Weekend sesuai permintaan Dasta, hari ini ia dan Shaka berencana untuk pergi berbelanja di mall. Baik Dasta dan Shaka tengah bersiap-siap, dari mulai mandi bersama yang tentunya dengan sedikit adegan panas yang mereka lakukan di dalam kamar mandi. Kemudian memakai pakaian bersama dengan cepat.
"Sudah siap?" tanya Shaka menatap sang istri.
Dasta mengangguk. "Sudah, ayo!" ajak Dasta mengambil Clutch bag-nya yang tergeletak di ranjang.
Shaka hanya diam tak bergerak menatap istrinya dengan tatapan meradang.
"Ada apa?" tanya Dasta bingung dengan ekspresi wajah suaminya.
"Hhh, kalau saja tidak memikirkan perasaanmu, aku sungguh tak ingin pergi Dasta." jawab Shaka frustasi.
Dasta terkikik geli mendengarnya. "Jadi, abang tak ikhlas menuruti keinginanku?"
"Bukan tidak ikhlas, di hari libur bekerja gini, aku malah ingin di rumah saja. Mendekam di dalam kamar sepan
Aku berdeham sebentar sebelum menjalankan aksiku sesuai rencana yang sudah di katakan Rasty lewat sambungan telepon tadi. Ku lirik Dasta yang masih asyik dengan kegiatannya, bahkan sekarang istri kecilku kini membaringkan badannya memunggungi diriku, dan asyik dengan ponsel beserta headset yang masih setia bertengger di kedua telinganya.Rasty bilang, jika istri yang tengah ngambek merajuk itu harus dilawan dengan sikap yang gentleman dan romantis.Hmm, aku berpikir keras, romantis dan gentleman ya?Perlahan aku melangkahkan kakiku dan naik ke atas ranjang, membaringkan tubuhku disisi Dasta yang masih memunggungiku. Ku beranikan diri dengan mengulurkan tanganku memeluknya dari samping, melingkari pinggang ramping dan perut ratanya.Hhh, rasanya sangat nyaman sekali. Tubuh Dasta sangat mungil, ia sangat kecil sekali jika kami berdua begini. Aku terlihat seperti raksasa yang tengah mendekap anak kecil
Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang yang terisak menangis, aku menggeliatkan badanku seraya membuka kedua mataku perlahan. Rasa kantuk menghantam kepalaku ketika aku berusaha bangkit dari rebahanku dan duduk di ranjang. Beginilah efek yang ku rasakan ketika tidur siang.Ku edarkan pandanganku ke seluruh arah kamar ini, dan tepat di depan jendela sana aku melihat bang Shaka yang tengah berdiri menghadap ke arah luar jendela.Suara isakan itu semakin terdengar dari arah tempat bang Shaka berdiri sekarang. Apakah ia menangis?Aku ingin mengabaikan dirinya karena aku teringat jika aku sedang merajuk padanya. Tapi, niat mengabaikan itu ku urungkan seiring dengan suara isakannya yang semakin menjadi. Bahkan kini bang Shaka menyebut-nyebut namaku dengan suara yang lirih.Turun dari ranjang aku mengayunkan langkah kakiku menuju ke arahnya, setelah tepat berada di belakang punggungnya, ku peluk tubuhnya dari bela
Samar-samar aku mencium aroma minyak angin yang melekat di sekitar hidungku. Wanginya sangat enak, dengan sangat perlahan ku buka kelopak mataku. Tersentak kaget saat aku membuka mata dan langsung melihat ketiga wajah orang tersayang yang menatapku penuh kecemasan."Syukurlah akhirnya kamu sudah sadar dari pingsanmu, nak." lega ibu dan ayahku secara bersamaan mengelus dadanya.Bang Shaka sendiri mengulum senyum manisnya, wajah panik penuh khawatir ketiganya pun perlahan berangsur hilang dan berganti dengan perasaan lega."Aku pingsan?" tanyaku tak percaya menunjuk diriku sendiri.Ayah, ibu, dan bang Shaka menganggukkan kepalanya. Aku mengernyit heran kenapa bisa aku sampai pingsan.Terakhir kali aku ingat ketika aku dan bang Shaka tengah berbicara, bang Shaka mengatakan jika ia mencintaiku."Cinta," gumamku tanpa sadar."Apa?" kaget ibu dan ayahku secara bersa
Aku dan bang Shaka tak bisa berhenti tertawa karena membahas pria yang bernama Dava itu. Pria yang menurutku memiliki penuh selera humor yang luar biasa. Saking luar biasanya bahkan sampai ambyar, hahaha.Perutku rasanya sakit karena terlalu banyak ketawa. Hhh, pasti banyak juga reader's setia yang ketawa ngakak dengan segala tingkah pola pria yang bernama Dava itu."Haduh, sudah bang jangan bahas bang Dava terus. Perutku sampai sakit karena terlalu banyak ketawa." kataku agar bang Shaka berhenti menceritakan Dava."Iya, lagian juga tak banyak yang ku ketahui tentang dia. Hanya saja Airaa pernah bercerita sedikit mengenai Dava." sahut bang Shaka setelah tawanya reda."Mbak Airaa pasti ketawa mulu ya bang.""Tidak juga, dia bilang malah banyak kesalnya ngelihat tingkah si Dava yang terkadang sangat menyebalkan.""Oh ya? Masa sih bang Dava nyebelin? Kok aku kurang yakin ya
"Ayo, sekarang waktunya giliran abang yang harus bercerita secara jujur." ucap Dasta mengingatkanku.Aduh, mampus aku! batinku menjerit.Tersenyum kikuk ke arah Dasta yang menatapku dengan senyuman manis. Huffftt, aku pun jadi tak tega melihatnya. Ia sudah bercerita jujur padaku mengenai Gee, sedangkan aku masih ragu antara ingin mengatakan yang sebenarnya.Aku takut Dasta syok ketika mendengar ucapan jujurku, termasuk mengenai Mei yang ikut masuk di dalamnya."Dasta,""Iya bang?""Aku harap kamu tidak terkejut dan marah padaku saat aku bercerita nanti." ucapku mengisyaratkan padanya untuk tak marah."Ya, tergantung dengan cerita abang nanti. Bakalan bikin aku marah atau tidak.""Nah, kan." rungutku dengan muka memberengut kesal."Haha, jangan pikirkan marahku bang, ayo cerita saja dulu."
Jujur, sebenarnya aku masih syok dan tak menyangka dengan apa yang aku dengar langsung dari mulut bang Shaka. Kalau di pikir-pikir lagi memang terasa janggal mengingat awal mula pertemuan dan perkenalanku dengan Gee yang secara mendadak.Di tambah lagi Gee yang langsung mengajukan sebuah hubungan pertemanan padaku. Memberi kartu namanya untukku, Gee juga sudah memprediksi jika kami akan bertemu lagi.Berlanjut dengan kebaikannya yang mau dan repot-repot memberikanku sebuah hadiah berupa ponsel keluaran terbaru jika tidak ada maksud tertentu. Entahlah, apa hanya perasaanku saja atau gimana?Memang kita tidak boleh juga langsung menuduh atau berburuk sangka pada seseorang, bisa saja mungkin Gee memang berniat baik memberiku sebuah ponsel.Tapi, obat itu....Aku teringat kembali pada kotak obat yang tadi di banting kuat bang Shaka sehingga berserakan di lantai. Sebelum bangkit berdiri ke arah dim
Sesuai keinginanku, siang hari saat di jam istirahat kerja bang Shaka. Kami langsung pergi menemui psikiater yang waktu lalu bang Shaka temui untuk pertama kalinya. Kami berdua saling menjabat tangan psikiater itu yang baru ku ketahui namanya Selva, dengan sopan aku memanggilnya dengan sebutan bu.Bu Selva mengingat bang Shaka dari wajahnya yang tak asing, bang Shaka mengangguk membenarkannya dan langsung mengutarakan maksud dan kedatangannya disini bersamakuBang Shaka mengeluarkan dua butir obat pemberian Gee yang kemarin berhamburan ke lantai akibat bantingan kuatnya. Sengaja kami membawa obat itu sebagai sample untuk di periksa bu Selva.Aku bertanya mengenai obat apa itu dan apa efeknya, baik atau buruknya? Walau aku sangat yakin jika tak ada kandungan yang baik pada obat itu.Dan segala dugaanku dibenarkan oleh bu Selva yang langsung tahu obat itu, dari situlah aku dan bang Shaka mendengarkan dengan seri
Aku memacu kecepatan mobilku seperti kesetanan, rasanya sudah tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuan yang di usulkan Dasta. Istriku tadi menolak untuk melakukan itu di hotel, lalu dengan sangat menggodanya membisikan sesuatu yang membuatku langsung setuju. Tanpa pikir panjang lagi langsung saja aku bergegas pergi menuju tempat yang akan membawa kami berdua melayang.Sangking senang dan tak sabarannya pun aku melupakan segala kesedihanku, Dasta mengerti dan mampu membuatku kembali ceria. Terlebih lagi Dasta mampu membangkitkan gairahku yang sangat tinggi, hanya butuh sedikit sentilan maka aku pun langsung terpancing dan menginginkannya. Menginginkan dirinya berada di dalam diriku dalam penyatuan yang indah.Katakanlah mulutku jorok, kotor penuh perkataan mesum dan vulgar. Haha, percayalah betapa indahnya menikah itu. Sehingga membuatku selalu kehilangan kendali diri, dan menjadi semakin tidak waras akibat pusaran cinta untuk Dasta.