Share

Bab 7

Mahira tersenyum lebar ketika melihat Albert datang dan membawakan ranselnya yang selama ini disembunyikan. Albert memang menjanjikan ini kemarin. Namun, tak Mahira sangka akan benar-benar dikabulkan.

"Kau benar-benar membantuku?" tanya perempuan itu tak percaya. Ia memeluk ranselnya erat.

"Dengan satu syarat. Jangan hubungi keluargamu. Jika Anda melakukan itu, maka semua akan jadi kacau. Keluarga Anda bisa saja dalam bahaya."

Duduk berhadapan di halaman belakang rumah, Mahira terpaksa mengangguk, setuju. Ia membuka ranselnya. Mengeluarkan laptop dan beberapa camilan dari sana.

"Ponselku?"

Albert menggeleng. "Jika Anda menepati janji dan tidak menghubungi keluargamu, nanti akan saya berikan."

Mahira mengangguk saja. Perempuan itu membuka, lalu menyalakan komputer jinjingnya.

"Anda melakukan apa?" Albert menarik kursinya dan duduk di samping Mahira. Memeriksa dan memastikan si perempuan tak melakukan sesuatu yang salah, seperti menghubungi keluarganya.

"Pekerjaanku," jawab si gadis.

"Pekerjaan? Bosmu bisa tahu ka--"

Belum sempat Albert meneruskan asumsi, Mahira sudah lebih dulu melotot pada si pria.

"Dengarkan aku dulu," ucap Mahira sedikit tegas.

Dahi Albert berlipat. "Anda menakuti saya dengan pelototan itu? Anda kira Anda terlihat menyeramkan?"

Mahira memajukan bibir menanggapi ejekan barusan. "Ini pekerjaan sampingan. Jadi, keluargaku tak akan tahu. Lagipula, aku hanya perlu mengakses akunku."

Albert memperhatikan apa yang Mahira lakukan beberapa saat. Kemudian, pria itu sepenuhnya percaya. Ia biarkan Mahira berkutat dengan laptop sampai beberapa jam kemudian.

Albert merasa keputusannya memberikan ransel itu pada Mahira adalah tepat. Seperti sekarang, perempuan itu jadi punya sesuatu yang bisa dikerjakan. Tidak hanya terkurung di dalam kamar, diam, melamun dan menangis.

"Sudah sore. Anda tidak istirahat?" Albert mengingatkan.

Mahira akhirnya memalingkan wajah dari layar. Matanya langsung membola saat menemukan Alex sedang berjalan ke arah mereka.

Pria itu tak mengatakan apa. Hanya menghampiri, kemudian tiba-tiba saja mengecup kening Mahira. Si perempuan dibuat terkejut, sampai membeku di tempat.

"Sejak tadi aku melihatmu dari sana. Kau cantik sekali saat sedang serius." Alex tersenyum kuda pada Albert yang melotot.

Cepat-cepat menguasai rasa terkejutnya, Mahira memasang wajah marah. "Kau pikir bisa melakukan itu padaku?"

Alex duduk. Senyum tak hilang dari wajahnya. "Maafkan aku, ya. Salahmu terlalu cantik."

Kalau saja tak lebih dulu melihat perban yang melilit kepala Alex, mungkin Mahira sudah bangkit berdiri dan memukul si lelaki.

Mahira menatap lama ke perban tadi. Air muka perempuan itu berubah sendu. Beberapa kali ia membasahi bibir, ragu apakah perlu meminta maaf atau tidak.

"Kenapa melihatku seperti itu? Kau cemas, Sayang?" Alex melipat lengannya di atas meja. Menatapi Mahira dengan sorot berbinar.

"Mati saja kau!" umpat Mahira. Perempuan itu menutup komputer jinjingnya, kemudian bangkit dari duduk.

"Kau mau makan apa malam nanti, Mahira?"

Langkah Mahira terhenti. Ia menoleh dengan tatapan heran pada Alex. Firasatnya buruk entah kenapa.

"Apa mau makan di luar denganku?"

Mahira menggeleng muak. "Kau sudah gila. Apa pukulanku kemarin membuat otakmu bergeser?"

Alex berdiri dari kursi. Ia tersenyum lebar ke arah Mahira. "Mulai hari ini, aku akan tinggal bersamamu di sini, Mahira."

***

Mahira segera turun dari ranjang saat dengan tidak malunya Alex naik ke sana. Pria itu tertawa, Mahira melemparkan bantal ke wajahnya.

"Ada apa denganmu?" tanya Mahira frustrasi.

Setelah tadi memaksanya makan bersama, sekarang Alex ingin mereka tidur seranjang? Tampaknya Alex harus di rumah sakit lebih lama lagi. Otak pria itu benar-benar tidak berjalan dengan semestinya.

Alex bangkit dari ranjang. Ia menghampiri Mahira, menggendong perempuan itu lalu dibaringkan di atas kasur. Saat Mahira akan melompat turun lagi, ia menjauh dari ranjang.

"Kita tidak tidur bersama. Aku hanya bercanda." Kedua tangannya terangkat sejajar kepala.

Mahira terdiam.

"Tidurlah. Aku hanya akan berada di kamar yang sama denganmu. Kata Albert, kau sering mual di dini hari."

Lembutnya suara Alex saat mengatakan itu nyaris membuat Mahira tertipu. Lekas si perempuan mengumpulkan kewarasan. Ini hanya muslihat. Perbuatan sok baik Alex ini pasti hanya tipuan.

Ia pun berbaring, memunggungi Alex, lalu memejam, berpura tidur. Mahira harus lebih waspada mulai sekarang. Bukan tak mungkin Alex akan berusaha melenyapkan dirinya atau sang bayi malam ini.

Mahira ingat ia hanya tidur beberapa menit. Tertidur lebih tepatnya. Sangat sebentar, sampai mual yang mengganggu itu datang lagi. Si perempuan langsung menuju kamar mandi.

Tak lama, bukannya Albert, ia malah melihat Alex yang datang. Pria itu membawakan teh. Mahira menolak meminum itu.

"Siapa yang bisa jamin kau tidak menaruh racun di teh itu?" Mahira mendorong gelas di tangan Alex. Perempuan itu berjalan keluar dari kamar mandi.

"Tidak ada racun, Mahira. Minumlah." Alex duduk di dekat Mahira. Ia coba membujuk perempuan itu lagi.

Karena Mahira tak kunjung mau mendengar, Alex menarik tangan perempuan itu hingga membuat Mahira duduk. "Minum," katanya sedikit memaksa.

Malas berdebat, pun kepalanya terasa makin pusing, Mahira menurut. Ia meneguk teh itu hingga setengah habis.

Saat Mahira sudah berbaring dan memejam, ia merasa keningnya disentuh. Ternyata itu tangan Alex.

"Biar kupijit, oke? Tidur saja. Kau pasti pusing, 'kan? Albert sudah menceritakan semua."

Rasanya Mahira ingin sekali menolak. Ingin segera ia tepis tangan Alex darinya. Namun, yang perempuan itu lakukan malah sebaliknya.

Mahira memejam, mencoba untuk tidur.

"Tidur yang nyenyak, Sayang. Aku sudah di sini. Aku akan menemanimu," kata Alex sembari tersenyum.

Mata Mahira terbuka. Perempuan itu langsung memukul mulut yang tadi menyuarakan kalimat menjijikan. Ia bergeser, menjauh dari Alex.

"Apa hamil sangat menyiksa?" Alex bertanya sembari menatapi punggung sempit Mahira. "Karena itu kau sangat marah dengan kehamilan ini?"

"Jangan coba mengerti keadaanku. Kau tak akan bisa," balas Mahira ketus.

"Seandainya kau tidak hamil, apa kau tidak akan benci padaku?"

Tak senang terus-terusan disalahpahami, Mahira berbalik. Ia memberi tatapan nyalang pada Alex.

"Aku tidak marah karena hamil. Jangan salah paham, tetapi aku tak membenci anak ini."

"Benarkah?" Mendadak wajah Alex tak diisi ekspresi apa pun. Pria itu tampak tenang, tetapi juga berbahaya.

"Aku hanya sedih karena dia hadir ketika aku belum siap. Aku hanya takut tak bisa melakukan yang terbaik untuknya, karena semua ini terjadi tiba-tiba. Kalau saja aku tidak bertemu bajingan sepertimu, kami berdua tidak akan menderita."

Bicara panjang lebar, di depan Alex yang merupakan si sumber masalah, Mahira sedikit lega. Setidaknya, ia sudah menumpahkan kemarahan pada orang yang tepat.

Alex akhirnya menarik ujung bibir. Pria itu tersenyum. "Mulai sekarang, kau dan dia tak akan menderita lagi. Aku sudah di sini, Sayang."

"Memang kenapa kalau kau di sini?"

"Aku akan menjagamu. Merawatmu dan bayi itu."

"Kenapa tiba-tiba? Tidak, terima kasih. Cukup dengan membiarkan aku pergi dari sini, itu sudah sangat membantu." Mahira menunggu reaksi Alex dengan penuh harap. Meski hanya sedikit, ia berharap Alex punya kebaikan sedikit saja dan membiarkannya pergi dari sini.

Alex menggeleng. "Itu tidak akan bisa, Sayang. Mustahil." Senyumnya terlihat penuh arti. "Entah Albert sudah mengatakan ini atau belum. Tapi, mulai sekarang, kau tak akan bisa ke mana-mana lagi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status