Share

06

“Apa ada sesuatu yang terjadi?” Aria bertanya ketika Iris baru saja masuk ke dalam rumah kaca.

“Eh?” Iris masih merasakan degup jantungnya yang berdetak cepat, bukan karena ia gugup akan pekerjaannya, melainkan ia masih ada rasa takut yang tertinggal akibat hal yang ia alami di perpustakaan.

Aria berjalan mendekat agar ia dapat melihat raut wajah Iris dengan jelas. “Kau terlihat pucat...” katanya.

Iris dapat merasakan bahwa Aria khawatir dengannya. “Tidak, tidak ada apa-apa.” katanya.

“Benarkah?” Aria tidak yakin dengan jawabannya.

Iris mengangguk. “Mungkin aku hanya sedikit gugup,” Iris berusaha menyakinkannya.

“Baiklah kalau begitu,” kata Aria pada akhirnya.

Iris tidak dapat menceritakannya karena dua alasan. Pertama, ia masih belum mengenal Aria dan juga Max dengan baik. Kedua, ia sendiri bahkan masih belum yakin apakah yang di perpustakaan benar-benar nyata atau itu hanya bayangannya saja. Iris menghela nafas lagi karena ingatan tersebut. Terdiam sejenak, ia berusaha menghilangkan ingatan itu dan mengalihkan pandangannya ke sekelilingnya.

Rumah kaca yang lapang tetapi indah. Lantai dari petak-petak putih buram mengelilingi area rumput di tengah seperti bingkai, tiang-tiang baja ramping melengkung di atas sebagai penyangga kaca besar yang berfungsi sebagai atap rumah kaca— menampakkan pemandangan langit yang cerah.

Lampu-lampu kecil yang digantungkan dari sudut ke sudut, berkerlap-kerlip. Selain itu, di sekeliling tempat ini ditumbuhi banyak sekali tanaman. Pepohonan yang tinggi, tanaman-tanaman kecil berbagai warna dan bunga di dalam pot yang tersusun sangat rapi. Bukan hanya tanaman hias, Iris menemukan tanaman-tanaman yang dapat dimakan seperti sayuran, bermacam-macam tanaman buah yang sedang berbuah dengan sangat banyak.

Iris berjalan mendekati Aria dan Max. “Apa yang perlu aku lakukan?” tanyanya.

“Kau bisa memulai dengan menyiram tanamannya terlebih dahulu,” kata Max.

Iris mengambil sebuah alat penyiram yang terletak di lantai, tidak jauh dari posisinya berdiri. Alat penyiramnya berukuran kecil, seperti yang akan menghiasi ambang jendela rumah milik seorang nenek. Berwarna putih dengan hiasan gambar abstrak. Yang harus Iris lakukan bukanlah hal yang sulit, yaitu menyiram dan memetik tanaman yang diperlukan untuk dikeringkan.

Rumput di pinggir dipotong pendek, mengelilingi seluruh area seperti bingkai. Indra penciumannya menangkap daun aromatik, Thyme, Rosemary, Oregano luas dengan bau harum yang harum, Mint dalam pot tanah liat di bawah sinar matahari. Berbagai macam bunga yang dapat dikeringkan untuk menjadi teh atau aroma minyak esensial. Di atas meja, tergeletak bunga-bunga. Kelopaknya yang dulunya indah melengkung di tepinya karena terik matahari, tangkainya sudah lemas dan berubah warna.

Iris melihat Max dari kejauhan, sedang menanam beberapa tunas tanaman herbal baru. Ia tidak pernah membayangkan bahwa berkebun sebagai hal yang akan seorang pria lakukan sampai ia melihat Max, kemejanya terlihat lembab karena keringat dan tanah pun menempel pada sarung tangan serta celemek yang ia kenakan. Ketika di rumah, ibunya yang selalu mengurus tanaman dan terkadang Iris membantunya, sementara ayahnya lebih sering menghabiskan waktu di dalam laboratorium.

“Ada apa?” Pertanyaan dari Max membuatnya terkejut.

“Eh? Apa?” Iris bingung.

“Aku dapat merasakan tatapanmu, Iris.” Max terkekeh. “Apa aku terlihat aneh?”

Iris menggeleng dengan cepat. “Ah tidak. Aku hanya... ” perkataannya terhenti, Iris tidak tahu apa yang harus ia katakan. Max hanya tertawa lagi dan kembali fokus dengan apa yang sedang ia kerjakan.

Perasaan itu kembali lagi. Iris merasa bulu kuduknya meremang untuk kesekian kalinya pada hari itu. “Lagi?” pikirnya.

Iris menoleh ke belakang. Ia merasa seperti ada yang memperhatikannya sementara di ujung rumah kaca, Max terlihat sedang berbicara dengan serius bersama Aria. Iris pun melihat sekelilingnya dengan curiga.

Di saat yang sama, Iris menyadari bahwa Max sedang memperhatikannya. Raut wajahnya yang serius membuat Iris bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, apakah ia melakukan hal yang salah. Namun, di detik berikutnya, Max tersenyum kepadanya dan kembali melanjutkan tugasnya seolah tidak terjadi apa-apa. “Iris?” serunya. Iris kembali melihat ke arahnya, Max tidak menoleh ke arahnya. “Ada apa?”

Iris menggelengkan kepalanya perlahan. “Kau pasti menganggap ini aneh…” katanya. “Aku merasa seperti ada yang mengawasi.”

Max menaikkan satu alisnya. “Tapi tidak ada siapa-siapa disini selain kita,”

“Aku tahu itu…” kata Iris.

Max menepuk bahu Iris. “Mungkin kau lelah hingga mulai berhalusinasi?” tanyanya.

Iris menganggukkan kepalanya, memikirkan semua yang logis. “Mungkin.”

Iris mendengar suara pintu yang terbuka di belakangnya. Ia bahkan belum menoleh ketika seseorang berkata. “Yang Mulia,”

Pada saat yang sama, Iris menoleh ke belakang. Aria dan Max membungkuk, kepalanya menunduk sejenak, memberikan hormat kepada Pangeran muda di hadapan mereka.

“Ini orangnya?” tanya Putra Mahkota Brittale— Pangeran Adrian Gennady, ketika ia bertukar pandang dengan Iris dan kepala Iris menoleh ketika Aria serta Max mengangguk bersamaan. Iris menatap pangeran muda di hadapannya. Mata mereka saling bertemu sejenak, dan ia tersenyum. Iris tidak menyangka itu.

Iris membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat secara formal. “Selamat sore, Yang Mulia.” katanya. Adrian mengangguk sebagai jawaban. Iris menyadari raut wajah pangeran muda tersebut, jelas terlihat bahwa ia sedang tidak dalam kondisi senang. Dua orang pengawal berdiri di belakangnya dengan tubuh tegap, mengawasinya dengan ketat.

Adrian memiringkan kepalanya, tatapannya tidak lepas dari Iris yang terus terdiam— seolah menunggu Iris untuk mulai berbicara dan mengenalkan dirinya sendiri padanya. Pada akhirnya, Adrian berdiri dan memperhatikan Iris dari atas hingga kaki ketika ia berjalan mendekat. “Iris, benar?” katanya, senyuman yang sama masih tercetak di bibirnya.

“Ya.” Iris tidak dapat menebak apakah itu senyuman tulus atau sekedar basa basi.

Tatapan mata Adrian melembut. Iris berani bertaruh kalau setiap gadis akan pingsan apabila ia memberi mereka tatapan seperti ini. Namun tidak dengannya, Ia merasa terganggu karena pandangannya seperti itu.

Iris mengalihkan pandangannya ke arah sembarangan asal tidak melihat matanya. Ia melirik ke arah jendela yang terletak tepat di belakang Adrian. Melihat langit di luar sana dan terlihat bahwa langit semakin gelap dengan goresan awan berwarna merah, berlatarkan langit senja yang cerah berwarna merah jingga.

“Apa yang anda lakukan disini?” tanya Aria. Saat itu, Iris ingin sekali berterima kasih kepada Aria karena telah mengalihkan perhatian pangeran tersebut darinya.

Adrian pun mengalihkan pandangannya dari Iris. “Tidak ada. Aku hanya bosan,” katanya.

Max tertawa pelan. “Aku berani bertaruh kalau kau sedang kabur dari ruang kerja.” katanya. Alih-alih menentang, Adrian tersenyum penuh makna. Iris yang mendengar percakapan mereka, menaikan satu alisnya dengan bingung. Di dalam benaknya, ia mempertanyakan apakah mereka sedekat itu sehingga dapat berbicara dengan santai.

Pintu kaca kembali terbuka dan diikuti oleh suara seorang pria. “Adrian—” perkataannya terhenti.

Semua mata secara otomatis langsung tertuju ke arah pintu. Di sana, berdiri seorang pria yang memiliki penampilan mencolok. Rambut pirangnya sangat pucat sehingga nyaris terlihat putih, kulitnya pucat, serta sepasang mata berwarna merah cukup untuk membuat orang di sekelilingnya terpukau dengan penampilannya. “Oh, apa ini waktu yang tidak tepat?” tanyanya. Suaranya terdengar begitu dalam.

“Tidak,” kata Adrian tiba-tiba, Pandangannya tertuju pada pria tersebut. “Ada apa?”

Aria dan Max langsung berjalan ke arah Iris, berdiri di sisinya. Aria menarik lengan Iris dan hanya melihat kedua mata Max, Iris tahu bahwa itu adalah kode singkat agar mereka segera keluar. “Kami pergi dulu,” katanya.

Adrian dan pria tersebut menoleh ke arah mereka. Adrian berkata, “Oh, kami juga akan kembali ke istana,”

Iris dan pria berambut pirang tersebut saling bertatap muka selama beberapa detik. Tatapannya terlihat tajam ketika mereka saling bertukar pandang. Iris hendak mengatakan sesuatu namun Max sudah memanggilnya dari ambang pintu.

Mereka keluar dari rumah kaca, meninggalkan pangeran beserta pria tadi di dalamnya. Iris melirik ke arah celah pintu sebelum tertutup sepenuhnya. Ia melihat Adrian masih menatapnya tanpa henti dan Iris tidak menunjukkan emosi apapun kepadanya.

Sebelum pintu tertutup sepenuhnya, Iris mendengar perkataan pria tadi kepada Pangeran dengan samar. “Bagaimana keadaanmu?”

Iris tidak dapat mendengar percakapan berikutnya karena Max sudah menatapnya dengan satu alis terangkat. Raut wajahnya seolah bertanya kepadanya apakah ia berniat menguping.

“Jadi bagaimana menurutmu?” Pada akhirnya Aria pun yang memulai percakapan, mengembalikan Iris dari pikirannya ke kenyataan.

“Eh? Apa?” Iris tidak mengerti apa yang dimaksud olehnya.

Aria tersenyum ramah dan ia terlihat tenang. “Pangeran Adrian.” katanya.

Hanya dengan mendengar nama itu saja, Iris sudah mengerti apa maksudnya. Iris menarik nafas pelan dan mencoba untuk memikirkan kata apa yang seharusnya digunakan. “Tidak tahu.” katanya.

“Apa pendapat pertamamu tentangnya?” tanya Max tiba-tiba. Ia berjalan di belakangnya, namun tetap menyimak apa yang sedang Iris dan Aria perbincangkan. “Ini pertama kalinya kau bertemu dengannya, bukan?”

Iris ingin mengatakan tidak karena pertama kalinya ia bertemu dengan Pangeran, ia tidak sengaja menabraknya. Namun Iris memilih untuk tidak mengatakannya. ”Tidak seperti yang aku bayangkan selama ini.“ jawab Iris. Itu bukan kebohongan. Selama ini Iris selalu berpikir bahwa kaum bangsawan memiliki sifat yang sama, yaitu sombong. Saat ini hanya ada satu kata yang muncul di pikirannya ketika ia mengingat Pangeran Adrian. Aneh.

Iris mengingat pria dengan rambut pirang tadi dan merasakan ada yang berbeda darinya, namun tidak tahu apa. Ia memberanikan diri untuk bertanya. ”Pria tadi,“ katanya pelan. Aria meliriknya melalui sudut matanya. ”Siapa itu?“ tanya Iris.

”Tuan Nicholas.“ jawab Aria. ”Bisa dikatakan ia adalah orang kepercayaan Raja beserta guru Pangeran Adrian.“ tambahnya. Iris tidak mendapatkan apapun selain namanya dan apa yang ia lakukan. Aria juga terlihat tidak begitu mengenali siapa Nicholas. 

Aria merenggangkan tubuhnya ketika mereka sudah berada di farmasi. “Baiklah, terima kasih untuk hari ini, Iris.” katanya.

Malam itu tiba dengan membawa tanda-tanda akan muncul hujan badai. Cahaya terang mulai tergantikan oleh kegelapan yang muncul lebih cepat. Langit yang cerah telah tertutup oleh awan kelabu. Angin mulai berhembus lebih kencang, menyapu jalan setapak. Awan tebal menutupi setengah langit. Bahkan bayangan telah menghilang oleh kegelapan yang merambah. Tidak lama setelah itu, hujan turun dengan derasnya dan angin tidak berhenti berhembus. Itu cukup untuk membuat orang-orang tidak keluar dari rumah mereka masing-masing.

Iris masih dalam kondisi tidur ketika ia merasakan tempat tidurnya bergerak— seperti seseorang tengah duduk pada pinggir tempat tidurnya dan menatapnya dengan sangat dekat sehingga Iris dapat merasakan kehangatan dari nafasnya, ketika rambutnya di sibak perlahan dari wajah dan lehernya, menunjukkan tengkuk lehernya.

Iris membuka kedua matanya perlahan, berbaring di tempat tidur, selimut melilit di kedua. Mengubah posisinya menjadi duduk, ia melihat sekelilingnya, memastikan bahwa tidak ada siapapun di kamarnya. Ia tidak tahu apakah itu hanya mimpi atau bukan. Iris dapat merasakan ada seseorang di kamarnya. 

Pencahayaan masuk melewati jendela kamarnya dari lampu di luar, membuat seluruh kamarnya redup oleh cahaya kuning. Iris menggosok mata, mengerjap menyingkirkan rasa kantuk. “Jam berapa ini?” gumamnya. Ia hanya mendengar suara hujan yang teredam oleh dinding sekelilingnya. Ia bangkit dari tempat tidurnya, menarik tirai dan mendapati bahwa masih tengah malam.

Iris menoleh ke kiri dan kanan, melihat semuanya dari jendela. Suasana sudah sangat berubah. Tidak lagi ramai dan terang. Lampu-lampu sudah dimatikan, hanya tersisa beberapa yang menyala di sudut-sudut agar lorong tidak benar-benar gelap gulita.

Tidak ada siapapun.

Berasumsi bahwa itu hanya mimpi, Iris memutuskan untuk kembali tidur.

•••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status