"Kak, ngerasa aneh nggak sih sama suasana makan tadi?" tanya Elga yang mengekori Elaksi menuju kamarnya usai sarapan.
"Aneh gimana?" Elaksi memang paling cuek di antara tiga bersaudara itu, karenanya ia tidak memperhatikan hal-hal detail seperti adiknya, Elga yang berbeda delapan tahun darinya itu.
"Mama sama Ayah kayak kelihatan tegang gitu. Trus Mas Evan kayak ketakutan gitu, nunduk terus. Apa Mas Evan ngelakuin kesalahan ya, Kak?"
"Ya ampun, El. Mas Evan udah sedewasa itu, bukan anak sekolahan lagi yang ketahuan nilainya jelek atau cabut dari sekolah. Kesalahan apa yang bisa bikin dia ketakutan kayak asumsimu? Tidur sama cewek?"
"Hush! Kakak ah. Ngomongnya itu loh."
Elaksi terbahak melihat adiknya yang bergidik ngeri sambil merebahkan diri di kasurnya.
Di keluarga Cakrawangsa, tidak mengenal istilah seks sebelum menikah. Ares dan Letta selalu mengajarkan kepada mereka untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Ares tahu hal itu sulit, di zaman sekarang yang serba bebas, apalagi jika mereka sudah memiliki orang yang disukai. Bahkan Ares sendiri dulunya kesulitan untuk menahan diri setiap bersama Letta. Tapi Ares dan Letta selalu menekankan 'indah pada waktunya' agar anak-anak mereka tidak ada yang melakukan kesalahan.
"Kalau sampe ada di antara kita yang ... amit-amitnya ngelakuin kesalahan itu, bakal diapain ya kak sama Mama, sama Ayah?"
"Dinikahin lah ... setelah dihajar, mungkin."
"Tapi kan Mama sama Ayah bukan orang yang kasar. Mana pernah kita dihajar selama ini. Palingan didiemin."
"Itu kan buat kesalahan biasa. Kalo buat kesalahan luar biasa mesti didiemin berapa lama? Kakak mendingan dihajar daripada didiemin Mama."
Daripada membicarakan hal yang menakutkan, Elga memilih bangkit dari posisinya.
"Mau ke mana?" tanya Elaksi saat menyaksikan adiknya berjalan keluar kamarnya.
"Mau nyari Kak Hana, semalem Kak Hana tidur sini kan." jawab Elga santai. Ia tidak mengacuhkan decihan Elaksi di belakangnya. Ia sampai sekarang bahkan tidak habis pikir kenapa kedua kakaknya tidak menyukai Hana. Baginya, tidak ada yang salah pada diri Hana. Hana terlihat tulus pada keluarga mereka dan ... yang paling penting Hana begitu memanjakannya, membelikan komik yang dia suka diam-diam karena orang tuanya membatasi bacaan komiknya.
Elga melangkah ringan menuju lantai 3 di mana kamar Hana berada. Dia belum benar-benar sampai ke kamar Hana, tapi langkahnya berhenti saat mendengar suara dari dalam kamar Hana.
"Semalam kita ngapain? Nggak ngapa-ngapain kan?" tanya Evan sambil menekan kedua pundak Hana dan mendorongnya ke dinding.
Hana membalas tatapan Evan dengan sama tajamnya. "Kamu nggak inget?"
"Kalau aku inget, aku nggak akan nanya ke kamu." Evan mendengus kesal karena tidak bisa mengingat apa pun. "Tadi kamu bilang ke Mama kalo kita nggak ngapa-ngapain."
"Cuma buat nenangin Tante Letta." jawab Hana yang masih membiarkan Evan menekannya ke dinding, walaupun badannya mulai terasa remuk, pergulatan mereka semalam ternyata membuat badannya memar di beberapa bagian, terutama di pergelangan tangannya yang memerah. Semua tidak dirasakannya semalam, mungkin akibat pengaruh alkohol.
"Han! Jangan gila kamu! Kita bisa dinikahin kalo kamu bilang aku ngelakuin sesuatu ke kamu." Evan mulai kehilangan kontrol dan berteriak di depan wajah Hana.
Hana terdiam, membiarkan Evan mengeluarkan semua amarahnya.
"Atau kamu memang mau nikah sama aku?"
Hana tersenyum mengejek. "You're not that great, Van. Aku bakal nikah sama orang yang mencintaiku, bukan membenciku."
"Sombong!" Evan kemudian melepaskan tangannya di bahu Hana. Wanita itu tidak membantunya sama sekali untuk mengembalikan ingatannya, untuk apa ia menahannya lebih lama lagi. "Kamu dipanggil Mama, di ruang kerja Ayah."
Hana sedikit mendorong Evan agar memberinya ruang untuk pergi. Setelah menarik napas dan menghembuskannya perlahan, Hana melangkah keluar dari kamarnya. Saat itu lah ia menangkap keberadaan Elga yang seperti membeku di tempatnya berdiri.
"El." panggil Hana. Ia bisa menduga kalau Elga mendengar pembicaraannya dengan Evan.
Elga yang baru tersadar karena panggilan Hana mengerjap bingung. Tidak pernah disangkanya akan mendengar pembicaraan semacam itu di rumahnya. "Kak Hana sama ... Mas Evan—"
Hana mendekat dan memeluk Elga. Bukan hanya untuk menenangkan Elga, saat ini dirinya sendiri pun butuh pelukan, setidaknya untuk membuatnya kuat menghadapi Ares dan Letta. "Semuanya nggak kayak yang kamu pikirin, El. Maaf ya kamu denger yang nggak-nggak dari percakapan Kakak." Hana melepaskan pelukannya, tersenyum, kemudian pergi setelah mengusap pelan puncak kepala Elga.
Selain Ares dan Letta, Elga adalah orang di keluarga itu yang menganggapnya seperti bagian dari keluarga. Elga tidak pernah memedulikan Evan dan Elaksi yang membencinya. Ia akan tetap kegirangan ketika Hana menginap di rumah itu, bahkan sering kali meminta Hana untuk menemaninya tidur.
Hana berjalan gontai melewati pinggiran kolam renang yang memisahkan rumah depan dan belakang, sambil menghela napas berkali-kali dan menebak-nebak apa yang akan dikatakan orang tua Evan padanya.
Ia sampai di depan sebuah pintu yang sudah dihapal Hana sebagai ruang kerja Ares, karena Hana berkali-kali menemani Ares saat menyelesaikan pekerjaan di ruangan itu. Hana mengetuk pelan pintu itu, setelah mendengar suara Letta yang memintanya masuk, barulah Hana membuka pintu dan melangkah ke dalam ruang kerja Ares.
Letta tengah menunggu Hana di sofa bed yang ada di sudut ruangan, berdekatan dengan jendela yang menghadap ke taman samping rumah.
"Duduk, Han." perintah Letta singkat.
Hana menurut, duduk di samping wanita itu sambil mengedarkan pandangan.
Letta yang menyadari sikap Hana yang seperti mencari sesuatu. "Om bilang lebih nyaman kalo Tante sendiri yang bicara sama kamu." ucap Letta.
Hana menunduk, nada suara Letta padanya berbeda dari biasanya. Ia bisa merasakan kekecewaan yang dirasakan wanita paruh baya di sampingnya.
"Kamu tau Han kenapa Tante sama Om kecewa sama kamu? Kamu tau kan kalo Om sama Tante udah nganggap kamu anak sendiri. Bukan, bukan Tante nggak nerima kalau kamu ada hubungan sama Evan, sama sekali bukan itu. Tante kecewa karena kamu nggak bisa jaga diri."
"Tante, aku sama Evan nggak nggak ngapa-ngapain semalem—"
Hana lantas menceritakan apa yang terjadi di antara dirinya dan Evan malam sebelumnya. Tidak ada yang ia lewatkan untuk memberikan keyakinan pada Letta.
"Tante boleh bawa aku ke dokter buat periksa, Evan nggak ngapa-ngapain aku semalem." ucap Hana pasti. Meskipun ia langsung tidak sadarkan diri setelah menyentuh bantal, tapi ia yakin tidak ada yang terjadi. Tidak ada bagian tubuhnya yang terasa aneh atau sakit, hanya kepalanya yang sedikit pusing saat baru bangun tidur.
"Kamu masih cinta sama Evan?" tanya Letta tiba-tiba yang membuat Hana terdiam. "Nikah sama Evan ya, Han. Cuma dengan cara itu Tante sama Om bisa jagain kamu."
"Lucu banget siiih." Vio yang menggendong sesosok bayi kecil tidak bisa mengalihkan matanya dari bayi yang belum bisa membuka mata itu. "Boleh bawa pulang satu nggak? Kan masih ada satunya lagi.""Kalo dia laper, lo mau nyusuin?" Hana mendelik ke arah Vio."Ck! Lucu banget tau, Han." Vio dengan gemasnya mengecupi pipi bayi merah itu."Udah pengen ya?" tanya Hana menggoda Vio yang agak terlihat kaku menggendong bayi di tangannya.Vio mengedikkan bahu sebagai jawabannya.Saat keduanya tengah bermain-main dengan bayi kembar itu, Evan dan Azka masuk ke dalam kamar rawat dengan dua tote bag yang berlogokan salah satu minimarket. Hana memang meminta pada suaminya untuk dibelikan cemilan karena makanan dari rumah sakit hanya mampu mengganjal setengah ruangan di perutnya."Van, si twin siapa sih namanya? Astaga, udah setengah jam aku nanya ke Hana, katanya kamu yang bakal ngasih tau karena kamu ngelarang dia ngasih tau. Apaan coba?"Evan tersenyum pongah. Ia memang melarang Hana memberitahukan
Hana mengusap peluh yang mulai terasa di dahinya. Ia berusaha menahan rasa sakit yang mulai menyergapnya. Evan masih tertidur pulas di sebelahnya.Setelah mengatur napasnya beberapa saat dan sakit di perutnya tidak kunjung mereda, tangan Hana terpaksa menggapai suaminya untuk membangunkannya."Maaas.""Hmm?" Evan mendengar panggilan istrinya tapi matanya masih enggan untuk membuka."Mas, perutku mules."Barulah setelah mendengar itu, mata Evan membuka sempurna. "Kontraksi?"Hana hanya bisa kembali mengatur napasnya. Ini yang pertama untuknya, bagaimana ia bisa membedakan itu kontraksi palsu atau kontraksi yang sebenarnya."Aku bangunin Mama dulu ya."Sejak satu bulan sebelum Hari Perkiraan Lahir (HPL), semua anggota keluarga Evan sudah menginap di rumah Evan, mama papanya, termasuk Elga dan Elaksi. Euforia dan khawatir yang berlebihan adalah penyebabnya. Tapi Evan juga tidak memungkiri kalau ia membutuhkan kehadiran mamanya yang sudah berpengalaman menghadapi proses persalinan."Masih
"Permisi, Pak." Ribka melongokkan kepala ke ruang atasannya setelah mendengar sahutan dari Evan yang mempersilakannya masuk."Kenapa, Rib?""Hana?"Evan hanya menunjuk dengan dagu posisi Hana yang sedang tidur di sofanya. Sejak kehamilan Hana, Evan sengaja mengganti set sofa di ruangannya dengan yang lebih besar agar Hana bisa tidur dengan nyaman.Apalagi kini kehamilan Hana menginjak tujuh bulan. Dengan perut sudah sebesar itu, sebenarnya Evan tidak tega membiarkan Hana masih bekerja, walau setengah hari kerja Hana hanya dihabiskan untuk tidur. Tapi ke-clingy-an Hana belum juga berkurang hingga Evan tidak mungkin membiarkannya di rumah sendiri."Kenapa nyari Hana?""Ada proposal yang nunggu approval Pak Evan. Dan belum di-review Hana. Tadi tim pengembangan 2 udah nanya hasilnya, Pak.""Langsung kirim ke saya aja, Rib. Biar saya periksa.""Nggak lewat Hana nggak apa-apa, Pak?""Lihat sendiri dia teler begitu." Evan terkekeh melihat Hana yang tertidur dengan nyaman tanpa merasa tergang
"Maaas, meluknya jangan kenceng-kenceng. Nanti dedeknya kegencet."Evan merenggangkan pelukannya meskipun rasanya masih belum rela."Gemes abisnya. Kamu jadi lebih enak dipeluk."Hana mendelik kesal. Pasti ada yang tersirat di balik ucapan suaminya itu. "Maksudnya aku gendutan? Jadinya empuk untuk dipeluk?""Ya ampun, jangan sensitif gitu dong, Han. Nanti kalo kamu kesel, baby-nya ikut kesel sama ayahnya gimana?"Hana mengerucutkan bibir karena kesal, tapi justru ditanggapi Evan sebagai kode untuk mencium bibir istrinya itu, yang semenjak kehamilannya sama sekali tidak pernah terpoles lipstik."Ya orang hamil memang gendutan, Sayang. Kalo nggak gendutan gimana lah, mesti kita periksain lagi ke dokter, apalagi kamu bawa dua baby di perut," ucap Evan setelah puas mengeksplorasi kelembutan bibir istrinya."Mas nggak akan ninggalin aku meskipun aku gendut kan?" tanya Hana tiba-tiba."Kok kamu jadi clingy banget sih sejak hamil?" tanya Evan sampai hampir terbahak. Tidak pernah terbayangkan
"Mbak Hana mikir apa?" tanya Bi Lastri yang memperhatikan Hana melamun sambil mengaduk lemon tea yang baru saja dibuatnya. "Jangan banyak pikiran, Mbak. Kasihan yang di perut."Hana tersenyum melihat kekhawatiran Bi Lastri padanya. Pasti mama mertuanya sudah mewanti-wanti ART di rumahnya untuk memperhatikannya.Ia memang sedang berpikir, tapi bukan masalahnya yang sedang menguasai pikirannya. Hari sebelumnya ia sempat mengobrol dengan Vio, dan curahan hati Vio tentang hubungannya benar-benar membuat Hana memutar otaknya.Dan inilah saatnya ia mencoba melakukan sesuatu untuk membantu hubungan sahabatnya."Bibi, minta tolong bawain minum sama cemilannya ke ruang tengah ya," ucap Hana, kemudian berlalu menyusul suaminya dan sepupu iparnya yang sedang mengobrol di ruang tengah."Mas, Arfindo udah punya cewek belum sih?" Kalimat pertanyaan pertama yang disampaikan Hana begitu menginjakkan kaki di ruang tengah membuat Evan mengernyitkan dahi."Ngapain nanyain Arfindo?"'Evan dan cemburunya.
"Jadi Evan nerima lo lagi?"Sudah beberapa minggu sejak keluarga Evan akhirnya tahu apa yang dilakukan Hana untuk menyelamatkan perusahaan. Hana sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Evan yang disangka Vio tidak akan terjadi.Hana mengedikkan bahu, karena dia sendiri juga bingung dengan apa yang diinginkan Evan. "Lo sama Kak Azka gimana?""Loh kok jadi ngomongin gue?""Ayolah Vi, gue butuh hiburan kisah cinta orang lain daripada kisah cinta gue.""Nggak ada apa-apa, Han. Jadi nggak ada yang perlu gue ceritain.""Hah? Serius? Waaah, Kak Azka mesti didorong nih."Hana meraih ponselnya dari dalam tas kemudian sibuk mengirim pesan pada Azka, sementara Vio menatap makan siang di depannya dengan malas padahal dia yang sejak pagi mendesak Hana untuk menemaninya makan siang di salah satu restoran kesukaannya.Keduanya larut dalam obrolan sampai Hana tidak sadar kalau makanannya sudah habis sementara makanan Vio bisa dibilang masih utuh."Makan yang bener, Vi.""Lo kayak nggak pernah
"See? Dia udah nggak ada perlu lagi, makanya nggak ngehubungin." Vio menatap ponselnya dengan kesal. "Emang dia nggak ada rasa. Sadar dong, Vio!" Vio berusaha meyakinkan diri sendiri kalau perasaannya tak berbalas.'Telepon duluan aja!' Entah sisi hatinya yang mana yang sedang berbisik."Dih, nggak ada ceritanya seorang Vio ngehubungin laki-laki duluan." Sambil menggeram kesal, Vio menjauhkan ponselnya, kemudian mencoba larut dalam berkas gugatan yang baru saja dikirimkan stafnya melalui e-mail.Sepanjang hari Vio berusaha menyibukkan diri sendiri, dan jika mode Vio yang seperti ini sedang kumat, maka yang menjadi buklan-bulanannya adalah para staf dan junior pengacara di law firm itu. Vio bisa saja bekerja seakan besok hari kiamat, dan hari itu juga semua berkas perkara atau pledoi yang sedang mereka siapkan harus selesai."Kenapa sih Mbak Vio?" bisik Indri pada Laras."Putus cinta kali, kayak biasanya. Masih kaku aja, tau sendiri kita rutin ngalamin hal ini beberapa bulan sekali.""
Vio mengerjap pelan, diiringi dengan suara terkikik pelan dari resepsionis yang mendengarkan ucapan Azka yang hanya berjarak tidak lebih lima meter darinya."Hmm ... Mas, bukannya aku sok sibuk. Tapi aku ngecek jadwalku dulu ya—"'Dan kesiapanku.' batin Vio. Andai ia bisa mengutarakannya. Tapi tidak lama kemudian ia sadar kalau Azka dan mamanya berurusan dengannya hanya demi Hana, tidak ada niat lain. Ia hampir tertawa kalau tidak ingat Azka masih berada di depannya."Ya udah, jangan dipaksain kalo gitu, nanti aku whatsapp lagi ya, kamu bisa atau nggak-nya."Vio mengangguk mengiakan. Sebenarnya ia lebih senang ditelepon, paling tidak ia bisa mendengar suara berat Azka, tapi tidak mungkin diungkapkannya kan."Aku ... berangkat kerja dulu ya."Kali ini suara terkikik Achi semakin keras dan baru berhenti setelah Vio memelototinya."Mbak Vio kayak lagi main rumah-rumahan deh."Kalau saja wanita itu tidak lebih tua dari Vio, mungkin Vio akan memarahinya habis-habisan. "Main rumah-rumahan?
"Ma, Pa, aku nggak sarapan di rumah ya." Azka bergegas merapikan barangnya ke dalam tas ransel sambil berpamitan pada kedua orang tuanya yang sedang duduk menyantap sarapan."Ke mana, Ka? Pagi banget?""Jemput Vio, Ma. Semalem dia kuanter pulang, pagi ini dia naik apa kalo mobilnya di kantor?"Rimbi terbengong mendengar jawaban Azka. Sementara Ferdi menahan tawanya."Demi dapet alamat Hana. Pergi dulu Ma, Pa." Azka mencium tangan kedua orang tuanya lantas berlalu pergi.Setelah Azka hilang dari pandangan mereka, barulah Ferdi berani meledakkan tawanya. "Udah, kamu aja yang turun tangan. Nungguin hasil dari Azka pasti lama.""Emangnya Azka ...?" Rimbi menatap suaminya dengan bingung."Kali ini Azka dapet lawan yang sepadan, kayaknya kamu yang mesti turun tangan."***Azka melajukan mobilnya ke sebuah perumahan elit. Jelas Azka tahu di mana Vio tinggal karena sudah beberapa kali mengantar Hana ke rumah itu, dan malam sebelumnya pun ia mengantar Vio sampai depan gerbang rumahnya. Akan te