dugaan Arga keliru, bukan sahabat masa kecilnya yang menghubungi.["Saya Mya, putrinya Bu Diah, Om."]Sejenak, Arga terpaku. Bertanya di dalam hatinya, darimana remaja putri itu mendapatkan nomer kontaknya.["Maaf, saya menemukan kartu nama Om di meja ruang tamu."] Mya memberikan penjelasan."Oh iya, Mya. Ada keperluan apa sampai telpon Om?" Arga bertanya dengan suara lembut.["Bisakah kita bertemu? Om yang akan beli rumah kami kan?"] Permintaan Mya cukup membuatnya kaget."Boleh Om tahu, kenapa Mya minta ketemu sama Om?" Arga balik bertanya.["Hanya ... ingin ngobrol saja, sebelum ikhlas dengan keputusan yang diambil Ibu."] Mya terdengar ragu-ragu dengan perkataannya.Arga menghela nafas panjang, merasakan kegamangan gadis
"Mengapa Om ingin membeli rumah kami?" tanya Mya."Karena Om pernah tinggal di sana, jadi ingin kembali," jawab Arga.Mya mengerutkan keningnya."Maksudnya gimana? Tinggal di rumah kami?" Mya pun bertanya kembali.Arga susah payah menahan tawa dengan kepolosan gadis yang duduk di sebelahnya."Bukan, Om dulu tetangga ibumu saat kami masih seusia kalian. Lalu pindah karena pekerjaan orang tua," Arga memberikan penjelasan, setelah berhasil menahan tawanya.Mya pun menganggukkan kepalanya."Jadi ketika Om kembali ke Jogja, rumah itu sudah jadi milik orang lain. Tapi hanya bisa tinggal di kaliurang," Arga melanjutkan ceritanya."Dan tau Ibu jual rumah, makanya Om ingin beli?" Mya bertanya dijawab dengan anggukan kepala Arga."Selain tempat Om yang dulu ada di depan kalian, rumah kalian memiliki banyak kenangan," beritahu Arga.Laki-laki itu tersenyum, mengingat segala hal yang pernah dilewatinya bersama Diah."Apa tujuan Om membeli rumah kami?" Mya masih terus mengejar jawaban Arga."Yang p
“Kamu boros banget, sih!” teriak si lelaki.“Uang sekolah anak-anak naik, Mas. Sembako juga,” Diah mencoba menjelaskan.“Berapa sih naiknya? Kamu minta kenaikannya banyak banget!” Dion masih tidak terima.“Lalu terus gimana? Apa aku kerja aja?” suara Diah agak kencang. Dia frustasi atas sikap si suami.Baru kali ini mereka berselisih masalah keuangan. Diah tidak pernah meributkan seberapa pun suaminya itu memberikan uang kepadanya. Dan Dion juga bukan tipe orang yang pelit untuk kebutuhan rumah tangga mereka.Dan kali ini, baru kali ini, Dion meributkan hal yang tidak pernah jadi masalah besar buat rumah tangganya.“Kita cerai!”Deg-Dada Diah langsung terasa nyeri mendengar perkataan Dion, laki-laki yang sudah menjadi suaminya selama 13 tahun terakhir.Cerai? Semudah itu kah suaminya bicara? Ribut masalah keuangan lalu mengucapkan talak?“Mas, kamu serius dengan perkataanmu?” lirih suara perempuan berusia 35 tahun itu bertanya. Ditahannya air mata yang tiba-tiba ingin tumpah.“Ya, ak
“Itu memang hakku, Mas! Silahkan bertanya ke yang lebih paham,” sergah Diah kesal.“Wow! Sudah bicara hak! Bagaimana dengan hakku?” seru laki-laki itu jumawa.“Hakmu selama masa iddah adalah bisa tetap di rumah ini, meski bukan atas namamu. Aku juga tidak mengusirmu, Mas. Kamu saja yang ingin pergi,” jelas Diah panjang lebar.Dion mendengus mendengarnya, dia tidak bisa membalas ucapan perempuan yang secara hukum negara masih menjadi istrinya itu.“Aku juga tidak akan menghambat komunikasimu dengan anak-anak,” Diah masih melanjutkan ucapannya.“Kita tetap pisah, kamu sudah nusyuz kepada suamimu,” sergah Dion.“Bagian mana pada diriku disebut nusyuz, Mas? Apa ada kewajibanku sebagai istrimu dan ibunya anak-anak yang kulalaikan? Kalau ada, tolong sebutkan, biar kuperbaiki,” Diah masih sabar membujuk Dion.“Sudah lah! Aku tetap ingin kita bercerai. Tidak ada lagi yang perlu diperbaiki,” pungkas laki-laki itu. Dia sudah tidak mau dibujuk. Keputusannya sudah final, tidak lagi bisa diganggu-
Diah segera mengambil telepon selularnya. Nomor tidak dikenal yang memanggilnya. Dia pun mengangkatnya sambil mengerutkan dahinya.“Halo,” sapa Diah lirih."Halo Ibu direktur, atau mantan ibu direktur?" sambut suara di seberang sana seraya tertawa. Dia bingung dengan sapaan itu. Apalagi suara itu terdengar familiar di telinganya.“Ini siapa ya?” tanya Diah kebingungan."Saya Sari, pegawai Pak Dion...oh! Atau calon istri Pak Dion?" Suara itu semakin kurang ajar menghina Diah.Calon istri? Mantan Ibu direktur? Diah tidak mengerti arah pembicaraan lawan bicaranya di telepon.“Ada apa menelpon saya?” tanya Diah. Dadanya bergemuruh, perasaannya tidak nyaman hinggap di hatinya.Dia mempunyai firasat jelek pada panggilan telepon ini."Oh nggak, hanya ingin serah terima jabatan saja," semakin menjadi-jadi perempuan yang bernama Sari itu bicara.Serah terima jabatan? Diah semakin dibuat bingung dengan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan perempuan itu.“Serah terima jabatan apa?” D
“Ibu kenapa?” tanya Rika kepada Mya yang sudah berdiri di ruang tamu.“Pingsan, Tan,” jawab Mya gugup.Sekilas dilihatnya anak sulung Diah itu tampak menyembunyikan sesuatu. Tetapi diabaikan rasa ingin tahunya biar secepatnya tahu keadaan sahabatnya.Rika langsung masuk ke dalam rumah bersama Heri, sang suami.“Di mana Ibu?” tanya Rika tanpa menghentikan jalannya.“Di dapur,” jawab Mya, sedikit berlari mengikuti langkah para tamu dewasanya yang lebih cepat darinya.Rika menghentikan langkahnya.“Di dapur?” dia bertanya, mengulangi lagi perkataan Mya.Mya ikut berhenti, balas menatap Rika yang bingung dengan ucapannya.“Bunda pingsan di dapur, Tan,” Mya kemudian memberikan penjelasan.Begitu mendengar penjelasan Mya lebih lanjut, Rika langsung menarik suaminya ke arah dapur. Langkahnya lebih cepat dan gadis remaja di belakangnya makin sulit mengikuti.“Di!” seru Rika begitu masuk ke dapur. Dilihatnya sang sahabat yang berbaring di atas kursi bambu. Dia trenyuh melihat posisi tubuh saha