Share

Rahasia Shena

To Nala:

Nala, punya nomer Shena nggak?

From Nala:

Punya

Sent contact Akashena

Cie Naura udah mau chatingan aja sama Shena

To Nala:

Dih apaan sih Nala, nakal deh.

Cuma mau jadwal belajar kok, dua hari ini dia nggak dateng terus di kelas tambahan.

From Nala:

Iya deh, semangat belajar ya

To Nala:

Iya.

Laura menatap ponselnya dengan senyum, lalu jemarinya bergerak menyimpan nomer Shena dan menuliskan sebuah pesan.

To Shena:

Hi, gue Naura. Partner lo untuk olimpiade

Jadwal belajar gue sampein di sini aja yah. Gue free sabtu sama minggu dari siang, terserah lo sih tinggal pilih mau hari apa kita belajarnya. Dan tempatnya gue ngikut aja sih di mana aja nggak masalah. Sorry kalo gue ganggu.

“Bodo amat, males banget nyamperin dia ke kelas. Lagi tuh bocah gak ada pikiran apa yak, nih olimpiade bentar lagi masih aja keluyuran,” gerutunya kesal, Shena bersikap seenak jidatnya banget. Dia benar-benar tidak membantu Laura sama sekali bahkan yang lain sudah akrab dan kompak sedangkan Laura sudah dua hari ini dia bekerja sendirian untuk menyelesaikan soal-soal yang memusingkan kepalanya.

Setelah mengirimkan pesan itu, Laura meletakkan ponselnya. Bersiap untuk tidur gadis itu mematikan lampu lalu mulai memejamkan matanya.

***

Laura merenggangkan kepalanya ke kiri dan kanan, merilekskan otot lehernya yang tegang karena terlalu banyak menunduk pada buku tadi. Sekarang gadis itu telah siap bekerja di restaurant cepat saji dekat sekolahnya, Luara bisa bernafas lega karena hari ini pelanggan sedikit sepi jadi dia bisa mencuri waktu untuk beristirahat sejenak.

“Ra, buang sampah di belakang dong. Gue kebelet nih pengen boker,” rengek Nuri—rekan kerja senior Laura.

“Ah elah kak Nuri alasan itu mulu. Bilang aja males,” gerutu Laura, selepas kepergian Nuri gadis itu langsung berjalan dengan kedua tangan memegang kantung sampah penuh, sedikit kesusahan karena memang sudah dua hari sampah tidak di buang, dasar Nuri pemalas.

Selesai meletakkan kantung sampah di belakang, Laura yang berniat masuk ke dalam terhenti karena suara bising. Tak menjadikan kejadian pagi tadi sebagai pembelajaran gadis itu mengulang kembali kesalahannya. Laura mendekati sumber suara karena rasa kepo luar biasa yang dimilikinya.

“Shen, ayolah jangan kayak gini. Aku ngerasa serba salah jadinya, kamu ngertiin posisi aku dong.” Ayana mencoba menautkan jemari mereka berdua, tapi Shena menghindar. Gadis hitam manis itu mengerut menunjukkan wajah sedihnya.

“Aku belum bisa lepas dari Ali, dia terlalu obsesif kalo aku putus sama dia sekarang mungkin dia bakal cari masalah sama kamu. Kamu tahukan dia gimana, aku nggak mau kami kena masalah sama dia. Aku sayang kamu Shena.”

Lelehan bening mengalir tanpa bisa Ayana tahan. Melihat gadis yang dia cintai menangis merupakan suatu kelemahan bagi Shena, lelaki remaja itu segera menggiring tubuh semampai Ayana dalam dekapannya sembari mengelus sayang puncak kepala gadis manis itu.

“Jangan nangis, gue paling benci air mata lo,” bisiknya menenangkan Ayana semakin memperdalam pelukan mereka berdua.

“Jangan marah lagi, cuma kamu kok yang aku sayang dan di hati aku. Aku janji dalam waktu dekat sebisa mungkin putus tanpa buat masalah, sampe waktu itu tiba kamu tetap tunggu aku.” Ayana melepaskan pelukannya, lalu mengcup bibir Shena singkat dan kembali menghambur pada pelukan ternyaman baginya, rumah Ayana hanyalah Akashena tempatnya kembali di kala lelah dan tempatnya bersadar di kala rapuh.

Laura menutup mulutnya tak percaya. Kegilaan apa yang sedang dia saksikan di sana, gadis itu berlari meninggalkan tempat Shena dan Ayana dan sesegera mungkin masuk ke dalam restaurant.

“Anjir, sial mulu. Kenapa gue tahu sesuatu yang harusnya gue nggak tahu sih. Ya tuhan, dosa apa hamba.”

 “Oi Ra, siapin cheeseburger XL, cola sama king pie masing-masing dua. Tuh ada pelanggan di depan, lo anterin sendiri yah.” Selesai mengatakan itu, Nuri melenggang pergi tak perduli Laura yang memanggil-manggil namanya karena keberatan. Mau tidak mau Laura menuruti permintaan seniornya.

“Huft, lo selalu seenak jidat burung Nuri sialan. Sabar Laura lo nggak boleh marah selama pake nama Naura lo harus jadi gadis baik,” umpat Laura dengan suara pelan.

***

Di sela jam istirahatnya, Laura menyempatkan menelpon Andin—bundanya, berkali-kali dia memencet tombol call tetapi berakhir sia-sia ibunya tidak  mengangkat telepon itu. Baik Andin maupun Banuska jarang sekali menelpon Laura bahkan tidak pernah menanyakan kabar Laura sekalipun jika bukan Laura yang menceritakan semua aktivitasnya di sekolah kepada kedua orang tuanya.

“Huft, mungkin bunda lagi sibuk,” gumamnya sedih. Gadis itu langsung mencari kontak bernama kak Gino—kakak laki-lakinya yang tinggal di luar negeri, dia melirik jam tangan melingkar di tangannya. Pukul 5 sore, setidaknya waktu di sana belum terlalu larut untuk kakaknya tidur lebih dulu.

Di dering ketiga telpon diangkat. Laura mengukir senyum kecil tak urung matanya mulai berair. Betapa rindunya dia pada orang-orang terdekatnya.

“Kenapa dek?”

“Halo kak,” sapa Laura senang, ketika mendengar suara kakaknya yang sudah sangat dia rindukan.

“Iya kenapa Laura?” tanya Gino sekali lagi.

“Kapan pulang?” Suara Laura bergetar, menahan isak tangisnya agar tidak terlepas.

“Are you oke? Ada masalah?” Suara lembut Gino menembus pertahanan Laura, gadis itu mengeleng serambi air matanya jatuh meluncur begitu saja. Isakan tangisnya terdengar kencang, padahal dia masih berada di tempat kerja.

“Lo kenapa?”

“Pulang kak, Laura sendirian di rumah. Bahkan bik Ijah udah resign Laura kesepian, kakak dulu janjikan nggak bakal ninggalin Laura kan, kenapa kakak nggak nepatin janji itu” Isakannya semakin menjadi, Gino terdiam beberapa detik.

“Ra, gue bukan mau ninggalin lo. Tapi gue punya tanggung jawab di sini, nggak semudah itu ninggalin kerjaan.”

“Dan begitu mudah ninggalin gue hidup sendiri di sini, lo sama aja kayak ayah bunda. Kalian buang gue, biarin gue idup di sini tanpa ada yang merhatiin gue.” Lirihnya pelan.

“Laura bukan begitu, lo paham kan posisi keluarga kita. Gue minta lo ngerti Ra, bukan kemauan kita juga Naura koma selama ini. Naura lebih butuh bokap nyokap Ra, harusnya lo yang paling tahu itu,” kata Gino.

Hening untuk sejenak. Laura menghapus air matanya kasar, lalu menghela nafas panjang.

“Maaf kayaknya gue cuma ganggu lo harusnya gue tahu diri, gue telpon lagi nanti kak. Jangan capek-capek kerja di sana,” Setelah mengatakan itu Laura mematikan ponselnya, dia tahu jika Gino akan berusaha menghubunginya lagi. Gadis itu memperbaiki tampilannya dan segera membereskan barang-barangnya untuk segera pulang.

“Gue duluan kak Nuri,” pamitnya ketika berpapasan dengan seniornya itu. Nuri melambaikan tangan sebagai jawaban, gadis itu berjalan menunggu angkutan umum di pinggir jalan.

“Naura,” panggil seseorang membuat Laura mendongak ke samping. Abi berlari cepat mendekat.

“Gue khawatir banget lo udah pulang duluan, hp lo mati nggak bisa dihubungi. Gue anter ya tunggu di sini.” Tanpa menunggu jawaban dari Laura, Abi berlari kembali ke arah motornya yang terparkir kemudian mengantarkan Laura pulang dengan selamat.

“Selamat ya, semangat belajar olimpiadenya. Ini siapa tahu bisa jadi penghilang stress kalo lo pusing belajar.” Abi mengeluarkan bingkisan kotak berukuran sedang dari dalam tasnya, menyerahkannya pada Laura.

“Gue akan doain lo terus, biar menang juara 1. Kalau butuh bantuan jangan sungkan hubungi gue ya Ra.” Abi mengacak pelan rambut hitam Laura gemas, gadis itu tersipu malu. Ini adalah hadiah pertama yang Abi berikan beruba bentuk barang padanya. Laura jadi tidak sabar membuka kotak itu untuk melihat isinya.

Padahal dia tadi sedih, kehadiran Abi cukup menjadi obat penyembuh kesedihan Laura. Dan gadis itu semakin berharap Abi segera memperjelas kedetakan mereka dengan status.

Tetapi dalam hati kecilnya terdapat satu keraguan, apakah Abi bisa tetap menyukai sosok Laura tanpa menggunakan identitas Naura? Apakah Abi masih mau jika dia mengetahui sosok Laura yang sebenarnya.

“Makasih Bi, kamu hati-hati pulangnya.” Setelah berpamitan Abi melajukan motornya, dan Laura memasuki rumahnya. Gadis itu menatap rumahnya dengan nanar, rasa sepi setiap dia pulang kerumah tanpa siapapun selalu membuat Laura hatinya sesak dan sakit. Entah sudah berapa lama keluarganya meninggalkannya sendirian di sini? Laura saja sudah tidak ingat kapan itu pertama kali terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status