Bab 6
"Nasi uduknya satu ya, Mpok, minumnya teh manis hangat," ucapku pada Mpok Leni, penjual nasi uduk di pinggir jalan dekat komplek.
"Baik, Neng! Tunggu sebentar ya, Neng!"
Aku memilih untuk sarapan di warung tenda pinggir jalan yang tidak jauh dari gang rumahku. Sengaja aku memilih tempat ini karena Mas Bayu biasanya melewati jalan ini. Mumpung lagi libur kerja, hari aku akan membuntutinya untuk menjawab semua kecurigaanku.
"Ini pesanannya, Neng, silakan dinikmati." Pelayan warung tersebut meletakkan pesananku di atas meja. Satu piring nasi uduk yang yang dihiasi dengan irisan telur dadar yang diiris tipis-tipis, serta satu gelas teh manis yang masih mengepulkan asap telah terhidang di atas meja.
"Terimakasih, Mpok," ucapku pada penjual nasi uduk tersebut.
Aku mengambil sendok yang sudah tersedia di atas meja, lalu menikmati sarapanku setelah membaca doa terlebih dahulu.
Hari ini harus kuungkap semuanya. Semoga saja kecurigaanku tidak benar. Semoga kontak atas nama Andi hanya salah kirim pesan ke nomor Mas Bayu. Dan foto bayi itu? Ah, sudahlah, akan aku pikirkan nanti saja. Yang jelas aku harus menghabiskan sarapanku, karena butuh tenaga dan energi untuk mengungkap semua itu. Misi kali ini harus berhasil.
"Mpok, aku ada urusan sebentar, boleh nitip motor di sini nggak? Soalnya takut ada razia, aku tadi lupa bawa SIM," ucapku kepada Mpok Leni.
Aku sengaja beralasan seperti itu kepada Mpok Leni. Jika aku membuntuti Mas Bayu menggunakan motorku, pasti bakal ketahuan.
"Boleh, Neng. Asalkan jangan lama-lama. Biasanya jam dua belas Mpok sudah tutup, takut motornya hilang jika Mpok sudah tutup nantinya," jawabnya sambil membungkus nasi uduk pesanan para pelanggannya.
"Sebentar kok, Mpok. Nggak akan lama."
"Boleh, Neng. Tapi kunci stangnya terlebih dahulu, ya."
"Iya, Mpok. Makasih sebelumnya."
Aku mendorong motor matic samping warung Mpok Leni agar Mas Bayu tidak melihatnya. Tak lupa juga mengunci stangnya agar lebih aman. Hanya motor ini satu-satunya harta benda yang aku miliki. Motor pemberian bapak ini lah yang selalu setia menemaniku mulai dari masih gadis hingga sekarang. Selalu setia mengantarku ke mana-mana.
Ojek online yang aku pesan lewat aplikasi sudah tiba di lokasi. Ya, aku akan membuntuti Mas Bayu dengan mengendarai ojek online.
"Tunggu sebentar ya, Mas. Aku masih menunggu seseorang," ucapku kepada supir ojek online tersebut. Mobil Mas Bayu belum juga melewati jalan ini. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul delapan.
Supir ojek online itu hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Tak lama kemudian, mobil Mas Bayu sudah melintasi jalan ini, jalan yang memang setiap hari ia lalui.
"Ayo, Mas. Ikuti mobil itu."
"Baik, Neng!"
Supir ojek online tersebut melajukan motornya dengan kecepatan sedang, sesuai perintahku. Aku sengaja memintanya mengambil jarak yang cukup jauh agar Mas Bayu tidak mengetahui jika ada yang mengikutinya.
"Jangan sampai kehilangan jejaknya, Mas."
"Iya, tenang saja, Neng!"
Pikiranku mulai tidak tenang karena Mas Bayu sudah melewati toko materialnya. Berarti ia akan pergi ke suatu tempat.
Jantung ini berpacu lebih cepat. Ada rasa takut yang seketika menyelimuti diri ini. Takut jika kecurigaanku ternyata benar.
Cukup lama kami mengikutinya hingga akhirnya mobil yang dikendarai Mas Bayu berbelok memasuki kawasan perumahan elit.
Apa yang akan dilakukan Mas Bayu? Kenapa ia masuk ke dalam kawasan perumahan elit tersebut?
Berbagai pertanyaan menari-nari di dalam otakku.
"Neng, gimana? Kita ikutan masuk nggak ke dalam? Soalnya penjagaan di kawasan perumahan ini cukup ketat. Itu, ada satpam yang berjaga." Supir ojek itu mengarahkan jari telunjuknya ke arah pos satpam. Benar, ada satpam yang berjaga di situ.
"Masuk saja, Mas. Aku ingin tahu di mana mobil yang kita ikuti tadi akan berhenti."
"Baiklah, Neng. Biasanya satpam yang berjaga di pos tersebut akan bertanya kepada orang asing yang bukan penghuni perumahan ini."
"Gampang, biar aku yang jawab nanti."
Supir ojek tersebut melajukan motornya kembali, dan benar saja, satpam yang berjaga menanyakan tujuan kami terlebih dahulu.
Aku beralasan ingin menemui teman yang merupakan salah satu penghuni di perumahan tersebut. Syukurlah pak satpam tersebut percaya.
Ternyata kawasan perumahan ini luas juga. Puluhan unit rumah minimalis dengan cat yang sama, berjejer rapi. Pasti harga rumah di sini sangat mahal.
Ah, saking terpesonanya melihat rumah-rumah yang berjejer rapi di perumahan ini, membuatku lupa akan tujuanku semula.
"Neng, bukannya itu mobil yang kita ikuti tadi?"
Deg!
Jantungku rasanya mau copot melihat mobil Mas Bayu terparkir di depan sebuah rumah minimalis. Semua cat rumah di sini sama sehingga sulit untuk membedakannya.
Apa yang dilakukan Mas Bayu di rumah itu? Rumah siapa itu?
"Neng mau turun di sini atau masih lanjut? Jika iya, ongkosnya nambah lagi ya!"
"Iya, ntar ongkosnya aku tambahin." Aku langsung mengiyakannya karena sudah tidak fokus pada apa yang diucapkannya.
Aku masih memantau, menunggu Mas Bayu keluar dari rumah tersebut dengan perasaan harap-harap cemas. Takut jika yang aku khawatirkan benar-benar terjadi.
Lima menit kemudian, seorang lelaki yang sangat aku kenal keluar dari rumah tersebut bersama seorang wanita yang menggendong seorang bayi.
"Mas, tunggu di sini ya, jangan kemana-mana," pintaku kepada supir ojek tersebut.
Aku bersembunyi di balik mobil yang terparkir di hadapan kami sambil menyelidiki siapa wanita dan bayi yang sedang bersama Mas Bayu tersebut.
Aku mengintip dari balik mobil, dapat kulihat betapa mesranya Mas Bayu dengan wanita itu. Mereka berdua tertawa bersama. Mas Bayu mengelus kepala bayi yang sedang digendong wanita tersebut, ia mengecup kening bayi itu, kemudian beralih mengecup kening wanita itu. Mesra sekali!
Tak terasa cairan bening sudah mengalir begitu saja dari sudut netraku. Ada yang sakit di sini, di dalam hati ini. Mereka tertawa bahagia, sedangkan aku merasa sakit hati.
Ternyata kamu telah mengkhianatiku, Mas! Kamu jahat, Mas.
Mas Bayu mengunci pintu rumah tersebut, lalu mereka berjalan menuju mobil yang terparkir di depan rumah itu. Mas Bayu membukakan pintu mobil untuk wanita itu, mempersilahkan tuan putrinya untuk masuk ke dalam.
Hatiku terasa tercabik-cabik menyaksikan pemandangan menyakitkan tersebut. Sakit bukan main.
Tidak salah lagi, foto bayi itu yang aku lihat di galeri ponsel Mas Bayu.
Tanganku mengepal, emosi sudah naik sampai ke ubun-ubun.
Aku tidak tahan lagi menyaksikan pemandangan menyakitkan tersebut, sekarang lah saatnya, akan kulabrak mereka berdua.
Tapi tiba-tiba batinku berkata jangan 'jangan'.
'Jangan, Mona, kamu tidak boleh gegabah. Kamu harus menyusun rencana terlebih dahulu,' batinku berbisik.
Baiklah, sekarang bukan zamannya lagi balas dendam dengan cara yang bar-bar. Aku akan membalas mereka dengan cara yang elegan dan akan kupastikan bahwa mereka akan menyesal sampai ke sumsum tulang.
Setelah wanita itu duduk di jok depan, Mas Bayu mengitari mobilnya, lalu duduk di bangku kemudi. Sepersekian detik kemudian, mobil itu sudah melaju dengan kecepatan sedang.
Aku langsung berlari menghampiri supir ojek tadi, memintanya lagi untuk kembali mengikuti mobil Mas Bayu. Aku penasaran, mau pergi ke mana mereka.
"Neng, kalau boleh tahu, siapa sih yang ada di dalam mobil itu? Suaminya Neng ya?" tanya sopir ojol tersebut di tengah-tengah perjalanan kami.
Aku diam, sengaja tidak menjawabnya.
"Suaminya diambil pelakor ya, Neng?" tanyanya lagi.
"Nggak usah banyak tanya. Ikuti saja mobil itu, jangan sampai kehilangan jejaknya," jawabku cuek. Aku tidak ingin orang lain terlalu ikut campur dalam urusanku.
Mobil Mas Bayu berhenti di depan sebuah klinik. Ya, lebih tepatnya klinik khusus anak. Mas Bayu membukakan pintu, kemudian keluarlah wanita yang sedang menggendong bayi itu dari dalam mobilnya. Lalu mereka pun masuk ke dalam klinik tersebut.
Hatiku memanas. Rasa cemburu, marah, kesal dan juga kecewa berpadu menjadi satu.
"Tunggu di sini, Mas. Aku mau masuk ke dalam. Jangan kemana-mana."
"Baik, Neng!"
Bersambung ….
Bab 40Enambulan sudah aku menjadi istri dari Mas Galang. Aku sangat bahagia karena memiliki suami dan mertua yang baik. Mas Galang sangat perhatian, ia sangat sayang padaku. Begitu juga dengan mama mertua, beliau juga sangat baik.Saat ini, aku sedang mengandung, usia kehamilanku sudah memasuki lima bulan. Perutku pun sudah mulai terlihat buncit.Dari dulu aku selalu meminta kepada Allah agar menitipkan janin di dalam rahimku. Di pernikahan pertama tidak kudapatkan.Alhamdulillah di pernikahan kedua, Allah mengabulkan doaku. Aku tidak seperti yang dituduhkan mantan mertuaku. Buktinya, sekarang aku bisa hamil. Aku benar-benar bersyukur atas semua nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah.
Bab 39Mamanya Galang menepati janjinya. Beliau datang ke rumah bersama Mas Galang. Wajah Mas Galang terlihat bingung, mungkin ia bingung karena tidak dikasih tahu sebelumnya.Mamanya Mas Galang mengutarakan niatnya di depan keluargaku bahwa beliau ingin meminangku. Beliau juga kembali meminta maaf karena telah menghinaku waktu itu.Seketika wajah Mas Galang langsung berseri-seri saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh mamanya. Mungkin ia tidak menyangka jika mamanya telah merestui hubungan kami."Mama, Mama serius? Mana melamar Mona? Itu artinya Mama sudah merestui hubunganku dengan Mona?" tanya Mas Galang pada mamanya, seperti tidak percaya."Iya, Mama
Bab 38"Jadi sekarang kamu buka butik? Gimana, rame?" Matanya memindai sekitar, apa mungkin beliau mau merendahkanku lagi? Padahal aku sudah tidak berhubungan dengan anaknya."Alhamdulillah, Tante. Rame atau enggaknya tetap Mona syukuri. Yang paling penting, Mona bisa mandiri tanpa menyusahkan orang tua.""Bagus itu! Oh ya, Tante ada perlu denganmu. Bisa kita bicara berdua?"Ngajakin aku bicara? Ada apa ya?"Bisa, Tante. Kita bisa bicara di dalam, mumpung belum ada pelanggan. Mari!" Aku mengajak mamanya Mas Galang ke dalam."Bagaimana hubunganmu dengan Galang?" tanya beliau sesaat setelah kami duduk di kursi yang saling berhadapan.
Bab 37"Terimakasih sudah mengantarku. Mulai sekarang jangan pernah menghubungiku lagi. Lebih baik Mas langsung pulang saja, ya! Aku capek, mau istirahat," ucapku pada Mas Galang setelah kami tiba di Belanda rumah."Tunggu, Mona!" Mas Galang tampaknya masih tidak terima dengan keputusanku."Tolong jangan ganggu aku lagi, Mas. Permisi!"Aku segera masuk ke dalam dan meninggalkannya sendirian di luar. Aku yakin, benaknya sedang dipenuhi oleh berbagai pertanyaan saat ini."Loh, datang-datang kok' gak ngucapin salam? Galang mana? Sudah pulang? Kok' gak diajak masuk dulu?" Kak Mila langsung menyambutku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepala
Bab 36Hati ini bagai disayat-sayat mendengar ucapannya. Luka di hati yang masih dalam proses penyembuhan, kini menganga kembali.Serendah itukah diriku di matanya?"Aku sarankan lebih baik kamu menjauh dari kehidupan Galang karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah sudi menerimamu sebagai menantuku," ucapnya dengan santai tanpa memikirkan bagaimana perasaanku.Bulir bening yang sedari tadi ingin keluar, berusaha kutahan. Aku tidak mau terlihat lemah dihadapannya. Aku harus tenang menghadapinya.Hal yang aku takutkan benar-benar terjadi. Sebenarnya inilah alasan utama kenapa sampai detik ini aku belum juga menerima pinangan Mas Galang. Jika sudah tahu begini, maka aku akan lebih mudah untuk m
Bab 35 Ternyata apa yang dikatakan Kak Mila itu benar. Mas Galang beneran datang. Ia sengaja meminta izin kepada Bapak dan Kakak untuk mengajakku dan memperkenalkan aku pada orang tuanya. Mas Galang datang tanpa memberitahuku sebelumnya. Ia benar-benar membuat kejutan untukku. "Om, saya mau meminta doa restu pada Om. Saya mau melamar Mona untuk menjadi istri saya. Saya sudah lama mencintai Mona, Om. Saya janji akan membuatnya bahagia dan tidak akan pernah menyakitinya," ucap Mas Galang pada Bapak saat kami sedang mengobrol di ruang tamu. Bapak menatapku sekilas, lalu kembali menatap Mas Galang. "Kalau Om sih tergantung Mona saja. Jika Mona bersedia menerima lamaranmu, Om akan memberika