Share

5 Utang Budi

Author: Ans18
last update Last Updated: 2024-11-04 18:24:24

"Kenapa kamu masih di kamarku?" tanya Hana yang mendapati Evan masih berada di dalam kamarnya.

"Ini gudang," balas Evan. "Mama bilang apa?"

Hana terdiam, ia masih mengingat bagaimana raut wajah mama Evan saat memintanya menikah dengan Evan. Wanita itu bahkan memohon kepadanya, bukan hanya sekadar meminta.

Kecelakaan yang dialami orang tuanya saat ia masih duduk di bangku kelas 2 SD membuatnya benar-benar terpuruk. Menjadi seorang anak yatim piatu tidak pernah ada dalam bayangannya. Sejak itu, Hana tinggal dengan kakek dari pihak ibunya, namun sekitar dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal karena sakit. Ia tidak bisa tinggal di keluarga ayahnya, karena ayahnya hanya punya saudara jauh, tidak ada keluarga inti yang bisa merawat Hana.

Sejak itu, Ares dan Letta merawat Hana layaknya anak sendiri. Tidak pernah sekali pun Ares dan Letta membedakan perlakuan mereka terhadap anak kandung mereka dan Hana.

Karena itu lah, Hana menyayangi dan menghormati Ares dan Letta layaknya orang tua sendiri. Bayangkan bagaimana perasaan Hana bila Letta memohon padanya untuk menikah dengan Evan. Memohon bahkan hingga meneteskan air mata.

Keterdiaman Hana menjadi jawaban bagi Evan. "Kamu pasti nggak bilang kalau kita nggak ngapa-ngapain kan? Kamu sengaja kan?" teriak Evan kesal.

"Jangan harap aku akan nikah sama kamu!" ucap Evan sebelum meninggalkan kamar Hana dan membanting pintunya.

***

"Promise me, you'll move on!" ucap Vio, sahabat Hana kala itu, sebelum berangkat melanjutkan kuliah di Negeri Paman Sam.

Hana mengangguk sambil tersenyum melepas kepergian sahabatnya.

Ingatannya akan masa itu membuat Hana menghela napas.

Bukannya ia tidak mencoba. Tapi tujuh tahun setelah ucapan Vio itu, Hana masih belum bisa menepati janjinya. Dan kini, ia seakan menyetorkan nyawanya dengan mengajak Vio makan siang bersama untuk menceritakan kejadian antara dirinya dengan Evan malam sebelumnya.

"Hai, Babe," sapa Vio yang baru memasuki tempat makan ala korea tempat Hana menunggu.

Hana berdiri dan memeluk sahabatnya itu.

Tanpa perlu bertanya apa pun, Vio bisa merasakan kalau Hana sedang ada masalah dan ingin menceritakan sesuatu. Tapi ia baru saja sampai, dan sepertinya makan sedikit cemilan adalah pilihan yang baik. Vio tahu sahabatnya itu tidak akan memiliki selera makan kalau sudah mulai berpikir berat.

"Udah pesen, Han?"

"Belum, nunggu lo dateng kan."

Vio kemudian memanggil pegawai tempat makan itu, memesan mozarella tteokbokki dan chicken gangjeong untuk menu pembuka mereka.

"Ke mana lo semalem? Padahal gue pengen main ke apartemen," tanya Vio memulai pembicaraan, tidak menyangka kalau semua permasalahan Hana bermula dari malam yang sedang dibicarakan Vio.

"Acara kantor," jawab Hana singkat. Sesungguhnya ia bingung harus mulai bercerita dari mana. Vio bisa tiba-tiba menjadi teman yang bertindak seperti kakaknya kalau tahu Hana disakiti.

"Ok, jangan cerita dulu. Gue prefer nunggu makanannya datang. Takut loe nggak mau makan abis cerita."

Hana terkekeh. "Kata lo life must go on kan, ya sesedih apa sih gue sampe nggak bisa makan."

"Nggak usah ngeles, Babe. Gue kenal lo bukan baru setahun dua tahun."

"Duh, Vi, kenapa sih lo nggak terlahir aja sebagai cowok. Kayaknya cuma lo deh yang bisa ngertiin gue."

Vio terkekeh. Mereka berdua memang sangat cocok, sejak saling mengenal di bangku SMP. Bukannya mereka tidak pernah bertengkar, tapi pertengkaran di antara mereka alih-alih membuat hubungan mereka merenggang, hubungan mereka semakin hari semakin dekat, layaknya saudara sendiri.

Setelah makanan yang mereka pesan datang dan Hana memakan beberapa suapan, barulah Vio mulai sesi interogasinya.

"So, mau cerita apa?"

Hana menatap Vio sesaat, kemudian menunduk. "Gue kepergok mamanya Evan tidur di kamar Evan."

Sedetik, dua detik, lima detik, Vio belum bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Vi ...."

"Gimana, gimana? How come? Loe tidur sama Evan? Dan ketahuan nyokapnya?" Vio memelankan suaranya, tahu kalau pembahasan mereka adalah hal yang tabu untuk didengarkan orang lain.

"Gue nggak tidur sama Evan. Ya maksud gue, gue sama dia cuma tidur di kamar dan kasur yang sama, tapi bener-bener nggak ngapa-ngapain."

"Dia normal nggak sih? Cowok mana yang kuat nahan godaan tidur sekamar sama lo?"

Hana memutar kedua bola matanya dengan malas. Julukannya sebagai bunga kampus dulu, masih saja menjadi bahan ledekan buat Vio. Padahal hal itu sudah lewat bertahun-tahun lalu.

Daripada membiarkan pikiran Vio menjadi liar, Hana mulai menjelaskan bagaimana awal mula kejadian yang membuatnya kini diliputi kekalutan.

Vio menghela napas setelah mendengar utuh cerita Hana. "Trus lo mau gimana? Beneran nikahin Evan? Dengan jadi asistennya aja, lo itu udah ibaratnya terjebak Han, apalagi nikah sama dia. Gue nggak rela lo nikah sama orang yang nggak cinta sama lo."

"Gue juga belum jawab iya ke Tante Letta. Tapi gue bener-bener nggak tega ngelihat Tante Letta nangis. Beliau udah gue anggap kayak pengganti nyokap gue."

"Nggak Han. Lo merasa berutang budi sama keluarga Cakrawangsa. Kalo lo memang nganggep Tante Letta pengganti nyokap lo, lo pasti bisa bilang ke beliau, apa yang lo mau atau apa yang lo nggak mau."

Hana menunduk. Iya, memang benar ia merasa berutang budi pada keluarga Cakrawangsa. Ia tahu kalau ayah dan ibunya tidak meninggalkannya dengan tangan kosong, artinya ada warisan yang memang disiapkan mereka berdua untuk Hana. Tapi selama ini, Hana tidak pernah sama sekali menggunakan warisan peninggalan orang tuanya untuk bertahan hidup. Keluarga Cakrawangsa lah yang merawatnya dengan penuh kasih sayang dan mengurusnya, sampai setelah ia lulus kuliah, Ares menjabarkan semua harta peninggalan ayahnya, termasuk saham di perusahaan Cakrawangsa yang semakin hari semakin bertambah karena Ares selalu menukar dividen saham yang diterima Arya ke dalam bentuk saham.

"Gue tau lo masih cinta kan sama Evan?"

"Ih, kata siapa?"

Vio menatap Hana tanpa berkedip. "Ok, kalo lo udah nggak cinta sama dia, justru semakin parah nggak sih hubungan pernikahan kalian nantinya. Kalo lo masih cinta sama dia, at least lo masih mau bertahan dan berusaha membuat dia cinta juga sama lo. Lah kalo kalian berdua sama-sama nggak cinta, pernikahan macam apa yang mau kalian jalanin?"

Pertanyaan Vio hanya mengambang di udara. Hana sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa.

"Lo nggak mau nyoba sama abang gu? Gue pikir abang gue selevel sama Evan. Dan inget, kalian deket juga dari dulu. Meskipun gue nggak tau ya abang gue punya perasaan atau nggak ke lo karena dia setiap gue tanya nggak pernah jawab, tapi paling nggak potensi untuk bikin dia jatuh cinta sama lo lebih besar daripada Evan."

"Jangan gila lo, ngejual abang lo demi nyelesaiin masalah gue."

"Eh, gue sih suka rela ngejual abang gue ke lo, gue kasih gratis bahkan, atau lo mau dapet cashbak?"

"Vio, gue serius." Hana bersungut kesal kalau Vio mulai menjodoh-jodohkannya dengan kakaknya, Ibra.

Vio balas mendengus. Selama ini dia serius ketika menjodohkan kakaknya dengan Hana, karena entah mengapa feeling-nya mengatakan kalau kakaknya menyimpan rasa pada Hana sejak dulu. "Lagian Evan pasti nggak mau kan nikah sama lo?"

"Iya, justru karena itu, Tante Letta minta gue ngerahasiain dari Evan kalau semalem kita nggak ngapa-ngapain."

"Evan bener-bener nggak inget?"

"Iya, bahkan tadi pagi dia nanya lagi ke gue apa yang kita lakukan semalem."

Vio menggeleng-gelengkan kepala sambil berdecak beberapa kali.

Obrolan mereka terjeda ponsel Hana yang berbunyi, menandakan adanya pesan masuk.

Evan: Waktu jadi asisten Ayah, kamu kerja 24 jam/7 hari kan?

Evan: Pindahin mobilku, katanya ngehalangin mobil lain mau keluar

Hana mengernyit bingung membaca pesan Evan.

Evan: Tengok kiri, ambil kuncinya, buruan!

Setelah membaca pesan Evan yang terakhir, Hana refleks menoleh kiri. Terlihat Evan yang sedang duduk dengan sahabatnya, Kevin. Untung jarak mereka cukup jauh, Hana hampir yakin kalau Evan tidak mendegar pembicaraannya dengan Vio. Semoga saja tidak.

"Mau ke mana?" tanya Vio saat melihat Hana berdiri.

"Pindahin mobil Bos dulu," jawab Hana sambil menunjukkan chat dari Evan dan meninggalkan ponselnya di Vio.

Hana berjalan gontai menuju meja yang ditempati Evan dan Kevin. "Hai, Vin," sapa Hana singkat. Ia bahkan tidak mau repot-repot menyapa Evan. Tangannya kemudian terulur untuk mengambil kunci mobil yang ada di meja.

"Parah lo, Van. Kalau ternyata semalem lo memang ngapa-ngapain dia, trus dia hamil gimana?" Kevin cukup kesal mendengar cerita Evan, dan semakin kesal ketika Evan meminta Hana—yang tanpa sengaja berada di tempat yang sama, untuk memindahkan mobilnya.

Evan terdiam, lalu mengedikkan bahu. "Kalau pun gue bener-bener ngelakuinnya, nggak mungkin langsung hamil lah, Bro. Cuma sekali doang kan."

Kevin menghela napas dan menutup mulutnya karena Hana telah kembali dan tanpa berkata apa-apa meletakkan kunci mobil Evan di atas meja.

***

"Sialan! Mobil gue ditaro mana sih?" Evan mengumpat saat baru keluar restoran dan tidak menemukan keberadaan mobilnya, sementara perempuan yang tadi dimintanya memindahkan mobilnya telah pergi beberapa saat sebelumnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
MAIMAI
bgus hana, bales evan yg udah ngerjaiin kamu.
goodnovel comment avatar
Denovanti
Kerjain si Evan,Han......taro mobilnya jauhan dikit
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • FALLING IN LOVE WITH MY ASSISTANT   147 Extra Part 12 (Ending)

    "Lucu banget siiih." Vio yang menggendong sesosok bayi kecil tidak bisa mengalihkan matanya dari bayi yang belum bisa membuka mata itu. "Boleh bawa pulang satu nggak? Kan masih ada satunya lagi.""Kalo dia laper, lo mau nyusuin?" Hana mendelik ke arah Vio."Ck! Lucu banget tau, Han." Vio dengan gemasnya mengecupi pipi bayi merah itu."Udah pengen ya?" tanya Hana menggoda Vio yang agak terlihat kaku menggendong bayi di tangannya.Vio mengedikkan bahu sebagai jawabannya.Saat keduanya tengah bermain-main dengan bayi kembar itu, Evan dan Azka masuk ke dalam kamar rawat dengan dua tote bag yang berlogokan salah satu minimarket. Hana memang meminta pada suaminya untuk dibelikan cemilan karena makanan dari rumah sakit hanya mampu mengganjal setengah ruangan di perutnya."Van, si twin siapa sih namanya? Astaga, udah setengah jam aku nanya ke Hana, katanya kamu yang bakal ngasih tau karena kamu ngelarang dia ngasih tau. Apaan coba?"Evan tersenyum pongah. Ia memang melarang Hana memberitahukan

  • FALLING IN LOVE WITH MY ASSISTANT   146 Extra Part 11 (Kamu Tetap yang Tercantik)

    Hana mengusap peluh yang mulai terasa di dahinya. Ia berusaha menahan rasa sakit yang mulai menyergapnya. Evan masih tertidur pulas di sebelahnya.Setelah mengatur napasnya beberapa saat dan sakit di perutnya tidak kunjung mereda, tangan Hana terpaksa menggapai suaminya untuk membangunkannya."Maaas.""Hmm?" Evan mendengar panggilan istrinya tapi matanya masih enggan untuk membuka."Mas, perutku mules."Barulah setelah mendengar itu, mata Evan membuka sempurna. "Kontraksi?"Hana hanya bisa kembali mengatur napasnya. Ini yang pertama untuknya, bagaimana ia bisa membedakan itu kontraksi palsu atau kontraksi yang sebenarnya."Aku bangunin Mama dulu ya."Sejak satu bulan sebelum Hari Perkiraan Lahir (HPL), semua anggota keluarga Evan sudah menginap di rumah Evan, mama papanya, termasuk Elga dan Elaksi. Euforia dan khawatir yang berlebihan adalah penyebabnya. Tapi Evan juga tidak memungkiri kalau ia membutuhkan kehadiran mamanya yang sudah berpengalaman menghadapi proses persalinan."Masih

  • FALLING IN LOVE WITH MY ASSISTANT   145 Extra Part 10 (Terima Kasih Telah Membuatnya Bahagia)

    "Permisi, Pak." Ribka melongokkan kepala ke ruang atasannya setelah mendengar sahutan dari Evan yang mempersilakannya masuk."Kenapa, Rib?""Hana?"Evan hanya menunjuk dengan dagu posisi Hana yang sedang tidur di sofanya. Sejak kehamilan Hana, Evan sengaja mengganti set sofa di ruangannya dengan yang lebih besar agar Hana bisa tidur dengan nyaman.Apalagi kini kehamilan Hana menginjak tujuh bulan. Dengan perut sudah sebesar itu, sebenarnya Evan tidak tega membiarkan Hana masih bekerja, walau setengah hari kerja Hana hanya dihabiskan untuk tidur. Tapi ke-clingy-an Hana belum juga berkurang hingga Evan tidak mungkin membiarkannya di rumah sendiri."Kenapa nyari Hana?""Ada proposal yang nunggu approval Pak Evan. Dan belum di-review Hana. Tadi tim pengembangan 2 udah nanya hasilnya, Pak.""Langsung kirim ke saya aja, Rib. Biar saya periksa.""Nggak lewat Hana nggak apa-apa, Pak?""Lihat sendiri dia teler begitu." Evan terkekeh melihat Hana yang tertidur dengan nyaman tanpa merasa tergang

  • FALLING IN LOVE WITH MY ASSISTANT   144 Extra Part 9 (Clingy)

    "Maaas, meluknya jangan kenceng-kenceng. Nanti dedeknya kegencet."Evan merenggangkan pelukannya meskipun rasanya masih belum rela."Gemes abisnya. Kamu jadi lebih enak dipeluk."Hana mendelik kesal. Pasti ada yang tersirat di balik ucapan suaminya itu. "Maksudnya aku gendutan? Jadinya empuk untuk dipeluk?""Ya ampun, jangan sensitif gitu dong, Han. Nanti kalo kamu kesel, baby-nya ikut kesel sama ayahnya gimana?"Hana mengerucutkan bibir karena kesal, tapi justru ditanggapi Evan sebagai kode untuk mencium bibir istrinya itu, yang semenjak kehamilannya sama sekali tidak pernah terpoles lipstik."Ya orang hamil memang gendutan, Sayang. Kalo nggak gendutan gimana lah, mesti kita periksain lagi ke dokter, apalagi kamu bawa dua baby di perut," ucap Evan setelah puas mengeksplorasi kelembutan bibir istrinya."Mas nggak akan ninggalin aku meskipun aku gendut kan?" tanya Hana tiba-tiba."Kok kamu jadi clingy banget sih sejak hamil?" tanya Evan sampai hampir terbahak. Tidak pernah terbayangkan

  • FALLING IN LOVE WITH MY ASSISTANT   143 Extra Part 8 (Ayo Kita Serius)

    "Mbak Hana mikir apa?" tanya Bi Lastri yang memperhatikan Hana melamun sambil mengaduk lemon tea yang baru saja dibuatnya. "Jangan banyak pikiran, Mbak. Kasihan yang di perut."Hana tersenyum melihat kekhawatiran Bi Lastri padanya. Pasti mama mertuanya sudah mewanti-wanti ART di rumahnya untuk memperhatikannya.Ia memang sedang berpikir, tapi bukan masalahnya yang sedang menguasai pikirannya. Hari sebelumnya ia sempat mengobrol dengan Vio, dan curahan hati Vio tentang hubungannya benar-benar membuat Hana memutar otaknya.Dan inilah saatnya ia mencoba melakukan sesuatu untuk membantu hubungan sahabatnya."Bibi, minta tolong bawain minum sama cemilannya ke ruang tengah ya," ucap Hana, kemudian berlalu menyusul suaminya dan sepupu iparnya yang sedang mengobrol di ruang tengah."Mas, Arfindo udah punya cewek belum sih?" Kalimat pertanyaan pertama yang disampaikan Hana begitu menginjakkan kaki di ruang tengah membuat Evan mengernyitkan dahi."Ngapain nanyain Arfindo?"'Evan dan cemburunya.

  • FALLING IN LOVE WITH MY ASSISTANT   142 Extra Part 7 (Boleh Aku Mendekatimu?)

    "Jadi Evan nerima lo lagi?"Sudah beberapa minggu sejak keluarga Evan akhirnya tahu apa yang dilakukan Hana untuk menyelamatkan perusahaan. Hana sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Evan yang disangka Vio tidak akan terjadi.Hana mengedikkan bahu, karena dia sendiri juga bingung dengan apa yang diinginkan Evan. "Lo sama Kak Azka gimana?""Loh kok jadi ngomongin gue?""Ayolah Vi, gue butuh hiburan kisah cinta orang lain daripada kisah cinta gue.""Nggak ada apa-apa, Han. Jadi nggak ada yang perlu gue ceritain.""Hah? Serius? Waaah, Kak Azka mesti didorong nih."Hana meraih ponselnya dari dalam tas kemudian sibuk mengirim pesan pada Azka, sementara Vio menatap makan siang di depannya dengan malas padahal dia yang sejak pagi mendesak Hana untuk menemaninya makan siang di salah satu restoran kesukaannya.Keduanya larut dalam obrolan sampai Hana tidak sadar kalau makanannya sudah habis sementara makanan Vio bisa dibilang masih utuh."Makan yang bener, Vi.""Lo kayak nggak pernah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status