Share

10

Untuk kesekian kalinya, Adrian terbangun dari istirahat siangnya dengan merasakan jari-jari tangan kanannya mati rasa dan ketika Adrian menulis, jari-jarinya sedikit lebih lambat dari biasanya untuk menulis beberapa kalimat pendek. 

“Haa...” Adrian menghembuskan nafas perlahan. “Awas kau Aiden...” Ingatannya kembali saat Aiden menahannya dan ia harus menulis unttuk waktu yang sangat lama.

Satu tangannya meraih ke dahinya dan ia merasakan suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya. “Orang-orang mengatakan bahwa vampire adalah mahkluk berdarah dingin...” gumamnya. “Dan aku? Terlalu sering demam,”

Sementara di bulan lainnya, ia dapat merasakan suhu tubuhnya lebih rendah daripada orang lain. Hal itu membuat Adrian tidak jarang mempertanyakan apa yang tubuhnya sendiri inginkan. Hampir tiga bulan setelah Adrian sering mengalami hal tersebut, rasanya aneh dan pangeran muda tersebut masih beradaptasi. Waktu berlalu dengan cepat, namun di sisi lain, Adrian merasakan waktu terasa sangat lama.

Pada awalnya, Adrian merahasiakannya, perasaan baru ini, karena sebuah privasi adalah harta yang telah lama hilang di dunia ini. Adrian ingin sekali memisahkan dua hal tersebut. Seperti menyebutkan bahwa sesuatu itu adalah miliknya sendiri dan tidak ada orang lain yang boleh tahu kalau ia sedang menyimpan penyakit kasat mata ini dalam tubuh.

Jadi Adrian membuat resolusi pribadi untuk tidak memberi tahu siapa pun. Tapi, tentu saja, itu tidak bertahan lama. Itu ternyata merupakan upaya yang terlalu melelahkan untuk dipertahankan.  Bagaimanapun, merahasiakan sebuah penyakit sangat berbeda dari menyimpan rahasia biasa.

Yang lebih menarik bagi Adrian adalah bagaimana berada di tubuh barunya ini yang tampaknya menuntut lebih banyak waktu dan perhatian dan perasaan daripada sebelumnya. Ketika itu, Adrian ingin sekali melarikan diri dari tubuhnya, untuk berlindung di tubuhnya yang telah mengecewakan begitu banyak.

Pangeran muda tersebut duduk bersandar di kursinya, kepalanya mengadah ke langit-langit ruangan— menatap semuanya dengan tatapan kosong. Suara ketukan pada pintu yang tertutup serta suara Aiden dari luar ruangan menyadarkan Adrian kembali ke kenyataan. “Masuk.” katanya. Adrian menoleh ke arah pintu dan melihat Aiden berdiri di sana.

“Oh, maaf. Aku tidak tahu kalau kau sedang beristirahat.” kata Aiden. “Apa kau baik-baik saja,Yang Mulia?” Aiden mengatakan itu dengan penekanan pada akhir kata-katanya.

“Aku tidak apa-apa,” kata Adrian. “Sudah berapa kali aku katakan untuk tidak memanggilku dengan formal?” Adrian memijat pelipisnya. 

“Sudah ratusan kali, mungkin?” kata Aiden dengan tidak yakin. Nada suaranya berubah menjadi lebih santai.

“Kalau kau sudah tahu, kenapa tadi kau memanggilku dengan formal?” tanya Adrian.

Aiden mengedikkan bahunya. “Entahlah, aku hanya suka melihatmu kesal sendiri karena hal-hal sepele seperti itu,” ia tertawa. Adrian mendengus pelan dan tiba-tiba ia terbatuk-batuk.

Aiden mendekatinya dan menuangkan segelas air ke dalam gelas yang tersedia di meja. “Cepat atau lambat, kau harus memeriksa kembali kesehatanmu. Kau tahu itu bukan?” Aiden berkata sambil memberikan segelas air kepada Adrian.

Adrian mengernyit, meletakan kembali gelas ke atas meja. “Sepertinya kau tidak tahu seperti apa Max,” katanya. "Aku berani bersumpah kalau Max tidak akan berhenti mengomel kalau aku ke sana,“

“Benarkah?” Aiden bergumam. “Kemarin ia terlihat khawatir tentangmu.”

“Itu saat bertemu denganmu,” kata Adrian. “Kau tidak tahu seperti apa orang itu ketika aku datang ke sana.”

“Ah, ya, ”Aiden bergumam, ia mengingat sesuatu. “Aku tidak pernah mengikutimu ketika Max memanggil,”

Makanan ringan di atas meja menarik perhatian Aiden. Makanan tersebut tidak di sentuh sama sekali. Aiden memicingkan matanya, “Sudah seminggu...?” pikirnya.

Adrian bangkit dari sofa dan kembali duduk di kursi kerjanya. Aiden melihat itu dan bertanya, “Sudah ada progres?” Ia tahu kalau Adrian sama sekali tidak suka bekerja di balik meja, jadi ia perlu bertanya tentang apapun yang telah Pangeran tersebut kerjakan.

“Memangnya kenapa?” Alih-alih menjawab, Adrian berbalik bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari kertas di hadapannya.

Aiden menghela nafasnya. “Tolong perlihatkan padaku semua yang sudah kau kerjakan terlebih dahulu, walaupun hanya sedikit.” Adrian menatapnya dan menaikkan alisnya. “Aku mohon padamu untuk melakukannya. Harus!” Aiden memberikan penekanan di akhir perkataannya.

Langit semakin gelap dengan goresan awan berwarna merah. Dengan berlatarkan langit senja yang cerah berwarna merah jingga, berhiaskan beberapa titik bintang bergemerlapan bagaikan perak yang baru saja muncul dari persembunyian.

Adrian bersandar pada kursinya, menghela nafas dengan keras. Kepalanya mengadah ke langit-langit ruangan. Aiden membereskan semua barang yang berada di atas meja dan wajahnya menunjukkan senyum puas. “Terima kasih atas kerja keras anda, Yang Mulia.” katanya.

“...Kau kejam sekali...” gumam Adrian dengan pelan.

Aiden tertawa lepas, kedua tangannya sibuk membereskan setiap kertas yang tersebar di atas meja. “Maaf,” katanya. “Kalau tidak begini, semua ini tidak akan selesai.” lanjutnya.

Suara pintu diketuk dari luar dan seorang pelayan wanita masuk ke dalam ruangan. “Permisi, Yang Mulia,” katanya.

“Ada apa?” tanya Adrian.

“Tuan Nicholas menginginkan waktu dengan anda setelah makan malam.” kata pelayan tersebut.

Adrian dan Aiden saling bertukar pandang dengan raut wajah bingung. “Baiklah,” kata Adrian. “Dimana?”

“Tuan Nicholas mengatakan bahwa anda dapat menentukan tempatnya. Beliau tidak masalah.” jelasnya.

“Kalau begitu, siapkan saja di ruangan bacaku.” kata Adrian.

“Baiklah, Yang Mulia.” jawab pelayan wanita tersebut dan ia keluar dari ruangan.

Aiden menaikkan alisnya dan berkata, “Tidak seperti biasanya,”

Adrian hanya mengedikkan bahunya, tidak begitu memikirkannya. “Entahlah,” ia bangkit berdiri dan beranjak meninggalkan ruangan.

“Kau mau kemana?” Aiden bertanya ketika ia telah menyusul Adrian.

“Taman, mungkin?” katanya dengan tidak yakin. “Aku butuh udara segar.”

Dari kejauhan, Adrian menangkap sosok Iris yang sedang berjalan sendirian dari arah rumah kaca. Ia mengambil kesempatan tersebut dan segera mendekatinya. Aiden yang masih mengikutinya pun bingung. 

“Sore, Iris.”

Iris menoleh dan cukup bingung ketika Pangeran menyapanya. Ia berbalik dan membungkuk. “Selamat sore, Yang Mulia.” walaupun begitu, Iris masih dapat menyembunyikan keterkejutannya dan menyapa.

Aiden melirik Iris dari balik tubuh Adrian— menatapnya hingga mereka saling bertukar pandang. Adrian tidak lupa memperkenalkan Aiden kepada Iris.

“Kalian belum pernah bertemu, benar?” Adrian menatap Aiden dan Iris secara bergantian. “Ini asistenku.”

Aiden mengambil beberapa langkah maju ke depan sehingga jarak di antara dirinya dan Iris mendekat. “Perkenalkan, namaku Aiden.” sapanya.

“Nama saya Iris...” Iris menjawab dengan tidak yakin. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Pangeran tersebut memperkenalkannya dengan asistennya. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan.

“Adrian sudah membicarakan tentangmu beberapa kali. ” Aiden menyunggingkan senyum ramah kepadanya. “Dan kau juga tidak perlu berbicara terlalu formal padaku.” Iris tidak akan berbohong kalau senyumannya nyaris membuatnya sedikit terpikat.

Di saat yang sama, otak Iris membutuhkan waktu untuk memproses perkataan Aiden. “Membicarakan dirinya?” pikirnya.

Ada rasa ragu yang muncul dalam benaknya dengan perkataan pria tersebut. Namun ketika ia melirik wajah Aiden, raut wajah yang ditunjukkan olehnya seolah mengatakan bahwa ia sedang tidak bercanda. Iris pun seperti tidak memiliki pilihan lain selain mengikutinya, “Baiklah...” ucapnya dengan canggung. 

Mereka bertiga berjalan bersama dengan Adrian dan Iris saling berdampingan, sementara Aiden mengikuti dari belakang. Iris sudah mencoba untuk memperlambat langkahnya karena ia tidak ingin berjalan tepat di sebelah pangeran, namun usahanya sia-sia karena Adrian sendiri juga memang berusaha untuk tetap berada di samping. 

Di saat itu, Aiden menyadari sesuatu yang berbeda ketika Adrian berbicara dengan Iris. Ia hanya diam saja— memperhatikan bagaimana cara Adrian berbicara dan berperilaku di hadapan gadis tersebut. “Tidak biasanya Adrian berbicara dengan orang seperti ini,” pikirnya. “Biasanya ia akan mengabaikan siapapun yang baru ia kenal,”

Setelah beberapa menit, Iris akhirnya mendapatkan alasan yang tepat baginya untuk pergi. “Ah, baiklah kalau begitu,” kata Adrian. Bahkan Aiden dapat merasakan kekecewaan dari caranya berbicara.

“Kau terlihat tertarik kepadanya,” Aiden mengatakan sebuah pernyataan daripada pertanyaan setelah Iris menjauh dari mereka.

“Hmm...” Adrian tidak menjawab pertanyaannya. “Apakah di matamu aku terlihat seperti itu?”

“Bisa dikatakan begitu.” Aiden menjawab. “Ekspresi wajahmu berubah ketika melihatnya.” Aiden menyadari langit yang sudah semakin gelap. “Apa kau mau makan malam sekarang?” tanyanya. Mereka berdua memperhatikan punggung Iris yang semakin menjauh dari mereka.

“Aku tidak lapar.” Adrian menatap ke arah yang sama dengan Aiden. “Lebih baik aku pergi sekarang sebelum Nicholas berubah pikiran untuk bersikap baik padaku,” Adrian berjalan melewati Aiden, seolah ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

“Kau mau aku ikut bersamamu?” tanya Aiden. Ia juga tidak melanjutkannya karena ia tahu kalau Adrian tidak ingin melanjutkan pembicaraan itu.

Adrian melambaikan tangannya. “Tidak perlu."

  • ••

Adrian melirik ke arah ruang baca yang biasanya ditempati oleh ibunya. Melihat setiap sudut yang ada di ruangan tersebut. Menurutnya, ruangan itu terlalu mewah untuk di sebut sebagai ruang kerja. Ada berbagai perabot yang terlalu mencolok untuk berada di ruang baca. Adrian duduk di kursi yang seharusnya diduduki oleh ibunya di ruang kerjanya, memijat pelipisnya.

Didominasikan dengan dinding berwarna coklat kayu dan beralaskan karpet merah maroon. Semuanya terlihat biasa. Satu set sofa berserta bantal-bantalnya, perapian yang sudah tidak pernah terpakai, segala jenis hiasan yang digantung di dinding, hiasan-hiasan berbagai ukuran di tata dengan sangat rapi dan juga beberapa pot tanaman di beberapa sudut-sudut ruangan. Tidak lupa dengan karpet bulu di tengah-tengah ruangan.

Setiap perabotan yang tertata dengan rapi terlihat sangat nyaman, serta pernak perniknya yang menghiasi ruangan itu dengan indahnya. Dibandingkan dengan segala perabotan yang simpel tapi terlihat mahal. Pada ujung ruangan terdapat sebuah jam tua berwarna hitam pekat. Tidak ada warna lain selain hitam. Tiap sisi dari jam yang berbahan dasar kayu itu di ukir dengan detail yang sangat rumit dan kecil. Catnya menempel di jam tersebut dengan sempurna dan sangat halus sehingga dapat merefleksikan bayangan dari permukaan jam itu.

Bahkan setiap detail hiasan yang mengukir sisi jam tersebut pun berwarna hitam, kecuali pendulum yang terletak di dalam jam itu berwarna perak yang bergerak ke kiri dan kanan dengan teratur dan juga mantap, serta jarum jam tersebut yang juga berwarna perak terus bergerak sedikit demi sedikit, perlahan namun pasti. Setiap pergerakan yang dibuat oleh jarum jam perak dan dipadukan oleh suara dentang jam itu menghasilkan ritme yang harmonis.

Tidak ada yang berubah dari ruangan tersebut, kecuali pemiliknya.

Di meja, ia melihat banyak tumpukan kertas yang berisi data-data yang tidak ia mengerti. Adrian tidak suka membaca, namun ia suka berada di ruangan tersebut. Terkadang ia bertanya kepada dirinya sendiri, apakah itu adalah caranya untuk mengenang mendiang ibunya?

“Adrian,” panggilan itu membuat Adrian tersadar dan langsung berbalik melihat orang yang memanggilnya. Ia adalah Nicholas. Ia berdiri dekat pintu masuk, menyandar pada dinding.

Awalnya Adrian belum pernah bertemu Nicholas, jadi ia tahu lebih banyak tentangnya hanya dari perkataan ayahnya saja. Mereka saling bertemu untuk pertama kali ketika ia masih berusia delapan tahun. Pada saat itu, Adrian tidak yakin mengapa Nicholas datang untuk berkunjung. Namun sekarang— tiga belas tahun kemudian, ia sudah paham alasannya.

“Kenapa kau mencariku?” tanya Adrian.

“Aku hanya ingin mengobrol,” kata Nicholas, berjalan  mendekati Adrian dan menatap jam tua tersebut.

“Atau kau hanya ingin memastikan aku tidak melakukan sesuatu yang bodoh,” kata Adrian, berjalan menjauhi Nicholas dan menghempaskan tubuhnya di sofa, menyandarkan kepala pada lengan sofa.

Nicholas tidak memperdulikan sikapnya saat itu dan menatapnya dengan datar, “Aku hanya mengawasimu saja,”

“Ya, ya,” Adrian menjawab perlahan, menutup mata dengan kedua lengannya. Suaranya sangat pelan seolah ia memang sengaja agar tidak ada yang dapat mendengarnya. Namun itu hal yang tidak mungkin bagi Nicholas. Ia terlahir dengan pendengaran yang lebih tajam dari orang normal.

Nicholas mengedikkan bahunya dan berkata, “Dan kau jelas tahu kenapa aku harus mengawasimu dan adikmu.” katanya. “Kalian berdua memiliki persamaan—”

Adrian melambaikan tangannya, memotong perkataan Nicholas. “Jangan samakan diriku dengan Caswell.” katanya dengan kesal. “Dan aku tidak mau menganggapnya adik.”

Nicholas terkekeh. Ia berjalan mendekatinya dan duduk di salah satu sofa yang kosong. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya.

Adrian menoleh ke arahnya. “Selain memiliki keinginan yang aneh dan merasa gelisah? Oh semua baik-baik saja.” katanya dengan nada sarkasme. Nicholas hanya diam. Ia tahu bahwa Adrian sedang mengalami masa yang sulit, jadi ia memutuskan untuk tidak mengatakan apapun.

“Aku tidak mau memiliki tubuh dengan keadaan seperti ini,” Adrian bergumam pelan.

Nicholas menuang minuman yang ia selalu bawa di sakunya dan berkata, “Aku pernah mengatakan ini kepada ayahmu dan akan aku katakan lagi kepadamu sekarang,” Adrian menoleh ke arahnya tanpa berkata apa-apa— namun ia menatap gelas di tangan Nicholas yang berisi cairan merah tersebut dengan perasaan yang bercampur aduk. “Seharusnya aku meminta maaf tapi sayangnya aku sama sekali tidak merasa bersalah.” Nicholas menyesap minumannya perlahan.

Adrian berdecak. “Tentu saja kau tidak ada rasa penyesalan,” katanya. “Darah keluarga kerajaan yang menjadi sama denganmu? Dengan kaummu? Kau mendapatkan banyak keuntungan.” Adrian mengatakannya tanpa pikir panjang, karena secara realita, apa yang ia katakan memang benar.

Nicholas hanya tersenyum penuh arti. 

•••

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status