Share

7 – DISASTER

HUP!

Luke bertelut dan menangkap tubuh Flowie dalam pelukannya. Flowie yang dari tadi memejamkan mata karena takut, membuka matanya perlahan dan melihat sesosok Luke yang menggeram. Pemandangan itu kontan membuatnya meloncat dari pelukan Luke.

“Ma- Maaf pak,” kata Flowie sambil menunduk dalam-dalam kini berdiri menghadap Luke yang tampak kesal.

Luke berdiri dari lantai, dan menatap Flowie tajam. Flowie memberanikan diri mendongakan wajahnya untuk melihat pria yang ada di hadapannya. Luke tampak sedang menepuk-nepuk celana dan bajunya seolah-olah dia baru saja disiram dengan debu.

"Dia?" tanya Flowie dalam hati. Seketika mata hazel Flowie melotot dan kembali menunduk.

"Astaga. Dia adalah pria yang kemarin," batin Flowie dalam hati.

“Terim akasih sudah menolong saya,” ucap Flowie berusaha menenangkan debaran jantungnya.

“Apakah kau bodoh?” tanya Luke yang spontan membuat Flowie mengangkat kepalanya untuk melihat pria itu.

“Apa?” tanya Flowie kaget.

“Kejadian kemarin sore dan sekarang jelas menunjukan kau begitu ceroboh. Semuanya adalah kesalahanmu," jelas Luke kesal yang membuat Flowie melotot.

“Hei! Maaf telah merepotkanmu. Tapi aku tidak pernah memintamu untuk menolongku!” ujar Flowie ketus dengan emosi terpancing. Kini dia berjongkok untuk merapikan sepatu-sepatu yang sudah berantakan karena terjatuh.

“Jika aku tidak menolongmu, mungkin kakimu akan patah. Kalau kau tidak bisa kerja, sebaiknya kau mengundurkan diri saja. Kau hanya akan merepotkan orang lain dan merugikan perusahaan. Masih banyak di luar sana yang membutuhkan pekerjaan ini," ucap Luke tidak kalah ketus sambil membalikan badannya hendak meninggalkan Flowie.

Flowie yang mendengar kata-kata luke, merasa emosinya meledak. Kini dia kehilangan kesabaran. Dia mengambil sepatu yang jatuh tadi dan melemparkannya ke Luke. Sepatu itu tepat mengenai punggung Luke. Cukup kuat malahan sampai mengehentikan langkah Luke.

“Kau pikir kau siapa? Bahkan bosku sendiri tidak pernah berkata seperti itu padaku. Jangan pikir karena kau adalah orang kaya, kau bisa bicara sesukamu ya!” kata Flowie setengah teriak dengan bahu yang naik turun karena emosi. Bahkan sekarang dia tidak peduli jika dia harus berhadapan dengan atasannya, karena berkelahi dengan pelanggan sombong sialan ini.

Luke membalikan badannya dan berjalan dengan cepat menuju Flowie. Gerahamnya bergemelatuk dan sorot di dalam kedua pupil matanya dibanjiri emosi. Flowie merasa debaran jantungnya semakin cepat ketika melihat wajah Luke yang merah karena Emosi. Luke terus melangkah dan membuat Flowie melangkah mundur sampai tersudut menabrak dinding. Kini dia terkunci. Di sebelah kanan dan kirinya ada rak sepatu yang menjulang tinggi, di belakangnya dinding dan di hadapannya pria yang seperti kerasukan setan hendak memakannya. Dia tak bisa lari kemanapun. Luke berhenti tepat beberapa centi meter di hadapan Flowie.

“Ma-mau apa kau?” tanya Flowie berusaha menyembunyikan ketakutannya dengan menatap tajam Luke.

TESS!!

Luke menyambar dengan cepat name tag Flowie dari saku kemejanya.

“Kau dipecat,” katanya kemudian dengan geram dan membalikan badan, meninggalkan Flowie yang masih bingung dan mematung.

Apa yang barusan terjadi? Luke memecat Flowie? Bagaimana bisa? Siapa dia yang berani memecat Flowie?

“He-Hei!" seru Flowie sambil mengejar Luke ketika tersadar dari lamunannya, namun terlambat, Luke sudah melaju dengan mobilnya ketika Flowie sampai di pintu keluar.

“Ada apa Flowie? Kenapa kau berkelahi dengan pak Luke?” tanya Vina sedikit cemas.

“P-pak Luke? Kau mengenalnya?” tanya Flowie terbata.

“Tentu saja. Dia kan salah satu pemilik saham Ocean Group, induk Group perusahaan kita,” jelas Vina.

“Apa?!” teriak Flowie membelalakan mata. Seketika Flowie merasa jantungnya melorot dari tempatnya. Jawaban yang baru diterimanya sungguh mengejutkan dan merampas seluruh tenaganya. Kini dia terduduk di lantai. Keringat dingin mulai mengucur dari dahinya.

"Ya Tuhan. Apa yang baru saja aku lakukan?" lirih Flowie menyesali perbuatannya. Air mata mulai jatuh dari sudut matanya.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Vina penasaran masih dengan wajah yang cemas.

“Aku dipecat,” jawab Flowie dengan tangis yang pecah.

“Apa?” tanya Vina kaget membelalakan matanya.

===

Luke meninjak pedal gas mobilnya dengan sebal. Flowie benar-benar merusak mood-nya pagi ini. Sebenarnya mood-nya sudah rusak sejak pagi tadi, karena Alberto memintanya untuk pulang ke rumah, karena ibunya sama sekali tidak mau makan apapun kecuali menemui dia. Kekesalannya bertambah ketika mendapat perlakuan karyawan wanitanya yang menyebalkan.

Mobilnya terpakir sempurna di depan kediaman Croose. Kediaman yang sangat megah dan mewah. Luke menatap seksama rumahnya sebelum dia turun dari mobilnya. Sesekali dia menghela nafas dan kemudian akhirnya memilih turun dari mobilnya dan melangkah masuk. Luke mempercepat langkahnya menuju kamar ibunya -Elya-. Setiba di depan kamar ibunya, Luke kembali menarik nafas dalam-dalam sebelum tangannya meraih gagang pintu dan membukanya. Ternyata tidak dikunci.

Aroma alkohol begitu menyengat di penciuman Luke sesaat pintu kamar Elya terbuka. Pemandangan pertama yang dia dapat adalah Elya duduk di lantai dengan sebuah gelas berisi anggur di tangannya. Ada beberapa botol anggur di hadapannya. Tampaknya Elya sedang bermabuk-mabukan lagi.

“Astaga, ma. Apa yang mama lakukan?” tanya Luke sambil berlari kecil menuju Elya yang terhuyung-huyung mengangkat kepalanya untuk melihatnya.

Luke mengambil gelas berisi anggur dari tangan Elya dan meletakannya di atas nakas. Seharusnya Luke tidak kaget lagi dengan hal yang dilakukan Elya. Elya memiliki kebiasaan minum-minum untuk pelarian stresnya sedari luke masih kecil, tapi mengingat usia Elya yang sudah tidak muda lagi, Luke cukup cemas memikirkan hal-hal buruk yang menimpa kesehatan ibunya.

“Luke. Kau kah ini, nak?” tanya Elya sambil meraba-raba wajah Luke.

Luke menghela nafas dengan berat. “Iya, ma. Aku sudah pulang,” jawab Luke sambil tersenyum tipis dan mengangkat tubuh Elya ke tempat tidur yang berada di dekatnya.

“Apa kau suka lihat mama seperti ini? Kenapa kau baru pulang sekarang?” tanya Elya dengan nada suara seperti orang mabuk.

“Sepertinya mama tidak sakit sama sekali. Malahan mabuk-mabukan seperti ini,” kata Luke sama sekali tidak menjawab pertanyaan ibunya.

“Aku ingin mati saja. Suami dan anakku tidak perduli padaku sama sekali,” kata Elya tiba-tiba menangis.

“Hentikan ma!” ucap Luke tegas.

“Kau juga! Kakekmu tidak akan memberimu warisan kalau kau belum menikah. Kenapa kau tidak segera menikah? Oh Tuhan. Kenapa nasibku begitu menyedihkan? Suami yang tidak mencintaiku dan anakku satu-satunya yang selalu membangkang,” gumam Elya sambil memejamkan matanya. Sepertinya kantuk telah menguasainya dan membawanya ke dalam tidur yang nyeyak.

Luke hanya berdiri memperhatikan ibunya. Wajah yang cantik itu kini tertidur dengan pulas. Luke membersihkan jejak-jejak air mata yang ada di pipi ibunya, kemudian dia menarik selimut sehingga menututupi tubuh Elya.

“Aku akan menikah ma, tapi tentu saja dengan orang yang aku cintai. Aku hanya tidak ingin anakku mengalami hal yang aku alami, karena aku tidak mencintai ibunya," kata Luke setengah berbisik sambil mengelus rambut Elya.

===

Luke meninggalkan ibunya yang sudah terlelap dan menutup pintu kamarnya dengan hati-hati. Luke berjalan menuju dapur dan mendapati bibi Anjani, wanita separuh baya yang sedang menyiapkan makan malam. Bibi Anjani adalah kepala pembantu di rumah mereka dan dia sudah bekerja sejak Luke belum lahir kedunia ini, bahkan Luke kecil lebih banyak dirawat oleh Anjani daripada Elya. Itulah sebabnya Luke sangat dekat kepadanya.

“Nak Luke. Kapan sampainya? Kok bibi tidak tahu?” tanya Anjani dengan senyum mengembang saat melihat Luke datang ke arahnya.

“Baru saja bi,” jawab Luke dengan senyumannya. Kini ia berdiri di sebelah Anjani.

“Nak Luke mau makan malam apa? Biar bibi buatin," tanya Anjani.

“Tidak usah repot-repot, bi. Aku sudah ada janji makan malam di luar. Bibi siapkan buat mama saja," jawab Luke bohong. Dia bahkan tidak punya janji sama sekali.

“Baiklah kalau begitu nak,” kata Anjani melanjutkan mengiris-ngiris wortel di atas talenan.

“Bi,” panggil Luke sambil memperhatikan irisan wortel tersebut.

“Ya, nak?” sahut Anjani menghentikan pekerjaannya dan menatap Luke.

“Apa orangtuaku masih sering bertengkar?” tanya Luke tidak mengalihkan pandangannya.

Anjani menghela nafas dalam-dalam. “Ya. Begitulah nak," jawab Anjani yang sepertinya enggan bercerita dan melanjutkan pekerjaannya.

“Bi, Aku khawatir dengan kesehatan mama. Bisakah kalian mengunci saja gudang anggur, supaya dia berhenti minum-minum?” tanya Luke lagi.

“Tuan Alberto sudah melakukannya, nak. Tapi tetap saja nyonya menyuruh pembantu lain membelinya dari luar,” Kata Anjani yang tampaknya sudah putus asa.

Luke hanya diam mendengar perkataan Anjani.

“Akhir-akhir ini nyonya juga minumnya banyak sekali," Lanjut Anjani.

“Iya, bi. Aku tahu. Ada 4 botol anggur di kamarnya," kata Luke sambil mengusap wajahnya frustasi.

Anjani menatap iba kepada Luke. Anak kecil yang selalu ditemaninya dulu kini tekah menjadi pria dewasa. Pria dewasa yang juga tampan. Sayang sekali dia tumbuh tanpa kasih sayang kedua orangtuanya. Bahkan di usianya masih 33 tahun, Anjani tahu dia sangat merindukan perhatian kedua orangtuanya.

“Bibi yakin nak Luke bisa bertahan menghadapi semua ini," kata Anjani sambil mengusap-ngusap pundak Luke lembut.

“Terimakasih bi,” kata Luke dengan senyum tipisnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status