Apa ini tepat? Namun, aku sudah berdiri di depan gerbang rumah Angkasa selama lima menit. Sementara, hari mengalami proses peralihan. Bercak-bercak warna jingga makin lama makin menyusut, berbaur, berubah gelap.
Klakson mobil membuat jantungku melompat. Degup-degupnya melesat cepat.
"Hei, minggir!"
Perlahan aku menepi, mobil sedan hitam itu hendak melewati gerbang. Aku tidak bisa melihat siapa yang berada di dalam mobil.
Ketika pintu gerbang terbuka lebar, mobil itu malah berhenti. Sosok bertubuh tinggi turun. Dia Angkasa.
"Kau ingin bertemu dengan siapa?" tanyanya, sangat dingin.
"Aku ... ingin bertemu denganmu. Aku ingin memberitahu sesuatu." Aku menjawab, berusaha tenang.
"Aku tidak punya waktu untukmu, Kara," tolak Angkasa.
"Aku tidak meminta waktu seumur hidupmu, hanya sebentar saja."
"Baiklah. Kita bicara di dalam," sahut Angkasa melangkah lebar-lebar masuk rumah.
Aku mengikutinya dari belakang. Melintasi ruang tamu, menaiki anak tangga, berakhir di dalam ruang perpustakaan. Dia menyuruhku duduk, tapi aku menolaknya. Lebih baik berdiri.
"Katakan ...." Angkasa duduk di atas meja kerja, tangan bersedekap, dan mata yang menatap tajam.
"Aku--" Aku menarik napas, menggigit bibir bagian bawah. Ragu.
"Waktumu cuma sebentar, sepuluh menit lagi aku ada tamu," desak Angkasa.
"Aku hamil."
Sorot mata yang tajam itu berubah kaget. Kedua ujung bibirnya hampir melengkung senyum, namun urung. Angkasa menyugar rambutnya, dia berjalan mendekatiku.
"Lalu?"
"Aku mengandung anakmu."
"Kau ingin aku bertanggung jawab?" Kedua tangan Angkasa memegang bahuku.
"A--aku ...."
"Kara, kamu hanya perempuan sewaan. Kamu perempuan m*r*han, yang tidur dengan setiap lelaki." Cengkeraman jemari tangan Angkasa semakin kuat. "Anak itu bisa jadi, benih lelaki lain. Setiap kali aku menyentuhmu, aku selalu memakai pengaman."
"Tapi, hanya kamu yang menjamahku. Tidak ada lelaki lain," sanggahku, "dan mengenai pengaman, kamu pernah tidak memakainya."
"Kamu bohong!" Sekarang Angkasa mengguncang bahuku. "Waktu aku pergi ke luar negeri kamu merayu Burhan dan kamu tidur dengan penjaga rumah, di kamarku!"
"I--itu tidak benar. Burhan berbohong."
"Jangan mengelak, Kara! Aku menemukan pengaman bekas pakai di kamarku, rupanya kamu kesepian saat aku tidak ada," kata Angkasa geram. "Akhirnya Burhan mengambil keputusan, mengembalikanmu pada Andreas."
"Semua itu bohong! Kata Burhan kamu akan tinggal lama di luar negeri dan sudah tidak membutuhkan diriku!" Aku mendorong tubuh Angkasa. "Apa ada bukti lain aku tidur dengan lelaki lain?"
"Tidak ada. Tetapi, aku percaya pada Burhan ketimbang perempuan sepertimu, Kara. Pergilah, waktumu sudah habis." Angkasa membelakangi diriku.
"Aku tidak bersalah, aku tidak pernah tidur dengan lelaki selain dirimu. Aku harap kamu ...." Entah mengapa aku merasa sedih. "Selamat tinggal, Tuan."
Gegas aku keluar, membanting pintu perpustakaan dengan keras. Aku memang perempuan sewaan, apa yang yang ingin kudengar, sudah kudengar. Lalu, kenapa aku kecewa? Seolah ada yang berlubang di hati. Lelaki seperti Angkasa tidak akan pernah berubah. Sekali monster tetap monster.
Langkahku terhenti di ujung bawah anak tangga, perempuan cantik nan elegan seperti bidadari baru saja masuk rumah.
"Lewat sini kau." Tangan Burhan mencekal lenganku, menyeret sampai di pintu samping rumah. "Jangan pernah kembali, kamu hanya perempuan rendahan. Buang mimpimu untuk memiliki tuanku. Mengerti!?"
"Lepas, br3ng53k!" Aku mengibaskan tangan Burhan. "Satu lagi, aku tidak bermimpi tentang tuanmu."
"Baguslah. Perempuan yang tadi masuk adalah calon istri Tuan Angkasa. Lalu, kenapa kamu menemui Tuan Angkasa? Kamu mau menuntut tanggung jawab karena kamu hamil?"
"Ternyata selain tukang fitnah, kamu tukang nguping. Aku tidak membutuhkan tanggung jawab dari tuanmu." Aku berjalan cepat keluar rumah.
Aku sempat menoleh ke jendela atas, siluet Angkasa terlihat sedang mengawasiku. Sebenarnya aku memang sedikit bermimpi, janin yang bertumbuh dalam perut akan mempunyai keluarga. Akan tetapi mana mungkin dua orang yang tidak saling mencinta bisa bersatu.
Angkasa menutup tirai, bayangannya hilang. Dan, aku pun tidak akan pernah menjejakkan kaki di rumah ini kembali.
***
Langit malam terlihat bersih dengan tebaran bintang-bintang. Langkahku agak tergesa karena jalanan kampung mulai lengang. Dari kejauhan tampak langit berubah merah menyala. Semakin dekat terlihat lidah-lidah api menerangi malam.
Rumahku terbakar. Banyak orang berkumpul hanya menonton, bukan membantu memadamkan api.
Tungkaiku terkulai lemas. Sekarang apa lagi, Tuhan? Tidak cukupkah penderitaanku?
"Itu dia datang." Pak Gito menunjukku. "Usir dia sekarang. Jangan biarkan dia berlama-lama di kampung kita," lanjutnya memprovokasi.
"Iya, betul itu!"
"Si Kara hamil anak haram! Usir dia!"
Aku sendirian, tidak ada yang membelaku. Bahkan Pak Lurah dan Pak RT hanya terdiam. Di belakang kedua lelaki itu, aku melihat Bu Zunaira. Perempuan itu tersenyum tipis.
"Ini tasmu. Pergi dari sini!" Pak Gito melempar tas jinjing berisi pakaian. "Kami masih berbaik hati menyelamatkan tasmu."
"Berbaik hati!?" Aku berseru. "Kalian hanya berani main keroyok! Kalian tidak punya hati!"
"Diam kau mulut comberan!"
"Perempuan itu yang mulut comberan!" Aku melangkah mendekati Bu Zunaira, ingin menarik bajunya, tapi Pak Lurah pasang badan.
"Cepat pergi, Kara," suruh Pak Lurah.
Aku memandangi Pak Lurah. "Kenapa sebagai orang yang punya wewenang lebih, pak lurah membiarkan rumahku dibakar!? Bukankah tadi siang aku sudah bilang, besok pagi aku akan pergi!"
"Kami tidak ingin kamu tinggal lebih lama, walaupun hanya sedetik!" Warga lain menyahut.
"Kamu perempuan najis, aib!"
"Kamu hamil! Jangan melahirkan anak haram di kampung kami!"
Teriak-teriakan mereka panas seperti api yang berkobar. Rumah bapak dan ibu luluh lantak perlahan menjadi abu.
"Bu Zunaira, dengarkan aku baik-baik. Aku akan kembali untukmu dan khusus buat Andreas. Aku akan membakar rumah kalian suatu hari nanti, aku menghancurkan nama baik keluargamu. Aku akan membuat bibirmu berhenti tersenyum," ucapku dengan suara gemetar menahan tangis dan sesak.
"Itu hanya terjadi di dalam mimpimu, Kara," ejek Bu Zunaira. "Perempuan miskin kayak kamu tidak akan pernah bisa menyentuhku."
"Kita lihat saja nanti, walaupun membutuhkan ratusan bahkan ribuan hari, aku pasti akan datang." Aku tidak ingin terlihat lemah, namun air mata jatuh begitu saja. "Seandainya aku tidak bisa menyentuhmu, ada Sang Pencipta yang akan melakukannya."
"Cepat pergi dari sini, jangan banyak b*c*t!"
Aku meraih tas pakaian, melihat sejenak puing-puing rumah. Hawa panas masih terasa.
Ibu Bapak, Kara pamit ....
"Untuk kalian semua, kalian berutang maaf padaku." Aku menyeruak kerumunan.
Terpaksa aku berjalan kaki menembus pekat malam karena tidak ada lagi angkutan umum yang lewat. Terseok-seok melewati persawahan.
Langkah kaki berhenti di tepian tebing. Apa di dasar jurang ada kehidupan yang lebih baik? Bapak Ibu, bagaimana kalau aku menyusul kalian?
Tadi aku dengan berani menghadapi amarah warga, sekarang aku berubah. Aku tidak sanggup lagi ....
Rasanya sangat perih, menyakitkan, hancur, dan sendirian. Aku melangkah semakin mendekati bibir tebing. Mata ini terpejam.
"Kara!"
Aku tidak memedulikan suara yang memanggil namaku.
"Kara, apa yang ingin kamu lakukan!? Kamu ingin bunuh diri!?" Bu Retno menarik lenganku.
Aku jatuh dalam tangisan, air mata deras menerjang.
"Oh, Kara ... kasihan sekali kamu. Jangan berpikiran untuk mati," ucap Bu Retno.
Aku masih tergugu.
"Masih ada harapan. Percayalah itu. Ayo, Kara, jangan lemah. Balas perlakuan mereka padamu."
"Hei, ayo, cepat!" seru Pak RT yang bernama Danar. "Kita harus cepat pergi, Bu!"
"Ayo, Kara. Kami akan mengantar dan membantumu," kata Bu Retno.
"Aku sudah punya tiket bus ...."
"Lupakan tiketmu. Suamiku khawatir jika kamu masih berada di sekitar kampung sampai esok pagi." Bu Retno menaruh tas pakaian di bak belakang mobil pick up. "Takutnya kamu akan mati di tangan warga yang tersulut emosi."
"Bu Zunaira ingin kamu mati, Kara. Melalui tangan-tangan lain," timpal Pak Danar saat aku masuk mobil pick up. "Dia sangat licik."
"Maaf, kami tadi tidak bisa mencegah warga membakar rumahmu dan kami tadi diam saja." Bu Retno menghela napas panjang.
"Tidak apa-apa, Bu. Kita akan ke mana?" tanyaku.
"Ke rumah mantan majikanku," jawab Pak Danar.
Mobil semakin menjauh dari kampung. Meninggalkan kenangan indah dan pahit.
***
Pak Danar masuk ke rumah mewah, sementara aku dan Bu Retno menunggu di dalam pick up. Menurut Bu Retno, mereka berdua dulu pernah bekerja di rumah tersebut.
"Suamiku pernah menyelamatkan putrinya dari musibah kebakaran. Majikan kami bilang, kami boleh meminta apa pun. Sekarang waktu yang tepat untuk meminta bantuan," ungkap Bu Retno, dia menguap panjang.
Pak Danar keluar rumah setelah tiga puluh menit. Dia langsung menyalakan mobil. Meneruskan perjalanan.
"Bagaimana, Pak?" tanya Bu Retno.
"Pak Ridwan mau meminjamkan apartemennya yang di pinggiran kota. Kara bebas menempatinya," jawab Pak Danar. "Tapi, maaf Kara. Itu apartemen tua dan lama. Sudah lama tidak ditinggali."
Aku hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Aku lelah sekali, namun tidak bisa terlelap seperti Bu Retno. Kobaran api masih terbayang jelas di pelupuk mata. Kemudian aku teringat bahwa aku sedang mengandung. Anak ini kenapa harus hadir? Dia akan terlahir di dunia yang kejam.
Perjalanan memakan waktu satu jam. Mobil pick up berhenti di pelataran parkir apartemen yang menjulang tinggi. Walaupun malam, aku bisa melihat apartemennya suram dan tua.
"Bangun, Bu. Kita sudah sampai." Pak Danar membangunkan istrinya.
Kami bertiga lantas masuk ke gedung apartemen. Menggunakan lift menuju lantai sembilan. Banyak coretan di dalam lift.
"Semoga kamu betah, Kara. Setidaknya kamu punya tempat berteduh dan bebas sewa. Kamu hanya perlu memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari," ujar Bu Retno.
Pintu besi lift terbuka, kami berjalan menyusuri lorong apartemen yang penerangannya minim.
Pak Danar membuka pintu dan menyalakan lampu apartemen, bau apak menyergap hidung saat aku memasuki apartemen.
Apartemen kecil dengan satu kamar tidur, sepertinya ruang tamu merangkap ruang keluarga. Dapur kecil dan ruang makan. Perabotan apartemen sepertinya masih bisa digunakan.
Aku melangkah ke balkon kecil, membuka pintu kaca. Udara malam menelisik kulit, lampu-lampu dari gedung-gedung pencakar langit di kejauhan memberi suguhan pemandangan yang indah. Aku menarik napas dalam, mengembuskan berlahan-lahan.
Mulai malam ini, aku akan merajut satu demi satu tujuanku. Menjadikan mimpi menjadi kenyataan. Lupakan tentang sedih, lupakan tentang air mata. Aku akan menyemai kekuatan.
"Ayo, sarapan, Kara," ajak Bu Retno saat aku keluar kamar, perempuan yang memakai sweter kebesaran itu menaruh sepiring nasi goreng.Sementara Pak Danar mengisi kulkas dengan sayuran dan telur."Kami sebentar lagi harus segera pulang, Kara," ucap Bu Retno. "Tadi subuh suamiku sempat berbelanja di pasar. Untuk tiga hari ke depan persediaan makan untukmu cukup.""Terima kasih atas bantuannya." Aku menarik kursi. "Sudah merepotkan kalian berdua.""Kara ...." Bu Retno duduk di sebelahku. "Apa benar kamu hamil?" tanyanya kemudian, hati-hati.Aku mengangguk. "Iya.""Kamu tidak mual dan muntah?""Tidak, Bu Retno."Tangan Bu Retno tiba-tiba mengusap perutku. "Ah, anak hebat kamu. Tidak mau menyusahkan Mama, ya? Bagus, karena mamamu sudah banyak menderita."Mataku menghangat, aku tidak pusing, mual, dan muntah. Benarkah si bayi men
Aku menuang air hangat ke dalam gelas, mengaduk-aduk susu rasa cokelat dengan pikiran gentayangan ke Angkasa. Semalam bertemu di hotel, pagi ini bertemu di perumahan. Duduk termangu, melihat tagihan listrik, air, dan biaya perawatan apartemen. Tabunganku yang sedikit sudah habis. Nanti sore ada jadwal kontrol kandungan ke bidan. Ketukan pintu membuat lamunan buyar, aku mengelap sisa susu di sudut bibir dengan tisu. Kemudian membuka pintu. "Mbak Kara, temenku ingin membeli ... ng ... lihat baju-baju buatan Mbak Kara. Hehehe, kalo cocok baru beli. Gitu." Miranda, tetangga di ujung koridor datang dengan seorang temannya. "Mari, mari masuk. Maaf tempatnya berantakan." Aku mempersilakan mereka masuk. Keduanya memilih-milih blus pada tempat gantungan. Kira-kira ada lima belas blus. Keduanya berbisik-bisik entah apa. "Mbak Kara, kasih diskon, ya? Kami akan beli dua, seratus
Aku buru-buru keluar apartemen. Aku hampir saja lupa ada janji dengan Nyonya Aurora. Dia memintaku datang ke rumahnya, dia memintaku membuatkan baju atau gaun atau apalah untuk pesta kebun. Di antara puluhan bahkan mungkin ratusan desainer top--dengan jam terbang tinggi dan penghargaan sana sini--Nyonya Aurora memilihku. Seorang penjahit biasa yang hanya belajar desain secara otodidak."Hei, selamat siang, Kara." Pram menyapa, senyum kecil mengembang di kedua sudut bibirnya. Sementara, tangan kirinya memegang kantong plastik hitam."Mau ke mana?" tanyaku, basa-basi."Buang sampah."Kami berjalan beriringan menuju lift. Tidak sengaja beriringan, karena tujuan kami sama. Turun menggunakan lift."Oughh.""Ada apa, Kara?"Aku menyengir. "Tidak apa-apa, bayiku menendang cukup keras.""Boleh aku menyentuh perutmu?""Heh?" Aku me
Pram perlahan menurunkan tubuhku. Keringat membasahi kening. Napasnya terdengar berat dan putus-putus. Aku sepertinya telah menyiksa Pram, tapi aku tidak menyuruhnya untuk membantuku."Terima kasih, Pram.""Sama-sama, Kara." Pram mengusap peluh dengan punggung tangannya."Aku beli roti bakar." Aku terdiam sejenak. "Untuk membalas kebaikanmu, aku ingin membuatkan segelas es teh. Mari masuk," ajakku."Oh, baiklah." Pram terlihat antusias.Aku mendorong pintu apartemen. Area yang bersih hanya di sekitar sofa. Aku akhir-akhir ini sering dilanda rasa malas.Pram memperhatikan tiap sudut apartemen yang penuh kain. Dia duduk di sofa sambil bertanya, "Kenapa tidak berhenti mengantar susu? Kenapa tidak fokus membuat baju saja?"Tanganku berhenti mengaduk gula di gelas. "Dari mana kamu tahu aku mengantar susu?""Aku pernah melihatmu mengantar susu s
"Tidak mungkin Kara pemiliknya. Dia tidak pernah kuliah atau ...." Perkataan Bu Zunaira berjeda. "Sekolah fashion. Dia hanya buruh pabrik." "Iya, Ma. Tidak mungkin," timpal Nita bersungut-sungut. "Sebaiknya kita pergi saja, cari butik lain." "Aku tidak mau, sudah jauh-jauh ke sini. Satu jam perjalanan. Melelahkan. Sebenarnya kalian ada masalah apa dengan pemilik butik?" Perempuan berambut lurus itu menolak. "Mbak Rosana, kami--" Nita sepertinya kesulitan menjelaskan situasi yang pernah terjadi. Aku menikmati kebingungan yang tampak terlihat di wajah Bu Zunaira dan Nita. Sementara Pram meletakkan sikunya dimeja, menopang dagunya dengan tangan, dia juga mengamati tiga perempuan di hadapan kami. "Aku tetap ingin beli baju buatan Miss Kara." Rosana ngeyel. Aku hampir tertawa mendengar sebutan Miss. "Andreas tidak akan suka, Ros. Suamimu bisa ma
"Maaf, ya, Dora, Hesti. Kalian pulang terlambat," ucapku. Dua hari lagi aku ikut event fashion show terbesar. Untuk meningkatkan omset penjualan dan merupakan media yang efektif bagi labelku. Jadi, memerlukan persiapan yang matang."Saya permisi. Aku duluan, ya, Dora." Hesti keluar butik sementara Dora masih membereskan berkas-berkas.Aku kemudian mengecek Langit lewat panggilan video--yang dalam pengasuhan Bu Hayu. Perempuan itu menjaga Langit ketika aku bekerja pada siang hari. Kadang aku membawa Langit ke butik. Bayi berusia dua bulan itu membuat hatiku berbunga tiap hari."Langit sedang tidur." Bu Hayu memberitahu. Dia mengarahkan ponsel pada boks bayi. Terlihat Langit terlelap."Baiklah." Aku menutup panggilan video."Pak Pram datang, Mbak Kara," ujar Dora.Aku mendongak, dari kaca jendela butik aku melihat Pram turun dari taksi. Dia menyandang tas gitar pada bahu. Me
Aku memandangi korek lalu pada Pram. "Ba-bagaimana kalau ada orang di dalam rumah Andreas? Aku tidak ingin membunuh orang, Pram."Walaupun aku ingin sekali Andreas mati, namun tangan ini tidak ingin berlumuran darah. Ada Langit yang telah menjadi muara hidup.Akan tetapi aku akan membuat mereka menderita. Sangat menderita."Tidak ada orang di dalam rumah," sahut Pram sembari memasukkan kedua tangannya di saku jaket. "Semua cctv sudah dirusak."Seorang lelaki berseragam satpam, muncul dari balik pagar rumah. "Pak Pram, sudah aman. Dua orang pembantu sudah saya suruh keluar tadi sore," ucapnya."Datanglah kalian ke alamat yang aku kirim lewat pesan. Kalian bisa mendapatkan pekerjaan di sana," kata Pram. "Dan kamu, jika tidak bisa tutup mulut. Kamu tahu akibatnya, kan?""Saya tahu, Pak Pram. Saya tidak mungkin mengkhianati Anda." Lelaki itu kemudian berlalu pergi dengan motor."Semenjak menikah Andreas tinggal di rumah istrinya. Ay
Nita tampak biasa setelah kejadian tiga hari yang lalu. Aku tidak tahu apa kebakaran itu mempengaruhinya atau tidak. Setelah memesan kopi, Nita keluar dari kafe."Selamat siang, Mbak Kara." Seorang perempuan berambut pendek menyapaku. Dia duduk di kursi seberang. "Saya Laura dari majalah Woman. Senang bertemu dengan Anda."Laura mengeluarkan buku kecil, pulpen, dan alat perekam. Sebuah kamera dia letakkan di atas meja."Mau pesan kopi dulu?" tawarku."Boleh, Mbak. Latte," sahut Laura."Aku kopi hitam tanpa gula."Aku dan Laura sama-sama melihat ke sumber suara."Pak Rein, silakan duduk. Mbak Kara, beliau pemilik majalah. Ingin melihat secara langsung wawancara dengan Mbak Kara," jelas Laura.Rein duduk di samping Laura. Melepas kacamata hitamnya. "Kita berjumpa lagi, Kara."Aku tersenyum. "Iya." Hanya itu yang keluar dari bibirku."Jadwal sesi pemotretan minggu depan," ucap Rein. "Bagaimana? Karena kamu soso