Share

Kiran, Ngomong Sama Siapa?

“Cuci yang bersih yaaaa!” ucap Gibran sedikit mengejek adiknya yang sedang menggosok body Sheryl sambil memakan es krim. Kiran merespon dengan mengangkat sebelah bibirnya jengkel, melihat Masnya yang hanya goyang kaki saja sambil menikmati es krim stoberi di ayunan kayu depannya.

Kiran kembali fokus ke pekerjaannya namun ia berhenti dan tersenyum jahil ke arah Masnya yang masih asik memakan es krim.

“Kak Wanda!” panggil Kiran pada Wanda yang saat  itu sedang mengayuh sepeda melewati rumah dua kakak beradik ini.

Mendengar adiknya memanggil nama itu, lantas Gibran langsung membenarkan duduknya dan gelagapan saat Wanda berhenti di depan gerbang karena panggilan Kiran dan tersenyum ke arah mereka.

“Hai, Kak!” sapa Kiran lagi dengan ramah, keduanya memang cukup dekat. “Darimana mau kemana nih?”

“Abis beli buah di tukang sayur depan komplek dan mau pulang,” jawab Wanda lalu ia memperhatikan motor Gibran dan tangan Kiran yang di penuhi sabun. “Lagi nyuci motor Mas-mu, Ran?”

Kiran melihat tangannya dan Gibran secara bergantian. “Iya, Kak!”

“Mas-mu suruh bantu, tuh. Jangan cuma ongkang-ongkang kaki aja.”

Kiran mengerjap-ngerjapkan matanya, ada aura tidak baik antara dua manusia ini.

Akhirnya Wanda pamit untuk pulang ke Kiran. Sementara Gibran tetap diam sampai punggung Wanda dan sepedanya menghilang.

“Dodol kamu mah, dek,” sungut Gibran merebahkan tubuhnya ke ayunan. “Mas-mu, Mas-mu, punya nama aku tuh. Gibran!” sambungnya jengkel mengingat Wanda yang tidak mau menyebut namanya.

“Kenapa sih?” tanya Kiran sembari melanjutkan pekerjaannya.

“Kemarin dia ngelihat Mas nganterin pulang kating…” ujar Gibran.

“KALIAN AKHIRNYA PACARAN?!” seru Kiran.

“Enggaaaaak!” jawab Gibran tidak kalah heboh. “Tapi ya gitu deh. Nggak tahu ah, pusing. Mau mabar aja sama Rendi. Rendiiii…” Gibran berlari masuk ke dalam rumah menghampiri Rendi yang sudah bisa di pastikan ia langsung memeluk adik lelakinya itu.

Sekarang, teriakan Rendi menggema ke penjuru rumah bahkan sampai telinga Kiran. Rendi menyuruh Masnya itu menyingkir. Kalau Rendi masih kecil, tidak apa-apa deh mau Gibran peluk sekuat dan sedekat apapun. Masalahnya, Rendi sekarang sudah SMA! Rendi sudah besar dan merasa malu bila di peluk seperti itu.

Mengabaikan teriakan demi teriakan Rendi, Kiran melanjutkan kerjaannya yang sebentar lagi beres. Ia tinggal memoles motor itu dengan cairan pembersih motor dan setelah itu Sheryl akan kinclong lagi seperti semula dan dirinya akan kembali menikmati hari minggunya yang masih panjang itu.

Namun saat ia sedang mengelap kaca spion motor, tiba-tiba ada sebuah krikil yang terlempar mengenai kakinya. Entah siapa yang melempar, Kiran menengok ke sekitarnya, mencari si pelaku tapi tidak ada siapa-siapa disana.

Fokusnya kembali lagi ke kaca spion motor Gibran. Namun saat sedang asyik mengelap, betapa kagetnya ia saat melihat sekilas bayangan seorang lelaki yang tengah tersenyum kaku. Kiran langsung membalikkan tubuhnya dan menemukan lelaki yang kemarin ia lihat di toko buku.

“Lo?!” ucap Kiran kaget.

“Setelah dipastikan tiga kali, ternyata dia beneran bisa lihat gue…” gumam lelaki itu.

“Ngapain lo di rumah gue?” tanya Kiran penuh selidik.

“Mau apa lo? Tahu rumah gue darimana? Kok bisa tiba-tiba ada di belakang gue?” sambung Kiran dengan rentetan pertanyaan. Lalu ia menyadari sesuatu, dengan segera Kiran menutup mulutnya yang menganga lebar. “Lo nguntit gue ya?! Maaaaaaas Gibraaaaaan! Rendiiiii!”

“Shhhhuutttt!”

Kiran berteriak namun wajah lelaki itu yang terlihat panik ditambah memelas menghentikan teriakannya. Untungnya dua saudaranya itu tidak mendengar teriakannya.

“Gue jelasin pelan-pelan ya, tolong dengerin…” ucap lelaki itu. “Iya gue yang kemarin lo lihat di toko buku. Dan lo satu-satunya manusia yang bisa lihat gue.”

Kiran memasang wajah tidak mengerti. Tentu saja, lelaki ini membual hal aneh. Manusia? Dia berkata seperti dia bukan manusia saja seperti Kiran. Hanya Kiran yang bisa melihatnya? Orang aneh, pikir Kiran. Ia terus memperhatikan gerakan lelaki di depannya ini yang sedari tadi menundukkan kepalanya.

“Gue juga mau minta maaf karena udah ngetawain lo kemarin…, eh, bentar..” lelaki itu menggantungkan kalimatnya lalu mendorong Kiran pelan untuk berkaca pada spion motor itu. “Lo tadi bisa lihat gue dari kaca ini?”

“Ya iya,” jawab Kiran singkat.

“Kok bisa?!” tanya lelaki itu heboh.

“Ya kan memang itu kerja cermin atau kaca, pea!” geram Kiran. Lelaki di depannya benar-benar aneh. “Sekarang gini deh, mau lo apa?”

“Umm….” Lelaki itu menggantungkan kalimatnya, terlihat ragu ingin mengutarakan apa yang ada di benaknya saat ini.

“Buru.”

“Mau jadi teman gue?”

Kiran tersenyum miring. Bisa-bisanya lelaki ini menanyainya hal seperti itu saat keduanya baru saja bertemu sekali. Bukankah pertemanan tidak seinstan itu? Pertemanan butuh waktu juga, bukan?

“Orang aneh,” cerca Kiran.

“Gue bakal nunggu jawaban lo kok! Gue anaknya baik, nggak nakal, dan nggak makan banyak,” celetuk lelaki itu.

“Lo pikir pertemanan bisa terjadi gitu aja tanpa mengenal terlebih dahulu orang yang mau kita jadiin teman?” tanya Kiran yang di jawab anggukan kepala oleh lelaki itu. “nggak bisa. Apalagi lo dan gue baru saja ketemu, bahkan nggak sampai satu jam! Lo orang asing yang tiba-tiba ngajak berteman gitu aja.”

“Lo orang aneh,” cerca Kiran lagi.

“Gue bukan orang…” gumam lelaki itu.

“Apa?” tanya Kiran yang tidak mendengar dengan jelas.

Lelaki itu tersenyum, tapi seperti di paksakan. “Nggak papa,” ucapnya. “Gue yakin, ada alasan kenapa semesta mempertemukan kita berdua kemarin. Dan yang pasti salah satu alasan itu adalah untuk membuat kita berdua berteman.”

Kiran terdiam, menunggu lelaki itu meneruskan perkataannya.

“Kalau lo berubah pikiran dan mau berteman sama gue, semesta pasti nuntun lo untuk ketemu sama gue lagi,” sambungnya.

Lelaki itu cukup sadar diri. Memang wajar jika perempuan ini menolak mentah-mentah ajakan orang asing yang tiba-tiba mengajaknya berteman begitu saja.

“Nggak peduli sama per-semestaan lo itu. Mending sekarang lo pergi!” perintah Kiran.

Gue?”

Kiran membalikkan tubuhnya. Di sana, Jefri duduk bertengger di atas motornya dengan helm kuning punya Lia, adiknya, yang masih terpasang di kepalanya.

“Lo… ngomong sama siapa, Ran?” tanya Jefri.

“Sama dia---” Kiran menunjuk ruang kosong di belakangnya. Lelaki tadi sudah tidak ada di tempatnya semula. Kiran mencari-cari kesana kemari dan menemukan lelaki itu sudah berdiri di seberang sana. Berdiri di bawah pohon rindang sambil tersenyum dan melambaikan tangannya pada Kiran. Seketika Kiran membelalakkan matanya.

Jefri mengikuti arah pandangan Kiran namun saat tak di dapati apa-apa, Jefri turun dari motor dan menarik Kiran masuk ke dalam rumah.

“Kebanyakan minum air cucian motor lo jadi mabok.”

“Ngaco!” Kiran memukul lengan Jefri yang tetap menariknya masuk ke dalam rumah.

Tapi Kiran sempat melihat raut wajah lelaki tadi. Sedih, senang, dan cemas bercampur jadi satu di wajah itu. Dan apa tadi katanya? Dia bukan orang? Dia bukan manusia? Lantas, makhluk apa lelaki tadi? Alien ganteng seperti di drama Korea yang pernah dia tonton? Atau putera mahkota dari dunia parallel? Tapi jika memang benar bahwa dia bukan manusia, harus apa Kiran? Tentunya harus menjauh bukan? Tapi mengapa hatinya mengatakan untuk mengejar dan menjabat tangan lelaki itu sambil mengatakan; ‘ayo berteman. Apapun yang kamu perlu, aku akan bantu.’

Terlebih Kiran mengingat apa yang Ayah katakana padanya waktu kecil.

Jangan cepat mengambil keputusan hanya karena kamu tidak suka atau sesuatu itu sudah berbuat tidak baik padamu. Setidaknya berilah dia sekali kesempatan lagi untuk menunjukkan bahwa dia adalah sesuatu yang tepat untuk di pertahankan, di perjuangkan, atau bahkan disayang,” kata Ayah.

Sekarang, Kiran bimbang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status