Share

Kenyataan Pahit

"A aku di mana?" tanyaku sambil memijat dahi, yang masih terasa sedikit nyeri. Pandangan kuarahkan ke sekitar, hanya terlihat dinding putih, dan juga langit-langit yang mempunyai warna yang sama. Mataku perlahan fokus pada seseorang, yang menatapku dengan sorot khawatir.

"Anda sedang berada di rumah sakit, Nona," jawab Selly yang duduk di samping kananku.

"Apa yang telah terjadi padaku?" Aku mencoba bangkit, tetapi tubuhku masih terasa lemah. Otomatis, aku pun tak bisa berbuat apa apa. Hanya bisa berbaring.

Ganta mengatakan kejujuran yang begitu pahit, "Aku nggak sengaja mendorongmu hingga mengenai kayu, di ujung sofa."

Pantas saja, jika aku ada di rumah sakit, ternyata pria itu yang menjadi alasannya. Tak pernah kusangka, dia akan bermain tangan, dan berlaku kasar layaknya ayahku. Kupikir, dia sangat berbeda denganmu, Elgin. Namun nyatanya, lelaki di dunia ini sama saja. Jika ada yang bilang berbeda, mungkin ia hanya beda dalam cara menyakiti.

Aku tidak lagi menjawab, ataupun bertanya apa pun pada mereka berdua. Baru akan menikah saja, Ganta sudah lepas tangan. Aku tidak mampu membayangkan, jikalau suatu hari nanti, dia akan melakukan hal serupa. Kekerasan dalam rumah tangga adalah momok paling menakutkan. Aku belum siap untuk menerima konsekuensi pernikahan itu.

Selly mengambil segelas air putih di atas meja. Kemudian, memberikannya kepadaku. Aku menolaknya dengan sopan, "Tidak, terima kasih."

"Istirahat saja dulu, ya, Ra? Aku ada rapat kerja sama dengan Perusahaan Carzo. Maafin aku, Ra. Aku janji nggak akan nemuin kamu, sampai kamu bener-bener sembuh," tutur Ganta sembari mengambil jas hitam, yang dia letakkan di belakang kursi.

Acara pernikahan kami ditunda, sampai aku benar-benar sembuh. Sudah tiga hari berlalu. Aku kembali ke rumah, setelah dinyatakan benar-benar pulih oleh dokter. Berada di rumah sakit dengan ruang VIP memang sangat menyenangkan. Namun, aku tidak bisa lepas dari yang namanya kekhawatiran. Ya, aku sangat mencemaskan keadaan rumah.

Tanpa sepengetahuanku, Ganta ternyata telah mempersiapkan semuanya dengan baik. Hanya tinggal menunggu prewedding, dan percetakan undangan. Aku semakin dibuat gelisah. Makin dekat dengan hari penentuan pelaksanaan, hidup bahagiaku seakan sebentar lagi 'kan berakhir.

Di rumah, ayah sangat senang, dan berubah padaku. Dulu sebelum aku dijodohkan, beliau tidak pernah ingin berbicara, bahkan selalu membentak, ketika aku bertanya sesuatu. Semua orang berubah, setelah tahu bahwa, aku akan menjadi istri dari seorang lelaki kaya-raya. Reputasiku meningkat, semenjak mengenal Ganta.

Perusahaan Arzo adalah bisnis yang bergerak di bidang pembuatan transportasi darat; mobil serta motor. Banyak kendaraan yang dijual oleh Arzo Group. Nyonya Fiani bilang, perusahaan itu makin maju, setelah dikelola oleh Ganta. Jujur, aku kagum pada sosoknya, yang gigih dalam memperjuangkan karir. Dia adalah tipikal pria pekerja keras.

Usiaku dan Ganta terlampau jauh. Aku berusia 21 tahun, sedangkan dia sudah menginjak usia 28 tahunan. Cinta memang tidak memandang dari segi mana pun. Usia bukanlah patokan kedewasaan. Aku berusaha untuk menjadi yang terbaik, bagi keluargaku kelak. Semoga saja, aku bisa mencintainya dengan tulus.

Pada hari Senin pagi, aku diajak Ganta jalan-jalan. Sebenarnya, aku belum bisa memaafkannya atas kejadian beberapa waktu sebelumnya. Namun, aku memaksa ikhlas, agar dia tidak terus merasa bersalah. Lagi pula, jika aku bersikap buruk, mungkin dia akan berubah pikiran, dan tidak jadi menikahiku. Keluargaku telah menaruh hati, dan harapan besar, aku tidak boleh membuat mereka bersedih.

"Besok kita akan pergi untuk foto prewedding. Aku udah nemu spot foto yang bagus buat kita."

Aku bergeming. Berdehem sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. Menatap wajah menjengkelkan itu, membuat batinku tercabik-cabik. Dia berbicara seakan semuanya baik-baik saja. Aku membenci cara penyampaian maaf seperti itu.

"Harusnya kamu senang, Ra. Kok malah cemberut terus?" bisik Ganta di telinga kiriku. Lampu merah di depan sana tersisa lima belas detik lagi. Cukup memuakkan, karena aku tidak ingin mengobrol lebih lama dengan Ganta.

"Kamu masih marah, ya, Cantik? Aku cuma lagi banyak masalah, makanya mabuk. Ya, maaf, kalau aku belum bisa jadi yang terbaik. Jujur, aku malu menjadi diriku yang lemah dengan realita. Aku harap ... kamu bisa maafin aku dengan ikhlas," ucapnya kemudian. Dari raut wajahnya, dia kelihatannya tulus dengan permintaan maaf itu.

"Aku akan memaafkanmu, setelah kamu menjawab dengan jujur pertanyaan ini," cetusku sembari tersenyum smirk. Menurutku, jika Ganta bisa memaksa, kenapa aku juga tidak bisa melakukannya? Dia pikir, aku mungkin bisa dibodohi? Mana ada yang mau percaya, dengan omongan lelaki tanpa adanya bukti?

"Boleh, katakanlah cepat. Aku mau fokus nyetir," timpalnya.

"Siapa Liora?" Aku memfokuskan diri pada pria di sampingku. Seluruh perhatian kuberikan padanya. Semoga saja, dia merasa aku benar-benar takut kehilangannya.

"Kamu tahu nama itu dari mana?" Ganta menoleh ke arahku. "Jawab aku, Ra!" tanyanya lagi.

"Yaelah, situ yang kemarin teriak-teriak. Kok malah aku yang ditanya balik, sih!? Jelas-jelas, kamu sendiri yang manggil aku dengan nama itu." Aku berdecak kesal.

Ganta mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Kemudian, mengambil ponsel di saku kanan jasnya. "Satu hal. Aku pinta kamu setelah melihat ini, jangan pernah marah ataupun kecewa, karena kamu yang minta. Aku mohon dengan sangat teramat, Nona Lilac."

Ingin rasanya memuntahkan kembali sarapan, setelah mendengar Ganta mengucapkan kata-kata formal. Mengobrol dengannya, membuatku jijik. Kuanggukan kepala dengan cepat, tak ingin menyita banyak waktu.

Ganta meraih tangan kananku, lalu memberikan ponsel iphonenya. Ponsel mahal berharga belasan hingga puluhan juta yang selama ini jadi impianmu, ada di telapak tanganku. Aku tercengang dengan wallpaper pria itu. Dari mana dia mendapatkan fotoku? Rasanya, aku tidak pernah meng-uploud foto selfie, di akun media sosial mana pun.

"Kode passwordnya tanggal pernikahan kita, Ra. Lampu merahnya udah ganti, tuh. Kita harus jalan. Kalau ada yang mau ditanya, nanti aja." Ganta menginjak rem. Mobil kami melesat lepas ke jalanan, di depan sana. Ratusan bahkan mungkin ribuan kendaraan tampak mengerumuni jalanan padat, di Kota Palembang.

Aku menggeser layar ke atas, lalu memasukkan password yang dipinta oleh sistem. Tiga puluh, enam. Aku langsung gercep membuka aplikasi W******p miliknya. Tidak ada percakapan yang istimewa. Bahkan, yang disematkan pun tidak ada. Dalam hidupnya, sepertinya tidak ada yang spesial. Aku lupa, jika dia belum menyimpan nomorku.

Aku bertanya sambil terus mengetikkan nama seseorang di kolom pencarian, "Kenapa di kontak WA-mu nggak ada yang namanya Liora, Gan?"

"Kok malah buka WA, sih? Siapa yang suruh kamu periksa chat-chatku? Buka galeri, Ra," gerutu Ganta. Wajahnya masam.

"Kamu nggak kasih tahu di awal, Gan. Dasar!" Aku menekan tombol ke luar, lalu pindah ke galerinya.

Ada lima ribu foto dengan berbagai koleksi album. Mulai dari album keluarga, hingga foto-foto selfie Ganta. Pria tampan idaman para wanita itu mempunyai banyak bakat juga rupanya. Aku mengeledah galeri yang di dalamnya ada banyak potret Ganta sedang bermain sepak bola, bulu tangkis, hingga bola voli.

Mataku sontak membulat, tatkala melihat wanita bergaun pernikahan yang sama denganku. Wajahnya, hidungnya, bahkan bibirnya pun sama. Yang lebih mengherankan lagi, Ganta menjadikan album dengan nama "Sayang" itu sebagai foto favorit. Jemariku menggeser setiap foto, yang menampilkan potret gadis manis itu. Memperhatikannya lekat, sambil menyimpan ribuan pertanyaan, di atas kepala.

"Begini ya, rasanya dipermainkan oleh skenario kehidupan?" ucapku dalam hati. Kutahan tusukan luka, di dalam jiwa. Jangan sampai Ganta tahu, kalau aku diam-diam menaruh dendam padanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status