Intro lagu dari Sam Smith yang berjudul Too Good at Goodbyes mengalun pelan dari ponsel Hana. Sengaja ia meletakkan ponselnya di ruang makan sementara ia berada di sofa ruang tamu, hanya untuk mencegahnya menghubungi Evan terlebih dulu, sebelum ia bisa menenangkan diri.Dengan malas, Hana memaksakan kakinya untuk melangkah menuju meja makan, sekadar untuk mengetahui siapa yang meneleponnya berulang sejak tadi.Elga. Hana setidaknya merasa tenang begitu melihat caller id yang muncul di layar ponselnya."Ya, El?""Kak, lama banget ngangkatnya." Suara Elga terdengar sedikit kesal."Sorry, tadi Kakak di depan TV. Kenapa?""Mas Evan nitip pesen, katanya barang-barang Kak Hana yang mau dibawa ke rumah baru kalian, udah bisa mulai di-packing."Hana mengernyit bingung. Ia benar-benar belum mengerti ke mana arah pikiran Evan. Evan masih mau melanjutkan pernikahan mereka?"Kak?" Elga memanggil Hana sekali lagi karena tidak mendengar sahutan dari Hana."Iya iya, nanti kakak packing. Masmu udah p
âMasuk!â pekik Evan saat mendengar pintu ruang kerjanya diketuk seseorang.Beberapa detik kemudian, Evan menoleh karena orang yang baru saja memasuki ruangannya tidak kunjung bicara.âHan?â Saat Evan tiba, kursi kerja Hana masih kosong, hingga ia mengira wanita itu akan izin lagi hari itu.âAku mau ngasih jadwal kamu hari ini.âEvan terdiam. Bisa dilihatnya raut wajah Hana yang pucat, ditambah lagi gesture-nya yang seolah siaga, berdiri tidak terlalu jauh dari pintu, tidak seperti biasanya.âKamu udah enakan? Kok udah masuk?âPertanyaan bodoh sebenarnya kalau Evan sadar. Hari sebelumnya Hana pasti izin bukan karena tidak enak badan, melainkan karena kejadian di kamar hotel yang mungkin masih mengganggu pikirannya.âAku penderita PTSD kalo kamu lupa, dan penderita PTSD punya tendensi untuk menyakiti diri sendiri, itu yang sedang aku lakukan.â Entah ucapan itu benar atau tidak, tapi memang menyakitkan untuk Hana, bahkan sekadar untuk menatap lelaki di depannya itu.Evan menghela napas,
âNgapain kita di sini?â tanya Hana bingung.âAyo turun, kita perlu bicara kan.âHana menggeleng tegas. âAku nggak mau ngomong di sini.ââTerus di mana? Di sini kan privasi kita terjaga.â Apartemen Hana menjadi satu-satunya tempat yang bisa dipikirkan Evan. Jadi, ia mengarahkan mobilnya menuju apartemen Hana dan memarkirkan mobilnya dengan sempurna, sebelum mendapat penolakan dari wanita di sampingnya itu.Lagi-lagi Hana menggeleng. âAku nggak mau berduaan sama kamu di tempat sepi, apalagi tertutup.ââAku nggak bakal ngapa-ngapain. Janji. Maaf, yang waktu ituââ Evan menyugar rambutnya dengan frustasi.Hana tetap bergeming, bahkan tidak melepaskan pengait seat belt-nya."Trus kita mau ngomong di mana, Sayang?""Nggak usah manggil-manggil 'Sayang'!" Hana masih denial, tidak ingin begitu saja luluh hanya dengan satu kalimat cinta yang diucapkan Evan."Ya udah, mau ke mana kalo gitu? Mau ngomong di kantor?"Dengan dagunya, Hana menunjuk coffee shop yang ada di tower lain."Oh, mau sambil n
âKamu maafin aku begitu aja?âKeduanya masih melanjutkan pembicaraan serius mereka di coffee shop yang untungnya tidak terlalu banyak pengunjung. Ditambah lagi, Hana memang sengaja mencari tempat di pojok agar tidak ada yang mencuri dengar pembicaraan mereka.Bagaimana pun juga membicarakan skandal dan masalah keperawanan di tempat umum bukanlah hal yang lazim. Tapi Hana juga tidak mau mengambil risiko dengan berbicara berdua di apartemennya.âKamu nggak mau dimaafin begitu aja? Mau dapet syarat dulu sebelum dimaafin?ââBukan gitu. Tapi âĶ kesalahanku besar banget kan. Aku bahkan sampe benci dan malu sama diriku sendiri. Kamu bisa bayangin kalo orang tuaku tau apa yang kulakukan ke kamu? Bisa-bisa aku dicoret dari kartu keluarga setelah babak belur dihajar Ayah sama Mama.âHana terdiam, kalau dilihat dari satu sisi, kesalahan Evan memang sebesar itu. Evan hampir merenggut kesuciannya, hanya karena kecemburuan yang terlalu besar. Tapi ia juga sadar kalau ia yang mengizinkan Evan mulai m
âMau ditraktir di mana lo?â Meskipun Evan sebenarnya malas menanggapi temannya yang satu itu, tapi Evan lebih memilih mengiakan permintaannya daripada suatu hari Arfindo akan mengungkit-ungkit lagi, dan lebih parahnya meminta ditraktir Hana seorang diri.âBandar Djakarta yuk.â Arfindo tidak benar-benar minta ditraktir. Ia hanya ingin memastikan apa yang didengarnya baru saja benar. Sepanjang yang ia tahu, Evan masih belum bisa move on dari Melinda, karena itu di pertemuan mereka yang terakhir, Arfindo masih berusaha menjodohkan Evan dengan Melinda.âTempat lain aja lah, Hana nggak bisa makan cumi.ââAlergi?ââIya, tempat yang lain aja.ââSemua seafood atau cumi doang nih alerginya?ââCumi doang.ââKan banyak seafood yang lain, ada udang, ada kepiting, ikan juga ada.ââBuat jaga-jaga sih mending nggak usah makan seafood.âHana memperhatikan perdebatan kedua orang di depannya dengan jengah. Kenapa tidak ada satu pun di antara dua lelaki itu yang menanyakan pendapatnya.âEhem!â Hana memb
âOrang-orang kayak pada ngelihatin kita deh.âHana yang berjalan selangkah di belakang Evan mengedarkan pandangannya dengan awas. Ia yang selama dua hari belakangan tinggal di kediaman keluarga Cakrawangsa, pagi itu berangkat bersama Evan, tentu saja mereka terlihat memasuki lobby kantor bersama.Tapi, bukankah itu hal yang wajar? Jabatannya adalah asisten, bukan sekretaris. Dan hal itu sudah berlangsung lama, sejak ia menjadi asisten Antares Cakrawangsa, ia juga sering berangkat bersama dengan atasannya yang merangkap calon mertuanya saat ini.âMasa?â Evan ikut mengedarkan pandangan, dan setiap orang yang bertemu tatap dengannya langsung menunduk hormat.Anehnya, Evan malah berbalik dan memperhatikan wajah Hana dengan seksama, yang membuat Hana salah tingkah.âIni di lobby.â Hana mengingatkan Evan agar tidak melakukan tindakan aneh.âNgecek aja, jangan-jangan masih ada bentol-bentolnya makanya pada ngelihatin.âHana mendengus kesal dan memberikan kode agar Evan melanjutkan langkahnya
"Udah nggak marah kan?ââMarah kenapa? Karena digosipin hamil apa karena kamu punya proyek baru sama mantan tapi nggak ngomong-ngomong?âKeduanya tengah berada di mobil, setelah pengumuman pernikahan mereka berakhir dengan sebuah kabar yang mengejutkan bagi Hana. Kabar proyek baru Evan dengan Melinda. Bukan hanya dengan Melinda sebenarnya, ada Arfindo juga terlibat di dalamnya.Kekesalan Hana semakin bertambah karena Evan tidak langsung menjelaskannya, sampai saat mereka dalam perjalanan pulang dan Hana masih belum tahu apa-apa tentang proyek itu.âNggak usah dimasukin ke hati gosipnya, anggep aja mereka lagi ngedoain.âHana memutar kedua bola matanya. âYa doainnya nanti aja kali, pas udah abis nikah. Kalo gini ya jatuhnya fitnah. Belum lagi dipikir aku godain kamu. Ck!âEvan terkekeh, sedikit lega karena bisa mengalihkan perhatian Hana dari proyeknya dengan Melinda. âEmang kamu godain aku kan? Coba, siapa yang tidur di kamarku? Kan kamu.ââPerlu kuceritain kejadian rinci di malam itu
âHan, nanti fitting baju ya. Kamu ada temen yang bisa nemenin nggak, Han? Tante pengen nemenin, tapi temen Tante ada yang masuk rumah sakit, jadi nanti mesti ke sana.âKeduanya sedang berada di dapur, berkutat dengan masakan yang akan dihidangkan untuk sarapan keluarga itu. Meskipun banyak ART di rumah itu, tapi khusus untuk sarapan, Letta selalu mengusahakan makanan yang disajikan hasil dari tangannya sendiri.Dan Hana terbiasa membantu Letta sejak dulu, bahkan sebelum ia menjadi calon menantu di rumah itu. Sementara Elaksi dan Elga, dua anak perempuan Letta memilih tidur atau joging keliling komplek daripada masuk ke dapur.âSiapa Tante yang masuk rumah sakit?ââRena, typus.ââOh Tante Rena. Salamin ya, Tante. Nanti aku gampang fitting-nya, bisa ajak Ribka atau Vio. Sendiri juga bisa.ââNggak ngajak Evan?âHana menggeleng pelan. âNggak ah, malu, Tante.ââMalu kenapa?â tanya Evan yang tiba-tiba muncul dari balik stool bar.Letta terkekeh kemudian meninggalkan keduanya untuk bicara.â
"Lucu banget siiih." Vio yang menggendong sesosok bayi kecil tidak bisa mengalihkan matanya dari bayi yang belum bisa membuka mata itu. "Boleh bawa pulang satu nggak? Kan masih ada satunya lagi.""Kalo dia laper, lo mau nyusuin?" Hana mendelik ke arah Vio."Ck! Lucu banget tau, Han." Vio dengan gemasnya mengecupi pipi bayi merah itu."Udah pengen ya?" tanya Hana menggoda Vio yang agak terlihat kaku menggendong bayi di tangannya.Vio mengedikkan bahu sebagai jawabannya.Saat keduanya tengah bermain-main dengan bayi kembar itu, Evan dan Azka masuk ke dalam kamar rawat dengan dua tote bag yang berlogokan salah satu minimarket. Hana memang meminta pada suaminya untuk dibelikan cemilan karena makanan dari rumah sakit hanya mampu mengganjal setengah ruangan di perutnya."Van, si twin siapa sih namanya? Astaga, udah setengah jam aku nanya ke Hana, katanya kamu yang bakal ngasih tau karena kamu ngelarang dia ngasih tau. Apaan coba?"Evan tersenyum pongah. Ia memang melarang Hana memberitahukan
Hana mengusap peluh yang mulai terasa di dahinya. Ia berusaha menahan rasa sakit yang mulai menyergapnya. Evan masih tertidur pulas di sebelahnya.Setelah mengatur napasnya beberapa saat dan sakit di perutnya tidak kunjung mereda, tangan Hana terpaksa menggapai suaminya untuk membangunkannya."Maaas.""Hmm?" Evan mendengar panggilan istrinya tapi matanya masih enggan untuk membuka."Mas, perutku mules."Barulah setelah mendengar itu, mata Evan membuka sempurna. "Kontraksi?"Hana hanya bisa kembali mengatur napasnya. Ini yang pertama untuknya, bagaimana ia bisa membedakan itu kontraksi palsu atau kontraksi yang sebenarnya."Aku bangunin Mama dulu ya."Sejak satu bulan sebelum Hari Perkiraan Lahir (HPL), semua anggota keluarga Evan sudah menginap di rumah Evan, mama papanya, termasuk Elga dan Elaksi. Euforia dan khawatir yang berlebihan adalah penyebabnya. Tapi Evan juga tidak memungkiri kalau ia membutuhkan kehadiran mamanya yang sudah berpengalaman menghadapi proses persalinan."Masih
"Permisi, Pak." Ribka melongokkan kepala ke ruang atasannya setelah mendengar sahutan dari Evan yang mempersilakannya masuk."Kenapa, Rib?""Hana?"Evan hanya menunjuk dengan dagu posisi Hana yang sedang tidur di sofanya. Sejak kehamilan Hana, Evan sengaja mengganti set sofa di ruangannya dengan yang lebih besar agar Hana bisa tidur dengan nyaman.Apalagi kini kehamilan Hana menginjak tujuh bulan. Dengan perut sudah sebesar itu, sebenarnya Evan tidak tega membiarkan Hana masih bekerja, walau setengah hari kerja Hana hanya dihabiskan untuk tidur. Tapi ke-clingy-an Hana belum juga berkurang hingga Evan tidak mungkin membiarkannya di rumah sendiri."Kenapa nyari Hana?""Ada proposal yang nunggu approval Pak Evan. Dan belum di-review Hana. Tadi tim pengembangan 2 udah nanya hasilnya, Pak.""Langsung kirim ke saya aja, Rib. Biar saya periksa.""Nggak lewat Hana nggak apa-apa, Pak?""Lihat sendiri dia teler begitu." Evan terkekeh melihat Hana yang tertidur dengan nyaman tanpa merasa tergang
"Maaas, meluknya jangan kenceng-kenceng. Nanti dedeknya kegencet."Evan merenggangkan pelukannya meskipun rasanya masih belum rela."Gemes abisnya. Kamu jadi lebih enak dipeluk."Hana mendelik kesal. Pasti ada yang tersirat di balik ucapan suaminya itu. "Maksudnya aku gendutan? Jadinya empuk untuk dipeluk?""Ya ampun, jangan sensitif gitu dong, Han. Nanti kalo kamu kesel, baby-nya ikut kesel sama ayahnya gimana?"Hana mengerucutkan bibir karena kesal, tapi justru ditanggapi Evan sebagai kode untuk mencium bibir istrinya itu, yang semenjak kehamilannya sama sekali tidak pernah terpoles lipstik."Ya orang hamil memang gendutan, Sayang. Kalo nggak gendutan gimana lah, mesti kita periksain lagi ke dokter, apalagi kamu bawa dua baby di perut," ucap Evan setelah puas mengeksplorasi kelembutan bibir istrinya."Mas nggak akan ninggalin aku meskipun aku gendut kan?" tanya Hana tiba-tiba."Kok kamu jadi clingy banget sih sejak hamil?" tanya Evan sampai hampir terbahak. Tidak pernah terbayangkan
"Mbak Hana mikir apa?" tanya Bi Lastri yang memperhatikan Hana melamun sambil mengaduk lemon tea yang baru saja dibuatnya. "Jangan banyak pikiran, Mbak. Kasihan yang di perut."Hana tersenyum melihat kekhawatiran Bi Lastri padanya. Pasti mama mertuanya sudah mewanti-wanti ART di rumahnya untuk memperhatikannya.Ia memang sedang berpikir, tapi bukan masalahnya yang sedang menguasai pikirannya. Hari sebelumnya ia sempat mengobrol dengan Vio, dan curahan hati Vio tentang hubungannya benar-benar membuat Hana memutar otaknya.Dan inilah saatnya ia mencoba melakukan sesuatu untuk membantu hubungan sahabatnya."Bibi, minta tolong bawain minum sama cemilannya ke ruang tengah ya," ucap Hana, kemudian berlalu menyusul suaminya dan sepupu iparnya yang sedang mengobrol di ruang tengah."Mas, Arfindo udah punya cewek belum sih?" Kalimat pertanyaan pertama yang disampaikan Hana begitu menginjakkan kaki di ruang tengah membuat Evan mengernyitkan dahi."Ngapain nanyain Arfindo?"'Evan dan cemburunya.
"Jadi Evan nerima lo lagi?"Sudah beberapa minggu sejak keluarga Evan akhirnya tahu apa yang dilakukan Hana untuk menyelamatkan perusahaan. Hana sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Evan yang disangka Vio tidak akan terjadi.Hana mengedikkan bahu, karena dia sendiri juga bingung dengan apa yang diinginkan Evan. "Lo sama Kak Azka gimana?""Loh kok jadi ngomongin gue?""Ayolah Vi, gue butuh hiburan kisah cinta orang lain daripada kisah cinta gue.""Nggak ada apa-apa, Han. Jadi nggak ada yang perlu gue ceritain.""Hah? Serius? Waaah, Kak Azka mesti didorong nih."Hana meraih ponselnya dari dalam tas kemudian sibuk mengirim pesan pada Azka, sementara Vio menatap makan siang di depannya dengan malas padahal dia yang sejak pagi mendesak Hana untuk menemaninya makan siang di salah satu restoran kesukaannya.Keduanya larut dalam obrolan sampai Hana tidak sadar kalau makanannya sudah habis sementara makanan Vio bisa dibilang masih utuh."Makan yang bener, Vi.""Lo kayak nggak pernah
"See? Dia udah nggak ada perlu lagi, makanya nggak ngehubungin." Vio menatap ponselnya dengan kesal. "Emang dia nggak ada rasa. Sadar dong, Vio!" Vio berusaha meyakinkan diri sendiri kalau perasaannya tak berbalas.'Telepon duluan aja!' Entah sisi hatinya yang mana yang sedang berbisik."Dih, nggak ada ceritanya seorang Vio ngehubungin laki-laki duluan." Sambil menggeram kesal, Vio menjauhkan ponselnya, kemudian mencoba larut dalam berkas gugatan yang baru saja dikirimkan stafnya melalui e-mail.Sepanjang hari Vio berusaha menyibukkan diri sendiri, dan jika mode Vio yang seperti ini sedang kumat, maka yang menjadi buklan-bulanannya adalah para staf dan junior pengacara di law firm itu. Vio bisa saja bekerja seakan besok hari kiamat, dan hari itu juga semua berkas perkara atau pledoi yang sedang mereka siapkan harus selesai."Kenapa sih Mbak Vio?" bisik Indri pada Laras."Putus cinta kali, kayak biasanya. Masih kaku aja, tau sendiri kita rutin ngalamin hal ini beberapa bulan sekali.""
Vio mengerjap pelan, diiringi dengan suara terkikik pelan dari resepsionis yang mendengarkan ucapan Azka yang hanya berjarak tidak lebih lima meter darinya."Hmm ... Mas, bukannya aku sok sibuk. Tapi aku ngecek jadwalku dulu yaâ"'Dan kesiapanku.' batin Vio. Andai ia bisa mengutarakannya. Tapi tidak lama kemudian ia sadar kalau Azka dan mamanya berurusan dengannya hanya demi Hana, tidak ada niat lain. Ia hampir tertawa kalau tidak ingat Azka masih berada di depannya."Ya udah, jangan dipaksain kalo gitu, nanti aku whatsapp lagi ya, kamu bisa atau nggak-nya."Vio mengangguk mengiakan. Sebenarnya ia lebih senang ditelepon, paling tidak ia bisa mendengar suara berat Azka, tapi tidak mungkin diungkapkannya kan."Aku ... berangkat kerja dulu ya."Kali ini suara terkikik Achi semakin keras dan baru berhenti setelah Vio memelototinya."Mbak Vio kayak lagi main rumah-rumahan deh."Kalau saja wanita itu tidak lebih tua dari Vio, mungkin Vio akan memarahinya habis-habisan. "Main rumah-rumahan?
"Ma, Pa, aku nggak sarapan di rumah ya." Azka bergegas merapikan barangnya ke dalam tas ransel sambil berpamitan pada kedua orang tuanya yang sedang duduk menyantap sarapan."Ke mana, Ka? Pagi banget?""Jemput Vio, Ma. Semalem dia kuanter pulang, pagi ini dia naik apa kalo mobilnya di kantor?"Rimbi terbengong mendengar jawaban Azka. Sementara Ferdi menahan tawanya."Demi dapet alamat Hana. Pergi dulu Ma, Pa." Azka mencium tangan kedua orang tuanya lantas berlalu pergi.Setelah Azka hilang dari pandangan mereka, barulah Ferdi berani meledakkan tawanya. "Udah, kamu aja yang turun tangan. Nungguin hasil dari Azka pasti lama.""Emangnya Azka ...?" Rimbi menatap suaminya dengan bingung."Kali ini Azka dapet lawan yang sepadan, kayaknya kamu yang mesti turun tangan."***Azka melajukan mobilnya ke sebuah perumahan elit. Jelas Azka tahu di mana Vio tinggal karena sudah beberapa kali mengantar Hana ke rumah itu, dan malam sebelumnya pun ia mengantar Vio sampai depan gerbang rumahnya. Akan te