Langkah Luke terhenti saat menuju mobil yang terpakir di depan rumahnya. Dia melihat sebuah mobil hitam melaju ke arahnya. Itu adalah mobil ayah Luke, Alberto Croose.
“Kau sudah pulang?” tanya Alberto dengan senyuman kaku kepada anaknya.
“Hallo, pa. Aku baru saja sampai,” jawab Luke juga dengan senyuman yang tidak kalah kaku.
Apa-apan ini? Apakah ini adalah sambutan dari Ayah dan anak setelah tidak jumpa cukup lama? Tidak ada pelukan ataupun senyuman mengembang? Astaga!
“Kau sudah melihat mama?” tanya Alberto lagi.
“Hmm,” jawab luke dengan sedikit anggukan kecil.
“Baguslah. Dia sangat merindukanmu,” kata Alberto sambil menghela nafas.
Seketika keheningan terjadi di antara mereka.
“Kau mau kemana? Kau tidak menginap disini?” tanya Alberto yang memperhatikan kunci mobil yang dipegang Luke.
“Ah. Maaf pa, aku tidur di apartemen Alvian dan aku sudah ada janji makan malam dengannya,” jawab Luke.
“Oh begitu,” ujar Alberto pelan. Ada tersirat sedikit kekecewaan di wajah Alberto.
“Aku pergi dulu, pa. Kapan-kapan aku akan kesini lagi melihat mama,” pamit Luke sambil melangkah menjauh dari Alberto.
“Luke!” panggil Alberto mengehentikan langkah Luke.
Luke membalikan badan.
“Mulailah bekerja besok. Ocean Group sangat membutuhkanmu,” kata Alberto dengan seuntas senyum.
“Baiklah pa,” kata Luke singkat sambil senyum sekilas dan melangkah pergi.
===
Luke menghempaskan tubuhnya ke atas sofa di apartemennya. Ia melempar pandangannya ke luar jendela yang tepat berada di depan sofanya, memperhatikan gedung-gedung tinggi yang berada di sekitar gedung apartemennya. Langit tampak senja, menunjukan bahwa malam akan segera datang. Tiba-tiba saja ia teringat kejadian pagi ini di Green Store. Ia mengeluarkan name tag milik gadis tersebut dari saku celananya.
Flowie Hillebrand. Begitulah tertulis. Luke menghela nafas berat. Ia tampak menyesal.
“Apakah aku sudah keterlaluan?” gumamnya pelan.
Luke meraih ponselnya dan mencari nama seseorang di daftar kontak dan kemudian menghubunginya.
“Tolong batalkan pemecatan karyawan yang bernama Flowie Hillebrand. Aku tadi hanya salah paham,” kata Luke ketika teleponnya terhubung.
“……”
“Benarkah? Jadi kau sudah menghampus nomor absensinya? Kenapa cepat sekali? Ck,” ucap Luke dengan kesal.
“……”
“Tidak, ini bukan salahmu. Baiklah kalau memang sudah begitu,” kata Luke lagi kemudian memutuskan sambungannya.
Sekali lagi Luke menghela nafas gusar. Banyak sekali pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya.
"Apakah gadis itu baik-baik saja kehilangan pekerjaannya?" gumamnya pelan.
"Tidak. Ia tidak baik-baik saja. Kau menyebabkan seseorang menjadi pengangguran Luke," jawab suara dalam benaknya.
"Mengapa ia bisa sebodoh itu sampai melawan Luke Croose, pewaris Ocean Group?" gumam Luke lagi.
"Mungkin ia tidak mengenalmu, Luke. Kau baru saja kembali dari Madrid. Apa kau pikir, kau ini seterkenal Adam Levine, huh?" ejek suara dalam pikirannya lagi.
"Cih! Yang benar saja. Bahkan Aku lebih terkenal dari pada artis," gerutu Luke.
Luke menendang bantal sofa yang berada di kakinya sembarangan. Ia sungguh kesal pada Flowie yang ceroboh dan bodoh. Luke kembali membayangkan wajah Flowie yang ketakutan saat Luke mendekatkan wajahnya pada wajah Flowie. Ia cantik dan menarik.
“Gadis yang ceroboh, bodoh, tapi menarik,” gumam Luke sambil memejamkan matanya.
===
“Apa? Kau dipecat?” tanya Erica berteriak dengan kaget mendengar cerita Flowie yang sudah dipecat dari Green Store.
Untung saja saat ini Rosseta sudah tutup dan tidak ada pelanggan sama sekali. Karena suara Erica cukup memenuhi seluruh ruangan, membuat beberapa karyawan lain yang sedang bersih-bersih dengan mereka menoleh kaget.
Pandangan Flowie menerawang. Wajahnya sungguh muram. Sudah 2 hari semenjak pemecatannya namun dia tetap merasa tidak rela dan menyesali semuanya.
“Aku benar-benar membencinya!” rutuk Flowie masih dengan pandangan menerawang.
“Astaga Flow! Kau ternyata belum berubah. Kau gampang sekali terpancing emosi dan juga sangat ceroboh,” ucap Erica dengan sebal.
“Hei! Jangan bilang aku ceroboh. Kau terlihat seperti pria itu jika bicara seperti itu. Aku tidak ceroboh. Aku hanya sial,” tangkis Flowie tak kalah sebal mendengar celoteh Erica. Kini matanya menatap tajam ke arah Erica.
“Ck. Kau ini,” kata Erica berdecak sebal.
“Kalau saja aku bertemu dengannya sekali lagi, akan aku pukul manusia sombong itu,” ucap Flowie sambil memicingkan matanya dan mengepalkan tangan di depan dadanya.
Erica hanya menghela nafas panjang mendengar harapan sahabatnya itu. Erica yang tau betul watak dan temperamen Flowie tidak heran lagi dengan perkataan dan perbuatan gadis itu.
===
Pagi itu Flowie bangun lebih cepat. Ia bergegas pergi setelah mandi dan sarapan. Flowie membohongi keluarganya dengan mengatakan bahwa bosnya akan datang ke tempatnya bekerja. Padahal dia berencana untuk mencari pekerjaan lain. Tentu saja Flowie belum mengatakan kepada keluarganya kalau dia dipecat. Apalagi dipecat secara tidak hormat seperti itu. Sungguh memalukan untuk diceritakan. Sebenarnya Flowie tidak mencertiakannya bukan karena dia merasa malu, hanya saja dia takut keluarganya, khususnya ibunya merasa cemas.
Matahari bersinar dengan teriknya siang itu. Flowie sudah mengelilingi beberapa toko yang membuka lowongan pekerjaan untuk tamatan SMA sepertinya. Tapi dia agak sulit menemukan yang pas. Beberapa toko memintanya untuk bekerja full time, sebagian ada yang menggunakan sistem shift, tapi permintaan Flowie untuk terus bekerja di shift pagi -mengingat karena dia harus bekerja di Rosseta di siang hari- langsung ditolak oleh mereka. Wajar saja ditolak, shift bekerjakan bisa berubah kapan saja sesuai perintah.
“Kemana lagi aku harus mencari?” gumam Flowie kecil saat duduk di bangku taman di bawah pohon. Taman yang luas itu tampak sepi. Tentu saja sepi. Ini adalah jam kerja dan sekolah. Hanya ada Flowie dan beberapa orang berlalu lalang yang jaraknya berjauhan dari Flowie. Flowie membolak-balik koran yang sudah tercoret-coret dengan spidolnya, meng-stalking sosial media untuk lowongan pekerjaan, namun hasilnya nihil. Beberapa lowongan meminta tamatan sarjana, dan kebanyakan meminta minimal diploma. Ini cukup membuat Flowie frustasi. Dia menyapu keringat di dahinya dengan telapak tangannya.
“Apa kau sedang mencari pekerjaan nona?” tanya seorang pria yang mengagetkan Flowie.
Pria itu menatap koran lesu yang penuh coretan di sebelah Flowie. Dia membawa camera yang digantungkan dilehernya.
“Ah, tidak,” kata Flowie menarik koran tersebut dan melipat-lipatnya menjadi kecil, kemudian memasukannya ke tas selempangnya.
“Aku sedang membutuhkan model untuk pemotretan. Aku seorang fotografer. Apa kau berminat?” tanya Pria itu lagi dengan senyum mengembang.
Tawarannya begitu tulus, namun tetap saja Flowie tidak langsung percaya begitu saja. Bagaimanapun ibunya selalu mengajarinnya, Natalie dan Tyo untuk tidak bercakap-cakap dengan orang asing.
“Tidak. terimakasih,” kata Flowie sigap sambil berdiri dan hendak melangkah pergi.
“Ayolah nona, kau bahkan belum tau pekerjaannya seperti apa. Ini sungguh menyenangkan dan menguntungkan,” ujar pria itu sedikit memaksa mengikuti langkah Flowie dari belakang.
Flowie hanya diam dan mempercepat langkahnya.“Hei! Sombong sekali kau! Apa kau lebih memilih bekerja menghibur pria-pria bermata keranjang di malam hari dari pada bekerja denganku?” tanya pria itu kini menarik kedua lengan Flowie dan membalikan badannya ke arahnya.
Flowie tampak begitu terkejut “Apa yang kau lakukan! Lepaskan aku!” bentak Flowie setengah berteriak dan merontah-rontah berusah melepaskan cengkraman pria tersebut.
“Hei, Kau tidak hanya punya tubuh yang bagus, ternyata wajahmu juga cantik. Kau pasti akan laku di pasaran jika berpose sedikit terbuka,” ungkap pria itu dengan senyuman liciknya.
Matanya menelusuri wajah Flowie bak serigala ingin memakan habis mangsanya.
“Aku tidak berminat bodoh! lepaskan aku!” teriak Flowie dengan emosi.
Karena tidak kunjung dilepas, Flowie menendang selangkangan pria tersebut. Ia berhasil lepas dari cengkramannya dan berlari kencang.
“Sialan! Kau harus membayarnya. Dasar wanita gila!” teriak pria tersebut sedikit menggeram, memegang kejantannya dan berusaha berlari mengejar Flowie.
Oh, tidak. Masalah apa lagi ini?
Flowie berlari sekencang-kencangnya. Ia menyesal mengapa hari ini menggunakan sepatu flat bukannya sepatu kets. Dia tidak bisa berlari lebih cepat karena merasa kakinya mulai lecet akibat kebanyakan berjalan seharian ini. Belum lagi rok hitam yang digunakannya. Walaupun itu bukan rok sepan, melainkan rok kembang yang sama sekali tidak menghambat menghambat langkahnya, tetapi tetap saja terpaan angin di rok ini membuat larinya semakin berat. Sesekali Flowie menoleh ke belakang, pria itu masih mengejarnya. "Hua! kenapa taman ini begitu luas?" batin Flowie saat berlari ke arah berlawanan dengan arah dia memasuki taman tadi. Dia tidak terlalu tahu daerah di sini, yang ada dibenaknya hanyalah kabur karena dia perlu keluar. Dia perlu berlindung. Seandainya ada polisi yang lalu lalang, dia pasti akan berteriak minta tolong. Flowie terus berlari tak memperdulikan sakit yang diakibatkan lecet di kedua kakinya. Kini dia berhasil keluar dari taman itu dan masih berlari mengikuti jalan. Jalan
Luke sedang melakukan ciuman panas dengan seorang wanita di ruangan kerjanya. Dia baru saja kembali bekerja di perusahaan ini kurang lebih seminggu yang lalu setelah Alberto memintanya bergabung. Selama ia bekerja di perusahaan ini, entah sudah berapa wanita datang ke ruangannya. Luke membelai pipi wanita itu lembut dan kemudian belaian itu berubah menjadi cengkraman. Seketika juga Luke menghentikan ciumannya, dan menatap mata wanita tersebut dengan jarak yang sangat dekat. “Berapa yang telah dibayar ibuku padamu, huh? Aku akan membayar dua kali lipat dan enyalah dari hadapanku untuk selama-lamanya!” desis Luke ketus. Wanita itu berbusana long dress hitam dengan belahan sampai ke paha. Dress itu memiliki bagian dada yang berbentuk V dan mengekspos keindahan yang tersembunyi di baliknya. Kulitnya yang putih begitu kontras dengan pakaiannya. Kesempurnaannya semakin kental dengan rambut pendeknya yang kecokelatan dan mata abu-abunya yang menyala. Ia lebih terlihat seperti bintang film
Seolah masalah tidak sampai di situ saja, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Dengan sigap Alvian mengangkat tubuh Flowie kedalam dekapannya dan membawa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Ketika di dalam mobil, Alvian melepaskan jasnya dan membungkus badan Flowie dari depan. Ia juga memegang dahi Flowie memastikan seberapa tinggi demam wanita itu. “Astaga! Badanmu panas sekali!’ batin Alvian. Ia segera menginjak pedal gas mobilnya melaju menuju apartemennya. Tangan kanannya menekan beberapa tombol yang ada di ponselnya. “dr. Kevin, bisakah kau datang ke apartemenku 10 menit dari sekarang?” tanya Alvian kepada seseorang di seberang. “.......” “Baiklah dok, terima kasih. Tidak, tidak. Bukan aku, tapi teman-” jelas Alvian sambil melihat Flowie di sebelahnya. “Teman wanitaku,” lanjutnya lagi. “…..” “Aku masih tidak yakin dok. Hanya saja dia pingsan dan badannya sangat panas,” ujar Alvian lagi. “…..” “Baiklah dok. Sampai jumpa di apartemenku,” kata Alvian kemudian memutus perca
“Flowie.” Luke terus saja mengulangi nama itu di kepalanya di sepanjang perjalanan pulangnya. Kenapa dia jadi teringat kepada wanita itu? Dia merasa marah jika mengingat bahwa Flowie pernah melemparnya dengan sepatu, tapi sekarang Alvian malah melindunginya. Memang tidak benar jika membiarkan seorang wanita pingsan di jalan, namun sampai membawa wanita itu ke apartemennya? Oh, Come on. Luke sangat mengenal sifat Alvian. Dia tidak pernah membawa sembarang wanita ke apartemennya, bahkan teman one night stand-nya. Selain Alice, Flowie adalah wanita pertama yang di bawa Alvian ke apartemennya. Luke curiga ada sesuatu di antara mereka dan ia yakin akan itu. Luke ingin mengetahuinya. === Flowie memakan roti lapis yang disediakan oleh Alvian dengan lahap. Ia memakannya dengan sangat cepat seolah-olah seseorang akan merebutnya, membuat Alvian yang sedang menuangkan susu hangat ke dalam gelas, melirik Flowie dengan tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa kau begitu lapar?” tanya
“Dari mana saja kau? Kenapa kau membuat mama khawatir?” tanya Anna ketika Flowie baru saja tiba di rumah. “Maafkan aku, ma. Semalam hujan sangat lebat. Jadi aku tidak bisa pulang, dan menginap di rumah Erica.” jelas Flowie berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan bahwa dia jatuh sakit, karena ibunya pasti akan langsung khawatir. Apalagi menceritakan dia menginap di sebuah apartemen mewah bersam bosnya, sudah bisa diyakini ibunya akan terkena serangan jantung setelahnya atau paling tidak dia akan diusir dari rumah. Oh tidak. Membayangkannya membuat Flowie bergidik ngeri. Ia ingin ibunya tenang-tenang saja tanpa beban pikiran apapun. Itulah sebabnya dia selalu marah terhadap adik-adiknya, jika mereka berulah dan menjadi beban pikiran ibu mereka. Anna menghela nafas mendengar jawaban Flowie. “Maafkan aku ma,” ucap Flowie sambil memelukan Anna. “Yasudah, mandilah! Ini hampir siang hari. Apa kau sudah makan?” tanya Anna. “Sudah,” Flowie sekali lagi berbohong. Dia juga baru ingat kalau
“Aku baru tahu kalau gadis sepertimu bisa melakukan pembelaan harga diri. Apa itu salah satu trikmu supaya tidak ketahuan?” tanya Luke santai sambil memasukan tangan ke saku celananya. “Apa maksudmu?” tanya Flowie kesal. Dia sama sekali tidak tahu apa yang sedang dibicarakan Luke. Luke tertawa kecil. Sama sekali tidak ada yang lucu, tapi entah mengapa ia merasa lucu melihat ekspresi wajah Flowie. Ekspresi yang menunjukan kalau dia memang sama sekali tidak mengerti maksud Luke. Luke menyadari bahwa sebenarnya Flowie memang tidak tahu apa-apa, namun egonya memaksanya tetap melanjutkan aksinya. Ia masih penasaran dengan respon selanjutnya yang akan diberikan Flowie. “Apa yang sedang kau lakukan disini?” tanya Luke. “Itu bukan urusanmu,” jawab Flowie kesal sambil berjalan melewati Luke. “Apa kau sudah ada janji dengan pria yang menginap di lantai dua? Menemaninya sepanjang malam, seperti yang kau lakukan dengan Alvian?” tanya Luke lagi yang sukses menghentikan langkah Flowie dan memb
“A-alvian? Tidak. Aku hanya sedang duduk-duduk saja. Kau di sini?” tanya Flowie ketika sadar dari ketegunannya. “Hm. Kebetulan aku lewat dan melihatmu duduk di sini.” Jawab Alvian seadanya sambil mengambil posisi duduk di sebelah Flowie. “Oh,” gumam Flowie singkat tampak bingung harus berkata apa. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Alvian lagi menolehkan padangannya kepada Flowie. “Sudah membaik,” jawab Flowie sambil tersenyum simpul. Alvian kembali menatap lurus ke depan dan tampak mengangguk. “Terima kasih Alv,” ujar Flowie yang membuat Alvian kembali menatap Flowie. Pandangan mereka bertemu cukup lama, sampai akhirnya Flowie membuang muka menatap lurus ke depan. “Terima kasih karena sudah menjadi penolongku berkali-kali,” lanjut Flowie lagi dengan tersenyum masih memandang lurus ke depan. Alvian kembali menatap lurus ke depan, dan dengan suara rendah ia berkata, “Tidak masalah. Aku akan selalu ada jika kau membutuhkanku,” Kata-kata yang membuat Flowie sedikit terkejut sekaligus
“Ini pesananmu,” kata Flowie sambil meletakan 2 buket bunga di atas meja. Luke memperhatikan bunga-bunga itu dan tersenyum puas. “Bisakah kau membantuku, nona Hillebrandt?” tanya Luke menatap Flowie. “Apa?” tanya Flowie bingung. Ia benar-benar jengah melihat Luke masih berada di sekitarnya. “Buket ini terlalu cantik. Aku takut akan menghancurkannya, jika membawanya sekaligus ke mobilku,” jelas Luke. “Jadi? Apa urusannya denganku?” tanya Flowie ketus. “Bisakah kau bantu membawakannya ke mobilku?” tanya Luke sedikit ragu kalau-kalau gadis di hadapannya ini akan mengamuk padanya. Flowie menatap tajam ke arah Luke. Sungguh rasanya ia ingin sekali mencampakan pria ini dengan buket bunganya ke mobil sialannya. “Please,” mohon Luke dengan wajah memelas. Tanpa sepata katapun, Flowie mengangkat salah satu buket bunga dan membawanya ke luar. Luke melakukan hal yang sama. Ia Mengikuti Flowie dari belakang. == “Letakan disini saja,” pinta Luke sambil membuka pintu penumpang mobilnya.