"Ayo, sarapan, Kara," ajak Bu Retno saat aku keluar kamar, perempuan yang memakai sweter kebesaran itu menaruh sepiring nasi goreng.
Sementara Pak Danar mengisi kulkas dengan sayuran dan telur.
"Kami sebentar lagi harus segera pulang, Kara," ucap Bu Retno. "Tadi subuh suamiku sempat berbelanja di pasar. Untuk tiga hari ke depan persediaan makan untukmu cukup."
"Terima kasih atas bantuannya." Aku menarik kursi. "Sudah merepotkan kalian berdua."
"Kara ...." Bu Retno duduk di sebelahku. "Apa benar kamu hamil?" tanyanya kemudian, hati-hati.
Aku mengangguk. "Iya."
"Kamu tidak mual dan muntah?"
"Tidak, Bu Retno."
Tangan Bu Retno tiba-tiba mengusap perutku. "Ah, anak hebat kamu. Tidak mau menyusahkan Mama, ya? Bagus, karena mamamu sudah banyak menderita."
Mataku menghangat, aku tidak pusing, mual, dan muntah. Benarkah si bayi mengerti bahwa aku sedang mengalami hal yang buruk?
"Kara, jaga baik-baik calon bayimu. Jangan lupa periksa ke dokter atau bidan terdekat," pesan Bu Retno. "Kamu tidak berencana menggugurkan kandungan bukan?"
"Dosaku sudah banyak, aku tidak ingin menambah dosa." Aku menghela napas panjang.
"Kara, ini ada sedikit rezeki untuk kamu." Pak Danar menyodorkan amplop putih.
Dapat kutebak isinya pasti sejumlah uang. "Tidak, Pak Danar ...."
"Terima, Kara. Sampai kamu mendapatkan pekerjaan," ujar Pak Danar.
"Terima kasih, terima kasih, Bu Retno, Pak Danar," kataku sambil menerima amplop.
"Kita pamit dulu, Kara." Bu Retno memeluk dan memberi tepukan pelan di punggung. "Yang kuat, jangan patah semangat. Jika ada waktu, aku akan menjenguk kalian berdua."
Aku memperhatikan kedua pasangan suami istri sampai menghilang di balik pintu apartemen. Tinggallah aku sendiri.
Selesai makan, aku mengeluarkan pakaian dari tas dan memindahkan ke dalam lemari. Setelah itu aku hanya menghabiskan waktu di atas tempat tidur. Memikirkan langkah apa yang harus aku buat. Mengenai pekerjaan, aku tidak mungkin melamar di pabrik karena kondisi sedang hamil.
***
"Ini uang hasil penjualan peyek selama seminggu, Kara. Laku semua, ya ...."
Dengan senang hati aku menerima sejumlah uang dari Bu Fina. Dia mengelola mini market di dekat apartemen. Inilah salah satu sumber penghasilanku selain mengantarkan susu sapi segar setiap pagi ke pelanggan. Sebelum matahari terbit, aku sudah mengayuh sepeda dari satu rumah ke rumah lain. Ada sekitar 30 puluh rumah. Terima kasih pada Tuhan, tubuh dan janin yang di dalam kandungan kuat.
Aku juga membeli mesin jahit, membuat blus wanita dan aku iklankan di media sosial. Sayang, tidak sesuai harapan. Bulan ini hanya laku dua blus. Mungkin desainnya kurang mengena. Mungkin juga mimpiku terlalu tinggi.
"Peyek kacang buatanmu enak, lho, Kara," puji Bu Fina. "Coba, minggu depan tambahin lima bungkus. Jadi dua puluh lima bungkus."
"Siap, Bu Fina. Saya permisi dulu." Aku meraih keranjang rotan, mengayunkan langkah kembali ke apartemen.
Sebenarnya lift apartemen agak menakutkan, sering macet dan mengalami kerusakan. Namun, unit yang aku tempati berada hampir paling atas. Dalam kondisi hamil lima bulan aku tidak sanggup menaiki tangga darurat. Kecuali mendesak.
Seperti saat ini, lampu di dalam lift mati hidup, mati hidup. Cukup horor. Pengelola gedung apartemen ingin menaikkan iuran biaya perawatan, tetapi banyak penghuni yang menolak. Rata-rata penghuni memang dari golongan biasa. Golongan pas-pasan.
Denting lift membuatku menarik napas lega. Buru-buru kaki melangkah keluar lift. Sebuah pesan, masuk di kotak messenger. Menanyakan blus motif bunga.
Ah, paling hanya tanya ini itu, akhirnya tidak jadi beli. Namun, sebagai seorang penjual aku harus bersikap ramah.
[Masih ada, Kak.] Aku membalas, lalu membuka pintu apartemen.
[Ukuran M.]
[Ada.]
[Bisa diantar ke hotel De Lea nanti malam? Saya akan ganti ongkosnya.]
Aku membiarkan beberapa saat. Hotel mewah di tengah kota. [Bisa. Ini dengan siapa? Nama, nomor ponsel.] Pada iklan, aku mencantumkan jika masih dalam jangkauan area, aku bersedia mengantar pesanan.
[Aurora. 085230887745.]
[Baik. Sekitar jam tujuh saya sampai.]
Aku mengambil blus motif bunga kecil. Menaruh di dalam paper bag. Duduk termangu di depan mesin jahit. Melihat tumpukan label kecil. Mungkin--lebih baik aku menjadi reseller pakaian yang sudah jadi. Tidak berpayah menjahit sendiri. Hanya saja, aku ingin melambungkan citaku sampai ke langit.
Untuk menuntaskan pembalasan pada mereka. Yang terus aku ikuti pemberitaannya. Andreas yang menikah lagi dengan putri seorang pengusaha. Bu Zunaira yang masih sok keluar masuk panti asuhan. Aku juga berhati-hati, merubah sedikit penampilanku dengan memotong pendek rambut dan mengecatnya dengan warna cokelat kayu.
Ada ketakutan, mereka masih memburuku. Kadang aku tidak bisa tidur lelap. Aku juga takut kegelapan, lampu kamar, dapur, dan kamar mandi tidak pernah mati.
***
Duduk di lobi hotel dengan mata tidak lepas memandangi desain hotel yang elegan. Bahkan lantainya bisa untuk bercermin. Aurora memintaku menunggu di lobi.
"Nona Kara?" Seorang perempuan berpakaian serba hitam menghampiriku.
"Anda Aurora?" tebakku.
"Bukan. Saya Ninda. Saya asistennya. Silakan ikuti saya, Nyonya Aurora sudah menunggu di kamar hotel."
Aku pikir, yang pesan blus salah satu karyawan hotel. Ternyata tamu hotel. Aku mengikuti Ninda masuk lift, perempuan itu menempelkan kartu lalu memencet nomor delapan.
Kamarnya sangat luas, aku tidak tahu jenis kamar apa. Seorang perempuan cantik di usia yang tidak muda, menyambutku ramah.
"Ibu hamil yang sangat cantik," pujinya. "Apa kau ke sini diantar suamimu?"
"Saya tidak punya suami." Pada dunia, pada siapa pun, aku tidak pernah menutupi kenyataan kalau hamil di luar nikah. Namun, cerita di balik itu, tetap menjadi rahasia terkelam dalam hidupku.
"Oh, maaf. Mari silakan duduk."
Aku pun duduk dan langsung pada menyerah paper bag. Aku tidak bisa berlama-lama.
"Berapa harganya?" tanya Nyonya Aurora.
"Sembilan puluh lima ribu, sudah termasuk ongkos kirimnya," jawabku.
Ninda yang berdiri mengulurkan uang seratus ribu.
"Kembaliannya buat kamu saja," ujar Nyonya Aurora tersenyum.
"Tidak, terima kasih. Saya ada kembaliannya," tolakku, tidak ingin dikasihani karena penampilanku yang sederhana. Baju hamil biru tua motif polkadot, jaket jeans, dan sepasang sepatu kets yang sudah usang.
Nyonya Aurora membuka paper bag, dia melihat, mengelus blus dipangkuan. "Sederhana namun berkelas, aku suka desainnya. Pemilihan motif dan bahan tepat. Hope, itu merek labelnya?"
"Iya."
"Pasti kamu membuatnya penuh dengan harapan," cetus Nyonya Aurora.
Aku mengangguk dan tersenyum. Harapan ingin mencapai puncak kesuksesan. Banyak sekali jenis harapan yang tersemat di setiap label blus.
"Oh, ya, baju hamil yang kamu kenakan buatan sendiri?"
"Iya, Nyonya."
"Aku pesan dua, ya. Motif dan desainnya tidak sama. Ukurannya sama dengan yang kamu pakai. Aku ingin memberi kado buat temanku yang sedang hamil. Berapa? Biar aku bayar sekalian? Nanti aku kirim alamatnya, karena besok siang aku sudah pergi dari hotel." Nyonya Aurora berbicara panjang.
"DP seratus ribu dulu, Nyonya. Karena sebelumnya saya belum pernah buat baju hamil untuk dijual."
"Oh, baiklah."
Setelah menerima DP, aku langsung berpamitan. Jadwal terakhir rute bus menuju apartemen pukul delapan, jika naik taksi, ongkosnya lumayan mahal bagiku.
Ninda kembali mengantarku keluar kamar. Sambil berjalan menyusuri lorong megah hotel, aku menunduk--melihat pesan masuk dari Nyonya Aurora--yang mengirimkan alamat rumahnya. Cepat sekali, padahal bajunya belum jadi.
Brukk.
Aku menabrak seorang lelaki tanpa sengaja. "Maaf, maaf ...." ucapku.
Ninda yang sudah berjalan di depan, ikut berhenti.
"Ya, ya, aku maafkan, karena kamu minta maaf." Suara yang menyahut membuatku terperangah.
Masih menunduk dalam, aku meneruskan langkah. Semoga lelaki itu tidak mengenaliku.
"Tunggu!" serunya, dia meraih lenganku. "Kara?"
"Ada apa, Tuan?" Aku memberanikan diri membalikkan badan, menatap lelaki yang memakai tuxedo.
"Jadi, kamu masih menjual diri walaupun sedang hamil?" hina Angkasa.
"Tolong, lepaskan tangan saya. Nanti tangan Anda kotor karena memegang saya," jawabku, mengangkat dagu.
"Kara." Nyonya Aurora menyusul. "Wah, kamu tampan sekali Angkasa. Sudah bersiap menghadiri pesta."
Angkasa melepas tanganku. "Anda sendiri belum bersiap diri, Nyonya?"
"Aku ada urusan sebentar dengan Ibu hamil yang cantik. Aku membeli blus pada Kara. Oh, ya, Kara, kamu tinggal di mana?" tanya Nyonya Aurora.
"Nanti saya beritahu lewat pesan, Nyonya," sahutku, buru-buru berjalan menjauh, menjajari langkah Ninda.
Sialnya. Aku harus satu lift dengan Angkasa. Dia berdiri tepat di depanku. Dan, bayi di dalam perut bergerak. Tidak mungkin si bayi merasakan kehadiran ayahnya yang sangat dekat.
Hanya aku dan Angkasa yang keluar dari lift, sedangkan Ninda tidak. Dia kembali lagi ke lantai atas.
"Bukankah penghasilan menyewakan tubuh lebih banyak? Kenapa repot-repot berjualan baju?" komentar Angkasa.
Plak! Satu tamparan keras aku layangkan di pipi kanan Angkasa. "Jaga mulutmu, Tuan."
Aku melintasi lobi, keluar dari hotel dengan perasaan marah. Geram menggumpal-gumpal di tenggorokan.
***
Alarm yang aku pasang pada ponsel berbunyi. Dengan malas aku turun dari tempat tidur, mencuci muka, gosok gigi, menyambar jaket. Aku mengambil susu sapi segar di toko Cik Gianti yang berada di seberang apartemen.
Botol-botol susu kemasan 1,5 liter aku susun rapi di keranjang belakang. Rute masih sama, dari perumahan biasa sampai kawasan elite.
Rute terakhir. Tinggal lima botol. Aku harus turun dari sepeda, karena jalanan lumayan menanjak. Perlahan menuntun sepeda, mengontrol napas yang terengah. Berhenti di depan rumah berpagar kayu, meletakkan botol susu pada gantungan yang sudah disediakan. Di saat bersamaan pintu pagar terbuka, tiga gerombolan lelaki keluar. Yang satu mengenakan piyama dan jubah warna putih, yang dua sepertinya mengenakan jas, tapi berantakan sekali.
"Pagi ini, aku ada rapat. Sial, harusnya tidak ikut pesta," gerutu lelaki berbadan gemuk.
"Mbak pengantar susu, selamat pagi!" sapa lelaki berjubah putih, yang kutahu pemilik rumah. Aku pernah bertemu dengannya dua kali.
Walaupun langit belum terang, namun aku bisa melihat wajah lelaki dengan rambut kusut. Dunia ini memang tidak lebar. Matanya memicing, melihatku berpindah pada sepeda, berpindah lagi melihatku.
Aku berlalu dari hadapan mereka. Memegangi stang sepeda dengan hati-hati. Setelah lima menit, aku merasakan ada yang mengikuti.
"Kenapa mengikuti aku?" tanyaku, kembali meletakkan botol susu di rumah berikutnya.
"Sudah berapa lama mengantar susu?"
"Bukan urusanmu, Tuan," sahutku, berjalan lagi menuntun sepeda.
"Apa kamu tidak capek dengan kondisi hamil seperti itu?" tanyanya, lagi.
"Apa pedulimu? Kita hanya dua orang asing. Pergilah. Jangan mengikuti aku."
Tidak mempan, Angkasa masih mengikutiku. "Apa setiap pagi kamu mengantar susu?"
Aku mengembuskan napas kasar. Menoleh ke belakang. "Sudah tiga bulan dan setiap pagi aku mengantar susu demi sesuap nasi, demi bisa bertahan hidup! Puas, hah!?"
Entah apa yang dipikirkan Angkasa, dia memandang lekat. Aku berjalan terus, masih ada dua botol susu. Kali ini Angkasa bergeming di tempatnya.
"Kami pulang duluan, deh. Kuenya kami bawa sekalian," seloroh Gisella, "tak kuat lihat adegan mesra.""Skuy, kita pergi. Kita bikin pesta sendiri." Miranda berjalan turun dari panggung diikuti Dora dan Gisella.Bu Julia memelukku, mengucapkan selamat ulang tahun. Beliau juga meninggalkan panggung."Kenapa jauh-jauh harus di sini, kan, bisa di rumah dengan lilin-lilin yang menyala, buket bunga?" tanyaku pada Angkasa, mengalungkan kedua tangan di lehernya.Angkasa mencolek hidungku. Dia bercerita akan mengadakan konser mini untuk menggalang dana. Untuk sebuah yayasan yang berfokus pada perempuan dan bayi-bayi yang terlantar. Dia mengajak beberapa teman yang suka bermain musik dan dua penyanyi terkenal."Sepuluh hari lagi aku akan mengeluarkan bakatku." Angkasa terkekeh, dia menyelipkan helai rambutku ke belakang telingaku. "Sepertinya ... kamu menginginkan sesuatu dariku," lanjut Angkasa men
Hamparan pasir putih. Turis-turis yang ganteng dan cantik. Bikini mempertontonkan lekuk-lekuk tubuh yang aduhai. Hari menuju sore. Aku duduk di kursi malas, di bawah payung lebar. Tuan Angkasa tidak mengizinkan aku memakai baju renang. (siapa pula yang mau berenang)."Hai."Mataku menyipit, lelaki bermata biru itu tersenyum. Dia duduk di kursi malas lain. Tubuhnya berotot. Lumayan ganteng."Sendirian?" tanyanya."Dengan suamiku.""Sayang sekali ...." gumamnya. "Kau tahu tempat pariwisata yang paling favorit di Bali?""Aku tidak tahu. Kamu bisa tanya ke front office," sahutku, malas."Di mana suamimu?""Sebentar lagi dia datang." Aku menyeruput es kiwi.Si Bule terus bicara, mengenai cuaca Bali, mengenai penerbangan dia yang membutuhkan waktu 18 jam, dan orang-orang Indonesia yang ramah."Aku suka
"Seandainya tadi kamu tidak pergi, mungkin kita sudah selesai bertempur," sungutku, mengedipkan mata.Angkasa terlentang. "Aku juga mau tidur aja.""Langit sendirian, dong," protesku."Kalau kita tidur, Langit juga akan tidur," sahut Angkasa, dia memiringkan tubuhnya. Mendekap Langit. Kedua kelopak matanya perlahan menutup.Sebenarnya aku juga menahan gelegak yang parah. Gisella menyarankan bulan madu, tapi aku tidak bisa meninggalkan Langit. Kami berdua tidak pernah terpisah sebelumnya.Aku pun larut dalam nyenyak. Lambat laun suara denting jam dinding dan napas mulai pudar.Akan tetapi sentuhan hangat pada pipi dan leher menarikku dari lembah tidur. Mendapati wajah Angkasa yang begitu dekat. Dia kemudian membopong tubuhku ke kamar sebelah. Merebahkan dengan perlahan di atas pembaringan."Langit sudah tidur dan aman di dalam boks," bisik Angkasa. "Jadi, s
Angkasa membelai rambutku lembut, lalu memeluk erat. Berkali-kali mencium ujung kepalaku. Sementara aku membenamkan kepala di dadanya, menghidu aroma yang menggelitik jiwa. Hanya ada kami berdua, diantara angin dan atap yang sepi. Aku bisa merasakan detak-detak jantungnya yang cepat."Aku akan mempersiapkan semua dengan cepat," ujarnya. "Kamu hanya perlu mempersiapkan gaun.""Aku tidak ingin pesta, aku ingin pernikahan kita hanya dihadiri orang terdekat," sahutku."Baiklah, aku akan melakukan sesuai harapanmu. Oh, ya, hari ini kamu pasti mencariku, ya?""Tahu dari mana kalau aku mencarimu?" Aku mengurai pelukan, mendongak melihat wajah Angkasa."Aku baca status Nyonya Aurora di Instagram. Aku tahu kamu pasti resah, Kara." Kembali Angkasa membelai rambutku. "Aku tidak akan membiarkan dia merusak labelmu.""Aku menyayangi Nyonya Aurora, dia sebenarnya orang baik. Dia emosi k
"Kayaknya kamu benar-benar ngantuk, aku balik dulu ke apartemen. Selamat malam, calon istriku." Angkasa melambaikan tangannya sebelum keluar dari apartemenku.Aku menggigit kursi bantal. Setelah bicara sampai ngos-ngosan, meluapkan semua keinginan terpendam--reaksi Angkasa hanya begitu? Setidaknya dia berakting perhatian kek. Waktu jadi Pram di perhatian sekali. Manis kayak kucing, sekarang kembali menjadi beruang kutub.Aku tersaruk-saruk menuju kamar, mata sudah berat sekali. Langsung merebahkan tubuh di tempat tidur. Baru melayang ke alam indah penuh bunga, Langit menangis.Sambil terkantuk-kantuk, aku menyusui Langit. Setelah itu, Langit terlelap di sampingku, tidak punya daya memindahkan Langit di boks. Aku mencium ubun-ubunnya, lantas melanjutkan mimpi.Bunyi getar pada ponsel mengganggu telinga. Siapa yang menelepon pada dini hari? Demi Tuhan, aku butuh tidur."Hmmm ...."
Tawa Angkasa pudar, dia mendekat satu langkah. "Tadi kamu bilang apa, Kara?"Aku menunduk malu. "Memang tidak dengar, ya?"Angkasa mendekat selangkah lagi. Aku mendongak. Dia tersenyum jahil. "Cinta apa tadi?" tanyanya.Bibirku terkatup rapat. Hati berdenyar. Angkasa merengkuh tubuh ini dalam pelukannya. Sementara aku, membeku seketika. Kehangatan yang menjalar membuat jantung berdetak kencang."Terima kasih, Kara," bisik Angkasa. "Akan kujaga cintamu dengan baik."Perlahan kedua tanganku melingkar di pinggang Angkasa. Membenamkan kepala di dadanya. Awal pertemuan kami tidak menyenangkan. Dia membuatku menderita dan terluka, namun dia sangat mencintai dengan cara menunjukkan ketulusan dan kegigihan untuk berubah."Jika waktu bisa diputar, aku tidak akan berbuat ...." Ucapan Angkasa berjeda, dia menarik napas dalam. "Aku tidak akan menorehkan luka sedikit pun."