"Selamat pagi, Sayang?"
Sapaan dari Alex membuat Mahira yang sedang memangku laptop di ruang tamu menoleh dengan kernyitan di dahi. Perempuan itu menatapi si lelaki dari ujung kaki ke ujung kepala beberapa kali sebelum kembali menatap layar komputer."Kau sudah sarapan, Sayang?" Alex duduk di karpet, di dekat sofa yang Mahira huni.Mahira langsung mengangkat kedua kaki takut. Ia taruh laptop di atas meja. "Matamu bermasalah? Apa matahari di luar sana kurang terang?"Si perempuan menatap kesal. Setelah semalaman membuat tidurnya tidak lelap, karena Alex benar-benar tidur di kamar yang sama dengannya. Sekarang, pria itu malah sok ramah dan mengucapkan selamat pagi yang sudah sangat terlambat?Ini sudah pukul dua belas. Matahari sudah persis di atas atap rumah. Pagi kata Alex?Diberi jawaban ketus begitu, Alex tertawa girang. "Hei, kenapa kau bisa sangat cantik? Bahkan saat sedang marah begini."Mahira mengerjap. Ia memeluk kedua kakinya. "Pergi. Jangan dekat-dekat denganku."Alex menggeleng. Matanya terus memandangi Mahira penuh minat. "Apa kau sudah makan siang?""Apa pedulimu?""Kalau sudah, bersiaplah." Alex bangkit dari duduk. Ia mengusap kepala Mahira sekilas. "Kita pergi jalan-jalan. Hari ini, kau pergi bersamaku."Antusias yang terpancar di wajah Alex membuat Mahira bergidik. Perempuan itu menggeleng cepat. Pergi berdua dengan Alex? Mahira tak sudi."Pergi saja sendiri!" Mahira turun dari sofa. Perempuan itu membawa laptopnya, kemudian hendak pergi ke kamar.Namun, Alex mengadang langkah Mahira. Pria itu bersikeras ingin Mahira ikut."Apa yang salah? Kau tidak ingin belanja? Aku akan belikan apa pun yang kau mau."Mahira menepis tangan Alex. "Aku tidak butuh uangmu!"Alex tampak kebingungan. "Kenapa kau marah? Bukankah kata Albert kau butuh perhatian? Aku sedang berusaha memperhatikanmu, Sayang."Mahira menampar tangan Alex yang menyentuh rambutnya. Perempuan itu memundurkan langkah."Aku tidak butuh perhatianmu!" Telunjuk perempuan itu mengarah tepat ke wajah Alex. "Tidak usah repot-repot! Jangan mengangguku, jangan sok peduli padaku, jangan muncul di depan mataku!"Mahira pergi ke kamar dengan perasaan luar biasa marah. Apa kata Alex? Sedang memberikan perhatian? Mahira tidak butuh itu.Memang, ia merasakan itu kemarin. Merasa sangat kesepian karena tak punya satu orang pun yang dikenal, pun untuk diajak bicara. Namun, mendapat perhatian dari Alex, rasanya ego Mahira terluka.Pria jahat itu tak punya alasan untuk berbuat demikian. Untuk apa? Alex itu orang jahat. Pasti tidak punya sisi baik, lebih-lebih keinginan untuk mempedulikan keadaan Mahira. Lelaki bajingan itu hanya pura-pura.Saat Mahira sudah akan berbaring di ranjang, pintu kamar si perempuan terbuka. Alex yang datang."Ayolah. Kita pergi, jalan-jalan. Agar kau tidak stres." Alex meraih tangan Mahira, mengusap lembut punggung tangan perempuan itu, sembari tersenyum."Lepaskan tanganku," kata Mahira pelan, tetapi mengancam."Kalau aku tidak mau? Kau akan memukulku dengan tongkat bisbol lagi?"Melepaskan tangan Mahira, Alex berlutut di samping ranjang. Dilihatnya si perempuan duduk beringsut, rapat ke kepala ranjang dengan wajah sok berani. Lelaki itu tertawa."Kalau kau ingin memukulku dengan tongkat bisbol lagi, silakan. Atau kalau kau memukulku dengan apa pun, aku tidak akan protes. Asal ...."Si perempuan itu menaikkan satu alis. Waspada menanti orang di depannya melanjutkan kalimat."Asal kau mau memaafkan aku. Kau marah padaku, ya? Karena kejadian di kamar hotel itu."Mahira mulai menilai. Saat Alex tertawa, ia merasa patut waspda karena tawa lelaki itu mirip tawa orang jahat. Ketika Alex tersenyum, Mahira merasa si pria sedang menyusun siasat jahat. Dan barusan, ketika Alex menyuarakan permintaan maaf, dia sama sekali tak menunjukkan ekspresi apa-apa.Mahira jadi bingung. Banyak sekali yang tak bisa ia baca dari lelaki bernama Alex ini. Siapa yang tahu permintaan maaf barusan juga muslihat?"Maafkan aku, ya. Aku tidak berbohong. Aku melakukan itu karena bagiku kau sangat cantik. Luar biasa cantik."Mahira menampar Alex. "Apa kau meniduri semua perempuan yang kau anggap cantik?"Alex menggeleng. Wajahnya tertunduk. "Aku bukan anjing jalanan yang gila kawin."Menarik napas dalam, Alex kemudian menarik pistol dari pinggang. Ia letakkan benda itu di dekat tangan Mahira."Kau boleh melakukan apa pun padaku dengan pistol itu."Mata Mahira membola. Ia tak sangka kalau Alex punya senjata api. Pria itu bahkan mengantonginya. Tiba-tiba Mahira merasa benar-benar terancam.Si perempuan lantas berdecak kesal. "Kau sengaja melakukan ini, karena tahu aku tak bisa menembak, 'kan, Bajingan!" Dengan kakinya Mahira menendang pistol itu hingga terjatuh ke pangkuan Alex.Ia mungkin sering berkelahi dengan teman sekelas sewaktu sekolah. Mahira juga berani memukul Alex dengan tongkat bisbol kemarin. Namun, membunuh? Menghabisi pria itu dengan pistol, Mahira tak punya keberanian sebanyak itu.Menyimpan kembali pistolnya, Alex tertawa. "Kau takut pada senjata ini?" tunjuknya ke saku sembari mengamati wajah Mahira yang gugup."Iblis sepertimu jelas tidak," balas Mahira.Tawa Alex berangsur mereda. Lelaki itu memandangi Mahira dengan mimik jenaka."Jika aku iblis, maka dia apa, Mahira?"Mahira mengabaikan pertanyaan tak penting itu. Ia turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu. "Keluar kau!" usirnya pada Alex.Alex bangkit dari tempat duduknya. Bersamaan dengan Albert yang baru saja datang.Saat akan melewati pintu, Alex tiba-tiba meraih tangan Mahira. Lelaki itu mengecup telapak tangan si perempuan, untuk kemudian dihadiahi pukulan di kepala belakang oleh Mahira."Bajingan! Jangan menyentuhku sesuka hatimu!"Alex tertawa-tawa saja. Pria itu melenggang pergi.***Pukul dua dini hari. Albert duduk sendirian di ruang tamu. Pengawal itu memang sengaja duduk di sana untuk bersiap, siapa tahu Mahira kembali terbangun karena ingin muntah.Agaknya, malam ini, perempuan hamil itu bisa tidur dengan tenang. Sampai sekarang, Albert tak mendengar suara apa-apa dari dalam kamar si nona.Tak lama, Albert menemukan Alex yang baru pulang. Lebam-lebam di wajah lelaki itu membuat Albert tersenyum puas."Dasar pengadu," maki Alex saat merebahkan tubuhnya yang terasa remuk di sofa.Alex habis dipukuli. Nyaris mati, mungkin."Anda sudah melewati batas, Tuan. Yang tadi bukan yang pertama. Harusnya saya langsung mengadukan Tuan, saat peristiwa di halaman belakang."Mengabaikan penjelasan Albert, Alex memejam. Pria itu mengatur napasnya."Apa Mahira mual lagi tadi?""Sepertinya tidak. Saya tidak dengar suara apa pun dari dalam sejak tadi."Alex kemudian duduk. "Aku melihat seseorang tadi. Mobilnya mengelilingi komplek ini sebanyak tiga kali."Tak tunggu lama, Albert menghubungi bawahannya. Meminta mereka untuk memeriksa aduan Alex."Sudah kubilang, ada pengkhianat. Si bodoh itu memang payah. Dia tak pernah bisa menjaga apa yang menjadi miliknya."Albert berkata, "Apa tempat ini masih aman, Tuan?"Tatapan Alex tampak menerawang jauh. "Apa pun yang terlibat dengan si bodoh itu tidak akan pernah aman, Albert. Dia memang orang paling sial di muka bumi.""Untuk sementara, jangan biarkan Mahira pergi ke mana pun, jika tidak bersamaku," perintah Alex kemudian.Albert mengangguk. Menurutnya, itu memang yang terbaik. Meski kadang nakal, tetapi Alex adalah salah satu yang kompeten dalam hal ini.Ini sudah tidak benar. Riga harus dihentikan, atau pria itu akan membuat semua orang babak belur, seperti Alex.Dengan langkah tergesa dan mata dipenuhi sorot kesal, Mahira keluar dari kamar. Perempuan itu menemukan suaminya ada di lantai bawah, ruang tamu. Bersama Alex dan keluarga mereka yang hari ini berkunjung.Mahira baru saja selesai mandi. Dan selama mandi tadi, ia terus terpikirkan sikap Riga yang sudah kelewat batas. Hari ini Alex, besok, pria itu bisa saja memukul ayah mertuanya atau suaminya Leoni."Riga!" panggil Mahira. "Berikan Mahaya pada Ibuku."Lelaki yang Mahira panggil mengaitkan alis, dengan bibir rapat dan berkerut. Dekapannya pada bayi di gendongan mengerat, tetapi tetap lembut."Kenapa?" tanya lelaki itu dengan suara tenang, tetapi tak rela. Lihat, belum apa-apa, Riga sudah seperti akan menghajar seseorang. Mahira tak habis pikir."Aku harus bicara padamu. Biarkan Ibu menggendong Mahaya."Menyipitkan mata pada istrinya, Riga memalingkan pandang pada wajah bayi
Mahira terperanjat saat merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Perempuan itu berbalik, lalu menemukan jika pelakunya adalah sang suami."Kenapa kau bangun pagi sekali?" ucap Riga sembari menyandarkan dagu di bahu Mahira."Aku tak ingin tidur dulu, hingga lupa membuat sarapan untuk Righa. Dia harus sekolah pagi ini.""Tapi kau baru tidur satu jam lalu."Menyungging senyum mengejek, Mahira berkata, "Dan itu karena ulah siapa?" Mahira menyentak sedikit kuat pisaunya yang sedang mengiris daun bawang.Dahi Riga berlipat. "Ulahmu tentu saja," balas pria itu dengan nada menuduh."Aku?" Mahira berbalik. Ia angkat pisau di tangan setinggi dada. "Sebutkan di mana salahku, saat kau yang tak bisa mengendalikan nafsu?"Riga melirik ujung pisau di tangan Mahira, lalu wajah perempuan itu bergantian. "Sedang berusaha menakutiku?"Mahira menggeleng dan memberikan ekspresi polos. "Aku bertanya.""Itu salahmu. Siapa suruh kau terasa enak sekali?" Tersenyum nakal, Riga menyangga dua lengannya di masin
"Apa yang bagus dari wajah Ayah, Ibu?"Pertanyaan dari anaknya itu membuat Mahira menegakkan kepala yang semula rebah di samping suaminya yang tertidur. Pada sang anak, ia melempar senyum heran."Kenapa bertanya begitu?"Righa mengangkat bahu. Raut wajahnya terlihat sedikit murung."Ayah dirawat sejak lima hari lalu. Paman Alex bilang, dia akan segera membaik. Tapi, kenapa ibu terus menatapi wajah Ayah seperti itu? Memang apa yang menarik dari wajah Ayah?"Mendengar penuturan panjang sarat nada cemburu itu, Mahira beranjak dari kursi. Dengan senang hati ia berpindah ke sisi kanan ranjang Riga, duduk di samping putranya."Kau marah aku memandangi ayahmu?" Mahira memeluk anaknya dari samping.Righa menatap ibunya, kemudian memamerkan senyum malu. "Ibu seperti lupa padaku. Sejak Ayah masuk rumah sakit, Ibu selalu menemani dan menatapi wajah Ayah seperti tadi."Mahira mengangguk saja. Ia eratkan dekapan pada Righa, memberi kecupan ke kepala bocah itu."Tidak ada yang menarik, ya?"Mahira
Riga tumbuh di keluarga yang bisa disebut berbahaya. Ayahnya menjalankan bisnis judi pada awalnya, sebelum bergerak ke ranah perdagangan organ. Meski punya ibu yang sering mengekpresikan kasih sayang secara verbal atau lewat tindakan, tetapi sejak kecil, Riga kesulitan melakukan itu.Pria itu tak tertawa saat teman-temannya terbahak akan sebuah lelucon. Riga tak tersenyum dan malah menaikkan alis saat ada gadis yang mengucapkan terima kasih atau terang-terangan mengaku perasaan padanya. Karena itulah ia memilih Sandra sebagai istri.Sandra yang hidup di lingkungan yang sama dengannya membuat Riga yakin perempuan itu akan bisa mengimbanginya. Riga tak perlu repot menjadi peka atau memberi servis menggelikan seperti pelukan, kecupan, atau kata-kata manis pada perempuan itu.Pemikiran Riga soal itu nyatanya benar. Lima tahun berumahtangga, ia dan Sandra baik-baik saja. Setidaknya, sampai kebohongan Sandra terkuak dan mereka berpisah.Urusan perempuan, sebenarnya Riga tak terlalu peduli.
"Ibu, bisa aku pergi main bola dengan ayah?""Besok saja, Righa.""Ibu, boleh aku meminta ayah untuk membuatkanku layangan?""Besok saja, Righa. Ayahmu banyak pekerjaan.""Ibu, apa hari ini Ayah akan mengantar dan menjemputku ke sekolah?""Ibu saja yang mengantar dan menjemput. Ayahmu sibuk, besok saja, ya."Beberapa hari belakangan, Riga selalu memergoki istrinya memberi jawaban demikian pada anak mereka. Besok, besok, besok. Perempuan itu seolah menjauhkan ia dari sang anak. Membuat si bocah murung dan ia bingung.Namun, malam ini, ia tak bingung lagi. Pria itu sudah mendapatkan jawaban mengapa istrinya bersikap demikian.Barusan, Mahira menolaknya. Dengan alasan yang kurang lebih mirip dengan yang perempuan itu berikan pada anak mereka.Besok.Riga tidak memaksa. Pria itu berbaring telentang, membiarkan Mahira memunggunginya. Sedari tadi istrinya diam, tetapi ia yakin Mahira belum tidur."Riga?"Panggilan itu membuat Riga tersenyum sinis. Dasar perempuan banyak drama. Ia yakin, Mah
Bersandar di depan meja kerjanya, Riga menatap tajam pada Alex yang duduk di depannya. Hari ini, pria itu meminta sang sepupu untuk datang. Riga menuntut banyak penjelasan.Pertanyaan pertama sudah disuarakan tadi. Soal mengapa bisa Righa tahu soal Renzo dan Lena. Riga sudah menunggu selama dua menit, tetapi sepupunya masih saja diam."Alex?"Alex berdecak kesal. "Menurutmu karena apa? Hanya kau yang otaknya mirip babi busuk. Bukannya menjaga istrimu, kau malah menyuruhnya pergi."Riga menendang kaki kursi Alex, hingga sepupunya itu nyaris terjungkal. "Aku tidak meminta pendapatmu. Jelaskan, sejak kapan Ayah berhubungan dengan Mahira."Menghela napas, Alex memilih membuat ini mudah. Riga tak akan membiarkan lepas, seelum mendapatkan apa yang diinginkan. Maka itu, si lelaki pun mulai menjelaskan."Aku memberitahu mereka saat aku tahu Mahira hamil. Sejak itu, mereka sering menghubungi Mahira. Saat Righa lahir, mereka datang menjenguk.""Diam-diam?"Alis Alex mengait. "Kau melarang siapa