Setelah melakukan perjalanan yang ditempuh 10 menit, Flowie dan Tyo tiba di mal terdekat. Tyo melepas kemeja sekolahnya, kini dia hanya menggenakan baju dalamnya yang berwarna hitam. Baju hitam ketat yang membentuk otot-ototnya tubuhnya membuatnya terlihat keren. Tentu saja Tyo keren. Dia memiliki mata yang sama dengan Flowie, hanya rambutnya saja yang cokelat tua kehitam-hitaman, seperti Anna, ibu mereka. Kulitnya yang putih dan tinggi badannya yang 180 melengkapi ketampananya. Flowie yang tingginya hanya 160 tampak hanya sebahunya.
“Kau mau beli sepatu apa?” tanya Flowie kepada Tyo sambil melangkah menuju mal di hadapan mereka.
“Sepatu basket kak, Tapi kenapa kita tidak beli di Sport Corner tempat kau bekerja saja kak?” tanya Tyo kepada Flowie sambil melihat kanan kiri untuk melihat mobil yang lalu lalang saat mereka hendak menyeberang.
“Apa kau ingin memerasku? Barang-barang di Sport Corner itu mahal semua. Harga sepasang sepatunya saja sama dengan 1 bulan gajiku,” kata Flowie mengomel sambil terus melangkahkan kakinya tanpa melihat ada sebuah mobil Mercedes Benz GLK hitam melaju cukup kencang dari arah kanannya.
CIIITTTTTTT!!!
“Awas kak!!” teriak Tyo sambil menarik Flowie ke dalam pelukannya yang nyaris tertabrak bersamaan dengan berhentinya mobil itu. Jantung Flowie serasa ingin meledak. Kecelakaan yang nyaris saja menimpanya membuat Flowie tampak gemetaran. Dia membanamkan wajahnya dalam-dalam di dada Tyo yang bidang dan mencengkram baju Tyo dengan kedua tangannya yang gemetaran.
Pria yang mengemudikan mobil tampak acuh tak acuh. Dia memandang tajam Tyo dan Flowie dari balik kacamata hitamnya sepersekian detik sebelum melemparkan pandangan lurus ke depan sambil mendengus sebal, tapi pria yang duduk di sebelahnya memilih turun dan menghampiri Tyo dan Flowie.
“Kalau naik mobil itu hati-hati! Kalian hampir saja mencelakai kakakku!” ucap Tyo marah menatap tajam kepada pria yang kini berdiri di hadapannya. Sebelah tangannya merangkul Flowie erat.
“Maaf. Tadi kami tidak melihat kakakmu menyebrang. Kejadiannya begitu cepat. Apa ada yang terluka?” tanya Pria itu kini melepas kacamata rayban cokelatnya dan beralih menatap Flowie yang masih menyembunyikan wajahnya di dada Tyo.
Flowie membalikan badannya perlahan untuk melihat pria tersebut. Ia menggeleng pelan, namun tangannya masih mencengkram baju Tyo. Wajahnya masih terlihat pucat karena kaget bukan main.
"Flowie?!" gumam pria yang duduk di jok supir dengan kaget. Ia melepas kacamatanya untuk memastikan apa yang dia lihat dari dalam mobil adalah benar, dan ternyata memang benar. Gadis yang hampir ditabraknya adalah Flowie.
Pria menimbang-nimbang, apakah ikut turun untuk melihat kondisi Flowie atau tidak.
“Baguslah. Maaf telah membuatmu terkejut nona," kata Pria itu tanpa ekspresi di wajahnya yang dibalas juga dengan wajah datar oleh Flowie.
“Baiklah. Apa perlu kita berobat saja?” tanya Pria itu menatap Flowie dan Tyo bergantian.
“Tidak usah! Kami buru-buru,” jawab Tyo ketus.
"Cih. Bocah ini!" gerutu pria itu dalam hati.
“Baiklah. Kalau gitu terimalah ini. Kalau nanti ternyata ada yang terluka, segera hubungi aku," kata Pria itu memberikan selembar kartu nama kepada Flowie.
Flowie menerimanya dengan ragu-ragu. Pria itu membalikan badan dan masuk ke dalam mobil, lalu mobil mewah itu melaju kencang meninggalkan mereka. Flowie memandang mobil itu hingga mobil itu memasuki basement, kemudian Flowie mengamati kartu nama yang diberikan Pria tadi. ‘Luke Croose’ -nama Pria yang tampan itu- dan Alvian adalah pengemudi yang hampir menabrak Flowie.
===
“Ha. Akhirnya. Aku lelah sekali,” kata Luke seraya menjatuhkan dirinya di atas sofa ketika mereka tiba di apartemen Alvian.
“Kenapa kau tidak pulang ke rumahmu saja? Atau ke apartemenmu?” tanya Alvian sambil berjalan menuju kulkas.
“Apa kau tidak suka aku menginap di sini? Kau sedang mengusirku?” tanya Luke menatap tajam ke arah Alvian.
Alvian tertawa ringan mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Bukan begitu, kau bilang ibumu sakit, tapi kau malah kemari,” jelas Alvian sambil memberikan bir kaleng kepada Luke.
Luke merubah posisinya dari telentang kini sudah duduk dan menerima minuman yang diberi Alvian.
“Aku tidak yakin dia benar-benar sakit. Aku sudah menjual apartemen lamaku melalui Andreas, besok aku akan cari apartemen lain, jadi aku akan menginap beberapa hari di sini. Aku tidak suka ibuku tahu di mana aku tinggal. Ia selalu saja menguber-uberku,” jelas Luke kemudian setelah meneguk bir kalengnya.
“Apa dia menjodohkanmu lagi?” tanya Alvian.
Luke menghela nafas panjang. “Ya begitulah,” jawabnya singkat dan malas.
Alvian yang sangat mengerti persoalan Luke, hanya diam melihat sahabatnya itu.
“Tinggallah selama yang kau mau,” kata Alvian tersenyum tipis.
“Thanks Al,” balas Luke tersenyum sambil mengeluarkan jari berbentuk Love yang membuat Alvian melemparnya dengan bantal sofa.
“Bagaimana dengan mobilmu? Kau bisa menaiki Audy-ku kalau kau mau,” tawar Alvian.
“Tidak usah. Aku sudah menyuruh sekretarisku mengantar mobilku ke sini besok pagi,” jelas Luke yang disambut anggukan Alvian.
“Oh ya, Al. Bagaimana kabar Alice? Kau tidak menyusulnya ke Jerman?” tanya Luke tiba-tiba yang membuat wajah Alvian berubah menjadi muram.
Kali ini Alvian yang menghela nafas panjang. “Aku rasa dia baik-baik saja. Ini semua kan pilihannya. Dia lebih memilih pendidikannya dari pada aku, jadi dia harus baik-baik saja,” jawab Alvian panjang lebar sambil tersenyum kecut.
“Apa maksudmu dengan ‘aku rasa’? Kau tidak benar-benar mengetahui keadaanya? Kalian sudah putus?” tanya Luke kini menatap Alvian dengan mata membulat sempurna.
“Entahlah. Sudah 6 bulan aku tidak mendapat kabarnya. Aku-” jawab Alvian tidak menerusi perkataannya dan melempar pandangan ke luar jendela apartemennya.
“Aku hanya lelah Luke," sambungnya lagi dengan mata yang menerawang.
Luke yang mengetahui cerita pahit tentang Alvian yang ditinggalkan Alice, memilih untuk diam. Keheningan cukup lama terjadi di antara mereka. Seolah mereka hanyut dalam pikiran dan perasaan mereka masing-masing.
===
Flowie sedang merapikan beberapa sepatu yang tadi sempat berantakan dibuat oleh pelanggan untuk mencocokan warna dan ukuran yang pas. Dia memasukan sepatu-sepatu itu kembali ke dalam kotak dan ingin menyusunnya ke atas rak yang paling atas. Saat Flowie menarik tangga menuju rak yang dituju, sebuah mobil datang dan parkir tepat di depan kaca toko yang Sport Corner. Dari dalam mobil terlihat Luke yang melepaskan safety belt-nya dan melihat ke dalam toko yang tampak jelas melalui kaca beningnya. Tiba-tiba saja matanya menangkap Flowie yang sedang menaiki tangga dan membawa 3 kotak sepatu sekaligus dengan sebelah tangan.
"gadis itu," batin Luke langsung mengenali Flowie dan mengingat kejadian kemarin sore. "Sempitnya dunia ini," gumam Luke lagi sambil menghela nafas, sembari turun dari mobilnya dan melangkah masuk ke dalam toko.
Pria berbadan Atletis itu hanya menggenakan kaos hitam dan celana pendek selutut. Kaos lengan pendek yang digunakannya sedikit ketat dan menunjukan otot-otot lengannya dan itu membuatnya terlihat seksi di mata wanita. Kaca mata hitam yang digunakannya kini dilepaskannya saat memasuki pintu Sport Corner. Karyawan lain sudah menyambutnya di pintu masuk.
“Selamat siang pak Luke Croose. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Vina, karyawan wanita yang bergeming melihat ketampanan Luke.
“Running shoes ada di bagian mana?” tanya Luke datar sambil memperhatikan sekeliling.
“Di barisan paling sudut, pak. Mari saya antarkan,” tawar Vina masih dengan senyum sumringahnya.
“Tidak perlu. Aku bisa sendiri. Tetaplah menyambut pelanggan di depan pintu,” tolak Luke dengan sopan.
“Baiklah pak," balas Vina dengan sedikit kekecewaan.
Luke berjalan ke rak sepatu paling sudut untuk mencari running shoes. Sebenarnya Basket adalah olahraga kegemarannya, bahkan sejak SMP. Dulu dia lebih memilih bolos dari kelas untuk bermain basket seharian untuk melepaskan stresnya, namun seiring bertambahnya usia, Luke lebih memilih jogging sebagai olahraganya saat ini. Luke baru menyadari tadi pagi bahwa dia meninggalkan beberapa sepatunya di Madrid, termasuk sepatu larinya. Tentu saja dia tidak membawanya, karena dia memang tidak berencana untuk pindah kemari. Dia hanya mengunjungi ibunya yang katanya sakit.
Luke menemukan Flowie di sudut ruangan yang sedang menyusun 3 kotak sepatu di lantai. Sepertinya dia berhasil menyusun 3 kotak sepatu sebelumnya. Kini tersisa 3 kotak lagi. Dia melakukan hal yang sama, menaiki tangga dengan sebelah tangan dan tangan yang lain mengangkat 3 kotak sepatu sekaligus. Luke mengabaikannya dan memperhatikan beberapa sepatu yang ada di depannya. Flowie sama sekali tidak menyadari bahwa pria yang berdiri di belakangnya dan sedang memilah-milah sepatu adalah Luke. Saat Flowie hampir mencapai puncak, tiba-tiba saja ia kehilangan keseimbangannya.
“KYAAA!!” teriak Flowie yang menjatuhkan 3 kotak sepatu yang dibawanya dan disusul tubuhnya yang ikut terjatuh. Teriakannya membuat Luke spontan menoleh dan berlari ke arahnya dengan cepat.
HUP! Luke bertelut dan menangkap tubuh Flowie dalam pelukannya. Flowie yang dari tadi memejamkan mata karena takut, membuka matanya perlahan dan melihat sesosok Luke yang menggeram. Pemandangan itu kontan membuatnya meloncat dari pelukan Luke. “Ma- Maaf pak,” kata Flowie sambil menunduk dalam-dalam kini berdiri menghadap Luke yang tampak kesal. Luke berdiri dari lantai, dan menatap Flowie tajam. Flowie memberanikan diri mendongakan wajahnya untuk melihat pria yang ada di hadapannya. Luke tampak sedang menepuk-nepuk celana dan bajunya seolah-olah dia baru saja disiram dengan debu. "Dia?" tanya Flowie dalam hati. Seketika mata hazel Flowie melotot dan kembali menunduk. "Astaga. Dia adalah pria yang kemarin," batin Flowie dalam hati. “Terim akasih sudah menolong saya,” ucap Flowie berusaha menenangkan debaran jantungnya. “Apakah kau bodoh?” tanya Luke yang spontan membuat Flowie mengangkat kepalanya untuk melihat pria itu. “Apa?” tanya Flowie kaget. “Kejadian kemarin sore dan se
Langkah Luke terhenti saat menuju mobil yang terpakir di depan rumahnya. Dia melihat sebuah mobil hitam melaju ke arahnya. Itu adalah mobil ayah Luke, Alberto Croose.“Kau sudah pulang?” tanya Alberto dengan senyuman kaku kepada anaknya.“Hallo, pa. Aku baru saja sampai,” jawab Luke juga dengan senyuman yang tidak kalah kaku.Apa-apan ini? Apakah ini adalah sambutan dari Ayah dan anak setelah tidak jumpa cukup lama? Tidak ada pelukan ataupun senyuman mengembang? Astaga!“Kau sudah melihat mama?” tanya Alberto lagi.“Hmm,” jawab luke dengan sedikit anggukan kecil.“Baguslah. Dia sangat merindukanmu,” kata Alberto sambil menghela nafas.Seketika keheningan terjadi di antara mereka.“Kau mau kemana? Kau tidak menginap disini?” tanya Alberto yang memperhatikan kunci mobil yang dipegang Luke.“Ah. Maaf pa, aku tidur di apartemen Alvian dan aku sudah ada janji makan malam dengannya,” jawab Luke.“Oh begitu,” ujar Alberto pelan. Ada tersirat sedikit kekecewaan di wajah Alberto.“Aku pergi du
Flowie berlari sekencang-kencangnya. Ia menyesal mengapa hari ini menggunakan sepatu flat bukannya sepatu kets. Dia tidak bisa berlari lebih cepat karena merasa kakinya mulai lecet akibat kebanyakan berjalan seharian ini. Belum lagi rok hitam yang digunakannya. Walaupun itu bukan rok sepan, melainkan rok kembang yang sama sekali tidak menghambat menghambat langkahnya, tetapi tetap saja terpaan angin di rok ini membuat larinya semakin berat. Sesekali Flowie menoleh ke belakang, pria itu masih mengejarnya. "Hua! kenapa taman ini begitu luas?" batin Flowie saat berlari ke arah berlawanan dengan arah dia memasuki taman tadi. Dia tidak terlalu tahu daerah di sini, yang ada dibenaknya hanyalah kabur karena dia perlu keluar. Dia perlu berlindung. Seandainya ada polisi yang lalu lalang, dia pasti akan berteriak minta tolong. Flowie terus berlari tak memperdulikan sakit yang diakibatkan lecet di kedua kakinya. Kini dia berhasil keluar dari taman itu dan masih berlari mengikuti jalan. Jalan
Luke sedang melakukan ciuman panas dengan seorang wanita di ruangan kerjanya. Dia baru saja kembali bekerja di perusahaan ini kurang lebih seminggu yang lalu setelah Alberto memintanya bergabung. Selama ia bekerja di perusahaan ini, entah sudah berapa wanita datang ke ruangannya. Luke membelai pipi wanita itu lembut dan kemudian belaian itu berubah menjadi cengkraman. Seketika juga Luke menghentikan ciumannya, dan menatap mata wanita tersebut dengan jarak yang sangat dekat. “Berapa yang telah dibayar ibuku padamu, huh? Aku akan membayar dua kali lipat dan enyalah dari hadapanku untuk selama-lamanya!” desis Luke ketus. Wanita itu berbusana long dress hitam dengan belahan sampai ke paha. Dress itu memiliki bagian dada yang berbentuk V dan mengekspos keindahan yang tersembunyi di baliknya. Kulitnya yang putih begitu kontras dengan pakaiannya. Kesempurnaannya semakin kental dengan rambut pendeknya yang kecokelatan dan mata abu-abunya yang menyala. Ia lebih terlihat seperti bintang film
Seolah masalah tidak sampai di situ saja, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Dengan sigap Alvian mengangkat tubuh Flowie kedalam dekapannya dan membawa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Ketika di dalam mobil, Alvian melepaskan jasnya dan membungkus badan Flowie dari depan. Ia juga memegang dahi Flowie memastikan seberapa tinggi demam wanita itu. “Astaga! Badanmu panas sekali!’ batin Alvian. Ia segera menginjak pedal gas mobilnya melaju menuju apartemennya. Tangan kanannya menekan beberapa tombol yang ada di ponselnya. “dr. Kevin, bisakah kau datang ke apartemenku 10 menit dari sekarang?” tanya Alvian kepada seseorang di seberang. “.......” “Baiklah dok, terima kasih. Tidak, tidak. Bukan aku, tapi teman-” jelas Alvian sambil melihat Flowie di sebelahnya. “Teman wanitaku,” lanjutnya lagi. “…..” “Aku masih tidak yakin dok. Hanya saja dia pingsan dan badannya sangat panas,” ujar Alvian lagi. “…..” “Baiklah dok. Sampai jumpa di apartemenku,” kata Alvian kemudian memutus perca
“Flowie.” Luke terus saja mengulangi nama itu di kepalanya di sepanjang perjalanan pulangnya. Kenapa dia jadi teringat kepada wanita itu? Dia merasa marah jika mengingat bahwa Flowie pernah melemparnya dengan sepatu, tapi sekarang Alvian malah melindunginya. Memang tidak benar jika membiarkan seorang wanita pingsan di jalan, namun sampai membawa wanita itu ke apartemennya? Oh, Come on. Luke sangat mengenal sifat Alvian. Dia tidak pernah membawa sembarang wanita ke apartemennya, bahkan teman one night stand-nya. Selain Alice, Flowie adalah wanita pertama yang di bawa Alvian ke apartemennya. Luke curiga ada sesuatu di antara mereka dan ia yakin akan itu. Luke ingin mengetahuinya. === Flowie memakan roti lapis yang disediakan oleh Alvian dengan lahap. Ia memakannya dengan sangat cepat seolah-olah seseorang akan merebutnya, membuat Alvian yang sedang menuangkan susu hangat ke dalam gelas, melirik Flowie dengan tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa kau begitu lapar?” tanya
“Dari mana saja kau? Kenapa kau membuat mama khawatir?” tanya Anna ketika Flowie baru saja tiba di rumah. “Maafkan aku, ma. Semalam hujan sangat lebat. Jadi aku tidak bisa pulang, dan menginap di rumah Erica.” jelas Flowie berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan bahwa dia jatuh sakit, karena ibunya pasti akan langsung khawatir. Apalagi menceritakan dia menginap di sebuah apartemen mewah bersam bosnya, sudah bisa diyakini ibunya akan terkena serangan jantung setelahnya atau paling tidak dia akan diusir dari rumah. Oh tidak. Membayangkannya membuat Flowie bergidik ngeri. Ia ingin ibunya tenang-tenang saja tanpa beban pikiran apapun. Itulah sebabnya dia selalu marah terhadap adik-adiknya, jika mereka berulah dan menjadi beban pikiran ibu mereka. Anna menghela nafas mendengar jawaban Flowie. “Maafkan aku ma,” ucap Flowie sambil memelukan Anna. “Yasudah, mandilah! Ini hampir siang hari. Apa kau sudah makan?” tanya Anna. “Sudah,” Flowie sekali lagi berbohong. Dia juga baru ingat kalau
“Aku baru tahu kalau gadis sepertimu bisa melakukan pembelaan harga diri. Apa itu salah satu trikmu supaya tidak ketahuan?” tanya Luke santai sambil memasukan tangan ke saku celananya. “Apa maksudmu?” tanya Flowie kesal. Dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang dibicarakan Luke. Luke tertawa kecil. Sama sekali tidak ada yang lucu, tapi entah mengapa ia merasa lucu melihat ekspresi wajah Flowie. Ekspresi yang menunjukan kalau dia memang sama sekali tidak mengerti maksud Luke. Luke menyadari bahwa sebenarnya Flowie memang tidak tahu apa-apa, namun egonya memaksanya tetap melanjutkan aksinya. Ia masih penasaran dengan respon selanjutnya yang akan diberikan Flowie. “Apa yang sedang kau lakukan disini?” tanya Luke. “Itu bukan urusanmu,” jawab Flowie kesal sambil berjalan melewati Luke. “Apa kau sudah ada janji dengan pria yang menginap di lantai dua? Menemaninya sepanjang malam, seperti yang kau lakukan dengan Alvian?” tanya Luke lagi yang sukses menghentikan langkah Flowie dan memb