Share

Kembali Padanya

Perjalanan pulang ke kampung memakan waktu sekitar kurang lebih enam jam. Itu pun jika tidak ditambah dengan istirahat yang lama. Kebiasaan buruk Ganta adalah berlama-lama, di suatu tempat yang menurutnya indah. Mobil miliknya terjebak macet di jalanan. Jalanan di kota besar terhambat, karena arus mudik yang ramai.

Kue kering buatan ibu sudah kuhabiskan sendiri. Kami tidak bertegur sapa selama dua jam. Aku mulai merasa tidak enakan dengannya. Karena gengsi menegur duluan, aku pun memilih untuk bermain gawai. Sesekali kulirik pria yang mengenakan jaket denim di sebelahku. Masih sama. Ganta terlihat dingin, siang itu.

Notifikasi W******p yang kusenyapkan, menampilkan dua pesan dari nomor ibu. Aku membukanya dengan cepat, takut terjadi apa-apa. Benar saja, itu bukan ibu yang menulis tapi Dek Wita.

"Kak Keyra, maag ibu kambuh lagi. Kami belum bayar uang sekolah. Ayah nggak pulang dari tadi." Satu pesan saja sudah hampir membunuhku. Aku tidak kuat menahan diri, untuk tidak menumpahkan bening-bening berharga, dari pelupuk mata.

"Bisa nggak Kakak pinjem duit sama Kak Dean? Aku udah hubungi ayah tapi nggak aktif." Pesan kedua semakin mempercepat detak jantungku. Rasanya melebihi kecepatan pesawat jet yang terbang di cakrawala. Kutahan sesak sambil mengatur deru napas.

Tanganku merasakan gemetar hebat, hingga ke ujung kepala. Bagaimana mudahnya semesta mempermainkanku? Melepaskannya saja sudah tidak bisa, aku harus apa?

"Kenapa, Ra? Kamu laper? Mau makan siang apa?" Ganta akhirnya membuka suara, setelah berdiam diri bak patung, selama berjam-jam lamanya.

"Gan, soal omonganku di chat W******p tadi, aku ...."

Ucapanku terpotong, karena dia sudah lebih dulu menyahut, "Udahlah, nggak papa kok. Aku tahu, kamu pasti sakit di posisi itu. Aku cuman mau jujur, udah itu aja. Aku nggak punya niatan buat mempermainkan perasaan kamu, Ra."

"I iya, aku minta maaf, ya?" ucapku meminta padanya. Semoga saja aku masih diberikan kesempatan kedua.

"Kamu kenapa minta maaf? Kamu nggak salah kok. Aku yang salah di sini. Harusnya aku nggak bilang hal sekejam itu sama kamu. Jujur, aku masih ngerasa trauma juga ngejalani hubungan. Makanya, aku jadi salah tingkah terus kalau dekat kamu," Ganta berterus-terang sambil terkekeh.

Aku takut berbicara, dan mengulangi kesalahan yang sama lagi. Kalau aku bilang ingin meminjam uang padanya, pasti dia sangat marah. Dia mungkin akan berpikir bahwa, aku adalah perempuan yang matre (gila harta). Walaupun, aku sebenarnya hanya dituntut faktor ekonomi. Tidak ada niatan jahat padanya. Aku bukan perempuan yang cinta karena uang.

Lisanku membisu di sepanjang jalan menuju rumah makan padang. Ganta sangat menyukai rendang, sedangkan aku tidak. Kami makan siang di sana, sambil membahas tentang bagaimana ke depannya pernikahan kami. Membicarakan masa depan dengan orang yang berbeda, menyakitkan rasanya. Elgin, mungkinkah kamu masih menunggu?

Seusai lunch, kami mampir cukup lama di PTC Mall. Katanya Ganta, habiskan saja uangnya untuk berfoya-foya. Diberikan hak istimewa tidak bisa meluluhkan hatiku. Justru, jika ditawarkan secara terang-terangan, aku malah menjadi malu; merasa direndahkan olehnya.

Ganta membelikanku banyak sekali barang-barang mewah, serta baju-baju yang sangat indah. Tak lupa, dia juga membelikan buah tangan untuk keluargaku, di desa. Semuanya dia bawakan untuk kami. Aku tidak keluar uang sepeser pun; aku juga tidak punya uang, kala itu. Hanya ucapan terima kasih yang selalu kuucapkan.

Anak satu-satunya Tuan Ergar adalah pria loyal, dengan kepribadian yang sulit ditebak. Setrauma itukah dirinya sebagai kekasih yang ditinggalkan? Latar belakang asmara kami sama. Ya, kami sama-sama ditinggalkan. Bedanya, dia ditinggal mati, sedangkan aku ditinggalkan olehmu, karena suatu hal yang aku sendiri tidak tahu. Cuek dengan cewek yang menggodanya itulah Ganta. Sosok pria yang sempat 'ku cap tukang selingkuh itu, ternyata berbanding terbalik dari hipotesis awal.

Jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, Ganta merupakan seorang pria yang rapuh, dan mudah terbawa emosi. Semua itu mungkin ada kaitannya dengan masa lalu, dimana dia telah kehilangan seseorang yang berharga. Kecelakaan beruntun yang menimpa mendiang Liora, mungkin masih menjadi alasan pria itu memiliki sifat posesif.

Bersama Ganta seharian, mengubah pola pikirku tentang dirinya yang buruk. Pikiran yang labil, seringkali membawaku pada keputusan yang salah. Untunglah Ganta adalah orang yang sabar. Dia mau menerima kekuranganku, meski itu menyakitkan. Pria baik sepertinya mungkin perlu dibimbing, agar tidak terjerumus mabuk-mabukan, dan kekerasan lagi.

"Bilangin sama Dek Wita, aku udah transfer ke rekening ibu. Malam ini udah bisa diambil kayaknya," Ganta berkata sambil tersenyum. Wajahnya yang segar, diterpa angin malam. Matanya menyipit, kesulitan melihat; poni sapaan angin menghalangi penglihatannya.

Aku bertanya penuh keheranan, "Dari mana kamu tahu kalau Dek Wita mau minjem duit?"

"Nggak tahu, aku cuma menjalankan kewajiban sebagai calon suami aja. Lagian, ini udah deadline-nya kirim uang ke ibu, kan? Maaf ya, aku telah lagi." Ganta nampak menyenggir lebar.

Aku menopang dagu sambil berkata, "Aku cuma ngerepotin kamu, ya, Gan?"

"Teng. Hahaha." Tawa Ganta pecah.

Aku yang baru koneksi, akhirnya ikut tertawa. Gan ditambah teng, pantasan dia selalu senyum-senyum, ketika aku memanggilnya dengan sebutan pendek itu. Haduh, Ganta ada-ada saja!

"Udah jam tujuh malam. Kamu mau ke mana lagi, Ra? Aku bisa antar kamu ke mana pun yang kamu mau. Ke Kuto Besak, Jakabaring, atau kamu maunya ke Monas?"

"Monas mah adanya di Jakarta kali, Gan." Aku mengambil sedotan, lalu meletakkannya di dalam cangkir es tehku.

"Ya, iyalah, emang mau kubangunin Monas buat kamu di Kalimantan?"

Aku tertegun. Bagaimana caranya agar aku bisa cepat melupakanmu, Elgin, sedangkan semesta seakan selalu punya cara, untuk kembali mengingatkanku tentang semua kisah kita. Terburu-buru, aku menghabiskan makan malam itu. Steak ayam yang kukunyah tidak lagi berasa enak. Segalanya berasa hambar.

Candaan Ganta terdengar lucu. Namun, maknanya sangat menyayat nadi. Aku jadi tidak bersemangat, setelah mendengar perkataannya. Ingin rasanya aku bujuk semesta, agar bisa menukar tubuhnya dengan tubuhmu. Aku tidak ingin bercanda dengan orang lain–terutama bukan dirimu. Berat rasanya menjalani kepura-puraan dalam hubungan seperti ini.

Pernikahan yang akan dijalani adalah jenjang yang sangat serius. Aku tidak boleh memilih orang yang salah, karena itu pasti sangat berpengaruh ke depannya. Tisu di dekat mangkuk sambal cabe ijo kutarik. Aku membersihkan es teh yang tak sengaja tertumpah.

"Biar aku aja, Ra. Kamu ke mobil aja duluan. Nggak kukunci kok," ucap Ganta meminta padaku.

"Ta tapi ...."

"Udahlah, jangan kebanyakan tapi-tapian, deh. Sekali-sekali, kamu harus dengerin orang lain, biar nggak salah dalam bertindak. Udah sono." Ganta menebar seulas senyum di sudut wajahnya.

"Iya," jawabku singkat.

Aku menggendong tas kecil. Kemudian, berjalan ke parkiran mobil, yang berada tidak jauh dari cafe serba ada itu. Mempunyai calon suami yang baik, siapa yang tak menginginkannya? Masalahnya, aku belum bisa mencintai Ganta, dan juga belum bisa melepasmu, Elgin. Aku masih penasaran dengan informasi dari Dara. Ketika semua sudah terbukti, aku baru bisa memulai kisah baru dengan orang lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status