Iris menutup pintu kamarnya dengan pelan. Kepalanya masih memproses apa yang baru saja ia lihat. “Apakah aku salah lihat?” gumamnya.
Ingatannya tentang apa yang telah Iris lihat kembali bermunculan di dalam benaknya, seperti potongan-potongan gambar yang muncul satu per satu. Iris menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mengerang frustasi. “Ok, Iris.” gumamnya kepada dirinya sendiri, kedua tangannya menepuk pipinya pelan. “Lupakan apa yang baru saja kau lihat! Lupakan!”
Gadis tersebut tidak memiliki alasan spefisik kenapa ia menghindari Pangeran Adrian, selain ia hanya ingin hidup tanpa mendapatkan perhatian lebih dari orang sekitarnya karena Ia tidak akan pernah dapat menebak apa yang orang lain pikirkan atau bicarakan di belakangnya. Iris pun memilih untuk segera tidur tanpa memakan waktu lebih lama lagi untuk memikirkan persoalan vampire.
•••
Pagi itu, Adrian berjalan dengan cepat sehingga kedua tangannya mengepal dengan kuat di sisi tubuhnya. Ia mengabaikan salam dari pengawal dan pelayan yang ia lewati. Tidak jarang ia mendengar beberapa pelayan menanyakan apakah ada masalah atau tidak dengan suara iba atau rasa penasaran mereka.
“Ada apa?”
“Apa Tuan Nicholas atau Yang Mulia Raja mengatakan sesuatu lagi kepada Pangeran?”
Di ujung koridor, seorang pemuda muncul dari balik koridor. Wajahnya terlihat bersemangat, rambut merah gelap dan kulit putih pucat, di wajahnya tepat di bawah mata ada bintik-bintik akibat matahari dan meskipun mata abu-abu yang jelas dan jernih, ada kesan keseriusan pada kedua matanya, semacam kehangatan. Aiden— asisten Adrian muncul dari balik koridor. Ketika ia melihat Adrian, ia berkata, “Adrian, aku mau berbicara—”
“Aku sibuk. Tunggu di ruang kerja, nanti aku ke sana.” kata Adrian dengan cepat memotong perkataan asistennya. Tanpa menunggu perkataannya, ia pergi meninggalkan Aiden di tengah koridor bersama beberapa pelayan yang menatap mereka dengan bingung.
“...Baiklah,” kata Aiden dengan pelan. Ketika Adrian sudah menghilang dari pandangan, Aiden menghela nafasnya dan menatap langit-langit koridor. “Siapa kali ini yang membuatmu marah, Adrian?” gumamnya dengan sangat pelan.
“Kau apakan Adrian hingga ia seperti itu?”
Aiden menoleh dan ia melihat Max berjalan menuju dirinya dengan membawa sebuah kotak kayu besar berisi botol-botol kaca. “Halo, Aiden.” Max menyapanya.
Aiden berkacak pinggang, ia berkata, “Aku bahkan belum mengatakan apapun soal pekerjaannya hari ini.”
Max hanya mengangguk pelan. “Apa kau memikirkan hal yang sama denganku?” tanyanya.
“Hanya ada beberapa orang di istana ini yang dapat membuatnya mudah marah di pagi hari,” Aiden bergumam. Seolah mereka sudah saling tahu jawabannya, tanpa perlu menjawab satu sama lainnya, mereka berdua pergi bersama-sama.
Sudah bukan rahasia lagi di antara pengawal dan pelayan istana kalau Pangeran Adrian membenci ayahnya sendiri. Serta di tambah dengan Nicholas yang terus menerus mengawasinya. Beberapa dari mereka bahkan merasa iba terhadapnya, terutama ketika Ibunya— Ratu sebelumnya meninggal beberapa jam setelah melahirkannya.
Adrian membuka pintu salah satu ruangan yang berada di lantai tiga dengan kasar hingga terbentur dinding.
Nicholas hanya meliriknya sesaat dan kembali membaca buku di meja kerjanya. “Aku tidak pernah mengajarkanmu untuk masuk ke ruangan orang lain tanpa mengetuk pintu, Adrian.” katanya dengan santai.
Didominasikan dengan dinding berwarna coklat kayu dan beralaskan karpet merah maroon. Semuanya terlihat biasa. Satu set sofa berserta bantal-bantalnya, perapian yang menyala dengan bunyi gemeletuk dari api-api yang membakar kayu-kayunya, segala jenis hiasan yang digantung di dinding, hiasan-hiasan berbagai ukuran di tata dengan sangat rapi dan juga beberapa pot tanaman di beberapa sudut-sudut ruangan. Tidak lupa dengan karpet bulu di tengah-tengah ruangan.
Setiap perabotan yang tertata dengan rapi terlihat sangat nyaman, serta pernak perniknya yang menghiasi ruangan itu dengan indahnya. Dibandingkan dengan segala perabotan yang simpel tapi terlihat mahal dan penampilan Nicholas juga paling menonjol di ruangan tersebut.
“Apa yang kau lakukan padanya?” Adrian menggeram.
“Siapa?” tanya Nicholas, meletakan bukunya ke atas meja. “Oh maksudmu wanita yang semalam?”
“Kau melihatnya?” tanya Adrian.
“Kita memiliki sepasang mata, Adrian.” kata Nicholas. “Tentu saja aku melihat semuanya.”
“Tapi itu bukan berarti—”
“Kau membelanya?” tanya Nicholas dengan sarkasme. Kedua pria tersebut saling melemparkan tatapan tajam. Nicholas duduk bersandar pada kursinya. “Aku tidak mengerti kenapa kau membela orang seperti itu,” katanya. Nicholas juga menatap mata Adrian yang mulai berubah warna menjadi merah. “Kontrol emosimu. Warna matamu sudah mulai berubah.”
“Memangnya kenapa?” tanya Adrian, masih dengan kemarahannya. “Kau akan melaporkan ini kepada ayah?”
“Oh, kau tidak perlu mengingatkan itu.” kata Nicholas dengan santai dan menyunggingkan senyumnya “Ayahmu sudah tahu dan hanya tinggal menunggu waktu kapan ia akan membicarakan hal itu denganmu.”
Adrian mendecih. “Kau memang benar-benar berlaku sesuai dengan sebutanmu.” katanya. “Tangan kanan Raja.”
Mendengar itu, Nicholas langsung menerjang tanpa ragu— bergerak dengan kecepatan yang tidak normal. Adrian hendak berbalik untuk menghindar, tapi ia tidak sempat. Nicholas lebih cepat darinya, mencengkeram pakaiannya, mengangkatnya dan membenturkan dirinya ke dinding. “Kau memang seorang Pangeran bagi negara ini, tapi bagiku kau masih seorang anak vampir yang tidak bisa apa-apa.” kata Nicholas. “Kau bahkan belum sepenuhnya vampir,”
Nicholas melepaskan cengkramannya dan Adrian terjatuh ke lantai dengan terbatuk-batuk dan nafas tersengal. “Asal kau tahu, ayahmu memberikanku kuasa penuh untuk mengawasimu.” katanya.
Seorang pelayan pria masuk ke dalam ruangan dengan membawa nampan berisi segelas cangkir dan sebotol minuman terbuat dari kaca. Matanya terbelalak ketika melihat Adrian. “Letakan itu di meja dan bawa ia kembali ke kamarnya.” seru Nicholas.
Pelayan tersebut hendak membantu Adrian berdiri namun bantuannya di tolak dengan halus. “Aku bisa sendiri.” katanya. Suaranya masih menyiratkan kekesalan terhadap Nicholas dan keluar dari ruangan dengan cepat. Melihat itu, Nicholas hanya menghela nafasnya dan kembali duduk di sofa seolah tidak terjadi apa-apa.
•••
“Urusanmu sudah selesai?”
Adrian baru saja membuka pintu ruang kerjanya, Aiden sudah menyambutnya dengan senyuman dan mejanya yang penuh dengam tumpukan kertas. Melihat itu, Adrian menggerang sebal.
“Aku benar-benar membencimu...” Adrian bergumam sebal.
“Dan aku sudah mendengar perkataan itu ratusan atau bahkan ribuan kali,” kata Aiden dengan tenang. Ia terlalu sering mendengar itu setiap kali ia memberikan pekerjaan kepada Adrian.
Adrian menarik kursinya dan duduk disana. Ia pun masih menggumamkan banyak keluhan dalam bisikan kepada dirinya sendiri. Setelah ia duduk, ia menatap asistennya dengan seksama dan melihat apa yang di tangan kirinya. “Apa kau tahu kalau kedatanganmu ke ruangan ini selalu membuatku takut?” tanya Adrian.
“Benarkah? Apa itu karena aku membawakanmu banyak sekali pekerjaan?” Aiden menyeringai ke arah Adrian, menunjukkan tumpukan kertas di tangannya.
“Kalau kau sudah tahu itu, beri aku keringanan!” seru Adrian dengan sebal. Ia menghempaskan punggungnya ke kursi.
Aiden hanya tertawa. Adrian menatap tumpukan kerjaannya dengan tajam, seolah mengharapkan agar kertas-kertas tersebut akan segera menghilang bagai asap. Meja telah dipenuhi oleh tumpukan kertas-kertas dan berbagai dokumen lainnya. “Ini semua harus kau baca dan tanda tangan,” jelas Aiden.
Adrian mengistirahatkan kepalanya di atas meja, tenaganya nyaris terkuras habis dan Aiden masih tidak hentinya memberikannya pekerjaan. Saat itu, setiap perkataan yang keluar dari mulut Aiden sama sekali tidak ia simak.
Aiden memukul kepala Adrian menggunakan setumpuk kertas dengan pelan. “Kau mengabaikanku , benar?”
“Akan aku ulangi lagi,” kata Adrian tanpa merubah posisinya. “Beri aku keringanan...” Aiden tidak menggubrisnya.
•••
Adrian berdiri bersandar pada dinding, menatap keluar jendela. Dengan raut wajah datar, ia melihat sekelilingnya tanpa mengeluarkan suara apapun dan Aiden baru saja meninggalkan ruangan.
Ruang kerjanya mengarah ke barat, berhadapan dengan laut lepas ratusan hingga ribuan kilometer jauhnya. Suasana senja dan saat-saat matahari terbenam adalah suatu kejadian yang setiap hari dapat ia lihat. Namun tidak untuk malam itu. Di luar, cuaca mendadak menjadi sangat buruk. Hujan deras bercampur dengan angin dan petir terasa menggetarkan dinding. Kabut yang cukup tebal sehingga sulit untuk melihat apa yang ada di kejauhan. Semuanya terlihat kelabu dan membosankan baginya.
Ia menoleh ke arah jam klasik dengan pendulum emas yang mengayun kiri dan kanan. Waktu masih menunjukkan pukul lima sore. Tidak banyak yang dapat ia lakukan di saat-saat itu. Adrian mengalihkan perhatiannya dari jendela kamarnya ketika ia mendengar suara ketukan pada pintunya. Seorang pelayan pria masuk ke dalam untuk memberitahukan bahwa kehadirannya ditunggu di ruang makan.
“Ayahku disana?” tanya Adrian.
Pelayan tersebut mengangguk. “Benar.” jawabnya.
“Ada siapa lagi?”
“Maaf, kalau itu saya kurang tahu.” jawab pelayan tersebut.
“Baiklah kalau begitu," kata Adrian. Pelayan tersebut memberi salam kepadanya sebelum meninggalkan ruangan.
Adrian kembali menatap keluar jendela. Kali ini, yang ia lihat adalah pantulan wajahnya sendiri yang terpantul pada kaca jendela. ”Aku sedang dalam masalah, benar bukan...?“ ia bergumam kepada dirinya sendiri, kedua bahunya melemas. ”Aku benar-benar tidak ingin bertemu dengannya...“
Suara pintu kembali terdengar dan kali ini, Aiden masuk ke dalam ruangan. ”Aku sudah dengar dari pelayan,“ katanya tanpa basa-basi. ia berjalan mendekati pangeran tersebut. ”Adrian? Apa yang kau lakukan?“
Adrin hanya mengedikkan bahunya dan memilih untuk tidak mengatakan apapun. ”Kau akan tahu nanti,"
Ketika Adrian dan Aiden tiba di ruang makan, ia melihat ayahnya telah duduk di kursinya yang berada di ujung meja dan begitu pula dengan Nicholas. Adrian melihat ke sekeliling ruang makan sebelum duduk di kursinya. Beberapa pelayan pria mulai masuk ke ruang makan sambil membawa nampan perak berisi piring-piring besar makanan beruap.
Pangeran muda tersebut menatap ayahnya tanpa berkedip, menunggunya berbicara. Duduk di kursi paling ujung, Raja juga menatap putranya. Terkadang Adrian lupa kalau ia tidak memiliki fitur yang sama dengan ayahnya— tubuh yang lebar dan wajahnya yang bulat dan bermata tajam. Sedangkan Adrian— lebih terkesan tinggi dan elegan. Adrian mendapatkan semuanya dari mendiang ibunya.
“Nicholas memberitahuku bahwa kau berperilaku sedikit tidak baik belakangan ini,“ ayahnya menatap Adrian.
”Dengan Nicholas sebagai pengawas, aku masih berusaha untuk tidak melakukan yang sebaliknya.” kata Adrian. Ia berusaha untuk tenang. “Tapi—”
“Aku tidak ingin mendapati seorang wanita tanpa status yang jelas membuat seluruh istana heboh dan mengaku bahwa kau telah menghancurkan hatinya.” kata ayahnya.
Wajah Adrian berubah warna, tetapi ia tidak membalas tatapan ayahnya. “Tentu saja tidak,” jawabnya dengan pelan.
“Aku sudah bekerja keras— terlalu keras untuk membangun kerajaan ini dan kau tidak akan memperumitnya dengan berbagai skandal hingga ahli waris tidak sah. Menikahlah dengan wanita yang tepat, lalu memberiku satu cucu atau dua. Ketika kau adalah raja, kau akan memahami konsekuensinya.” kata ayahnya dengan tegas.
“Aku mengerti,” jawab Adrian.
Sebagai asistennya, Aiden selalu berada di dekat Adrian setiap saat. Malam ini, Aiden menyadari keanehan pada Adrian. Selama makan malam berlangsung, berbagai percakapan yang dilemparkan oleh ayahnya dan beberapa pertanyaan di jawab oleh Nicholas. Namun Adrian terdengar tidak tertarik sama sekali, meskipun ia tetap menanggapi hampir setiap pertanyaan dan melewati beberapa pertanyaan pribadi.
Ketika semuanya sudah selesai, Adrian langsung pamit terlebih dahulu dan keluar dari ruang makan.
Aiden pun langsung mengikuti Adrian, meninggalkan ruang makan dengan tergesa-gesa. Aiden mengikuti Adrian berjalan di salah satu koridor di istana yang terletak pada lantai empat, yang membawanya menuju area khusus bagi keluarga kerajaan untuk istirahat.
Keluarga kerajaan memiliki kamar-kamar pribadi mereka di lantai empat, dan segala macam gangguan tidak akan ditoleransi sama sekali. Kamar-kamar lainnya berada di lantai tiga, yang merupakan kamar untuk tamu.
Di belakangnya, Aiden mengikutinya tanpa mengatakan apapun. Suasana di antara mereka sangat hening, sehingga suara langkah kaki mereka yang saling beradu terdengar cukup keras. Cahaya dari luar menembus masuk ke dalam melalui jendela-jendela tinggi pada dinding koridor, menerangi seluruh koridor dengan cahaya redup.
Aiden memecahkan keheningan di antara mereka. “Adrian.”
Di tengah-tengah koridor menuju kamarnya, langkah kaki Adrian terhenti, ia menoleh ke belakangnya dan melihat Aiden berjalan dengan cepat ke arahnya. Adrian menyadari cara Aiden memanggilnya, suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya dan Aiden akan seperti itu apabila Adrian melakukan kesalahan. Ia menunggu Aiden hingga mereka berdiri berdampingan. “Ada apa?” tanya Adrian.
Aiden menghembuskan nafas pelan. “Bisa kita bicara?” tanyanya.
Adrian melihat sekelilingnya, memastikan tidak ada siapapun di dekat mereka. Ia bersandar pada dinding di belakangnya, memberikan gestur kepada Aiden untuk berbicara.
“Ini tentang di ruang makan tadi,” kata Aiden, meletakan kedua tangannya pada bahu Adrian. “Adrian, kau tidak boleh menjawab semua pertanyaan dengan sarkasme." Tangannya terasa mencengkram lebih kuat dari biasanya.
“Itu hanya makan malam,” kata Adrian mengedikkan bahunya.
“Makan malam atau bukan, kau tetap tidak dapat melakukan itu.” kata Aiden. “Aku tahu kalau kau tidak menyukai ayahmu dan Nicholas, tapi setidaknya ingat posisimu dan apabila ada satu kesalahan kecil, bukan hanya kau yang akan menanggungnya.” lanjutnya.
Adrian menganggukkan kepalanya. “Baiklah,” katanya. “Aku tidak bisa berjanji, tapi akan kuusahakan.”
●●●
Untuk kesekian kalinya, Adrian terbangun dari istirahat siangnya dengan merasakan jari-jari tangan kanannya mati rasa dan ketika Adrian menulis, jari-jarinya sedikit lebih lambat dari biasanya untuk menulis beberapa kalimat pendek. “Haa...” Adrian menghembuskan nafas perlahan. “Awas kau Aiden...” Ingatannya kembali saat Aiden menahannya dan ia harus menulis unttuk waktu yang sangat lama. Satu tangannya meraih ke dahinya dan ia merasakan suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya. “Orang-orang mengatakan bahwa vampire adalah mahkluk berdarah dingin...” gumamnya. “Dan aku? Terlalu sering demam,” Sementara di bulan lainnya, ia dapat merasakan suhu tubuhnya lebih rendah daripada orang lain. Hal itu membuat Adrian tidak jarang mempertanyakan apa yang tubuhnya sendiri in
Aiden menatap meja kerja di hadapannya dengan perasaan campur aduk. Beberapa menit yang lalu, ia baru saja membayangkan raut wajah Pangeran Adrian yang kesal ketika melihatnya masuk.Namun kenyataannya adalah kursi yang seharusnya diduduki oleh Pangeran, kosong. Aiden masuk ke ruang kerja yang sama sekali tidak ada orang. Aiden menghela nafas frustasi, “Kemana Adrian?” gumamnya.Di saat yang sama, pintu di belakangnya terbuka. Aiden berbalik dan melihat Cleon— pengawal yang ia perintahkan untuk mengawasi Adrian. Cleon belum sempat mengatakan apapun, Aiden sudah membuka mulutnya terlebih dahulu. “Mana Pangeran?”“Beliau masih di kamarnya dan ia bilang kalau kondisinya sedang tidak baik.” kata Cleon.“Hah?” Aiden tidak dapat langsung percaya dengan pernyataan tersebut.Cleon menganggukkan kepalanya dengan satu gerakan tegas&mdas
Setelah beberapa saat, akhirnya tiba dan mereka berdiri di depan teras toko. “Jadi, ini tempatnya?” Iris bertanya, dahinya mengkerut, menatap bangunan di depannya. “Menurut kertas ini, ya.” Aria melihat selembar kertas di tangannya lalu mendekati pintu masuk. “Ingatkan aku, darimana kau mendapatkan itu?” tanya Iris. “Beberapa hari yang lalu, ada yang menempel ini di pohon,” jawab Aria dengan santai. “Dan kau mengambilnya...?” tanya Iris lagi. Aria hanya menyeringai ke arahnya. “Tanpa memikirkan kemungkinan terburuknya?!” Aria mengangguk sekali lagi. Bangunan di hadapannya adalah bangunan yang terlihat sangat tua dan berada di gang sempit. Bangunan dengan empat lantai, masing-masing lantai terdapat dua jendela. Dua jendela etalase di paling bawah dan enam jendela biasa di lantai dua hingga empat. Jendela etalase pada sisi kiri dan kanan, menghimpit sebuah pintu kac
Aria menoleh ke arah pintu dan melihat Iris masuk dengan rait wajah yang berbeda dari sebelumnya. “Kau kenapa?” tanyanya. Iris menghampiri Aria dan langsung duduk di kursi dan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Ia pun mulai menceritakan apa yang ia bicarakan dengan Max. “Hmm, memang tidak biasanya...” Aria bergumam. “Memangnya sebelum ini selalu Max?” Tiba-tiba Iris bertanya— terdorong oleh rasa penasarannya. “Sepertinya iya...” kata Aria. Ia terdengar tidak yakin. “Sepertinya?” Iris mengulang apa yang ia dengar. Aria mencoba menggali ingatannya, mencoba mengumpulkan apa saja yang ia ingat tentang Max. “Ia bahkan sudah disini di hari pertama aku memulai karir,” katanya. “Bahkan aku pernah mendengar kalau Max adalah salah satu teman dekat Pangeran sejak kecil.” Iris menaikkan alisnya. Itu merupakan suatu info yang baru un
Iris meletakan semuanya yang ia butuhkan di atas meja yang telah di kosongkan dan di bersihkan. Beberapa bunga herbal yang memang telah dikeringkan sebelumnya juga diambil olehnya dari lemari, beberapa wadah kaca kosong serta beberapa liter air di dalam sebuah botol berukuran besar. “Sebentar... ” Iris menoleh, memperhatikan sekelilingnya mencari sesuatu. Iris membuka setiap laci dan lemari yang ia lihat, memeriksanya satu per satu. “Sudah paham?” Max sedang memberikan berbagai instruksi kepada orang baru, melihat Iris yang sedang sibuk bolak balik. Dengan rasa penasarannya, pemuda tersebut menghampirinya setelah menyuruh orang baru itu pergi. “Iris?” panggilnya. “Apa yang kau cari?” Iris menoleh ke arah Max yang berdiri di belakangnya. “Kain,” jawabnya, menepuk nepuk seragamnya yang berdebu. “Aku membutuhkan itu,” “Kain? Kain katun? ” tanya Max sambil berjalan menuju mejanya dan mengeluarkan
“Berapa lama kau akan menyalakan lilin itu?” Adrian sudah berada di tempat tidurnya, mencari posisi nyaman. “Lima belas menit,” Iris menjawab sambil menyalakan lilin yang ia letakan pada nakas tepat di sebelah tempat tidur. “Silakan mencoba untuk beristirahat, Yang Mulia.” Iris berjalan menuju jendela dan mulai menutupnya dengan rapat. “Apa kau akan segera pergi?” Adrian bertanya. Kedua matanya telah di pejamkan dan telinganya menjadi lebih sensitif ketika menangkap suara-suara yang bermunculan di sekitarnya. “Saya akan tetap disini untuk mematikan lilin tersebut ketika sudah lima belas menit,” jawab Iris. Ia berdiri tidak jauh dari tempat tidur, namun ia juga tidak ingin terlalu dekat. “Apa tidak bisa lebih lama?” Adrian bertanya. Ia tidak ingin Iris segera pergi dari ruangannya. Namun ia juga tidak memiliki alasan lain untuk membua
Seorang pelayan wanita masuk sambil membawa nampan berisi secangkir minuman panas dan meletakkannya di atas meja. “Silakan, Tuan.” katanya. Nicholas duduk dibalik meja yang penuh dengan tumpukan kertas dokumen.“Terima kasih,” kata Nicholas. “Kau bisa membawa pergi piringnya.” lanjutnya, menunjuk ke piring makanan di dekatnya.Suara ketukan pada jendela di belakang membuatnya menoleh. Nicholas melihat seekor burung hantu berwarna coklat dengan sepucuk surat pada paruhnya. Surat tersebut membuat burung hantu itu terlihat lebih kecil.Nicholas berdecak pelan. “Seharusnya kau mengirimkan surat kepada Raja terlebih dahulu,” katanya seolah ia tahu siapa pengirim surat tersebut. “Bukan aku,”Nicholas mengambil sepucuk suratnya.tangan satunya yang bebas mengambil seekor tikus putih kecil yang berada di dalam sebuah kandang besi kecil di dekat jende
Ratu Luna meliriknya, menyeringai kepadanya sebelum berubah menjadi senyum. “Kau juga datang untuk melihat kepulanganku?” tanyanya. Rambut hitam Ratu berkilau di bawah cahaya matahari, dan wajahnya yang bersih dan segar bersinar ketika ia tersenyum dengan manis. Adrian tidak ingin membalas perkataannya walaupun sebenarnya ia mau. Ia mengingat apa yang Aiden katakan kepadanya tentang menjaga caranya berbicara, terutama kepada Luna— Sang ratu. Perkenalan pertama mereka adalah ketika Adrian masih berusia tujuh tahun dan hari itu juga tidak begitu mengesankan bagi Adrian, sehingga ia hampir melupakan seperti apa penampilan mereka setelah beberapa hari tidak bertemu. Tapi ia harus mengatakan sesuatu, jika ia tidak ingin ibu tirinya merasa diabaikan. Adrian berdeham, “Ini adalah kejutan,” katanya. “Selamat siang, Yang mulia.” sapa Aiden. Ia membungkukkan punggungnya, memberi h