Lift berhenti di lantai enam. Semua yang berada di dalam ruang kecil itu keluar bersama dengan Adam. Hanya Adam yang melangkah sendiri, sementara yang lain ada yang berpasangan atau bersama teman, mungkin juga bersama keluarga.
Sebelum masuk pintu kaca, pengunjung akan disambut beberapa poster film yang tengah tayang. Dua di antaranya adalah film Hollywood, "Mission: Impossible 5" dan "Star Wars: The Force Awakens". Lalu dua lainnya film asal Indonesia, "Retroaktif: Single Part 1" dan "Bulan Terbelah di Langit Amerika."
Namun, Adam memilih film dengan poster yang memakai wajah komika Raditya Dika sebagai fokus utama. Pria itu sedang tak ingin berpikir terlalu berat. Dia ingin tertawa dan terbawa oleh kekonyolan pemain karena alur ceritanya. Itulah yang Adam harapkan.
Tangan Adam bebas. Tak seperti tangan pengunjung lain yang disibukkan oleh layar ponsel mereka. Adam meninggalkan ponselnya di kantor. Saat ini dia merasa seperti terpisah dari kebisingan pekerjaan dan dia menyukuri itu. Mungkin Hassan yang akan kerepotan bila tiba-tiba membutuhkan dirinya. Mengingat hal itu membuat pria dengan tinggi 175 sentimeter itu tersenyum.
Setelah satu orang di depannya, akan tiba giliran Adam untuk memesan tiket.
"Selamat malam, ingin menonton apa?" tanya perempuan berseragam hitam dengan ramah.
"Single. Satu tiket."
Jawaban Adam membuat perempuan itu urung melanjutkan proses pemesanan dan malah memiringkan wajah karena tak percaya. Petugas tiket itu tercengang dengan mulut sedikit ternganga. Dia tak menyangka bahwa pria di depannya hanya menonton sendiri. Padahal menurutnya, dia pria yang tampan dan seharusnya datang bersama pacar atau istri untuk menemani.
"Yakin cuma satu?" goda petugas itu diiringi senyuman.
"Biar sesuai sama judulnya," timpal Adam disusul dengan sebuah cengiran.
Petugas tiket terkekeh mendengar jawaban Adam. "Mas-nya lucu juga," seloroh perempuan itu. "Silakan pilih seat yang mana?" Perempuan itu menunjukkan denah tempat duduk yang masih bisa dipesan.
"D7," pilih Adam.
"Baik. Satu tiket, Single, teater dua. Silakan," ujar perempuan itu seraya menyerahkan satu tiket masuk kepada Adam.
"Terima kasih," balas Adam.
Saat meninggalkan loket pemesanan tiket, mata Adam menangkap wajah yang tadi dijumpai saat di lantai dasar. perempuan yang tak sengaja menabrak lengannya. 'Mungkin dia juga berencana nonton,' batin Adam.
Jam tayang film yang akan Adam tonton sudah dekat. Pria itu memilih duduk di salah satu bangku tunggu yang kosong. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak banyak yang dilakukan selain menunggu dan melihat pengunjung bioskop yang hilir mudik di hadapan.
Setelah beberapa saat, lagi-lagi perempuan tadi terjangkau oleh pandangan Adam. Mereka hanya berdua. perempuan kedua wajahnya tampak familiar. Seperti pernah Adam lihat, tetapi entah di mana. Kemudian terdengar pengumuman dari pengeras suara.
"Mohon perhatian Anda. Pintu teater dua telah dibuka. Bagi Anda yang telah memiliki karcis dipersilakan untuk memasuki ruangan teater dua."
Itu adalah tanda panggilan untuk Adam. Dia beranjak dari duduk menuju pintu masuk teater dua. Beberapa orang sudah mengantre untuk masuk ruangan. Tibalah giliran Adam. Kemudian dia berjalan memasuki ruangan yang pengunjungnya tak seramai saat siang atau sore hari.
Layar besar di hadapan menyambutnya dengan tayangan iklan. Suara menggelegar dari alat pengeras membuat Adam mengerutkan dahi sambil mencari nomor kursi dengan kombinasi angka huruf yang sesuai dengan tiket di tangan. Setelah berhasil ditemukan, dia duduk dan menyamankan diri.
Hampir dua menit berlalu. Cahaya di ruangan mulai meredup. Beberapa penonton masih berdatangan mencari lalu menduduki kursi mereka. Adam menghuni kursi paling luar pada jalur tengah. Tiga kursi di samping kirinya masih kosong.
"Permisi," pamit seorang perempuan mengalihkan perhatian Adam dan membuatnya menoleh ke arah sumber suara. Mereka dua orang perempuan.
Adam merapatkan lutut menarik badan ke belakang. Memberikan ruang selebar mungkin agar mereka bisa melintas. Mereka duduk berjarak satu kursi dari Adam. Film pun dimulai.
Kelakuan tokoh utama di film itu sangat patut dikasihani. Dihiasi kelucuan, kecanggungan, juga kenekatan. Sempurna mengocok perut penonton. Gelak tawa sesekali terdengar. Adam yang sedang ingin menikmati momen hanya mengikuti alur cerita tanpa berpikir terlalu dalam.
Terdengar salah seorang perempuan yang duduk di sisi kiri menerima sebuah panggilan telepon. Kemudian tak lama perempuan itu berdiri dan sekali lagi meminta maaf agar Adam memberikan jalan baginya untuk lewat. Akan tetapi, perempuan yang pergi hanya seorang. Seorang lagi tetap lanjut menonton film.
Kisah perjuangannya melepaskan status "single" dengan berpetualang dari gadis satu ke gadis yang lain. Namun, pada akhirnya si pemeran utama justru mendapatkan hikmah lain bahwa ada hal yang jauh lebih dibutuhkan dalam hidup, bukan sekadar memenuhi apa yang diinginkan.
Adam sang keturunan keluarga Saguna meresapi cerita film ini dalam versi yang berbeda untuk dirinya. Jika si Ebi–nama pemeran tokoh utama film "Single"–berjuang untuk mendapatkan kekasih, maka Adam berpikir untuk memperjuangkan kebahagiaannya sendiri. Pria itu mulai menimbang bila masih bertahan dengan kenangan yang dimiliki bersama Clarissa tak akan baik untuknya.
Setelah 127 menit berlalu, lagu soundtrack mengiringi deretan nama pemeran hingga kru pembuat film bergerak di layar raksasa itu. Lampu ruangan perlahan menyala terang. Warna hangat yang dipancarkan menemani para penonton membubarkan diri dan bergiliran meninggalkan ruangan.
Setelah berada di luar ruangan, Adam tidak langsung meninggalkan bioskop itu. Dia malah duduk di salah satu bangku tunggu hanya sekadar berkontemplasi, memikirkan kembali apa yang dipikirkan saat di dalam tadi.
Pria itu menyingkap ujung lengan jaket hoodie kuning yang dikenakan, kemudian melihat angka yang ditunjuk oleh jarum jam tangan di tangan kirinya. Setelah melihat dengan pasti, dia berpikir untuk segera kembali ke apartemen karena sebentar lagi akan berganti hari. Adam berjalan menuju lift. Pengunjung pusat perbelanjaan itu mulai berkurang. Bahkan saat ini hanya dirinya yang berdiri di depan pintu lift.
Ting!
Pintu lift perlahan terbuka. Adam masuk dan memencet tombol dengan huruf LD untuk menuju lantai dasar. Sebelum bilah pintu benar-benar tertutup, ada seseorang berteriak dari luar bilik kecil itu,
"Lift! Tahan!" seru seseorang dengan jenis suara perempuan.
Mendengar seruan itu, Adam menekan tombol agar pintu kembali terbuka. Seorang perempuan masuk dengan tergesa-gesa. Adam kembali menekan tombol agar pintu tertutup. Melihat si perempuan yang masih menunduk mengatur napas, Adam menanyakan tujuan lantai yang dia tuju, "Mau ke lantai berapa, Mbak?"
Perempuan itu menengadah dan melihat deretan tombol di sisi pintu lift, kemudian berujar, "iya ... saya juga ... mau ke ... lantai dasar." Napas yang memburu membuatnya kesulitan untuk mengucapkan kalimat tanpa terpotong.
Adam hanya mengangguk. Pria itu mencuri pandang dari ekor matanya pada perempuan itu. Dia adalah perempuan sama yang menabraknya di lantai dasar, juga yang dilihatnya di bioskop, dan setelah diingat-ingat warna baju yang dikenakan pun sama dengan perempuan yang duduk tak jauh dari kursinya saat menonton tadi. Lalu kini, mereka berdua berada di dalam lift menuju lantai yang sama.
Putra Adyaksa Saguna itu tak sadar menyunggingkan senyum tipis mengingat kebetulan sebanyak itu.
Perempuan itu menyandarkan tubuh rampingnya di dinding lift. Sebuah tas selempang melingkari badan rampingnya. Rambut hitam sebahu miliknya memiliki poni yang ditata belah tengah. Meskipun dia tak sendiri di sana, tetapi wajahnya datar seolah-olah Adam tak ada.
Tiba-tiba terasa guncangan. Kontan dua orang itu menjadi awas dan memperkuat pijakan kaki agar tetap tegak berdiri. Namun, guncangan kembali terasa seperti lift itu turun tersendat-sendat.
"Kenapa ini?" desis perempuan itu.
"Kayaknya lift trouble," jawab Adam.
"Macet?" Ada rasa takut yang tersirat nada suara dan mata perempuan itu saat menatap lekat ke arah Adam.
Perempuan itu mendengar Adam berkata kecurigaannya tentang bilik elevator yang mengalami gangguan. Kemudian perempuan itu beringsut ke sudut ruangan. Dengan nada suara dan tatapan mata yang diliputi rasa takut dia bertanya, "Macet?"Sebelum sempat Adam jawab, lampu lift itu berkedip-kedip dan sempat mati bersamaan saat terjadi guncangan kembali. Kali ini kotak pengangkut manusia itu seperti jatuh tanpa kendali. Sejenak mereka merasakan seolah-olah tanpa gravitasi."Aarrgghh …!" Perempuan itu berteriak.Kemudian lift itu kembali berhenti disertai suara seperti benturan yang keras. Adam menahan emosi untuk tetap tenang dalam situasi genting itu. Angka masih menunjukkan lantai empat dan tanda panah tidak tampak. Adam menekan berkali-kali tombol yang berfungsi untuk membuka pintu, tetapi tidak terjadi perubahan.Adam segera menekan tombol darurat untuk berkomunikasi dengan petugas di luar sana. "Halo! Halo! Ada orang di sana? Ada yang mendengar suara s
Adam mengetuk-ngetukkan jarinya pada permukaan kursi yang keras. Dia berpikir bagaimana dia nanti harus mengisi formulir data pasien atas nama perempuan yang terjebak bersamanya di dalam lift tadi. 'Ah, sudahlah. Kalau dia tak juga pulang, mungkin nanti akan ada keluarganya yang menghubungi dia,' pikirnya.Kemudian dia memasukkan lagi benda-benda yang telah dikeluarkan kembali ke dalam tas kecil itu. Setelah itu dia berjalan menuju tempat administrasi sebagaimana yang perawat tadi tunjukkan. Hanya ada seorang petugas di sana yang Adam temui."Permisi, Sus. Saya diminta untuk mengisi data pasien yang baru masuk," ucap Adam."Oh, mbak yang pingsan tadi, ya, Pak?" tanya orang itu menegaskan."Iya, betul." Segera petugas itu mengambil selembar kertas dan sebuah pena, lalu diserahkan kepada Adam untuk diisi. Setelah membaca sekilas data yang diminta, Adam memutuskan untuk tidak mengisinya karena tak mengetahui satu pun jawabannya. "Mm, Sus." Panggilan Adam mem
Adam merasa cukup lelah hari itu sehingga dia membiarkan perempuan yang semula meracau dalam tidurnya itu untuk tak melepaskan genggaman pada pergelangan tangannya. Lalu kantuk mulai menyerang dan dia memejamkan mata di tepi ranjang sebelah sebuah tubuh yang terbaring.Entah berapa lama Adam terlelap. Lehernya mulai terasa lelah dan lengan yang semula digunakan untuk bantal pun terasa kebas. Dia menegakkan duduknya dan sedikit menggeliat."Sudah bangun, Bos?" tanya seseorang.Adam menoleh dan mendapati asistennya sudah berdiri mengamati dari tempat dia berdiri. Pria itu lalu mengalihkan arah mata ke pasien yang seharusnya terbaring di ranjang. Mata Adam membulat, tak ada siapa pun di sana. Dengan gagap dia menunjuk ke arah kasur beralas kain putih itu."D-dia? Dia ke mana?" tanya Adam.
Kedua mata Adam menatap tajam ke arah kerumunan penggemar yang ada di depan bioskop seraya menunjuk dia berujar, "Itu seperti perempuan kemarin."Lucky yang mendengar ucapan sang bos seketika melihat ke arah yang Adam tunjuk. "Siapa, Bos?" tanya Lucky penasaran.Adam terpaksa mengalihkan pandangan untuk menjelaskan maksudnya kepada Lucky. "Itu yang memakai kaus …." Adam kembali melihat kerumunan, tetapi orang yang dia maksud seperti menghilang atau sebenarnya sejak awal memang tak ada."Kaus? Banyak yang pakai kaus, Bos," kata Lucky ikut mengamati kumpulan orang-orang di sana.Adam menarik napas dalam dan kembali meneruskan perjalanan, "Ah, sudahlah."Seorang pria di dalam restoran melambaikan tangan menyapa dengan senyuman. "Pak Hendra sudah datang rupanya," ujar Lucky yang membalas sapaan pria tadi dengan anggukan. Adam pun melakukan hal serupa.Jarak antar meja di restoran itu sekitar lebih dari 1 meter. Adam berjalan lebih a
"Stick to the plan?" tanya Lucky dengan tatapan penuh arti ke arah sang bos. Adam tahu apa maksud pertanyaan Lucky yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban darinya. Dia menyandarkan punggung dan tertawa lirih menanggapi ide nakal dari bawahannya tersebut. "Hubungi Hassan untuk menunda semua agenda sampai lusa. Kalau tidak bisa ditunda, saya akan handle dari sini." Adam memberikan instruksi kepada Lucky yang masih duduk di depannya. "Siap," respons Lucky singkat. "Ya sudah, atur sana. Saya kembali ke kamar." Adam berdiri dan berjalan meninggalkan restoran. Pria itu mendadak berhenti dan berbalik arah memberikan tambahan petunjuk kepada Lucky. "Oh ya, atur dengan low bud
Keindahan Pulau Beras Basah bukan tujuan utama Adam. Dia duduk di gazebo yang letaknya tidak jauh dari posisi Bianca berada. Saat dirinya sibuk berspekulasi, ponselnya berbunyi. Nyonya Wursita menelepon dan dia bertanya mengapa dirinya tidak segera kembali ke Jakarta sesuai rencana awal."Aku masih ada urusan, Bu," jawab Adam atas pertanyaan sang ibu.[Bisa ditinggal? Atau diwakilkan? Ibu ada tugas lebih penting buat kamu] Suara Nyonya Wursita terdengar serius dan tidak ingin didebat.Adam menelan ludahnya, lalu bertanya "Tugas apa, Bu?"[Paman dan bibimu mengundang kita makan malam besok] jawab Nyonya Wursita."Makan malam? Dalam rangka apa?"[Entah, ibu ndak paham. Mungkin ini ada hubungannya dengan Desmon yang sudah punya pacar] terang Nyonya Wursita."Oh. Mungkin hubungan mereka sudah serius, jadi harus mengundang keluarga besar untuk makan malam," sahut Adam.[Mungkin saja. Tapi yang jelas bibimu itu mau mengejek ibu
Setibanya di kediaman sang paman, Adam mengatakan sesuatu kepada Lucky, "Oh ya, tentang plan B ... ada tambahan."Lucky langsung mencari data di kepalanya sesuatu yang berkaitan dengan plan B. Seketika dia mengingat percakapan di Pulau Beras Basah. Dengan cermat, dilihatnya wajah sang bos dari kaca spion."Besok kirimkan bunga untuk Bianca," ujar Adam membuat Lucky yang duduk di kursi sopir tertegun. Kemudian sang bos turun dari mobil.Setelah mendengar perkataan Adam, Lucky terdiam dan memikirkan arah tujuan sang bos tiba-tiba bersikap demikian pada seorang perempuan yang bahkan belum saling mengenal.Sebuah ketukan di kaca mobil membuyarkan lamunan Lucky. "Mas, mobilnya tolong dimajukan. Ada mobil mau keluar," ujar petugas keamanan yang mengatur lalu lintas kendaraan yang keluar masuk pekarangan rumah mewah itu.Adam yang sudah melewati pintu utama disambut sebuah vas kristal besar dengan rangkaian bunga bernuansa putih. Lampu gantung berki
"Dasar anak tidak tahu balas budi!" hardik ibu angkat Bianca kala itu."Ada apa lagi? Apa ulahnya kali ini?" tanya ayah angkat Bianca dari dalam kamar. Kemudian berjalan mendekati sang istri yang sedang memelototi Bianca yang tertunduk ketakutan di hadapannya."Lihat ini, Mas! Anak ini sudah merusak bajuku. Ini mau aku pakai malam nanti untuk acara reuni. Kalau begini, aku harus pakai apa?" Ibu angkat Bianca menggoncang-gocangkan sesuatu di genggamannya, sebuah gaun berbahan halus yang telah rusak warna aslinya karena noda luntur di beberapa bagian."Aku hanya melakukan apa yang Ibu suruh. Aku memasukkan semua baju kotor ke dalam mesin cuci," ungkap Bianca membela diri.Ayah angkat Bianca merebut gaun itu dan membentangkannya. Dia mengamati gaun itu dengan kesal.