Share

Bab 7 Pertemuan Kembali

"Ayo, sarapan, Kara," ajak Bu Retno saat aku keluar kamar, perempuan yang memakai sweter kebesaran itu menaruh sepiring nasi goreng.

Sementara Pak Danar mengisi kulkas dengan sayuran dan telur.

"Kami sebentar lagi harus segera pulang, Kara," ucap Bu Retno. "Tadi subuh suamiku sempat berbelanja di pasar. Untuk tiga hari ke depan persediaan makan untukmu cukup."

"Terima kasih atas bantuannya." Aku menarik kursi. "Sudah merepotkan kalian berdua."

"Kara ...." Bu Retno duduk di sebelahku. "Apa benar kamu hamil?" tanyanya kemudian, hati-hati.

Aku mengangguk. "Iya."

"Kamu tidak mual dan muntah?"

"Tidak, Bu Retno."

Tangan Bu Retno tiba-tiba mengusap perutku. "Ah, anak hebat kamu. Tidak mau menyusahkan Mama, ya? Bagus, karena mamamu sudah banyak menderita."

Mataku menghangat, aku tidak pusing, mual, dan muntah. Benarkah si bayi mengerti bahwa aku sedang mengalami hal yang buruk?

"Kara, jaga baik-baik calon bayimu. Jangan lupa periksa ke dokter atau bidan terdekat," pesan Bu Retno. "Kamu tidak berencana menggugurkan kandungan bukan?"

"Dosaku sudah banyak, aku tidak ingin menambah dosa." Aku menghela napas panjang.

"Kara, ini ada sedikit rezeki untuk kamu." Pak Danar menyodorkan amplop putih.

Dapat kutebak isinya pasti sejumlah uang. "Tidak, Pak Danar ...."

"Terima, Kara. Sampai kamu mendapatkan pekerjaan," ujar Pak Danar.

"Terima kasih, terima kasih, Bu Retno, Pak Danar," kataku sambil menerima amplop.

"Kita pamit dulu, Kara." Bu Retno memeluk dan memberi tepukan pelan di punggung. "Yang kuat, jangan patah semangat. Jika ada waktu, aku akan menjenguk kalian berdua."

Aku memperhatikan kedua pasangan suami istri sampai menghilang di balik pintu apartemen. Tinggallah aku sendiri.

Selesai makan, aku mengeluarkan pakaian dari tas dan memindahkan ke dalam lemari. Setelah itu aku hanya menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Memikirkan langkah apa yang harus aku buat. Mengenai pekerjaan, aku tidak mungkin melamar di pabrik karena kondisi sedang hamil.

***

"Ini uang hasil penjualan peyek selama seminggu, Kara. Laku semua, ya ...."

Dengan senang hati aku menerima sejumlah uang dari Bu Fina. Dia mengelola mini market di dekat apartemen. Inilah salah satu sumber penghasilanku selain mengantarkan susu sapi segar setiap pagi ke pelanggan. Sebelum matahari terbit, aku sudah mengayuh sepeda dari satu rumah ke rumah lain. Ada sekitar 30 puluh rumah. Terima kasih pada Tuhan, tubuh dan janin yang di dalam kandungan kuat.

Aku juga membeli mesin jahit, membuat blus wanita dan aku iklankan di media sosial. Sayang, tidak sesuai harapan. Bulan ini hanya laku dua blus. Mungkin desainnya kurang mengena. Mungkin juga mimpiku terlalu tinggi.

"Peyek kacang buatanmu enak, lho, Kara," puji Bu Fina. "Coba, minggu depan tambahin lima bungkus. Jadi dua puluh lima bungkus."

"Siap, Bu Fina. Saya permisi dulu." Aku meraih keranjang rotan, mengayunkan langkah kembali ke apartemen.

Sebenarnya lift apartemen agak menakutkan, sering macet dan mengalami kerusakan. Namun, unit yang aku tempati berada hampir paling atas. Dalam kondisi hamil lima bulan aku tidak sanggup menaiki tangga darurat. Kecuali mendesak.

Seperti saat ini, lampu di dalam lift mati hidup, mati hidup. Cukup horor. Pengelola gedung apartemen ingin menaikkan iuran biaya perawatan, tetapi banyak penghuni yang menolak. Rata-rata penghuni memang dari golongan biasa. Golongan pas-pasan.

Denting lift membuatku menarik napas lega. Buru-buru kaki melangkah keluar lift. Sebuah pesan, masuk di kotak messenger. Menanyakan blus motif bunga.

Ah, paling hanya tanya ini itu, akhirnya tidak jadi beli. Namun, sebagai seorang penjual aku harus bersikap ramah.

[Masih ada, Kak.] Aku membalas, lalu membuka pintu apartemen.

[Ukuran M.]

[Ada.]

[Bisa diantar ke hotel De Lea nanti malam? Saya akan ganti ongkosnya.]

Aku membiarkan beberapa saat. Hotel mewah di tengah kota. [Bisa. Ini dengan siapa? Nama, nomor ponsel.] Pada iklan, aku mencantumkan jika masih dalam jangkauan area, aku bersedia mengantar pesanan.

[Aurora. 085230887745.]

[Baik. Sekitar jam tujuh saya sampai.]

Aku mengambil blus motif bunga kecil. Menaruh di dalam paper bag. Duduk termangu di depan mesin jahit. Melihat tumpukan label kecil. Mungkin--lebih baik aku menjadi reseller pakaian yang sudah jadi. Tidak berpayah menjahit sendiri. Hanya saja, aku ingin melambungkan citaku sampai ke langit.

Untuk menuntaskan pembalasan pada mereka. Yang terus aku ikuti pemberitaannya. Andreas yang menikah lagi dengan putri seorang pengusaha. Bu Zunaira yang masih sok keluar masuk panti asuhan. Aku juga berhati-hati, merubah sedikit penampilanku dengan memotong pendek rambut dan mengecatnya dengan warna cokelat kayu.

Ada ketakutan, mereka masih memburuku. Kadang aku tidak bisa tidur lelap. Aku juga takut kegelapan, lampu kamar, dapur, dan kamar mandi tidak pernah mati.

***

Duduk di lobi hotel dengan mata tidak lepas memandangi desain hotel yang elegan. Bahkan lantainya bisa untuk bercermin. Aurora memintaku menunggu di lobi.

"Nona Kara?" Seorang perempuan berpakaian serba hitam menghampiriku.

"Anda Aurora?" tebakku.

"Bukan. Saya Ninda. Saya asistennya. Silakan ikuti saya, Nyonya Aurora sudah menunggu di kamar hotel."

Aku pikir, yang pesan blus salah satu karyawan hotel. Ternyata tamu hotel. Aku mengikuti Ninda masuk lift, perempuan itu menempelkan kartu lalu memencet nomor delapan.

Kamarnya sangat luas, aku tidak tahu jenis kamar apa. Seorang perempuan cantik di usia yang tidak muda, menyambutku ramah.

"Ibu hamil yang sangat cantik," pujinya. "Apa kau ke sini diantar suamimu?"

"Saya tidak punya suami." Pada dunia, pada siapa pun, aku tidak pernah menutupi kenyataan kalau hamil di luar nikah. Namun, cerita di balik itu, tetap menjadi rahasia terkelam dalam hidupku.

"Oh, maaf. Mari silakan duduk."

Aku pun duduk dan langsung pada menyerah paper bag. Aku tidak bisa berlama-lama.

"Berapa harganya?" tanya Nyonya Aurora.

"Sembilan puluh lima ribu, sudah termasuk ongkos kirimnya," jawabku.

Ninda yang berdiri mengulurkan uang seratus ribu.

"Kembaliannya buat kamu saja," ujar Nyonya Aurora tersenyum.

"Tidak, terima kasih. Saya ada kembaliannya," tolakku, tidak ingin dikasihani karena penampilanku yang sederhana. Baju hamil biru tua motif polkadot, jaket jeans, dan sepasang sepatu kets yang sudah usang.

Nyonya Aurora membuka paper bag, dia melihat, mengelus blus dipangkuan. "Sederhana namun berkelas, aku suka desainnya. Pemilihan motif dan bahan tepat. Hope, itu merek labelnya?"

"Iya."

"Pasti kamu membuatnya penuh dengan harapan," cetus Nyonya Aurora.

Aku mengangguk dan tersenyum. Harapan ingin mencapai puncak kesuksesan. Banyak sekali jenis harapan yang tersemat di setiap label blus.

"Oh, ya, baju hamil yang kamu kenakan buatan sendiri?"

"Iya, Nyonya."

"Aku pesan dua, ya. Motif dan desainnya tidak sama. Ukurannya sama dengan yang kamu pakai. Aku ingin memberi kado buat temanku yang sedang hamil. Berapa? Biar aku bayar sekalian? Nanti aku kirim alamatnya, karena besok siang aku sudah pergi dari hotel." Nyonya Aurora berbicara panjang.

"DP seratus ribu dulu, Nyonya. Karena sebelumnya saya belum pernah buat baju hamil untuk dijual."

"Oh, baiklah."

Setelah menerima DP, aku langsung berpamitan. Jadwal terakhir rute bus menuju apartemen pukul delapan, jika naik taksi, ongkosnya lumayan mahal bagiku.

Ninda kembali mengantarku keluar kamar. Sambil berjalan menyusuri lorong megah hotel, aku menunduk--melihat pesan masuk dari Nyonya Aurora--yang mengirimkan alamat rumahnya. Cepat sekali, padahal bajunya belum jadi.

Brukk.

Aku menabrak seorang lelaki tanpa sengaja. "Maaf, maaf ...." ucapku.

Ninda yang sudah berjalan di depan, ikut berhenti.

"Ya, ya, aku maafkan, karena kamu minta maaf." Suara yang menyahut membuatku terperangah.

Masih menunduk dalam, aku meneruskan langkah. Semoga lelaki itu tidak mengenaliku.

"Tunggu!" serunya, dia meraih lenganku. "Kara?"

"Ada apa, Tuan?" Aku memberanikan diri membalikkan badan, menatap lelaki yang memakai tuxedo.

"Jadi, kamu masih menjual diri walaupun sedang hamil?" hina Angkasa.

"Tolong, lepaskan tangan saya. Nanti tangan Anda kotor karena memegang saya," jawabku, mengangkat dagu.

"Kara." Nyonya Aurora menyusul. "Wah, kamu tampan sekali Angkasa. Sudah bersiap menghadiri pesta."

Angkasa melepas tanganku. "Anda sendiri belum bersiap diri, Nyonya?"

"Aku ada urusan sebentar dengan Ibu hamil yang cantik. Aku membeli blus pada Kara. Oh, ya, Kara, kamu tinggal di mana?" tanya Nyonya Aurora.

"Nanti saya beritahu lewat pesan, Nyonya," sahutku, buru-buru berjalan menjauh, menjajari langkah Ninda.

Sialnya. Aku harus satu lift dengan Angkasa. Dia berdiri tepat di depanku. Dan, bayi di dalam perut bergerak. Tidak mungkin si bayi merasakan kehadiran ayahnya yang sangat dekat.

Hanya aku dan Angkasa yang keluar dari lift, sedangkan Ninda tidak. Dia kembali lagi ke lantai atas.

"Bukankah penghasilan menyewakan tubuh lebih banyak? Kenapa repot-repot berjualan baju?" komentar Angkasa.

Plak! Satu tamparan keras aku layangkan di pipi kanan Angkasa. "Jaga mulutmu, Tuan."

Aku melintasi lobi, keluar dari hotel dengan perasaan marah. Geram menggumpal-gumpal di tenggorokan.

***

Alarm yang aku pasang pada ponsel berbunyi. Dengan malas aku turun dari tempat tidur, mencuci muka, gosok gigi, menyambar jaket. Aku mengambil susu sapi segar di toko Cik Gianti yang berada di seberang apartemen.

Botol-botol susu kemasan 1,5 liter aku susun rapi di keranjang belakang. Rute masih sama, dari perumahan biasa sampai kawasan elite.

Rute terakhir. Tinggal lima botol. Aku harus turun dari sepeda, karena jalanan lumayan menanjak. Perlahan menuntun sepeda, mengontrol napas yang terengah. Berhenti di depan rumah berpagar kayu, meletakkan botol susu pada gantungan yang sudah disediakan. Di saat bersamaan pintu pagar terbuka, tiga gerombolan lelaki keluar. Yang satu mengenakan piyama dan jubah warna putih, yang dua sepertinya mengenakan jas, tapi berantakan sekali.

"Pagi ini, aku ada rapat. Sial, harusnya tidak ikut pesta," gerutu lelaki berbadan gemuk.

"Mbak pengantar susu, selamat pagi!" sapa lelaki berjubah putih, yang kutahu pemilik rumah. Aku pernah bertemu dengannya dua kali.

Walaupun langit belum terang, namun aku bisa melihat wajah lelaki dengan rambut kusut. Dunia ini memang tidak lebar. Matanya memicing, melihatku berpindah pada sepeda, berpindah lagi melihatku.

Aku berlalu dari hadapan mereka. Memegangi stang sepeda dengan hati-hati. Setelah lima menit, aku merasakan ada yang mengikuti.

"Kenapa mengikuti aku?" tanyaku, kembali meletakkan botol susu di rumah berikutnya.

"Sudah berapa lama mengantar susu?"

"Bukan urusanmu, Tuan," sahutku, berjalan lagi menuntun sepeda.

"Apa kamu tidak capek dengan kondisi hamil seperti itu?" tanyanya, lagi.

"Apa pedulimu? Kita hanya dua orang asing. Pergilah. Jangan mengikuti aku."

Tidak mempan, Angkasa masih mengikutiku. "Apa setiap pagi kamu mengantar susu?"

Aku mengembuskan napas kasar. Menoleh ke belakang. "Sudah tiga bulan dan setiap pagi aku mengantar susu demi sesuap nasi, demi bisa bertahan hidup! Puas, hah!?"

Entah apa yang dipikirkan Angkasa, dia memandang lekat. Aku berjalan terus, masih ada dua botol susu. Kali ini Angkasa bergeming di tempatnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Waty Hery
keren ampir menetes kn air mata
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status