Aku Harus Menjawab Apa?
Baskara mengangkat kepalanya. Ia melihat Juna sudah berdiri tepat di seberang tempatnya duduk. Ia mengedarkan pandangannya, mencari sosok Lily.
"Lily masih di dapur memasak mie. Apakah kau juga lapar? Ayo, kita makan bersama," ajak Juna pada akhirnya. Ia dapat melihat dengan jelas kesedihan di wajah adiknya itu. Namun, ia tidak dapat berbuat banyak. Ia pantang membatalkan keputusan yang sudah ia ambil meski itu akan menyakitkan beberapa pihak. Tapi, setidaknya itu adalah hal terbaik yang harus ia ambil untuk saat ini.
"Tidak usah. Aku hanya mampir untuk mengambil jaket dan sweater kakek yang ketinggalan." Baskara menolak ajakan Juna, meski sebenarnya perutnya sudah mulai keroncongan, akibat aroma menggoda bumbu mie goreng yang mengganggu indera penciumannya sejak tadi.
"Menolak rezeki itu tidak baik. Perutmu sudah bernyanyi s
Apakah Itu Karena Aku? Juna terdiam. Batinnya justru berperang sendiri. Bagaimana ia bisa menjawab semua pertanyaan Lily sedangkan dirinya sendiri tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. "Aku sendiri tidak tahu. Kau bertanya pada orang yang salah. Sudahlah. Ayo kita tidur. Bisa-bisa besok kesiangan," ucap Juna lalu menjatuhkan dirinya di atas sofa. Mencoba memejamkan matanya. Ucapan Lily terus terngiang di telinganya. Lily mengikuti ucapan Juna. Ia merebahkan dirinya di atas kasur. Saat ini, benaknya justru muncul bayangan Baskara. Wajah pria itu tampak begitu sedih. Kecemburuan terpampang jelas di wajahnya. Ah. Kenapa dirinya harus bertemu kakak beradik yang begitu meresahkan jiwa dan raganya seperti ini, sungutnya dalam hati. Andai Juna orang lain, bukan kakak dari Baskara, mungkin tidak akan sesulit ini keadaannya. Lily bergulung-gulung d
Karma Baskara "Kau ini bicara apa? Apa urusannya denganmu? Bukan kau yang menabraknya kan? Mengapa kau yang jadi repot?" Juna mendadak kesal. Kesal dengan semua tingkah adiknya itu. "Apa dia pacar barumu?" "Tsk. Aku tidak ada waktu untuk bercanda? Apa di sana ada korban kecelakaan?" Baskara mengajukan pertanyaan yang sama. "Mana aku tahu! Aku sendiri baru saja datang," sungut Juna. Ingin sekali dirinya menarik rambut yang adik lalu mengikatnya ke tiang jemuran. Berkali-kali adiknya itu bertingkah macam-macam, membuat repot dirinya di akhir cerita. "Coba kakak tanyakan resepsionis rumah sakit?" pinta Baskara, setengah memaksa. "Kau tanyakan saja sendiri sana! Aku tidak mau buang-buang tenagaku!" Juna langsung menekan tombol merah ponselnya, mengakhiri percakapannya dengan Baskara. Pria ini kemudian kembali menghampiri Lily yang tengah mena
Pertemuan yang tidak diharapkan Baskara masih tetap membisu. Tangannya ia genggam sekuat tenaga. Ingin rasanya ia membagi pikiran yang sedang mengganggunya pada kakak satu-satunya itu, namun bayangan Juna yang akan merasa menang menari-nari di benaknya. Bisa saja Juna justru mendukung ide konyol orang tua korban. Jika Baskara menyetujui permintaan orang tua korban untuk menggantikan calon suami korban yang meninggal di tempat kejadian saat kecelakaan naas itu terjadi, pastilah Juna akan merasa menang dan mungkin saja membatalkan rencana perceraiannya dengan Lily. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Tidak! Ia tidak akan menceritakan hal itu. Ia lebih baik mengubur dalam-dalam ide gila orang tua yang sama sekali tidak dikenalnya. Baskara mengacak-acak rambutnya, memancing tatapan curiga Juna. "Apa ada hal yang mengganggumu?" Juna mencoba menerka permasalahan yang sedang menimpa adikny
Pingsan "Untuk apa, Bu?" Baskara berpura-pura tidak tahu maksud ibu itu. "Menyampaikan maksud saya agar mas bersedia menjadi pengganti calon menantu saya yang meninggal dunia karena kecelakaan kemarin," jawab sang ibu dengan sangat yakin. "Maaf, Bu. Saya tidak pernah mengatakan setuju untuk permintaan Ibu kemarin. Saya juga tidak memiliki kewajiban untuk menyetujui permintaan Ibu. Mohon maaf sekali lagi. Saya tidak bisa mengabulkan permintaan Ibu." "Mengapa tidak bisa?" Ibu itu masih bersikeras ingin permintaannya diterima Baskara. Wanita itu benar-benar ingin menjadikan Baskara sebagai pengganti calon menantunya yang sudah meninggal kemarin. Sudut mata Baskara menangkap kehadiran Lily yang berjalan melambat ke arahnya. "Karena, saya sudah memiliki tunangan, yang akan segera saya nikahi," jawab Baskara mantab. "Dia ada di sini sekarang." Wanita itu bergeming. Pandangannya ia edarkan ke semua arah, berusaha mencari sosok gadis yang ada di sekitar tempat mereka berada saat ini. Ke
Lily mana?"Lily!!!" Seru Juna panik seraya dengan cepat menarik tangan Lily hingga tubuh Lily jatuh ke dalam pelukannya. Ponsel Juna yang belum dimatikan, membuat Baskara dapat mendengar seruan panik Juna.Baskara mematikan telponnya dan bergegas menyusul kakaknya yang saat ini sedang berada di lobi rumah sakit. Pegawai unit gawat darurat dengan sigap menyiapkan brankar untuk Lily. Begitu brankar itu tiba, Juna dengan segera meletakkan tubuh Llily yang sudah begitu lemah dan pucat.Petugas UGD akhirnya membiarkan Juna tetap di dalam ruangan UGD, setelah gagal meminta Juna untuk menunggu di luar, karena langsung ditolak Juna."Saya suaminya, dan saya berhak melihat dan menyaksikan pemeriksaan istri saya." Juna menolak permintaan sang petugas. Ia masih bersikukuh untuk menemani Lily. Ia tidak ingin melewatkan sedikitpun kesempatan untuk menemani Lily.
Obat Juna berpikir keras. Bagaimana mengatakan pada sang kakek jika Lily sebenarnya sudah ada di sini tanpa menceritakan keadaan Lily saat ini? Ia berjalan pelan tak tentu arah. Kepalanya tak berhenti berpikir, hingga langkah kakinya tiba kembali di depan ruang UGD. Saat tangannya hendak mendorong masuk pintu kaca yang berukuran besar itu, tiba-tiba pundaknya ditepuk seseorang. Sialan! Juna tersentak kaget, memaki seraya menengok ke belakang. Dilihatnya seorang pria tambun yang menggunakan seragam khas ruangan UGD, berdiri dengan ramah di belakangnya. "Cari siapa, Pak?" Pria itu menatap Juna setengah keheranan. "Istri saya. Tadi istri saya tiba-tiba pingsan dan dirawat di sini." Juna kembali mengayunkan langkah dan mengangkat tanganya hendak mendorong pintu besar itu. Kening pria itu berkenyit. "Tidak ada pasien di ruang UGD, Pak. P
Jangan Kau Terima!Lily menatap wajah Juna dengan seribu satu tanda tanya. Mengapa harus itu yang menjadi obat bagi kakek tua itu? Mengapa? Apakah sang kakek tidak merestui rencana mereka untuk bercerai tahun depan? Apakah artinya sang kakek lebih memilih Juna sebagai suami sah Lily?Juna memapah tubuh Lily dan mendudukkan tubuh ramping itu ke kursi tepat di sebelah pembaringan sang kakek. "Tenanglah. Kita akan mengurus hal ini secepatnya. Sekarang tugas kita menjadi pendengar yang baik bagi kakek. Yang penting kakek senang hari ini, jadi bisa segera pindah ke kamar rawat inap." Juna berusaha meyakinkan Lily bahwa ia akan mengurus permintaan sang kakek secepatnya.Lily yang masih terkejut tidak merespon pernyataan Juna. Ia justru sibuk dengan perasaannya sendiri. Benarkan tebakanku. Permintaan aneh inilah yang ia takutkan dan akhirnya terjadi, dan dirinya sama sekali tidak memiliki persiapa
Takdir "Apa maksudmu?" Pikiran Baskara seketika teringat pada bungkusan yang hendak diberikan Juna padanya. Apa bungkusan itu yang dimaksud gadis ini, pikirnya dalam hati. "Apakah kau belum pernah bertemu sekali pun dengan orang tua ku?" Gadis itu memandang Baskara dengan ragu. Mamanya mengatakan jika sudah bertemu dengan penyelamatnya, tapi mengapa sang penyelamat justru mengatakan hal sebaliknya. Baskara terdiam. Ingin dirinya mengatakan yang sebenarnya namun hatinya menolak dengan keras. Perasaannya tidak enak. Apa pun yang akan ke luar dari bibirnya, seperti akan membawa kesialan dalam hidupnya. "Mengapa dirimu sangat ingin tahu hal itu?" Giliran gadis itu yang terdiam dan kembali melemparkan tatapannya ke arah dua kupu-kupu yang sedang asyik terbang di sekitaran bunga-bunga yang ada di taman itu. "Aku hanya ingin memastikan jika orang tuaku tidak melakukan hal-hal yang akan membuat malu diriku." Baskara berdeham. "Aku menolak permintaan kedua orang tuamu." Gadis yang dudu