"Mbak, besok ada waktu? Bisa temenin Rama?"
"Kemana?" Aku membalas.
"Biasa. Inspeksi kuliner." di akhir tulisannya Rama menambahkan emoji tertawa.
Setidaknya begitulah sebagian chat Rama kemarin. Kami menyebut berburu kuliner sebagai inspeksi karena kami biasanya tidak hanya sekedar mencoba makanan baru, tapi juga mengamati rasanya. Mungkin saja bisa memberikan kita ide untuk varian menu baru. Dan Rama paling pintar akan hal itu. Mungkin memang sudah ada bakat yang mengalir dalam darahnya. Dia secara ajaib bisa menebak kalau makanan ini pasti bisa lebih enak kalau ditambah ini atau itu.
"Jangan salah paham. Saya juga tentu senang, jika kamu bisa melupakan apa yang terjadi dahulu. Itu berarti, kamu menjalani hidupmu dengan baik. Hanya saja… saya butuh jawaban yang benar-benar keluar dari mulutmu sendiri. Setelah itu, mungkin saya juga bisa memulai kehidupan pribadiku sendiri."Mulutku terkatup rapat. Pengakuan itu tiba-tiba sekali. Dia masih berharap aku kembali ke sisinya? Apa perasaan kita ternyata masih sama?Ada rasa lega, ternyata dia sama sekali tidak ada perasaan lebih terhadap wanita di sekitarnya. Aku juga merasa senang, dia belum melupakanku, masih menyimpan perasaan terhadapku.Tapi, aku juga merasa bingung. Apa aku benar-benar tidak ingin kembali ke sisinya? Bahkan setelah aku tahu bagaimana perasaannya terhadapku?
"Udah ah, jangan bahas itu." Sashi merengek hingga akhirnya bahan pembicaraan kita kembali teralihkan. Aku merekomendasikan Sashi harus datang dan menginap ke resort tempatku bekerja. Dia pasti akan menyukainya. Ada banyak tempat yang bisa ia singgahi. Sashi merasa tertarik dan berjanji akan segera berkunjung. 1 jam kemudian, kami tiba di tujuan. "Mit, anterin gue masuk dulu yuk." "Ck. Kayak anak TK lo, Sas." Aku berdecak, tapi kemudian ikut turun dari mobil. Walau aku tahu tempat apa di hadapanku ini, tapi sungguh aku belum pernah menginjakkan kaki masuk ke dalam tempat seperti ini.
Aish! Bunyi alarm adalah sesuatu yang paling kubenci saat ini. Dengan kesal, aku meraih ponsel di meja samping tempat tidur lalu mematikan alarm. Kenapa alarmku sudah berbunyi? Aku melirik jam di sudut layar. Rupanya memang sudah waktunya berbunyi. Jam 5 pagi, huft… rasanya aku baru tidur sebentar. Dengan berat hati aku berusaha turun dari tempat tidur. Aku butuh air. Entah kenapa tenggorokanku berasa tidak enak. Keluar dari kamar, aku langsung menuju dapur bertepatan dengan Milen yang juga keluar dari kamarnya. Dia melirikku sebentar dan seperti diriku, dia mengambil segelas
Apakah ada kesalah pahaman disini? Tidak. Tidak mungkin aku salah lihat. Kemarin itu jelas sekali kalau Avelin memperlihatkan fotonya yang bersama dengan Pak Daniel dan juga... Tuan James. Aku mengerjap-ngerjap. Mungkin, memang Avelin menunjuk pada orang lain di foto itu. Sayangnya pikiranku menyimpulkan semuanya sendiri. Waktu itu Avelin juga tidak mengatakan dengan gamblang siapa calon tunangannya. Semua ini hanya salah paham? Bodoh! Pak Daniel masih memperhatikanku. Membuatku merasa ingin segera lenyap saja dari hadapannya. Aku hanya bisa menggigit bibir, menahan malu. "Oh… Ja-jadi begitu? Mita kira-" Aku benar-benar sudah tidak bisa bicara lagi. Ah, lebih baik aku pergi saja dari sini. "Mi-Mita, permisi." Padahal, aku sudah berusaha secepat mungkin meninggalkan ruangan, tapi tetap kalah dengan kecepatan tarikan di tanganku yang membuatku berbalik arah dan
Di salah satu bagian taman resort, sudah tersusun rapi kursi-kursi dan meja-meja yang dilapisi kain putih. Karpet putih yang membelah barisan tempat duduk para pengunjung, menjadi penghubung dari gerbang masuk berhiaskan sulur-sulur tanaman hijau dan bunga sweet pea merah muda, menuju pergola yang diselimuti tirai putih. Saat aku datang, sudah ramai beberapa orang disana dengan warna busana sesuai dress code yang tertera di undangan, merah muda dan putih. Begitu juga dengan aku, gaun selutut yang kupakai berwarna gradasi. Merah muda di bagian atas dan semakin ke bawah bercampur warna putih. Kerah V dan lengan sepanjang sikut membuatku nyaman karena sedikit tertutup dibandingkan dengan gaun merah muda Milen yang terbuka di bagian bahu. Tapi lapisan renda di bagian bawah gaun Milen terlihat cantik sekali dibanding gaunku yang
Bagai ditelan bumi. Ponselnya mati. Kehadirannya di kantor, semua digantikan Tuan James. Pak Daniel memang mengatakan untuk tidak khawatir dan dia sudah mengatakan jika tidak akan bisa dihubungi. Hanya saja, jauh di dalam pikiranku terasa janggal. Urusan apa yang membuatnya sampai tidak bisa dihubungi berhari-hari bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan kekasihnya sendiri? Sesibuk apapun yang dia lakukan, pasti sempat mengirimkan pesan singkat walau hanya mengucapkan 'selamat malam' atau 'selamat tidur' kepadaku. Atau sekedar mengucapkan 'Hai' di sambungan telepon. Melakukan hal itu hanya memerlukan beberapa detik saja. 3 hari. Setidaknya aku sudah berjanji untuk bersabar selama 3 hari. Untuk tidak khawatir kalau dia tidak bisa dihubungi. Jadi aku akan menun
Setelah mendapat izin dari Milen dan memastikan kalau Milen tidak ada acara apapun malam ini yang mengharuskan dia memakai mobilnya, aku meminjam mobil Milen dan langsung menuju sebuah perumahan yang tidak begitu jauh dari lokasi mess tempatku tinggal. Menuju alamat yang diberikan Pak Daniel, membuatku cukup jauh masuk ke dalam area perumahan itu.Aku menatap rumah berdinding hitam di depanku. Walaupun aku yakin, namun aku perlu turun untuk memastikan kalau rumah itu adalah alamat yang ku tuju.Setelah menemukan tempat parkir yang tepat, aku turun. Memastikan sekali lagi. Benar, ini alamatnya.Cukup membuatku terkejut karena pintu pagar terbuka otomatis setelah aku membunyikan bel, padahal tidak ada orang yang berusaha menengok keluar untuk mengecek siapa yang datang.
Suasana yang menyelimuti kami benar-benar langsung berubah. Yang semula terasa santai, kini seperti menegangkan. Aku tidak berani mengatakan apapun melihat Pak Daniel juga hanya diam saja.Hening.Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring.Bukan tidak peduli, aku malah sangat khawatir, tapi hal tadi, mungkin bukan sesuatu yang bagus jika ku ungkit sekarang. Aku juga takut dia tidak mau membicarakan hal itu. Jadi aku lebih memilih mengatupkan mulut dengan rapat mengenai apa yang kulihat tadi.Jika suasana terus seperti ini, sepertinya aku lebih baik pergi dari sini. Tapi tentu saja setelah melihat dia beristirahat.