Olivia jelas merasa keheranan melihat sikap Elline hari ini. Pertama-tama, Elline tidak datang saat kelas pagi dan baru tiba saat siang hari. Kedua, Elline berpenampilan seperti zombie. Dan ketiga, karibnya itu terlihat tidak terlalu memedulikan penampilannya yang saat ini dipandang heran oleh sebagian besar orang-orang yang ada di kelas.
Olivia paham bahwa ada sesuatu yang salah, sebab ini bukan sikap wajar Elline yang pada hari-hari sebelumnya selalu ia lihat.
Elline adalah wanita yang sangat peduli pada penampilan. Yah, walaupun Elline sering bertingkah tidak tahu malu, tapi Olivia paham betul bahwa Elline adalah tipikal orang yang selalu ingin berpenampilan menarik di depan banyak orang. Jadi, ketika melihat Elline tak peduli pada betapa berantakannya penampilannya siang ini, jelas Olivia bertanya-tanya, apa yang terjadi?
"Ada apa denganmu?" tanya Olivia. Dia menarik kursi yang didudukinya untuk mendeka
Sudah hampir 15 menit wanita itu sesenggukan dan bersikap seolah menjadi wanita yang paling merana di dunia ini. Olivia menghela napas. Ia meminum kopinya dan menatap Elline yang duduk di sebelahnya dengan tatapan iba. Sekitar 30 menit yang lalu, begitu kelas mata kuliah Komunikasi telah selesai, Elline dan Olivia pergi dari kampus dan mampir ke kedai kopi. Elline membeli vanilla latte, sementara membeli mochaccino. Dan sekarang, mereka berdua sedang duduk di salah satu bangku taman di Central Park yang terletak di tengah-tengah gedung-gedung tinggi di Manhattan. Olivia mengizinkan Elline untuk bercerita mengenai bagaimana jalan cerita masalahnya dengan Melvin. Ia mengizinkan Elline kembali bercerita karena ia pikir mungkin saja Elline sudah merasa lebih tenang dan tidak akan menangis lagi karena tadi sudah menangis meraung-raung di kelas sebelum mata kuliah mereka dimulai. 
Wanita itu melempar pena miliknya sembarangan ke atas meja. Ia benar-benar jenuh. Kepalanya yang sudah sakit, makin terasa sakit dan pening karena sejak tadi terus menatap buku tebal yang ada di hadapannya. Elline beranjak dari meja belajarnya yang terletak di salah satu sisi kamar, kemudian langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ia menenggelamkan wajahnya ke bantal empuk di kasurnya itu. Setelah terdiam cukup lama dalam keheningan malam yang cukup menusuk, air matanya mulai menetes tanpa ia sadari. Hingga beberapa menit kemudian, ketika ia mengangkat sedikit kepalanya dari bantal, ia melihat bantal itu sudah basah karena air matanya yang sejak tadi mengalir bebas dari kedua matanya yang sangat sayu malam ini. Elline tidak tahu sejak kapan ia mengidap hypophrenia atau kondisi dimana seseorang bisa menangis secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Diam merenung dengan pikiran kos
Mobil yang Elline tumpangi itu tiba di depan sebuah rumah bergaya khas Amerika tanpa pagar. Elline memandangi rumah itu dan melihat bahwa pesta yang Daniel adakan nampak sudah lumayan ramai. "Ayo, masuk," ajak Daniel yang duduk di kursi kemudi di sebelah Elline. Pria berambut pirang itu melepas seat beltnya dan melanjutkan, "Yang lain sudah menunggumu sejak tadi." Elline pun membuka pintu di sampingnya dan turun dari mobil Daniel. Ia kemudian berjalan beriringan dengan Daniel masuk ke rumah itu. "Wow, apa orang tuamu sungguh mengizinkan orang sebanyak ini mengadakan pesta di sini?" tanya Elline begitu Daniel membuka pintu rumah. Ia melihat banyak sekali teman-temannya yang lain sudah berkumpul dan minum-minum di berbagai ruangan di dalam rumah Daniel itu. "Ayah dan ibuku sedang pergi ke Las Vegas dan baru pulang besok siang. Kau tenang saja, mereka mengira ini perayaan tahunan kampus,"
Elline melempar gumpalan tissue yang ada di tangannya ke arah Daniel ketika pria itu meledeknya soal Melvin. Ia benar-benar sedang berada dalam suasana hati yang sangat buruk malam ini. Ia pikir pesta di rumah Daniel akan berlangsung menyenangkan dan bisa membuatnya melupakan segala masalah yang sedang membebani pikirannya sejak kemarin setelah ia memeregoki Melvin berciuman dengan Gloria. Tapi ternyata tidak. Memang menyenangkan bagi sebagian besar orang yang hadir di pesta itu, tapi tidak dengan Elline. Rasanya menyebalkan sekali tiap kali mendengar teman-temannya terus menerus membahas soal Melvin dan Gloria tanpa henti. "Diam kalian! Sialan sekali!" omel Elline. Gadis cantik itu memang sedang marah dan jengkel, tapi justru itulah hal lucu yang membuat para pemuda yang ada di gazebo terkekeh melihatnya. Elline mendengus dan memberikan lirikan sinis pada semua tem
Dua gelas bir harusnya sudah cukup parah untuk memengaruhi kesadarannya. Namun, alih-alih berhenti minum-minum, gadis berambut pirang sebahu itu justru mengambil sebotol bir dari atas meja dan menenggaknya tanpa peduli bahwa lambung dan seluruh organ di dalam tubuhnya mungkin sudah tak sinkron dengan segala indra dan pikirannya. Semua orang yang ada di gazebo hanya tertawa geli memandangi Elline yang sudah mabuk itu makin tak terkontrol. Sebagian yang sudah mabuk berat bergeming dan melanjutkan candu mereka pada bir dan wiski yang tersuguh di hadapan mereka, sedangkan sebagian lagi yang memilih untuk tetap pada kesadaran normal, asyik menontoni Elline yang menangis tersedu-sedu sambil meracau panjang lebar di tengah kesadarannya yang berada di ambang benang tipis karena mabuk. "Maksudku, memangnya aku ini apa, huh? Katakan... apa kurangnya aku? Apa aku seburuk itu? Ini tidak adil... benar, kan? Sungguh, aku
Masih sambil memegang botol bir di tangan kanannya, gadis itu berjalan melewati halaman rumah Daniel. Sementara di tangan kirinya, masih tersampir indah tas putih keluaran terbaru dari Chanel miliknya. Langkah Elline sangat gontai persis orang mabuk berat, kedua matanya yang sayu jelas menggambarkan bahwa pandangannya tidak sejelas biasanya. Hal itulah yang menyebabkan beberapa kali ia sempat tak sengaja menubruk orang-orang yang ada di teras rumah Daniel. Pengaruh alkohol yang menenggelamkan kesadaran Elline bahkan sebetulnya membuat Elline tidak tahu ke mana jalan pulang yang benar. Tapi ia tidak peduli, daripada tetap berada di pesta di dalam sana, ia merasa betul-betul ingin pulang. Ketika ia sedang melewati beberapa mobil yang terparkir di halaman rumah Daniel, tiba-tiba saja salah satu pintu mobil terbuka, tepat ketika ia berjalan di sebelahnya, sehingga tubuhnya pun terbentur dengan pintu mobil
Kedua kelopak mata gadis itu mulai bergerak. Ketika dia mencoba membuka matanya, kepalanya langsung diserang rasa sakit dan pening yang teramat sangat. Sembari meringis pelan merasakan betapa berat beban di kepala dan di kedua matanya, akhirnya dia pun membuka mata ketika merasakan secercah sinar matahari mengenai wajahnya. Elline mengerjapkan mata beberapa kali, menatap ke arah langit-langit ruangan dimana ia berada saat ini dengan tatapan kosong. Ia mencoba untuk tenang dengan berdiam diri terlebih dahulu sebagai upaya untuk meredakan rasa sakit di kepalanya. Beberapa menit kemudian, Elline mendengar suara sebuah pintu yang terbuka. Bukan pintu ruangan itu, melainkan pintu yang ada di dalam ruangan itu. Elline akhirnya sadar bahwa saat ini ia berada di kamar asing. Bukan di kamarnya, bukan kamar ibunya, dan bukan pula ruangan-ruangan yang ada di rumahnya atau ruangan yang familiar baginya. &
Ketika Luke akhirnya membuka pintu closet room dan masuk ke ruangan berukuran kecil yang merupakan lemari pakaian itu, Elline pun menunggu di luar. Tidak sopan juga rasanya jika ia melenggang masuk begitu saja ke dalam closet room atau lemari yang sebenarnya termasuk suatu hal yang privasi. "Hei, Luke. Apa kau tidak kuliah hari ini?" tanya Elline dari luar pada Luke yang berada di dalam closet room. "Libur," jawab Luke singkat. "Sebenarnya aku kuliah hari ini. Malah aku ada kelas pagi pukul 8." Selama beberapa saat, Elline tidak mendengar sahutan dari Luke. Hingga tak lama setelah itu, Luke pun keluar dari closet room sudah dengan memakai kaus hitam polos dan celana jeans yang menampilkan dengan apik kakinya yang panjang dan kurus. "Apa kau pikir aku peduli?" Luke merespons ucapan Elline sebelumnya dengan dingin dan sinis. Elline mengurucutkan b