Share

Fake Marriage
Fake Marriage
Penulis: Cerita.Racan

Chapter 1

Cuaca terlihat begitu cerah di luar ruangan. Alunan syahdu dari angin yang bertiup, perlahan menerbangkan dedaunan yang berjatuhan di jalanan. Di kejauhan, sebuah mobil sedan biru melaju dengan kencang melintasi jalanan ibu kota Jakarta. Ini adalah kali pertama Angkasa menginjakkan kakinya di Indonesia lagi. Setelah sekian lama menetap di Inggris.

          “Sudah banyak yang berubah ternyata,” ucap Angkasa di dalam mobil.

          Perjalanan yang cukup jauh membuatnya sangat kelelahan. Angkasa mengambil headset yang ada di dalam tasnya. Lalu ia mendengarkan lagu kesukaannya  sambil menutup mata.

          “Tuan muda tampaknya kelelahan sekali,” ucap supir ketika melihat Angkasa yang tertidur di jok mobil bagian belakang.

          Kali ini jalanan cukup sepi kendaraan. Mungkin karena belum waktunya jam makan siang. Jadi belum banyak orang yang berkeliaran di jalanan. Sambil menikmati lagu Bon Jovi, Pak Ucok melaju dengan kecepatan tinggi. Melesat menuju kediaman Pak Bastian, Papa Angkasa.

          Dua puluh menit telah  berlalu, dan sekarang mobil yang ditumpangi oleh Angkasa telah tiba di depan rumah papanya. Pak Ucok membunyikan klakson mobilnya sehingga pagar dengan otomatis terbuka. Mobil sedan biru itu pun melaju masuk ke dalam kediaman pak Bastian dan berhenti tepat di depan pintu rumah.

          Pak Ucok mematikan mobilnya dan segera membangunkan Angkasa yang sedang tertidur pulas.

          “Tuan Muda, Tuan, kita sudah sampai nih. Yok bangun.”

          “Udah nyampe ya pak,” ucapnya sambil melihat sekeliling.

          “Iya den, udah sampai.”

          Dengan cepat Pak Ucok membuka pintu mobilnya kemudian keluar lalu membuka pintu mobil untuk Angkasa.

          Di depan pintu sudah ada Pak Bambang yang menyambut kedatangannya dengan sebuah senyum hangat. Salah seorang pegawal setia papanya sejak dirinya masih kecil. Bahkan sebelum dirinya dilahirkan, Pak Bambang sudah bekerja untuk keluarganya.

          “Selamat datang kembali di rumah ini Tuan Muda. Papa sama Mama tuan sudah menunggu dari tadi. Mereka lagi ada rapat di ruang kerjanya Pak Bastian. Tuan muda langsung mandi saja dulu baru istrahat. Soalnya sebentar malam akan ada acara penyambutan untuk Tuan Muda.”

          “Oma mana?”

          “Ada kok di dalam. Lagi di ruang kerjanya Pak Bastian juga. Kayaknya lagi ada hal penting yang sedang dibicarakan di sana.”

          “Oh ya sudah. Aku masuk dulu ya pak. Minta tolong Pak Ucup bawain koper saya ke kamar yah,” ucap Angkasa sambil melihat keberadaan Pak Ucup, supir yang mengantarnya tadi.

          “Iya den.”

          Angkasa berjalan masuk ke dalam rumah yang sudah lama iya tinggalkan itu. Di amatinya ornamen-ornamen yang ada di setiap sudut ruangan tersebut dengan sangat teliti tanpa terlewat satu detail pun.

“Aku pikir banyak yang berubah dari rumah ini, ternyata masih sama seperti 10 tahun yang lalu saat aku melangkah pergi dari sini,” ucapnya dalam hati.

          Dengan langkah yang lamban Angkasa berjalan menaiki anak tangga satu demi satu. Berjalan menuju ruang kerja papanya yang berada di lantai dua. Ketika tiba di depan ruang yang akan ditujunya, Angkasa berhenti sejenak. Dengan langkah pelan ia berjalan maju, memegang gagang pintu dan mendorongnya dengan pelan hingga pintu terbuka sedikit.

          Kedua matanya melihat sekeliling ruangan itu. Memastikan tidak mengganggu orang yang sedang berada di dalam. Pak Bambang sebenarnya sudah menyuruhnya untuk istrahat, namun karena rasa rindunya terhadap mamanya sehingga membuat Angkasa diam-diam mampir ke ruangan itu terlebih dahulu.

          Melihat pintu yang sedikit terbuka, membuat Jelita mengarahkan pandangannya ke arah pintu. Meskipun hanya sekilas namun ia mampu melihat keberadaan anaknya di balik pintu tersebut. Senyum bahagia pun terpancar di wajahnya.

          “Pa, Angkasa udah datang,” jelasnya dengan wajah berseri karena bahagia. “Sini sayang. Kok malah ngumpet gitu di belakang pintu. Nggak tahu apa kalau Mama udah kangen banget sama kamu,” lanjutnya lagi.

          Pintu terbuka lebar dan masuklah Angkasa ke ruangan itu. “Tadi kata Pak Bambang Papa lagi ada rapat kok yang ada malah kalian bertiga aja sih?” tanya Angkasa setelah melihat ruangan itu yang hanya di isi oleh Papa, Mama dan juga omanya saja.

          “Iya, tadinya Papa mau ada rapat cuman di cancel gitu sama kliennya jadi rapatnya dibatalkan, Sa. Ini Papa lagi cerita biasa aja kok sama Mama sama Oma kamu.”

          “Gimana perjalanannya?” tanya Oma

          “Yah capek dong tentunya. Oma sih nggak jemput Angkasa. Tadi juga jalanan macet banget. Parah sih Jakarta. Jadinya aku tiduran di mobil. Pas bangun eh tau-tau udah di depan rumah aja. Oma sehat?”

          “Seperti yang kamu lihat. Oma kan selalu baik-baik saja.”

          “Kamu udah makan?”

          “Belum sih, tapi  masih kenyang kok Ma.”

          “Ya udah kalu gitu kamu mandi aja gih. Biar segar. Terus istrahat. Pasti capek abis perjalanan jauh.”

          “Ya udah, kalau gitu aku ke kamar dulu yah.”

          “Iya. Hati-hati.”

          Angkasa pun berjalan keluar meninggalkan ruang kerja papanya.

          Setelah melihat punggung cucunya berjalan keluar meninggalkan ruangan itu, Oma mengambil gelas yang terletak di meja dan menenguk tehnya. Wajahnya berubah serius setelah meletakkan kembali gelas teh yang dipegangnya itu.

          “Sekaranglah saatnya, kita harus memikirkan masa depan perusahaan. Dengan merencanakan sebuah pernikahan untuk Angkasa tentu akan membuat citra perusahaan menjadi lebih baik lagi. Kita cukup menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Mengikuti tradisi keluarga kita seperti sebelum-sebelumnya,” ucap Oma

          “Bukankah itu masih terlalu dini Ma, kenapa kita tidak tunggu saja sampai Angkasa lulus sekolah. Lagi pula umurnya juga masih cukup dini untuk urusan pernikahan,” ucap Jelita menyanggah perkataan Oma.

          “Ini adalah salah satu tugas penting untuk penerus perusahaan. Dia harus memiliki keluarga kecil untuk mendapatkan respon positif dari masyarakat. Agar jiwa bertanggung jawabnya bisa dinilai dan itu bisa membantu kita memperbaiki pondasi perusahaan yang sedang melonjak turun seperti sekarang ini. Oma yakin dengan adanya pesta pernikahan Angkasa bisa membantu kita untuk menaikkan harga saham perusahaan kita lagi.”

          “Selain itu juga, sekali janji tetaplah sebuah janji. Sebelum ayahmu meninggal dia membuat sebuah janji dengan sahabat seperjuangannya dulu sewaktu masih muda. Waktu itu ketika awal-awal perusahaan ini berdiri. Keduanya saling membantu dalam melewati masa sulitnya masing-masing. Mereka tidak pernah saling mengacuhkan satu sama lain. Ayahmu berjanji untuk menikahkan anaknya nanti dengan anak dari temannya itu. Hanya saja ketika waktu itu ternyata anak dari teman ayahmu ternyata seorang laki-laki pula sehingga waktu itu Ayah tidak bisa menepatinya.”

          Oma menarik napas sejenak sembari mengingat amanah terakhir dari suaminya sebelum ia pamit pergi meninggalkannya ke surga. “Hingga pada detik-detik Ayah menghembuskan nafas terakhirnya pun ia terus saja mengingatkan Mama dengan janjinya itu. Beberapa tahun belakangan ini aku sudah coba untuk mencari tahu keberadaan anak dari teman ayahmu itu. Menurut orang suruhan Mama, katanya dia memiliki seorang cucu perempuan yang ternyata seumuran dengan Angkasa.

          “Dimana tempat tinggalnya Ma ?”

          “Kita harus menemukannya.”

          “Tapi apakah cocok Ma, untuk kemudian membiarkan Angkasa menikah dengan seorang gadis biasa? bahkan kita pun belum pernah melihat dan tidak mengenalnya dengan baik,” Jelita bertanya penasaran.

          “Yang namanya janji haruslah ditepati, itulah prinsip ayahmu sejak dulu. Tidak peduli kepada siapa kau berikan. Dahulu ketika ayahmu masih hidup ia selalu memperlihatkan bahwa orang biasa pun tetap bisa selalu bersama di dalam perusahaannya. Itu artinya kasta bukanlah suatu penghalang untuk kelangsungan perusahaan nantinya. Dan itu berlaku juga untuk penerus perusahaan kita. Termasuk Angkasa.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status