Cepat-cepat aku menarik tanganku.
“Ma-maaf.” Wajahku terasa memanas. Tapi Pak Daniel malah tersenyum. Senyum lepas yang membuatku terpana. Tawa yang ia tahan untuk beberapa saat, akhirnya ia keluarkan juga. Aku semakin malu, tapi suara tawa yang terdengar renyah di telingaku, malah membuatku ikut tersenyum.
Apalagi sudah lama aku tidak melihat senyumannya yang seperti itu. Bahkan sejak bertemu kembali, aku tidak bisa melihat yang lain selain raut wajah seriusnya itu. Mungkin karena hubungan kami juga sangat kaku.
Kalau bisa dibilang, aku merindukan bagaimana kami dulu. Saat-saat itu… saat-saat dimana aku bisa santai berada di dekatnya. Membicarakan apa yang terjadi di hari-hariku dengannya. Membicarakan tentang sekolahku, tentang temanku. Bersandar di bahunya tan
1 hari.2 hari.3 hari.Sudah 3 hari semenjak kepulangan Pak Daniel ke Australia. Tuan Lambert meminta Daniel menemaninya berkunjung ke makam almarhum sang istri, ibu Pak Daniel.Walaupun komunikasiku dengan Pak Daniel tidak terputus, tapi tetap saja rindu untuk bertemu dengan sosoknya.Namun aku tahu, banyak pekerjaan juga yang harus Pak Daniel urus, sepertinya dia tidak akan kembali dalam waktu dekat.Aku tahu resiko menjalin hubungan dengan seseorang yang memiliki posisi penting, memang seperti ini. Aku tidak bisa menuntut semua waktunya untuk di berikan kepad
Aku rasa Pak Daniel tidak bisa berpikir jernih sekarang. Jadi aku mengambil alih plastik yang ada di tangannya kemudian meletakkannya di bawah, di sembarang tempat, berikut juga plastik di tanganku, kemudian menuntun Pak Daniel duduk di sofa yang berhadapan dengan Tuan Lambert. Hanya keheningan yang ada. Membuat kita semua jadi sedikit canggung. Sampai akhirnya Ibu berpamitan untuk pergi ke kamar. Mungkin sebaiknya aku mengikuti langkah Ibu. Aku tidak perlu terlalu ikut campur di antara mereka. Urusanku cukup sampai membuat Pak Daniel bertemu dengan Tuan Lambert. "Kalau begitu Mita juga-" "Tetaplah disini. Saya pikir, Daniel bisa lebih nyaman jika ada dirimu." Baru setengah bangun, Tu
Pagi ini, aku sedang sibuk membuat sarapan begitu Pak Daniel keluar dari kamarnya. "Kopi?" tawarku. Dia menghampiri. Berdiri di dekatku. "Boleh." jawabnya. Untuk membuatkan kopi, aku meninggalkan sejenak sarapan yang sedang ku masak. Pak Daniel masih berdiri di sampingku. Tubuhnya bersender menyamping pada salah satu lemari dapur yang tinggi. Tangannya bersedekap di depan dada. Saat aku melirik, dia menelengkan kepalanya. Perhatiannya tidak pernah teralih dari diriku. Membuatku sedikit gugup diperhatikan seperti itu. "Apa?" tanyaku. Takut-takut dia sedang membutuhkan sesuatu.
"Terima kasih." sahut Ibu setelah mendengar tanggapan Pak Daniel. Walau perkataan Ibu tadi demi diriku, tapi aku merasa tidak suka. Aku berjalan mendekati ranjang. "Ibu ngomong apa sih? Ibu nggak akan pergi kemana-mana." Ibu hanya tersenyum kecil mendengar ucapanku. **** Selama 2 hari, Ibu harus menginap di ICU. Setelah kondisinya berangsur-angsur membaik, akhirnya Ibu dipindahkan lagi ke ruang rawat inap. Aku sama sekali tidak mengeluarkan kaki dari gedung rumah sakit demi menjaga Ibu. Bi Laksmi juga sering datang hanya untuk membawakan pakaian ganti untukku dan
Aku berlari menyusul mereka.Ibu ada di atas ranjang itu, dengan badan yang terus bergoyang-goyang karena ketiga petugas kesehatan itu menyeret ranjang Ibu sambil berlari, tapi mata Ibu terus terpejam. Hal itu membuatku langsung tahu kalau Ibu sedang tidak sadarkan diri.Sayangnya, seorang suster menghalangi kami agar tidak melangkah lebih jauh ke dalam unit perawatan intensif."Mohon ditunggu di luar aja ya, Mbak." pinta suster itu."Kita tidak disana. Bisa jelaskan apa yang terjadi?" Pak Daniel mencegah suster itu yang hendak pergi tanpa menjelaskan apapun."Tadi ada suster yang mau ganti infus, Pak. Pas suster ngecek, Ibu Li
"Kalau begitu, saya kembali ke ruangan, Pak." Si Dokter yang sedari tadi menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar di samping Pak Daniel, mengakhiri pembicaraannya.Pak Daniel mengangguk. Akhirnya mengalihkan perhatiannya kepada dokter itu. "Hm. Terima kasih."Setelah Dokter itu menghilang kembali ke ruangan tempat mereka keluar tadi, Pak Daniel melihatku kembali.Tanpa peduli Milen yang masih bicara dalam telepon, aku menurunkan ponsel dari telinga dan mematikan sambungan."Mita pikir, Bapak di sini bukanlah sebuah kebetulan." Aku memberanikan diri untuk bicara."I-itu…. Saya berobat di sini."