Share

Diikuti

 “Udah mau pulang, Lyd?” Revan langsung bangkit dari kursinya, ketika Lydia berjalan menuju pintu ruangan sambil melihat ponselnya.

 

 “Yupz. Tapi aku mau cari taksi online dulu.” Lydia menunjukkan ponselnya sambil tersenyum.

 

 “Aku juga sudah mau pulang, gimana kalau sekalian kuantar pulang?” Revan terlihat buru-buru mengambil tas ranselnya. “Kebetulan aku ada bawa helm lebih hari ini.”

 

 Langkah Lydia terhenti untuk menatap rekan kerjanya sebentar. Kalau mau jujur, sebenarnya Lydia kurang nyaman dibonceng oleh lawan jenis yang belum terlalu dekat dengannya. Karena itu dia selalu memilih taksi online dibandingkan ojek. Tapi karena ini masih pertengahan bulan dan keuangannya sedang menurun, Lydia akhirnya mengiyakan.

 

 “Tapi aku gak langsung pulang ke rumah nih. Aku ada janji dulu sama teman-temanku dan sepertinya tempatnya agak jauh.”

 

 “Memangnya di mana?”

 

 Lydia menyebut nama sebuah cafe dan Revan langsung menyanggupi untuk mengantar. Katanya kebetulan dia ada urusan disekitar situ.

 

“Cieh,” goda Kiara tepat sebelum dua orang itu menghilang. Tapi hanya Revan yang menanggapi dengan malu-malu.

 

 “Gak apa kan naik motor butut?” tanya Revan malu-malu.

 

 “Seenggaknya kamu masih punya motor, Van. Daripada aku yang gak punya apa-apa,” balas Lydia menerima helm dari pria itu.

 

 Yah, keluarganya punya satu mobil tua sih. Tapi mobil itu digunakan oleh ibu Lydia untuk pergi bekerja. Tidak mungkin kan dia meminta ibunya saja yang menggunakan taksi online?

 

 Sementara Lydia memakai helmnya, matanya yang masih sangat bagus dan tajam itu bisa melihat Reino dari kejauhan. Tempat parkir motor yang tak begitu jauh dari tempat drop off depan lift, membuat Lydia bisa melihat pria itu keluar dari pintu lift

 

 Sialnya, Reino yang baru mau masuk ke mobil dinasnya, secara tak sengaja menatap ke arah Lydia. Dan tatapan mata mereka bertumbukan, membuat Lydia refleks membuang muka.

 

 “Yuk, Lyd. Buruan naik, biar kita gak kena macet.” Suara Revan membuat Lydia bergegas untuk naik ke boncengan motor rekan kerjanya itu. Ransel pria itu sudah dia taruh di bagian depan, agar penumpangnya tidak merasa sesak.

 

 Lydia duduk dengan canggung di belakang Revan. Dia ingin memegang sesuatu karena takut terjatuh, tapi enggan memeluk Revan atau sekedar memegang ujung jaket pria itu. Dia bahkan tidak pernah semesra itu dengan adik lelakinya, apalagi pria lain kan?

 

 Pilihan Lydia tinggal besi di bagian belakang jok motor dan dia memegangnya tepat sebelum motor Revan melaju. Lydia sempat melihat lagi ke arah Reino dan dia terkejut karena Beruang Kutub itu masih menatapnya, bahkan mengikuti laju motor Revan.

 

 “Udah pegangan kan, Lyd?” Revan berteriak untuk memastikan penumpangnya aman.

 

 “Udah kok,” jawab Lydia setelah berhasil mengatasi keterkejutannya soal Reino tadi.

 

 Wanita muda itu tidak habis pikir kenapa juga mantan suaminya yang dingin itu terus menatapnya. Dia ingin sedikit ge-er, tapi itu juga hal yang tidak mungkin.

 

 “Kamu sering ya hang out sama teman-temanmu?” tanya Revan tidak tahan untuk tidak bicara.

 

 “Lumayan lah,” jawab Lydia singkat.

 

 “Udah lama kalian temanan?”

 

 “Sejak SMA.”

 

 “Boleh gabung makan malam gak?” tanya Revan memberanikan diri.

 

 “Bukannya tadi kamu bilang ada urusan ya?” tanya Lydia dengan bingung.

 

 “Eh, maksudku lain kali,” jawab Revan agak gugup. “Siapa tahu ada yang masih jomblo.”

 

 Vanessa dan Erika masih jomblo sih, tapi sepertinya mereka tidak cocok dengan Revan. “Nanti aku coba tanya deh,” akhirnya Lydia memilih jawaban paling aman.

 

 Dan saat bersamaan, Lydia tidak sengaja melihat ke arah spion motor Revan. Dia mengenali mobil yang berada tepat di belakang mereka sekarang ini. Merasa tidak yakin, Lydia mencoba berbalik. Dan ternyata memang benar mobil Reino berada tepat di belakang mereka.

 

 “Van, bisa cepet dikit gak? Aku sudah agak terlambat nih,” seru Lydia agak panik. Entah apa yang terjadi Lydia merasa bosnya itu sedang mengikutinya.

 

 “Ok,” jawab Revan terdengar santai.

 

***

 

 “Ada apa denganmu?” tanya Vanessa yang sampai bersamaan dengan Lydia. Lydia terlihat buru-buru turun dari motor, sambil melihat sekelilingnya.

 

 “Aku rasa aku diikuti,” bisik Lydia pelan agar tidak didengar Revan.

 

 “Hah?”

 

 “Udah masuk aja dulu deh. Nanti kuceritaiin. By the way, thanks ya Van.” Lydia melambai pada Revan, kemudian menarik Vanessa masuk ke cafe mewah di depannya.

 

 “Ada apa dengan rambut berantakanmu?” tanya Cinta yang sudah duluan datang. Erika juga sudah datang, selisih dua menit dari Vanessa dan Lydia.

 

 “Dia tadi dibonceng entah oleh pria mana dan katanya juga diikuti,” Vanessa yang menjawab. Dan itu mengundang banyak tanya dari semua orang.

 

 Lydia kemudian mulai menceritakan hal aneh yang dilihatnya setelah memesan makanan. Dia kelaparan dan butuh asupan nutrisi sesegera mungkin.

 

 “Kamu yakin diikuti? Siapa tahu kebetulan saja searah,” sahut Erika setelah Lydia selesai bercerita dan mulai makan dengan lahap.

 

 “Masalahnya dia terus menatapiku saat di parkiran. Jelas saja aku curiga,” jawab Lydia setelah berhasil menelan makanannya.

 

 Diantara empat sekawan ini memang Lydia yang punya nafsu makan paling besar. Tapi herannya justru dialah yang paling kurus dan nyaris tak berlekuk. Karena itulah para sahabatnya ini memanggilnya Rata.

 

 “Kamu yakin kamu yang ditatap?” kali ini Cinta yang bertanya.

 

 “Yakin seratus persen. Orang tatapan kami bertemu kok dan kalian tahu penglihatanku sangat bagus,” jawab Lydia amat sangat yakin.

 

 “Tapi kenapa dia mmenatapmu? Katamu waktu di lift juga seperti itu kan?” Erika kembali bertanya karena penasaran.

 

 “Aku yakin dia pasti merasa amat sangat terpuaskan di ranjang tempo hari, makanya dia cari kesempatan untuk memakanmu lagi,” Vanessa yang menjawab dengan gaya yang dibuat-buat.

 

 “Yang benar saja. Jangan aneh-aneh deh.” Lydia mendelik tajam ke arah Vanessa. Menampik kalimat sahabatnya itu.

 

 “Who knows? Siapa tahu dibalik tubuhmu yang biasa saja ini, kamu punya kemampuan luar biasa di atas ranjang. Ya gak sih?” Vanessa tidak akan membiarkan Lydia tenang dan terus mengerjai sahabatnya itu.

 

 Ejekan Vanessa mungkin kadang terdengar menyakitkan, tapi tidak ada satupun dari mereka yang pernah marah. Toh yang dikatakan Vanessa itu biasanya benar dan konteksnya hanya bercanda. Semua orang sudah tahu dan tertawa karena terdengar lucu bagi mereka.

 

 “Tapi aku penasaran deh, Lyd,” seru Cinta yang kali ini tidak tertawa. “Polar Bear-mu itu wujudnya seperti apa sih?”

 

 Lydia tidak langsung menjawab karena perlu memikirkan detailnya terlebih dulu. Dia perlu membayangkan Reino di dalam kepalanya.

 

 “Dia lebih terlihat seperti bule tampan. Rambutnya hitam lebat, tapi tidak legam. Matanya berwarna biru dan tatapannya dingin. Ekspresinya juga agak menyeramkan,” Lydia menerawang.

 

 “Rahangnya tegas, hidungnya tinggi, alisnya juga lebat dan tegas. Kulitnya putih, dadanya bidang dan dia sangat tinggi.”

 

 “Apakah hari ini dia menggunakan jas berwana navy?” tanya Cinta menatap ke satu titik di belakang Lydia.

 

 “Dari mana kau tahu?” tanya Lydia dengan kening berkerut.

 

 “He is truly handsome,” Vanessa menjawab pertanyaan Lydia, tapi sama sekali tidak nyambung.

 

 “Kenapa kalian aneh banget sih?” tanya Lydia bingung. Apalagi ketika Erika mengedikkan dagunya, meminta Lydia untuk  berbalik ke belakang.

 

 Lydia melakukannya karena penasaran. Tapi baru juga beberapa detik, dia berbalik lagi dengan tangan menutupi mulut. Dua meja di belakangnya, Reino terlihat sedang menatapnya sambil makan malam dengan seorang wanita.

 

 

***To Be Continued***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status