Home / Romansa / Fall For Her / Bab 6. Terjebak di Dalam Lift

Share

Bab 6. Terjebak di Dalam Lift

Author: Sastra Stone
last update Last Updated: 2022-03-04 20:31:04

Lift berhenti di lantai enam. Semua yang berada di dalam ruang kecil itu keluar bersama dengan Adam. Hanya Adam yang melangkah sendiri, sementara yang lain ada yang berpasangan atau bersama teman, mungkin juga bersama keluarga. 

Sebelum masuk pintu kaca, pengunjung akan disambut beberapa poster film yang tengah tayang. Dua di antaranya adalah film Hollywood, "Mission: Impossible 5" dan "Star Wars: The Force Awakens". Lalu dua lainnya film asal Indonesia, "Retroaktif: Single Part 1" dan "Bulan Terbelah di Langit Amerika."

Namun, Adam memilih film dengan poster yang memakai wajah komika Raditya Dika sebagai fokus utama. Pria itu sedang tak ingin berpikir terlalu berat. Dia ingin tertawa dan terbawa oleh kekonyolan pemain karena alur ceritanya. Itulah yang Adam harapkan.

Tangan Adam bebas. Tak seperti tangan pengunjung lain yang disibukkan oleh layar ponsel mereka. Adam meninggalkan ponselnya di kantor. Saat ini dia merasa seperti terpisah dari kebisingan pekerjaan dan dia menyukuri itu. Mungkin Hassan yang akan kerepotan bila tiba-tiba membutuhkan dirinya. Mengingat hal itu membuat pria dengan tinggi 175 sentimeter itu tersenyum.

Setelah satu orang di depannya, akan tiba giliran Adam untuk memesan tiket.

"Selamat malam, ingin menonton apa?" tanya perempuan berseragam hitam dengan ramah.

"Single. Satu tiket." 

Jawaban Adam membuat perempuan itu urung melanjutkan proses pemesanan dan malah memiringkan wajah karena tak percaya. Petugas tiket itu tercengang dengan mulut sedikit ternganga. Dia tak menyangka bahwa pria di depannya hanya menonton sendiri. Padahal menurutnya, dia pria yang tampan dan seharusnya datang bersama pacar atau istri untuk menemani. 

"Yakin cuma satu?" goda petugas itu diiringi senyuman.

"Biar sesuai sama judulnya," timpal Adam disusul dengan sebuah cengiran.

Petugas tiket terkekeh mendengar jawaban Adam. "Mas-nya lucu juga," seloroh perempuan itu. "Silakan pilih seat yang mana?" Perempuan itu menunjukkan denah tempat duduk yang masih bisa dipesan.

"D7," pilih Adam.

"Baik. Satu tiket, Single, teater dua. Silakan," ujar perempuan itu seraya menyerahkan satu tiket masuk kepada Adam.

"Terima kasih," balas Adam.

Saat meninggalkan loket pemesanan tiket, mata Adam menangkap wajah yang tadi dijumpai saat di lantai dasar. perempuan yang tak sengaja menabrak lengannya. 'Mungkin dia juga berencana nonton,' batin Adam.

Jam tayang film yang akan Adam tonton sudah dekat. Pria itu memilih duduk di salah satu bangku tunggu yang kosong. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak banyak yang dilakukan selain menunggu dan melihat pengunjung bioskop yang hilir mudik di hadapan. 

Setelah beberapa saat, lagi-lagi perempuan tadi terjangkau oleh pandangan Adam. Mereka hanya berdua. perempuan kedua wajahnya tampak familiar. Seperti pernah Adam lihat, tetapi entah di mana. Kemudian terdengar pengumuman dari pengeras suara.

"Mohon perhatian Anda. Pintu teater dua telah dibuka. Bagi Anda yang telah memiliki karcis dipersilakan untuk memasuki ruangan teater dua."

Itu adalah tanda panggilan untuk Adam. Dia beranjak dari duduk menuju pintu masuk teater dua. Beberapa orang sudah mengantre untuk masuk ruangan. Tibalah giliran Adam. Kemudian dia berjalan memasuki ruangan yang pengunjungnya tak seramai saat siang atau sore hari. 

Layar besar di hadapan menyambutnya dengan tayangan iklan. Suara menggelegar dari alat pengeras membuat Adam mengerutkan dahi sambil mencari nomor kursi dengan kombinasi angka huruf yang sesuai dengan tiket di tangan. Setelah berhasil ditemukan, dia duduk dan menyamankan diri.

Hampir dua menit berlalu. Cahaya di ruangan mulai meredup. Beberapa penonton masih berdatangan mencari lalu menduduki kursi mereka. Adam menghuni kursi paling luar pada jalur tengah. Tiga kursi di samping kirinya masih kosong.

"Permisi," pamit seorang perempuan mengalihkan perhatian Adam dan membuatnya menoleh ke arah sumber suara. Mereka dua orang perempuan.

Adam merapatkan lutut menarik badan ke belakang. Memberikan ruang selebar mungkin agar mereka bisa melintas. Mereka duduk berjarak satu kursi dari Adam. Film pun dimulai. 

Kelakuan tokoh utama di film itu sangat patut dikasihani. Dihiasi kelucuan, kecanggungan, juga kenekatan. Sempurna mengocok perut penonton. Gelak tawa sesekali terdengar. Adam yang sedang ingin menikmati momen hanya mengikuti alur cerita tanpa berpikir terlalu dalam. 

Terdengar salah seorang perempuan yang duduk di sisi kiri menerima sebuah panggilan telepon. Kemudian tak lama perempuan itu berdiri dan sekali lagi meminta maaf agar Adam memberikan jalan baginya untuk lewat. Akan tetapi, perempuan yang pergi hanya seorang. Seorang lagi tetap lanjut menonton film.

Kisah perjuangannya melepaskan status "single" dengan berpetualang dari gadis satu ke gadis yang lain. Namun, pada akhirnya si pemeran utama justru mendapatkan hikmah lain bahwa ada hal yang jauh lebih dibutuhkan dalam hidup, bukan sekadar memenuhi apa yang diinginkan.

Adam sang keturunan keluarga Saguna meresapi cerita film ini dalam versi yang berbeda untuk dirinya. Jika si Ebi–nama pemeran tokoh utama film "Single"–berjuang untuk mendapatkan kekasih, maka Adam berpikir untuk memperjuangkan kebahagiaannya sendiri. Pria itu mulai menimbang bila masih bertahan dengan kenangan yang dimiliki bersama Clarissa tak akan baik untuknya.

Setelah 127 menit berlalu, lagu soundtrack mengiringi deretan nama pemeran hingga kru pembuat film bergerak di layar raksasa itu. Lampu ruangan perlahan menyala terang. Warna hangat yang dipancarkan menemani para penonton membubarkan diri dan bergiliran meninggalkan ruangan.

Setelah berada di luar ruangan, Adam tidak langsung meninggalkan bioskop itu. Dia malah duduk di salah satu bangku tunggu hanya sekadar berkontemplasi, memikirkan kembali apa yang dipikirkan saat di dalam tadi.

Pria itu menyingkap ujung lengan jaket hoodie kuning yang dikenakan, kemudian melihat angka yang ditunjuk oleh jarum jam tangan di tangan kirinya. Setelah melihat dengan pasti, dia berpikir untuk segera kembali ke apartemen karena sebentar lagi akan berganti hari. Adam berjalan menuju lift. Pengunjung pusat perbelanjaan itu mulai berkurang. Bahkan saat ini hanya dirinya yang berdiri di depan pintu lift.

Ting!

Pintu lift perlahan terbuka. Adam masuk dan memencet tombol dengan huruf LD untuk menuju lantai dasar. Sebelum bilah pintu benar-benar tertutup, ada seseorang berteriak dari luar bilik kecil itu,

"Lift! Tahan!" seru seseorang dengan jenis suara perempuan.

Mendengar seruan itu, Adam menekan tombol agar pintu kembali terbuka. Seorang perempuan masuk dengan tergesa-gesa. Adam kembali menekan tombol agar pintu tertutup. Melihat si perempuan yang masih menunduk mengatur napas, Adam menanyakan tujuan lantai yang dia tuju, "Mau ke lantai berapa, Mbak?"

Perempuan itu menengadah dan melihat deretan tombol di sisi pintu lift, kemudian berujar, "iya ... saya juga ... mau ke ... lantai dasar." Napas yang memburu membuatnya kesulitan untuk mengucapkan kalimat tanpa terpotong.

Adam hanya mengangguk. Pria itu mencuri pandang dari ekor matanya pada perempuan itu. Dia adalah perempuan sama yang menabraknya di lantai dasar, juga yang dilihatnya di bioskop, dan setelah diingat-ingat warna baju yang dikenakan pun sama dengan perempuan yang duduk tak jauh dari kursinya saat menonton tadi. Lalu kini, mereka berdua berada di dalam lift menuju lantai yang sama.

Putra Adyaksa Saguna itu tak sadar menyunggingkan senyum tipis mengingat kebetulan sebanyak itu. 

Perempuan itu menyandarkan tubuh rampingnya di dinding lift. Sebuah tas selempang melingkari badan rampingnya. Rambut hitam sebahu miliknya memiliki poni yang ditata belah tengah. Meskipun dia tak sendiri di sana, tetapi wajahnya datar seolah-olah Adam tak ada.

Tiba-tiba terasa guncangan. Kontan dua orang itu menjadi awas dan memperkuat pijakan kaki agar tetap tegak berdiri. Namun, guncangan kembali terasa seperti lift itu turun tersendat-sendat. 

"Kenapa ini?" desis perempuan itu.

"Kayaknya lift trouble," jawab Adam.

"Macet?" Ada rasa takut yang tersirat nada suara dan mata perempuan itu saat menatap lekat ke arah Adam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Fall For Her   Bab 31. Kunjungan

    Ponsel Lucky berdering. Setelah melihat nama sang bos terpampang di layar, segera diangkatnya sebelum nada dering pertama berakhir."Halo, Bos," sapa Lucky.[Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!] Lalu sambungan itu diputus."Halo, Bos? Bos?" Lucky masih mencoba memanggil, tetapi sudah tidak ada jawaban dari penelepon. Asisten Adam tersebut menatap layar ponsel dan mencari daftar nama di kontak masuk. Dia ingin memastikan bahwa dirinya tidak salah membaca nama penelepon. "Benar. Tadi memang bos yang telepon." Mata Lucky bergerak seperti sedang membantu kepalanya mengingat kembali perintah Adam.'Bunga untuk Bianca besok biar saya sendiri yang ngasih!' Kalimat pendek dan padat itu terngiang kembali di kepala Lucky. "Kenapa tiba-tiba begitu?" gumam Lucky yang bingung karena tidak ada penjelasan lebih lanjut.Lucky segera membuka ruang obrolan dengan empat rekan lainnya.Lucky: Bos barusan telpon. Ngasih perintah singkat padat dan jelas.Adi: Apaan, Mas?Hassan is typi

  • Fall For Her   Bab 30. Keputusan Tiba-Tiba

    Fahar menceritakan kehidupan pribadinya kepada Adam, seorang teman yang telah lama berpisah. Bagaimana dia kehilangan Diana, istrinya, dan meneruskan hidup bersama putra tunggalnya, Alex."Aku akui kamu memiliki segalanya, Bro. Wajah, otak, penampilan, gaya bicara, keramahan, tapi baru sekarang aku paham kenapa," tutur Fahar.Sedangkan Adam tersenyum mendengar pujian demi pujian yang kawan lamanya itu lontarkan. "Kenapa?" tanya Adam mengetes."Iya, kamu anak tunggal kerajaan bisnis AS Corp, Bro. Kalau aku jadi orang tuamu pasti juga nggak bisa biarin kamu main-main," terang Fahar.Adam bahagia karena sahabatnya itu paham tanpa harus dijelaskan."Kenapa senyum?" tanya Fahar penasaran."Iya, aku senang kamu bisa paham tanpa aku harus jelasin. Beberapa hubungan menuntut kejelasan. Bahkan kadang sudah dijelaskan, mereka tetap tidak menerima dan memilih pergi. Dan aku senang lu paham," tukas Adam dengan intonasi tenang.Pria di hadapan Adam menangkap maksud lainnya. Dia merasa ada hubungan

  • Fall For Her   Bab 29. Bernostalgia

    Sekembali Adam dari Bandung, dia langsung menuju gedung pusat AS Corp. Dia beristirahat sejenak di ruang pribadinya sebelum kembali memulai hari dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan.Hassan melihat jam hampir menunjukkan pukul sembilan. Sesuai instruksi yang Adam berikan, dia ingin Hassan membangunkannya sebelum tepat jam sembilan. Sang asisten segera menuju ruang kerja Adam. Di sana ada pintu lain yang tersembunyi di balik rak buku. Setelah menekan tombol di balik sebuah buku tebal bersampul cokelat, rak buku itu menimbulkan sebuah bunyi yang halus lalu bergerak bergeser secara perlahan. Semua asisten Adam sudah mengetahuinya, sedangkan Vina yang baru saja dipromosikan sebagai pengganti Trias belum mengetahuinya.Saat masuk ke ruangan itu, Hassan sudah bisa melihat Adam yg duduk termenung di tepi ranjang. Pria itu terkesan aneh melihat sang bos yang berlaku di luar kebiasaan. "Sudah bangun, Bos?" tegurnya.Adam menoleh lalu mengangguk. Hassan berjalan mendekat, "Ada yang Bos pik

  • Fall For Her   Bab 28. Tertarik?

    "Selamat siang. Ada yang bisa dibantu?" tanya petugas di pintu masuk pada seorang kurir."Saya mengantarkan kiriman bunga untuk Ibu Bianca," jawabnya.Saat percakapan itu terjadi, Fahar baru saja tiba di kantor dan mendengarnya. "Langsung masuk saja, sampaikan ke meja resepsionis," instruksi si petugas.Kurir itu masuk membawa sebuah buket Krisan kuning dan melangkah menuju dua orang wanita yang sedang duduk tak jauh dari pintu utama.Fahar yang telah menerima salam dari si petugas keamanan berjalan menuju ke dalam gedung Advance Advertising. Namun, pria itu tidak langsung menuju lift untuk mengantarkan ke lantai tempatnya bekerja dan justru menyempatkan diri mendekat ke meja resepsionis. Dia penasaran dengan bunga yang dikirim untuk Bianca. Sejauh yang pria itu ingat, beberapa hari terakhir ini dia melihat Bianca selalu membawa bunga. Pertama bunga anggrek, lalu bunga matahari, dan pagi itu bunga Krisan. 'Apakah ada seseorang yang sengaja mengirimkannya kepada Bianca?' batinnya bert

  • Fall For Her   Bab 27. Tidak Terlalu Buruk

    Ibu Sun melihat Adam berdiri mematung, kemudian segera pergi menghampiri sang tamu. "Ada apa, Nak Adam?" tanyanya. "Bunganya cantik, Bu," sahut Adam saat menunjuk anggrek bulan ungu yang tersimpan di rak kayu di bawah pohon mangga. Bersisian dengan pot bunga lainnya. "Oh, bunga ini. Iya, saya juga suka lihatnya. Warnanya kalem sekaligus berani.""Ibu Sun sepertinya terampil merawat bunga, ya," puji Adam."Saya memang suka berkebun sejak muda. Tapi pengalaman merawat anggrek? Ini pertama kali. Semoga saja si cantik ini berumur panjang dengan saya," tutur wanita itu dengan menyentuh ujung kelopak bunga ungu itu.Entah mengapa tiba-tiba Adam merasa ada keterkaitan antara Ibu Sun dengan Bianca. Seingat Adam, ibu Bianca bekerja di panti asuhan, tetapi dia lupa nama lengkap panti maupun nama ibu Bianca. Namun, adanya bunga anggrek ungu itu membuatnya berpikir untuk menanyakan sesuatu yang lebih spesifik."Ini beli di mana? Saya jadi ingin punya juga.""Aduh, saya kurang tahu. Soalnya saya

  • Fall For Her   Bab 26. Kebon Tinggi

    Diawali dengan bunga anggrek, hari berikutnya mawar, kemudian bunga matahari. Semua makhluk cantik itu membuat Bianca tak henti-hentinya berpikir apa keinginan si pengirim. Sambil menatap kertas kecil yang berisi pesan singkat dan tentu saja dari seseorang yang berinisial A.~Jadi, kita sudah berteman. Teman?~AMawar kuning di meja kerjanya belum juga layu, dan kini tiga tangkai bunga matahari sudah datang. Dengan malas, Bianca melepas ikatan pita hijau pada bunga berkelopak kuning itu. Kemudian satu per satu tangkainya diselipkan di tengah kuntum mawar.Beberapa orang sudah berdatangan dan mereka mempersiapkan diri sebelum jam kantor benar-benar dimulai. Tak terkecuali Bianca, meskipun dirinya sedang diliputi rasa penasaran, tetapi pekerjaan lebih utama baginya. Terlebih lagi, kejadian pagi itu tentang dirinya yang terkurung di dalam toilet membuat energi paginya sudah cukup terkuras.'Terserah apa maumu," batin Bianca saat melihat sekali lagi isi kertas dan melemparnya asal.Amelia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status