Share

Prewedding

"Aku udah bilang, aku nggak mau foto pegangan tangan sama kamu, Ganta!" bentakku dengan tatapan tajam.

Ganta menghalangi pintu keluar. Kedua tangannya direntangkan ke samping. "Kenapa, Ra? Cuma gegara masalah Liora, kamu jadi kayak gini? Aku udah minta maaf sama kamu tapi kamu masih aja gini. Maunya kamu itu apa, sih?" tanyanya kemudian.

"Nggak usah cinta sama aku, kalau kamu cuma sekedar obsesi. Aku nggak bisa kasih hati sama pria yang salah lagi. Minggir!" Aku menabrak tangan kanannya. Kulewati pria berpakaian toxedo itu. Tak kuhiraukan orang-orang yang berlalu lalang.

"Keyra, tunggu dulu!" Suara di belakang sana memanggil-manggil namaku.

"Jangan menoleh ke belakang lagi, setelah luka berat yang kamu alami, Ra!" batinku kuat. Aku menapakkan kaki jenjangku menuju ke arah ruang ganti. Kemudian, berlari dengan cepat, menyusuri lorong sepi.

Aku benci dengan pria yang memperlakukan wanitanya dengan baik. Namun ternyata, karena beralasan ia mirip dengan masa lalunya. Hati wanita mana yang tidak sakit mendengar pernyataan itu? Kenyataan pahit yang menimpaku seakan tiada ujungnya. Aku berusaha untuk keluar dari masalah, tetapi semuanya semakin rumit. Aku merasa tak bisa menyelesaikannya tanpamu, Elgin.

Tuntutan keluarga yang membuatku harus mengambil pilihan jauh dari rencana, begitu menyiksa batin. Aku tidak mampu untuk memberontak takdir. Kehilanganmu berarti kehilangan kebahagiaan. Aku mana bisa meramal masa depan, jika bisa pasti sudah kulakukan. Andai ibu tidak pernah jatuh sakit, aku mungkin sudah melanjutkan impianku untuk menjadi seorang penulis, menikah dengan orang yang tepat, atau hal lain.

Di ruang ganti, aku melepaskan tudung pernikahan yang dipakai, ketika prewedding berlangsung. Pikiranku kacau balau. Gaun putih bersih yang kukenakan tidak berarti apa-apa lagi. Mencintai Ganta ternyata sesakit itu. Menyesal rasanya mengikuti kemauan ibu. Saat itu, aku merasa sangat bersalah padamu, Elgin.

Pikiran buruk memutar bak kaset rusak. Sesosok pria yang mengucapkan kata-kata menyakitkan, muncul kembali dalam ingatan. Ketika aku bertanya tentang siapa itu Liora, Ganta menjawab tanpa perasaan menghargai,

"Liora adalah gadis yang sangat cantik. Tapi lebih cantikan kamu, sih. Dulu keluargaku nggak setuju sama dia, karena dia orangnya lebih mentingin karir. Aku sama dia udah jalan hampir tujuh tahun. Hubungan berakhir pisah bukan karena kami tidak direstui, tapi karena kecelakaan maut. Ya, aku masih ingat dengan jelas, darah kental yang membanjiri pakaianku. Entah mengapa, aku merasa Tuhan itu jahat. Kenapa tidak sekalian mengambil nyawaku juga, di hari itu?"

Rasa iba memang mendominasi, tetapi perasaanku sendiri bagaimana? Bagaimana bisa aku mengasihani orang lain, sementara aku dipaksa untuk tetap tegar? Kukira Ganta beneran sayang, nyatanya tidak. Jika aku tidak mirip dengan mendiang Liora, akankah dia tetap mencintai?

Dalam keadaan marah, aku menuliskan pesan di nomor Ganta. Sebelumnya , aku telah menyalin nomor pria itu, lalu memindahkannya ke catatan note di ponselku.

"Aku udah nggak sanggup, Gan. Kita selesai di sini." Pesan itu kukirim ke nomor Ganta.

"Siapa?" Ganta langsung membalas pesanku. Sudah kutebak, dia pria yang sana-sini mau. Padahal nomor baru, tetapi dia fast respon sekali. Dasar lelaki yang tidak setia!

Boro-boro menyusulku atau mengemis meminta maaf, Ganta bahkan masih sempat bermain ponsel. Aku berbalas pesan dengannya di W******p. Hari itu, aku akan mencari bukti bahwa, dia memang bukan pria yang baik.

Ganta : "Maaf, ini siapa, ya?"

Saya : "Nggak tahu. Yang jelas ini orang, bukan setan."

Ganta : "Saya nggak ada kerjaan buat ngurusin orang gila."

Saya : "Aku mau pulang sendiri ke Simpang. Pernikahan kita batal."

Ganta : "Oh, ini kamu, ya, Ra? Atau siapa, sih?"

Saya : "Iya, aku Keyra. Setelah percakapan selesai, aku mau pamit, dan nge-blok nomor kamu."

Ganta : "Nggak bisa gitu, dong. Kamu lupa dengan orang tua kamu yang seneng, karena kamu bisa dapetin aku? Kamu nggak kasihan sama mereka, Ra?"

Saya : "Aku bisa usaha dengan caraku sendiri. Mulai sekarang, nggak usah hubungi aku lagi, Gan. Aku udah muak sama cowok modelan kayak kamu. Bye."

Nomor ini telah terblokir.

Aku lega tapi juga gelisah. Takut apa yang dikatakan Ganta akan terjadi. Aku mengganti gaun pernikahan dengan pakaian yang kubawa. Kukenakan kaos oblong putih, dengan celana jeans selutut. Sambil menguncir rambut, aku berjalan ke luar ruangan.

Melupakan masalah sejenak adalah healing terbaik. Aku mau kembali padamu, Elgin. Uang penghasilan dari platform tulis akan kugunakan untuk biaya obat ibu, kebutuhan sehari-hari, serta tiket pesawat. Semoga saja semuanya cukup untuk satu bulan, atau dua bulan ke depan. Aku tidak punya pilihan lain, selain mengandalkan tenaga serta harapan yang selalu kupanjatkan, di atas langit.

"Kamu nggak bisa ninggalin aku gitu aja, Ra." Ganta tiba-tiba muncul di depanku. Ternyata, dia telah lama menunggu di kursi antrian–samping ruang ganti.

Aku berpura pura tidak melihatnya. Ganta mengikuti langkahku. Kami berjalan beriringan satu sama lain, menuju pintu ke luar. Di persimpangan lorong studio prewedding, dua cewek seksi yang membawa tas bermerek Gucci, tampak mengedipkan mata kanannya pada Ganta. Di dunia ini sepertinya banyak orang seperti itu. Kesetiaan agaknya hanya permainan bagi mereka.

Kami masuk ke dalam mobil, berlalu mengikuti arus jalan raya. Panas. Hari itu tidak ada awan mendung di langit. Aku merasa cukup gerah, karena belum sepenuhnya menghapus make up. Kami sudah mengambil beberapa taken foto untuk prewedding. Satu diantaranya akan dipajangkan, pada halaman depan kertas undangan.

Ganta menyewa fotografer yang profesional, sehingga foto-foto kami terlihat sangat realistis, menawan, dan glamor. Hanya sesi foto terakhir yang tidak jadi diambil, lantaran kami berdua bertengkar hebat. Agak memalukan sebenarnya membawa-bawa masalah, hingga di depan umum. Namun, jika bukan karena Ganta yang memulai, aku tidak mungkin berbuat senekad itu.

Semua akan berakhir. Aku diantarkan pulang oleh Ganta. Dia terus membujuk, agar aku bisa memikirkan masa depan pernikahan. Ya, dia benar. Yang akan menanggung malu adalah keluargaku. Kalau keluarga Ganta, mungkin tidak. Orang kaya tidak disinggung gagal, jika membatalkan pernikahan dengan Si Miskin. Kasta yang terbilang cukup jauh, membuatku tidak sepenuhnya 'kan bahagia.

Aku penakut terutama pada hal-hal buruk, yang berkemungkinan akan terjadi, di masa depan. Bisa saja, Nyonya Fiani–calon mertuaku, berubah pikiran, dan lebih memilih menantu orang kaya. Orang sepertiku tidak bisa diandalkan dalam segala hal. Bahkan, memasak pun tidak bisa. Biasanya, aku meminta bantuan Dek Wita, untuk melakukan hal itu.

Aku menikmati keindahan pemandangan Kota Palembang, dari balik kaca mobil. Kupasang earphone agar terbebas dari bullshit Ganta. Pria mana lagi yang harus dipercaya? Tidak ada. Aku lelah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status