Share

07

“...is?”

“Iris?”

Iris menoleh ke belakang— ke arah Max. Suara Max berhasil menyadarkan Iris dari lamunannya. “Eh? Apa?” tanyanya.

Max menaikkan satu alisnya. Ia ingin mengetahui apa yang sedang gadis tersebut pikirkan hingga ia melamun di tengah hari, namun ia mengurungkan niatnya. “Apa yang kau temukan?” tanyanya.

Mata Iris melihat kembali ke rak di hadapannya yang penuh dengan deretan toples kaca. “Selain beberapa toples kosong dan tumpukan debu, tidak ada.” Iris melambaikan tangannya di depan wajah, berusaha menyingkirkan debu yang berterbangan.

Max mengangguk dan menulis sesuatu di buku. “Aku tidak pernah menyadari betapa banyaknya semua bahan yang ada disini hingga hari ini,” Iris berkata tiba-tiba. Tangannya sibuk mengeluarkan setiap toples kaca yang berada di paling bawah dan memeriksa isinya satu per satu. Matanya melihat deretan isi rak tersebut dan menghela nafasnya.

Max hanya tertawa. “Kau akan terbiasa nanti,” Ia melihat Iris berjalan ke arahnya, memijat bahu kanannya.

Iris menarik kursi di hadapan Max dan ia duduk, memejamkan kedua matanya, dagunya bertumpu pada tangannya di atas meja. “Kau tidak tidur?” Max bertanya dengan heran. Pemuda tersebut duduk bersandar di kursi dengan satu tangannya memainkan pena.

“...Tidurku kurang nyenyak,” Iris tidak berbohong. Ia tidak dapat melanjutkan tidurnya karena ia merasa seperti ada yang mengawasinya sepanjang malam. Ia juga tidak mungkin mengatakan hal tersebut karena itu belum terbukti. Bisa saja Iris hanya terlalu lelah hingga mulai merasakan hal yang sebenarnya tidak ada. 

Max hanya tersenyum samar. “Mungkin karena kau masih belum terbiasa disini?” tanyanya. “Sudah berapa lama kau disini?” Max memejamkan kedua matanya, berusaha mengingat. 

“Seminggu?” Iris berkata sekenanya. Ia tidak mengingat kapan ia pertama kali datang.

Max mengangguk. “Kau tidak masalah sendirian disini, bukan?” katanya tiba-tiba, menoleh ke belakang untuk melihat keluar jendela dan dari situ, terlihat sebuah rumah kaca yang terletak tidak jauh dari lokasi mereka berada saat itu. “Aria sepertinya akan datang kesini lebih sore karena ada banyak tanaman herbal yang baru saja dikirim untuk ditanam.”

“Apa kau juga akan pergi membantunya?” tanya Iris.

“Ya.” kata Max. “Oleh karena itu, harus ada satu orang yang bertanggung jawab disini,”

Iris hanya mengangguk sebagai balasan. Ia tidak perlu banyak bertanya karena memang tidak ada banyak orang yang bekerja di farmasi tersebut. “Apa yang perlu aku lakukan kalau ada orang datang kesini?” tanyanya.

Max menatap Iris sejenak dan menyeringai ke arahnya. “Kenapa? Kau takut darah?” godanya. 

Iris mendengus. “Tidak. Aku hanya ingin berjaga-jaga apabila ada kejadian mendadak.”

Max tertawa dan kembali berpikir. “Apa kau tahu cara mengobati luka seseorang?” tanyanya.

“Ya, aku pernah melakukannya beberapa kali. ” jelas Iris.

“Kalau begitu, lakukanlah apa yang memang perlu dilakukan.” kata Max. Pria tersebut berjalan menuju salah satu lemari yang terletak di ujung ruangan, membuka setiap lacinya satu per satu. “Di lemari ini ada perban dan berbagai peralatan yang di perlukan.”

Iris memperhatikannya dengan seksama, berusaha mengingat setiap barang yang tersimpan di dalam laci tersebut. “Baiklah kalau begitu,”

Max melambaikan tangannya ke arahnya dan berjalan menuju pintu. Iris melihat kepergian Max— melihat punggungnya yang semakin mendekat ke arah pintu keluar. Pintu terbuka serta mengeluarkan bunyi menderit, Iris masih memperhatikan Max hingga pria tersebut menghilang di balik pintu.

Keheningan terasa sangat berat pada dirinya saat itu. “Haa...” Iris menghempaskan dirinya ke kursi, melihat sekelilingnya dan memutuskan untuk membaca buku di meja berukuran besar yang terdapat berbagai botol kaca, timbangan besi dan alat penumbuk, bersama dengan botol berisi cairan, tanaman herbal yang terlihat asing, dan gelas kaca berisi cairan mendidih di atas botol kecil dengan sumbu yang berapi.

Waktu berjalan cukup cepat hingga Iris terlalu fokus dengan bacaannya sehingga ia tidak menyadari keberadaan seseorang selain dirinya. Pada saat ia menyadarinya, Iris terbelalak melihat seseorang yang tidak pernah ia sangka akan muncul. Pangeran Adrian, bersandar di ambang pintu, tidak mengeluarkan suara apapun.

Iris langsung bangkit berdiri, “Yang—” Ia berdeham pelan. ”Apa ada yang bisa saya bantu?“ tanyanya dengan senyuman yang dibuat-buat. Sementara di benaknya, Iris sedang mengutuki betapa sial dirinya untuk bertemu dengan Pangeran secepat itu semenjak pertemuan pertamanya.

Adrian langsung merubah posisinya, berdiri tegak dan berjalan masuk. “Apa kau sedang melamun sehingga tidak mendengar suara pintu?” tanyanya

“Eh? Itu...” Iris berusaha memikirkan apa yang harus ia katakan.

“Apa hanya kau yang ada disini?” Adrian melihat sekelilingnya, seperti ia sedang mencari-cari keberadaan orang lain. Lalu Pangeran tersebut menatap Iris dari atas kepala hingga kaki.

“Saat ini, iya.” kata Iris. “Kalau Anda mencari Max, ia sedang keluar.”

“Oh, begitu,” Adrian hanya memberikan respon datar. Ketika mata Pangeran tersebut masih menatap tubuh Iris untuk waktu yang cukup lama, Iris sedang memikirkan berbagai cara yang memuaskan untuk mencakar wajahnya karena menatapnya seperti itu, namun ia menahan dirinya.

Iris memikirkan berbagai cara atau alasan agar Pangeran tersebut berhenti memandangnya. “Apa anda terluka?” Ia memperhatikannya juga dari atas hingga bawah, hingga tatapannya tertuju pada lengannya. “Darah...”

“Oh, benar...” Adrian memperhatikan lengan kirinya. “Inilah alasannya aku datang kesini.” katanya, nada bicaranya yang datar seolah itu hanya hal yang biasa.

“Apakah mau saya panggilkan Max kesini?” tanya Iris.

“Ah tidak, aku tidak masalah dengan itu,” Adrian menggeleng pelan dan masih memperhatikan Iris dengan seksama. “Kau bisa kan mengobati luka?”

Iris menganggukkan kepalanya dengan pelan dan tidak yakin. “Silakan duduk terlebih dahulu di sana,” Iris menggiringnya menuju ruang sebelah yang terdapat beberapa tempat tidur. “Saya akan mempersiapkan perlengkapannya.”

Iris berjalan meninggalkan Adrian setelah ia memastikan bahwa Pangeran tersebut telah duduk di salah satu tempat tidur. Ia mencuci tangan selama satu menit, lalu mengumpulkan segala macam perban dan beberapa botol yang berisi salep, cairan antiseptik, semangkuk air panas dan beberapa kain bersih , dan akhirnya, akhirnya menarik kursi di meja untuk memulai mengobati pangeran tersebut.

“Apakah ada banyak bekas luka?"  tanya Adrian.

Iris mengerutkan kening. “Di lengan?” tanyanya dengan bingung.

“Tidak, di punggung.” kata Adrian. “Aku terjatuh beberapa kali tadi,”

Iris menghela nafas pelan, ”Izinkan saya melihat punggungmu.“ Tanpa berpikir lebih lama, Adrian langsung melepaskan pakaiannya di hadapan Iris, seolah ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu.

“Dari apa yang bisa saya lihat,” katanya, “Ada beberapa luka lebam besar— ​​dan mungkin beberapa yang lebih kecil. Tidak separah dengan apa yang saya bayangkan dan bisa hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari atau minggu.”

Iris berdiri begitu dekat sehingga ia bisa melihat rambut halus yang ada di tengkuk lehernya. Tidak ada aroma parfum mahal, melainkan aroma tanah dan besi.

Tidak ada suara apapun di antara mereka. Iris terlalu sibuk mengobati luka dengan obat-obatan dengan nama dan aroma aneh dan membalutnya dengan perban. Suara Adrian memecah keheningan di antara mereka. 

“Kita tidak pernah berkenalan dengan baik.” Kata Adrian. Pemuda tersebut melangkah ke hadapan Iris, menghentikan langkah kakinya. “Bisa kita ulang? Kau tahu siapa aku— Adrian Gennady.”

Iris merasa ada sesuatu di dalam akal sehatnya untuk tidak dekat dengannya, namun ia tidak tahu apa alasannya dan ia tidak mungkin mengatakan hal seperti itu. Iris memilih untuk diam dan tetap fokus mengobati. “Aku tidak akan berhenti bertanya sampai kau meresponku ” kata Adrian.

Iris hanya dapat berusaha menahan emosinya. “...Iris Campbell,” gumamnya pelan. Iris tidak tahu kenapa ia melakukan ini. Iris tahu siapa Adrian dan begitu pula sebaliknya.

“Senang berkenalan denganmu.” kata Adrian.

“Sebelumnya apakah kau tinggal di kota atau desa?” Iris tidak akan pernah menyangka akan mendengar pertanyaan seperti itu dari Pangeran— itu bukanlah pertanyaan yang akan seseorang tanyakan kepada seseorang yang baru saja dikenal.

“Saya telah tinggal di berbagai tempat,” Iris menjawabnya tanpa minat. Di saat yang sama, Iris telah selesai mengobatinya. “Sudah selesai.”

Adrian menaikkan satu alisnya. “Aku harap kau tidak mencoba membohongiku.” katanya sambil kembali memakai pakaiannya.

“Tentu saja tidak.” Iris hanya merapikan peralatan yang ia gunakan, bahkan ia sama sekali tidak menatap Adrian.

Itu bukanlah kebohongan, namun Iris lebih lama tinggal dan dibesarkan di kota ini. Ia tidak pernah bertemu dengan siapapun di luar orang-orang yang memiliki kepentingan pada kegiatan sehari-harinya, selain keluarganya sendiri.

Semenjak Iris menginjakkan kakinya di istana tersebut, Iris sudah dapat menebak bahwa satu-satunya yang menghubungkan dirinya dengan keluarganya hanya berupa sepucuk surat yang akan ia tulis dan dikirim ke rumahnya. Walaupun begitu, bukan berarti Iris sama sekali tidak memiliki teman. Ia memiliki beberapa teman, yang memiliki kepentingan dengan dirinya saja. Bahkan ketika Iris diajak untuk makan bersama, ia akan pergi sendiri untuk mencari ketenangan.

“Benarkah? Dimana tepatnya?” Adrian menoleh ke belakang dan bertanya lagi.

Langkah kaki Iris terhenti dan ia menoleh ke arah Adrian. “Apakah anda tidak merasa bahwa anda terlalu banyak mengajukan pertanyaan yang pribadi, Yang Mulia?” katanya. Saat itu, Iris sudah melupakan formalitas. Ia tidak suka ketika ada orang yang terlaly banyak bertanya tentang hal yang menyangkut privasinya.

Adrian menaikkan satu alisnya. Ia tidak pernah menyangka seseorang akan berkata seperti itu kepadanya— kepada seorang Pangeran. Adrian menyeringai kepada Iris dan mendekatkan wajahnya ke Iris. Begitu dekat sehingga Iris dapat merasakan nafasnya yang hangat pada wajahnya. “Aku memiliki keingintahuan yang tinggi, Nona.” bisiknya.

“Dan saya juga memiliki hak untuk tidak memberitahukan hal pribadi ke orang banyak.” Jawab Iris dengan tegas.

“Aku akui kau sangat berani,” kata Adrian. “Bahkan setelah kau tahu siapa aku.” Iris dapat merasakan mata Adrian yang menatap wajahnya, menilai, menimbang, menguji. Iris membalas tatapannya.

Adrian tersenyum samar. “Baiklah, aku sama sekali tidak masalah kalau kau tidak ingin mengatakan apapun.” katanya. “Aku sudah mendengar beberapa cerita yang agak menarik tentangmu. Apa pendapatmu setelah hidup dalam lingkungan mewah dan serba tersedia seperti istana ini?”

Hanya ada satu kata yang muncul di dalam benak Iris. Sombong. “Saya rasa anda tidak perlu tahu soal itu.“ Iris berkata dengan sedikit tinggi, ia nyaris kehilangan kesabarannya. Iris tidak menyukai deretan pertanyaan yang menyangkut kehidupan pribadinya terutama dari orang yang ia tidak kenal baik.

Adrian membungkukkan punggungnya— memberikan hormat kepada Iris. Iris dapat melihat tampang mencemooh dari raut wajahnya. ”Kalau begitu saya minta maaf, Nona! Lain kali, saya akan mencoba memikirkan sesuatu yang lebih pantas untuk dikatakan.“ Iris tidak perlu berpikir lebih lama untuk tahu bahwa itu hanyalah kata-kata sarkas darinya.

Mendengar suara pintu terbuka, Iris merasa sedikit lega karena ia mengharapkan Max untuk segera kembali. ”Aku harap itu adalah Max.“ pikirnya. 

Sosok yang Iris tunggu akhirnya muncul dari balik pintu. Max langsung berjalan mendekati Iris dan Adrian. “Adrian? Kenapa kau disini?”

•••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status