Share

08

Iris berkedip beberapa kali, menatap Max dan Adrian bergantian sementara otaknya masih membutuhkan waktu untuk memproses apa yang baru saja ia dengar. “Kau memanggilnya dengan nama?” pikirnya ketika ia melihat Max.

Tanpa banyak berbicara, Iris membereskan peralatan yang ia gunakan dengan cepat. Jarak mereka dengan Iris tidak terlalu jauh, namun ia tidak ingin mendengar apapun yang sedang mereka bicarakan. 

“Kemana kau?” Adrian terduduk di sisi tempat tidur, sementara Iris hanya dapat melihat punggung Max yang berdiri di hadapan Adrian. Max terlihat meraih lengan Adrian yang lengan pakaiannya telah dilipat hingga siku.

“Rumah kaca, perpustakaan,” Max menjawab sekenanya. “Apa yang kau lakukan disini?”

Di saat yang sama, Iris baru selesai merapikan barang yang baru saja ia gunakan. Ketika ia menoleh, gadis tersebut baru saja menyadari bahwa wajah Pangeran Adrian terlihat pucat apabila ia bandingkan dengan pertama kali ia bertemu atau saat di rumah kaca kemarin. “Apa ia kurang istirahat?” gumamnya. Iris sama sekali tidak menyadari bahwa ia berbicara dengan nada yang cukup keras hingga didengar oleh Adrian.

“Aku? Ya,” Iris sedikit tersentak ketika Adrian menatapnya dan Max terlihat menahan senyum di sebelahnya. “Kalian harus tahu seperti apa asistenku. Ia tidak berhenti memberikanku pekerjaan setiap harinya.” keluhnya.

“Maaf, saya tidak bermaksud— Permisi,” Iris sedikti panik, ia pun langsung pergi menjauhi dua orang tersebut dan bergegas kembali ke ruangan sebelah.

Dari sudut matanya, Iris terus memperhatikan setiap gerak gerik mereka hingga ia saling bertukar pandang dengan Adrian hanya untuk beberapa detik. Dalam waktu beberapa detik, Iris dapat melihat matanya sangat berbeda, lebih lembut dari apa yang Iris tahu. Logikanya, Iris ingin segera melepaskan pandangan tersebut, namun fisiknya, ia tidak bisa. Iris menggelengkan kepalanya dengan kuat dan ia langsung menutup pintu laboratorium. Ia menghabiskan waktu hingga malam disana.

Max menatap pintu laboratorium yang tertutup dan pandangannya kembali kepada Adrian.

“Aku menyukainya, ” kata Adrian. “Aku anggap gadis tersebut cukup pintar, kalau kau berlaku baik kepadanya.” Ia menyunggingkan senyum penuh arti. 

“Apa maksudmu?” tanya Max, melipat lengannya di dada.

Adrian masih duduk di tempat tidur, bertumpu pada kedua tangannya di belakang. “Tidak seperti biasanya kau akan berlaku baik kepada orang lain,” katanya. “Biasanya, kau terlihat lebih tegas.”

Max hanya mendengus. “Aku mendengar percakapan kalian sebelum masuk,” ia melipat kedua lengannya di depan dada.

Adrian berkedip sejenak dan wajahnya mulai menyeringai. “Ooh, kau menguping pembicaraan kami?” tanyanya dengan dramatis yang di buat-buat.

“Itu hanya kebetulan,” Max menghela nafasnya. “Tapi—” suaranya meninggi dan menatap Adrian dengan tajam.

Adrian hanya menaikkan satu alisnya. “Tapi...?”

“...Aku harap kau tidak berpikir untuk melakukan hal yang macam-macam. Aku masih memerlukan bantuan tenaga disini.” Max memberikan peringatan, namun Adrian hanya tertawa lepas.

Max menangkap sesuatu dari wajah Adrian. Ia menjulurkan tangannya dan menempelkan telapak tangannya pada dahi Adrian. Max dapat merasakan sensasi suhu tubuh yang berbeda dari biasanya. “Tadi Iris bilang kau terlihat pucat dan aku rasa ia memang benar...”

Adrian menepis tangan Max dari wajahnya dengan pelan. “Sepertinya kau demam,” kata Max, ia berjalan mengambil sebuah buku catatan dan mulai menulis. “Tidak biasanya kau sakit. Sejak kapan?” Max bertanya.

Adrian mengedikkan bahunya. “Aku tidak tahu pastinya,” katanya. “Tapi aku baru menyadari sejak beberapa bulan yang lalu,”

Max menaikkan satu alisnya. “Dan kau baru kesini sekarang?” suaranya meninggi, tidak percaya apa yang baru saja ia dengar.

Adrian melambaikan satu tangannya dan bangkit berdiri. “Tidak perlu khawatir. Aku memiliki daya tahan tubuh yang kuat.” katanya. “Kalau hanya demam, ini akan menghilang setelah tidur seperti biasanya.”

Max memicingkan kedua matanya. “Seperti biasanya?” ia mengulang perkataan Adrian. “Berarti ini sering terjadi?”

Adrian menganggukkan kepalanya sebagai respon. Ia mengambil jaketnya dan memakainya sambil berjalan menuju pintu. “Sudahlah, ini bukan hal yang berat.”

“Tapi—”

“Shh—” Adrian menghentikan perkataannya. 

“Baiklah...” jawab Max dengan pasrah. Ia sangat tahu seberapa keras kepalanya Adrian dan ia tidak ingin membuang tenaganya untuk berdebat sepanjang hari dengannya. “Setidaknya, beritahu Aiden,” lanjutnya.

Adrian membuka pintu sambil berkata, “Ya, ya,” tanpa menoleh sedikitpun, melambaikan satu tangannya di udara.

Max merasa gemas dengan kelakuan pangeran tersebut dan akhirnya ia memutuskan untuk mengikutinya. 

“Kenapa kau mengikutiku?” Adrian bertanya ketika mereka sudah keluar dari klinik dan tengah berjalan di koridor.

Max mendengus. “Aku akan berbicara dengan Aiden.” katanya.

Adrian menoleh ke arahnya dengan cepat. “Hah? Kenapa?”

“Firasatku mengatakan bahwa kalau kau tidak akan pernah memberitahu Aiden tentang keadaanmu,” Max menjawabnya dengan tegas, seolah memberitahu bahwa ia tidak mau dibantah. Mendengar itu, Adrian hanya mendecak dengan sebal.

●●●

Beberapa jam terakhir sebelum waktu kerjanya berakhir di isi dengan suasana penuh ketenangan yang Iris sukai. Iris membuka laci mejanya yang selalu terkunci dan mengambil sebuah buku tebal dan diikat dengan tali berbahan kulit coklat yang kokoh. Itu merupakan barangnya yang berharga— semua ramuannya, semua catatannya tentang berbagai macam bahan-bahan, semua percobaannya dari sesuatu yang biasa hingga yang baru dan berbeda.

Di rumahnya, keluarganya memiliki buku ramuan milik hampir setiap generasi yang sudah berjalan hampir lima ratus tahun lamanya— membentuk sebuah perpustakaan kecil penuh dengan arsip pengetahuan, dan sejauh ini merupakan aset terbesar keluarganya. ”Ini adalah isi pikirannya dalam bentuk kertas.“ pikirnya.

”Apa kau tidak pernah melakukan hal lain selain membaca?“

Iris langsung terlonjak ketika ia mendengarnya dan menoleh ke arah suara tersebut dengan cepat, satu tangannya di atas dadanya dengan tanpa sadar, merasakan degup jantungnya sendiri. ”A-Aria...“ gumamnya dengan pelan 

Aria berdiri beberapa meter darinya dengan kedua tangan di dalam saku seragamnya. ”Oh, maaf. Apa aku mengejutkanmu?“ Aria menarik salah satu kursi kursinya dan duduk di sebelahnya. Angin malam yang masuk ke dalam farmasi melalui jendela yang terbuka terasa sejuk dan nyaman, menghembuskan rambutnya yang tidak terikat.

”Apa itu?“ Aria menunjuk ke arah buku milik Iris yang tergeletak di atas meja.

”Hanya berbagai catatan percobaan pribadiku,“ kata Iris. Iris menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca. Mencatat ulang bagian-bagian penting dan mengutip kalimat-kalimat yang tidak ia pahami. Sesekali pergi keluar ke tempat-tempat umum seperti taman, namun ia selalu memilih waktu pada saat keadaan sepi, seperti malam hari dan itu pun sangat jarang terjadi. Keramaian di sekitarnya selalu membuat dirinya gugup dan suasana sepi membuat dirinya merasa tenang serta ia dapat berpikir tanpa gangguan suara apapun.

Iris memperhatikan seragam yang dikenakan Aria. Terdapat beberapa noda tanah dan lumpur pada bagian pergelangan tangan dan ujung roknya. ”Aku anggap ada banyak yang kau kerjakan di rumah kaca?“ tanyanya dengan pelan.

”Ya.“ Aria terduduk di kursi yang berhadapan dengan Iris, memijat pundaknya. ”Ditambah lagi para petugas kebun tidak mau membantu dengan alasan masih banyak yang di kerjakan.“ keluhnya.

”Mungkin saja mereka tidak berbohong,“ kata Iris. ”Kau tahu sendiri seberapa luas halaman istana ini.“

Aria berdecak, menggoyangkan jarinya di hadapannya. ”Oh, belum tentu,“ katanya.

Iris tidak mengatakan apapun lagi dan percakapan mereka seolah terhenti di situ. Aria pun menyandarkan kepalanya di kursi dan matanya mulai terpejam, sementara Iris kembali melanjutkan apa yang sedang ia baca.

Waktu terus berjalan dan malam pun semakin larut. ”Aku akan kembali ke kamarku. Bagaimana denganmu?“ Aria bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu.

Iris masih duduk, tidak mengubah posisinya sama sekali. “Sebentar lagi,”

“Ngomong-ngomong...” Aria melihat sekelilingnya,mencari-cari sesuatu. “Mana Max? Kenapa aku tidak melihatnya sama sekali?”

“Tadi siang, ia keluar bersama dengan Pangeran Adrian,” kata Iris. Ia heran kenapa Aria baru mempertanyakan Max. “Dan ia belum kembali sama sekali.”

Aria menganggukkan kepalanya perlahan. “Baiklah. Kalau begitu, aku pergi dulu.” Iris menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Suara pintu menderit tertutup, menyisakan keheningan yang menyelimuti seluruh farmasi. Bulan telah bersembunyi di balik awan. Langit malam bagaikan batu marmer berwarna hitam, dihiasi oleh guratan-guratan awan kelabu. Angin malam berhembus dengan pelan. Kabut tipis mulai bermunculan bercampur dengan aroma tanah yang lembab dan suara hewan malam yang sudah mulai bermunculan. Udara terasa dingin hingga menusuk ke tulangnya.

Iris memutuskan untuk segera kembali ke kamarnya setelah ia memastikan semua sudah terkunci. Ketika ia sedang berjalan di tengah koridor, ingatannya tiba-tiba kembali pada apa yang terjadi tadi malam. Iris tidak tahu apakah yang terjadi hanyalah sebuah mimpi. Namun semuanya terasa benar-benar nyata. Bagaimana ia merasakan kehangatan nafas seseorang di lehernya. Hanya ada satu kata yang melintasi pikirannya. “Vampir...?” bisiknya dengan pelan.

Iris merasa bulu kuduk di sekujur tubuhnya berdiri. Ia hanya tahu sedikit tentang vampir. Ibunya pernah menceritakannya tentang hal tersebut walaupun hanya sedikit. Namun apabila Iris pikirkan sekali lagi, Iris mulai bertanya-tanya apakah ibunya benar-benar hanya tahu sedikit atau ia hanya tidak ingin membicarakannya lebih detail kepada dirinya yang pada saat itu masih kecil.

Saat ini, Iris berharap bahwa semua hal yang ia dengar hanyalah cerita belaka yang dilebih-lebihkan.

Iris berjalan di koridor pada lantai satu. Sepanjang dinding terpasang deretan jendela-jendela besar dan beberapa pot tanaman. Di sudut matanya, Iris melihat seseorang berjalan sendirian di koridor yang mengarah ke pintu belakang istana. Itu pintu yang biasa digunakan oleh para pelayan istana. Iris memicingkan kedua matanya untuk melihat lebih jelas siapa orang tersebut.

”Pangeran Adrian?“ gumamnya dengan pelan. Iris merasa penasaran apa yang sedang pangeran tersebut lakukan di tengah malam seperti itu. Iris melihat sekelilingnya dan ia tidak melihat sosok yang ia sangka akan bersama dengan Pangeran tersebut. ”Aku rasa Max sudah tidak bersama dengan Pangeran.“

Iris terdiam sejenak, rasa penasarannya membuatnya menyelinap melewati pengawal, Iris bersembunyi di balik pilar yang tidak cukup jauh dari keberadaan Pangeran Adrian, namun cukup dekat untuk melihatnya dengan jelas. ”Aku tidak pernah menyangka bahwa akan menemukannya di malam hari seperti ini,“ gumam Iris kepada dirinya sendiri.

Iris memperhatikannya dari jauh dan ia tidak akan berbohong. Pangeran Adrian adalah pemuda yang memiliki penampilan yang sangat menarik. Ia adalah seseorang yang telah diberkati dari lahir dengan sejumlah fitur fisik yang lebih menarik daripada orang lainnya. Berpostur tegap , tinggi dan juga setiap gerakannya terlihat elegan. Tidak heran apabila banyak gadis-gadis lainnya di kota mudah terpikat dengannya.

Iris baru saja memutuskan untuk kembali ke kamarnya ketika ia mendengar suara. “Yang Mulia.” Langkah kakinya terhenti ketika Iris mendengar suara tersebut.

Di sebelah Pangeran Adrian muncul sosok bertubuh lebih kecil dari Pangeran. Tanpa perlu berpikir banyak, Iris sudah mengetahui bahwa itu adalah sosok seorang wanita.

Iris berdiri beberapa meter dari mereka, masih bersembunyi di balik pilar. Ia menatap dua orang tersebut dengan datar. Walaupun begitu, Iris tetap dapat melihat mereka dan memperhatikan seperti apa wajahnya. Wanita tersebut memiliki mata biru gelap yang besar, seperti warna langit sebelum malam merubahnya menjadi hitam dan rambut yang panjang tergerai melewati bahu berwarna hitam, seperti malam tanpa bintang.

Iris menjadi sangat penasaran sehingga ia berusaha untuk lebih dekat agar dapat mendengar pembicaraan mereka. Pangeran Adrian mendekatkan wajahnya pada leher wanita tersebut, mencari-cari sesuatu dan menghirup aromanya.

Melihat itu, Iris ingin segera pergi. Ia tidak ingin melihat pasangan saling bercumbu di kegelapan. Namun, ia dikejutkan oleh sesuatu yang berbeda.

Ada waktu beberapa detik ketika Iris melihat Adrian membuka mulutnya dan memperlihatkan sepasang taring yang cukup tajam untuk dapat menusuk masuk ke dalam kulit.

Iris menahan pekikannya dengan kedua tangannya. Ia berani bersumpah bahwa seluruh tenaga dalam dirinya terasa mengurang. Kedua kakinya terasa lemas seolah tidak dapat menopang beban tubuhnya.

Hal yang sama juga terjadi kepada wanita di pelukan Adrian. Tubuhnya terlihat melemah dan kedua tangannya terlepas dari leher Adrian.

Namun keberuntungan sedang tidak bersama dengannya. Iris tidak sengaja menendang pot tanaman dengan kakinya.

Pangeran Adrian menoleh kepada arahnya. Iris dengan reflek, masih dengan telapak tangannya menutupi mulutnya dan bersembunyi di balik pilar. Iris melirik ke arah wanita di sebelahnya, namun tidak dapat melihat wajahnya karena wanita tersebut menghadap ke arah yang lain.

Saat itu, Iris mengutuk dirinya sendiri. Seketika, ia merasa menyesal karena tidak kembali ke kamarnya sebelum larut malam. Iris langsung bergegas pergi menjauh dan kembali ke kamarnya.

●●●

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status