Share

Bab 8

"Selamat pagi, Sayang?"

Sapaan dari Alex membuat Mahira yang sedang memangku laptop di ruang tamu menoleh dengan kernyitan di dahi. Perempuan itu menatapi si lelaki dari ujung kaki ke ujung kepala beberapa kali sebelum kembali menatap layar komputer.

"Kau sudah sarapan, Sayang?" Alex duduk di karpet, di dekat sofa yang Mahira huni.

Mahira langsung mengangkat kedua kaki takut. Ia taruh laptop di atas meja. "Matamu bermasalah? Apa matahari di luar sana kurang terang?"

Si perempuan menatap kesal. Setelah semalaman membuat tidurnya tidak lelap, karena Alex benar-benar tidur di kamar yang sama dengannya. Sekarang, pria itu malah sok ramah dan mengucapkan selamat pagi yang sudah sangat terlambat?

Ini sudah pukul dua belas. Matahari sudah persis di atas atap rumah. Pagi kata Alex?

Diberi jawaban ketus begitu, Alex tertawa girang. "Hei, kenapa kau bisa sangat cantik? Bahkan saat sedang marah begini."

Mahira mengerjap. Ia memeluk kedua kakinya. "Pergi. Jangan dekat-dekat denganku."

Alex menggeleng. Matanya terus memandangi Mahira penuh minat. "Apa kau sudah makan siang?"

"Apa pedulimu?"

"Kalau sudah, bersiaplah." Alex bangkit dari duduk. Ia mengusap kepala Mahira sekilas. "Kita pergi jalan-jalan. Hari ini, kau pergi bersamaku."

Antusias yang terpancar di wajah Alex membuat Mahira bergidik. Perempuan itu menggeleng cepat. Pergi berdua dengan Alex? Mahira tak sudi.

"Pergi saja sendiri!" Mahira turun dari sofa. Perempuan itu membawa laptopnya, kemudian hendak pergi ke kamar.

Namun, Alex mengadang langkah Mahira. Pria itu bersikeras ingin Mahira ikut.

"Apa yang salah? Kau tidak ingin belanja? Aku akan belikan apa pun yang kau mau."

Mahira menepis tangan Alex. "Aku tidak butuh uangmu!"

Alex tampak kebingungan. "Kenapa kau marah? Bukankah kata Albert kau butuh perhatian? Aku sedang berusaha memperhatikanmu, Sayang."

Mahira menampar tangan Alex yang menyentuh rambutnya. Perempuan itu memundurkan langkah.

"Aku tidak butuh perhatianmu!" Telunjuk perempuan itu mengarah tepat ke wajah Alex. "Tidak usah repot-repot! Jangan mengangguku, jangan sok peduli padaku, jangan muncul di depan mataku!"

Mahira pergi ke kamar dengan perasaan luar biasa marah. Apa kata Alex? Sedang memberikan perhatian? Mahira tidak butuh itu.

Memang, ia merasakan itu kemarin. Merasa sangat kesepian karena tak punya satu orang pun yang dikenal, pun untuk diajak bicara. Namun, mendapat perhatian dari Alex, rasanya ego Mahira terluka.

Pria jahat itu tak punya alasan untuk berbuat demikian. Untuk apa? Alex itu orang jahat. Pasti tidak punya sisi baik, lebih-lebih keinginan untuk mempedulikan keadaan Mahira. Lelaki bajingan itu hanya pura-pura.

Saat Mahira sudah akan berbaring di ranjang, pintu kamar si perempuan terbuka. Alex yang datang.

"Ayolah. Kita pergi, jalan-jalan. Agar kau tidak stres." Alex meraih tangan Mahira, mengusap lembut punggung tangan perempuan itu, sembari tersenyum.

"Lepaskan tanganku," kata Mahira pelan, tetapi mengancam.

"Kalau aku tidak mau? Kau akan memukulku dengan tongkat bisbol lagi?"

Melepaskan tangan Mahira, Alex berlutut di samping ranjang. Dilihatnya si perempuan duduk beringsut, rapat ke kepala ranjang dengan wajah sok berani. Lelaki itu tertawa.

"Kalau kau ingin memukulku dengan tongkat bisbol lagi, silakan. Atau kalau kau memukulku dengan apa pun, aku tidak akan protes. Asal ...."

Si perempuan itu menaikkan satu alis. Waspada menanti orang di depannya melanjutkan kalimat.

"Asal kau mau memaafkan aku. Kau marah padaku, ya? Karena kejadian di kamar hotel itu."

Mahira mulai menilai. Saat Alex tertawa, ia merasa patut waspda karena tawa lelaki itu mirip tawa orang jahat. Ketika Alex tersenyum, Mahira merasa si pria sedang menyusun siasat jahat. Dan barusan, ketika Alex menyuarakan permintaan maaf, dia sama sekali tak menunjukkan ekspresi apa-apa.

Mahira jadi bingung. Banyak sekali yang tak bisa ia baca dari lelaki bernama Alex ini. Siapa yang tahu permintaan maaf barusan juga muslihat?

"Maafkan aku, ya. Aku tidak berbohong. Aku melakukan itu karena bagiku kau sangat cantik. Luar biasa cantik."

Mahira menampar Alex. "Apa kau meniduri semua perempuan yang kau anggap cantik?"

Alex menggeleng. Wajahnya tertunduk. "Aku bukan anjing jalanan yang gila kawin."

Menarik napas dalam, Alex kemudian menarik pistol dari pinggang. Ia letakkan benda itu di dekat tangan Mahira.

"Kau boleh melakukan apa pun padaku dengan pistol itu."

Mata Mahira membola. Ia tak sangka kalau Alex punya senjata api. Pria itu bahkan mengantonginya. Tiba-tiba Mahira merasa benar-benar terancam.

Si perempuan lantas berdecak kesal. "Kau sengaja melakukan ini, karena tahu aku tak bisa menembak, 'kan, Bajingan!" Dengan kakinya Mahira menendang pistol itu hingga terjatuh ke pangkuan Alex.

Ia mungkin sering berkelahi dengan teman sekelas sewaktu sekolah. Mahira juga berani memukul Alex dengan tongkat bisbol kemarin. Namun, membunuh? Menghabisi pria itu dengan pistol, Mahira tak punya keberanian sebanyak itu.

Menyimpan kembali pistolnya, Alex tertawa. "Kau takut pada senjata ini?" tunjuknya ke saku sembari mengamati wajah Mahira yang gugup.

"Iblis sepertimu jelas tidak," balas Mahira.

Tawa Alex berangsur mereda. Lelaki itu memandangi Mahira dengan mimik jenaka.

"Jika aku iblis, maka dia apa, Mahira?"

Mahira mengabaikan pertanyaan tak penting itu. Ia turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu. "Keluar kau!" usirnya pada Alex.

Alex bangkit dari tempat duduknya. Bersamaan dengan Albert yang baru saja datang.

Saat akan melewati pintu, Alex tiba-tiba meraih tangan Mahira. Lelaki itu mengecup telapak tangan si perempuan, untuk kemudian dihadiahi pukulan di kepala belakang oleh Mahira.

"Bajingan! Jangan menyentuhku sesuka hatimu!"

Alex tertawa-tawa saja. Pria itu melenggang pergi.

***

Pukul dua dini hari. Albert duduk sendirian di ruang tamu. Pengawal itu memang sengaja duduk di sana untuk bersiap, siapa tahu Mahira kembali terbangun karena ingin muntah.

Agaknya, malam ini, perempuan hamil itu bisa tidur dengan tenang. Sampai sekarang, Albert tak mendengar suara apa-apa dari dalam kamar si nona.

Tak lama, Albert menemukan Alex yang baru pulang. Lebam-lebam di wajah lelaki itu membuat Albert tersenyum puas.

"Dasar pengadu," maki Alex saat merebahkan tubuhnya yang terasa remuk di sofa.

Alex habis dipukuli. Nyaris mati, mungkin.

"Anda sudah melewati batas, Tuan. Yang tadi bukan yang pertama. Harusnya saya langsung mengadukan Tuan, saat peristiwa di halaman belakang."

Mengabaikan penjelasan Albert, Alex memejam. Pria itu mengatur napasnya.

"Apa Mahira mual lagi tadi?"

"Sepertinya tidak. Saya tidak dengar suara apa pun dari dalam sejak tadi."

Alex kemudian duduk. "Aku melihat seseorang tadi. Mobilnya mengelilingi komplek ini sebanyak tiga kali."

Tak tunggu lama, Albert menghubungi bawahannya. Meminta mereka untuk memeriksa aduan Alex.

"Sudah kubilang, ada pengkhianat. Si bodoh itu memang payah. Dia tak pernah bisa menjaga apa yang menjadi miliknya."

Albert berkata, "Apa tempat ini masih aman, Tuan?"

Tatapan Alex tampak menerawang jauh. "Apa pun yang terlibat dengan si bodoh itu tidak akan pernah aman, Albert. Dia memang orang paling sial di muka bumi."

"Untuk sementara, jangan biarkan Mahira pergi ke mana pun, jika tidak bersamaku," perintah Alex kemudian.

Albert mengangguk. Menurutnya, itu memang yang terbaik. Meski kadang nakal, tetapi Alex adalah salah satu yang kompeten dalam hal ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sry Wahyuningsih
suka ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status