Mahira tersenyum lebar ketika melihat Albert datang dan membawakan ranselnya yang selama ini disembunyikan. Albert memang menjanjikan ini kemarin. Namun, tak Mahira sangka akan benar-benar dikabulkan.
"Kau benar-benar membantuku?" tanya perempuan itu tak percaya. Ia memeluk ranselnya erat."Dengan satu syarat. Jangan hubungi keluargamu. Jika Anda melakukan itu, maka semua akan jadi kacau. Keluarga Anda bisa saja dalam bahaya."Duduk berhadapan di halaman belakang rumah, Mahira terpaksa mengangguk, setuju. Ia membuka ranselnya. Mengeluarkan laptop dan beberapa camilan dari sana."Ponselku?"Albert menggeleng. "Jika Anda menepati janji dan tidak menghubungi keluargamu, nanti akan saya berikan."Mahira mengangguk saja. Perempuan itu membuka, lalu menyalakan komputer jinjingnya."Anda melakukan apa?" Albert menarik kursinya dan duduk di samping Mahira. Memeriksa dan memastikan si perempuan tak melakukan sesuatu yang salah, seperti menghubungi keluarganya."Pekerjaanku," jawab si gadis."Pekerjaan? Bosmu bisa tahu ka--"Belum sempat Albert meneruskan asumsi, Mahira sudah lebih dulu melotot pada si pria."Dengarkan aku dulu," ucap Mahira sedikit tegas.Dahi Albert berlipat. "Anda menakuti saya dengan pelototan itu? Anda kira Anda terlihat menyeramkan?"Mahira memajukan bibir menanggapi ejekan barusan. "Ini pekerjaan sampingan. Jadi, keluargaku tak akan tahu. Lagipula, aku hanya perlu mengakses akunku."Albert memperhatikan apa yang Mahira lakukan beberapa saat. Kemudian, pria itu sepenuhnya percaya. Ia biarkan Mahira berkutat dengan laptop sampai beberapa jam kemudian.Albert merasa keputusannya memberikan ransel itu pada Mahira adalah tepat. Seperti sekarang, perempuan itu jadi punya sesuatu yang bisa dikerjakan. Tidak hanya terkurung di dalam kamar, diam, melamun dan menangis."Sudah sore. Anda tidak istirahat?" Albert mengingatkan.Mahira akhirnya memalingkan wajah dari layar. Matanya langsung membola saat menemukan Alex sedang berjalan ke arah mereka.Pria itu tak mengatakan apa. Hanya menghampiri, kemudian tiba-tiba saja mengecup kening Mahira. Si perempuan dibuat terkejut, sampai membeku di tempat."Sejak tadi aku melihatmu dari sana. Kau cantik sekali saat sedang serius." Alex tersenyum kuda pada Albert yang melotot.Cepat-cepat menguasai rasa terkejutnya, Mahira memasang wajah marah. "Kau pikir bisa melakukan itu padaku?"Alex duduk. Senyum tak hilang dari wajahnya. "Maafkan aku, ya. Salahmu terlalu cantik."Kalau saja tak lebih dulu melihat perban yang melilit kepala Alex, mungkin Mahira sudah bangkit berdiri dan memukul si lelaki.Mahira menatap lama ke perban tadi. Air muka perempuan itu berubah sendu. Beberapa kali ia membasahi bibir, ragu apakah perlu meminta maaf atau tidak."Kenapa melihatku seperti itu? Kau cemas, Sayang?" Alex melipat lengannya di atas meja. Menatapi Mahira dengan sorot berbinar."Mati saja kau!" umpat Mahira. Perempuan itu menutup komputer jinjingnya, kemudian bangkit dari duduk."Kau mau makan apa malam nanti, Mahira?"Langkah Mahira terhenti. Ia menoleh dengan tatapan heran pada Alex. Firasatnya buruk entah kenapa."Apa mau makan di luar denganku?"Mahira menggeleng muak. "Kau sudah gila. Apa pukulanku kemarin membuat otakmu bergeser?"Alex berdiri dari kursi. Ia tersenyum lebar ke arah Mahira. "Mulai hari ini, aku akan tinggal bersamamu di sini, Mahira."***Mahira segera turun dari ranjang saat dengan tidak malunya Alex naik ke sana. Pria itu tertawa, Mahira melemparkan bantal ke wajahnya."Ada apa denganmu?" tanya Mahira frustrasi.Setelah tadi memaksanya makan bersama, sekarang Alex ingin mereka tidur seranjang? Tampaknya Alex harus di rumah sakit lebih lama lagi. Otak pria itu benar-benar tidak berjalan dengan semestinya.Alex bangkit dari ranjang. Ia menghampiri Mahira, menggendong perempuan itu lalu dibaringkan di atas kasur. Saat Mahira akan melompat turun lagi, ia menjauh dari ranjang."Kita tidak tidur bersama. Aku hanya bercanda." Kedua tangannya terangkat sejajar kepala.Mahira terdiam."Tidurlah. Aku hanya akan berada di kamar yang sama denganmu. Kata Albert, kau sering mual di dini hari."Lembutnya suara Alex saat mengatakan itu nyaris membuat Mahira tertipu. Lekas si perempuan mengumpulkan kewarasan. Ini hanya muslihat. Perbuatan sok baik Alex ini pasti hanya tipuan.Ia pun berbaring, memunggungi Alex, lalu memejam, berpura tidur. Mahira harus lebih waspada mulai sekarang. Bukan tak mungkin Alex akan berusaha melenyapkan dirinya atau sang bayi malam ini.Mahira ingat ia hanya tidur beberapa menit. Tertidur lebih tepatnya. Sangat sebentar, sampai mual yang mengganggu itu datang lagi. Si perempuan langsung menuju kamar mandi.Tak lama, bukannya Albert, ia malah melihat Alex yang datang. Pria itu membawakan teh. Mahira menolak meminum itu."Siapa yang bisa jamin kau tidak menaruh racun di teh itu?" Mahira mendorong gelas di tangan Alex. Perempuan itu berjalan keluar dari kamar mandi."Tidak ada racun, Mahira. Minumlah." Alex duduk di dekat Mahira. Ia coba membujuk perempuan itu lagi.Karena Mahira tak kunjung mau mendengar, Alex menarik tangan perempuan itu hingga membuat Mahira duduk. "Minum," katanya sedikit memaksa.Malas berdebat, pun kepalanya terasa makin pusing, Mahira menurut. Ia meneguk teh itu hingga setengah habis.Saat Mahira sudah berbaring dan memejam, ia merasa keningnya disentuh. Ternyata itu tangan Alex."Biar kupijit, oke? Tidur saja. Kau pasti pusing, 'kan? Albert sudah menceritakan semua."Rasanya Mahira ingin sekali menolak. Ingin segera ia tepis tangan Alex darinya. Namun, yang perempuan itu lakukan malah sebaliknya.Mahira memejam, mencoba untuk tidur."Tidur yang nyenyak, Sayang. Aku sudah di sini. Aku akan menemanimu," kata Alex sembari tersenyum.Mata Mahira terbuka. Perempuan itu langsung memukul mulut yang tadi menyuarakan kalimat menjijikan. Ia bergeser, menjauh dari Alex."Apa hamil sangat menyiksa?" Alex bertanya sembari menatapi punggung sempit Mahira. "Karena itu kau sangat marah dengan kehamilan ini?""Jangan coba mengerti keadaanku. Kau tak akan bisa," balas Mahira ketus."Seandainya kau tidak hamil, apa kau tidak akan benci padaku?"Tak senang terus-terusan disalahpahami, Mahira berbalik. Ia memberi tatapan nyalang pada Alex."Aku tidak marah karena hamil. Jangan salah paham, tetapi aku tak membenci anak ini.""Benarkah?" Mendadak wajah Alex tak diisi ekspresi apa pun. Pria itu tampak tenang, tetapi juga berbahaya."Aku hanya sedih karena dia hadir ketika aku belum siap. Aku hanya takut tak bisa melakukan yang terbaik untuknya, karena semua ini terjadi tiba-tiba. Kalau saja aku tidak bertemu bajingan sepertimu, kami berdua tidak akan menderita."Bicara panjang lebar, di depan Alex yang merupakan si sumber masalah, Mahira sedikit lega. Setidaknya, ia sudah menumpahkan kemarahan pada orang yang tepat.Alex akhirnya menarik ujung bibir. Pria itu tersenyum. "Mulai sekarang, kau dan dia tak akan menderita lagi. Aku sudah di sini, Sayang.""Memang kenapa kalau kau di sini?""Aku akan menjagamu. Merawatmu dan bayi itu.""Kenapa tiba-tiba? Tidak, terima kasih. Cukup dengan membiarkan aku pergi dari sini, itu sudah sangat membantu." Mahira menunggu reaksi Alex dengan penuh harap. Meski hanya sedikit, ia berharap Alex punya kebaikan sedikit saja dan membiarkannya pergi dari sini.Alex menggeleng. "Itu tidak akan bisa, Sayang. Mustahil." Senyumnya terlihat penuh arti. "Entah Albert sudah mengatakan ini atau belum. Tapi, mulai sekarang, kau tak akan bisa ke mana-mana lagi."Ini sudah tidak benar. Riga harus dihentikan, atau pria itu akan membuat semua orang babak belur, seperti Alex.Dengan langkah tergesa dan mata dipenuhi sorot kesal, Mahira keluar dari kamar. Perempuan itu menemukan suaminya ada di lantai bawah, ruang tamu. Bersama Alex dan keluarga mereka yang hari ini berkunjung.Mahira baru saja selesai mandi. Dan selama mandi tadi, ia terus terpikirkan sikap Riga yang sudah kelewat batas. Hari ini Alex, besok, pria itu bisa saja memukul ayah mertuanya atau suaminya Leoni."Riga!" panggil Mahira. "Berikan Mahaya pada Ibuku."Lelaki yang Mahira panggil mengaitkan alis, dengan bibir rapat dan berkerut. Dekapannya pada bayi di gendongan mengerat, tetapi tetap lembut."Kenapa?" tanya lelaki itu dengan suara tenang, tetapi tak rela. Lihat, belum apa-apa, Riga sudah seperti akan menghajar seseorang. Mahira tak habis pikir."Aku harus bicara padamu. Biarkan Ibu menggendong Mahaya."Menyipitkan mata pada istrinya, Riga memalingkan pandang pada wajah bayi
Mahira terperanjat saat merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Perempuan itu berbalik, lalu menemukan jika pelakunya adalah sang suami."Kenapa kau bangun pagi sekali?" ucap Riga sembari menyandarkan dagu di bahu Mahira."Aku tak ingin tidur dulu, hingga lupa membuat sarapan untuk Righa. Dia harus sekolah pagi ini.""Tapi kau baru tidur satu jam lalu."Menyungging senyum mengejek, Mahira berkata, "Dan itu karena ulah siapa?" Mahira menyentak sedikit kuat pisaunya yang sedang mengiris daun bawang.Dahi Riga berlipat. "Ulahmu tentu saja," balas pria itu dengan nada menuduh."Aku?" Mahira berbalik. Ia angkat pisau di tangan setinggi dada. "Sebutkan di mana salahku, saat kau yang tak bisa mengendalikan nafsu?"Riga melirik ujung pisau di tangan Mahira, lalu wajah perempuan itu bergantian. "Sedang berusaha menakutiku?"Mahira menggeleng dan memberikan ekspresi polos. "Aku bertanya.""Itu salahmu. Siapa suruh kau terasa enak sekali?" Tersenyum nakal, Riga menyangga dua lengannya di masin
"Apa yang bagus dari wajah Ayah, Ibu?"Pertanyaan dari anaknya itu membuat Mahira menegakkan kepala yang semula rebah di samping suaminya yang tertidur. Pada sang anak, ia melempar senyum heran."Kenapa bertanya begitu?"Righa mengangkat bahu. Raut wajahnya terlihat sedikit murung."Ayah dirawat sejak lima hari lalu. Paman Alex bilang, dia akan segera membaik. Tapi, kenapa ibu terus menatapi wajah Ayah seperti itu? Memang apa yang menarik dari wajah Ayah?"Mendengar penuturan panjang sarat nada cemburu itu, Mahira beranjak dari kursi. Dengan senang hati ia berpindah ke sisi kanan ranjang Riga, duduk di samping putranya."Kau marah aku memandangi ayahmu?" Mahira memeluk anaknya dari samping.Righa menatap ibunya, kemudian memamerkan senyum malu. "Ibu seperti lupa padaku. Sejak Ayah masuk rumah sakit, Ibu selalu menemani dan menatapi wajah Ayah seperti tadi."Mahira mengangguk saja. Ia eratkan dekapan pada Righa, memberi kecupan ke kepala bocah itu."Tidak ada yang menarik, ya?"Mahira
Riga tumbuh di keluarga yang bisa disebut berbahaya. Ayahnya menjalankan bisnis judi pada awalnya, sebelum bergerak ke ranah perdagangan organ. Meski punya ibu yang sering mengekpresikan kasih sayang secara verbal atau lewat tindakan, tetapi sejak kecil, Riga kesulitan melakukan itu.Pria itu tak tertawa saat teman-temannya terbahak akan sebuah lelucon. Riga tak tersenyum dan malah menaikkan alis saat ada gadis yang mengucapkan terima kasih atau terang-terangan mengaku perasaan padanya. Karena itulah ia memilih Sandra sebagai istri.Sandra yang hidup di lingkungan yang sama dengannya membuat Riga yakin perempuan itu akan bisa mengimbanginya. Riga tak perlu repot menjadi peka atau memberi servis menggelikan seperti pelukan, kecupan, atau kata-kata manis pada perempuan itu.Pemikiran Riga soal itu nyatanya benar. Lima tahun berumahtangga, ia dan Sandra baik-baik saja. Setidaknya, sampai kebohongan Sandra terkuak dan mereka berpisah.Urusan perempuan, sebenarnya Riga tak terlalu peduli.
"Ibu, bisa aku pergi main bola dengan ayah?""Besok saja, Righa.""Ibu, boleh aku meminta ayah untuk membuatkanku layangan?""Besok saja, Righa. Ayahmu banyak pekerjaan.""Ibu, apa hari ini Ayah akan mengantar dan menjemputku ke sekolah?""Ibu saja yang mengantar dan menjemput. Ayahmu sibuk, besok saja, ya."Beberapa hari belakangan, Riga selalu memergoki istrinya memberi jawaban demikian pada anak mereka. Besok, besok, besok. Perempuan itu seolah menjauhkan ia dari sang anak. Membuat si bocah murung dan ia bingung.Namun, malam ini, ia tak bingung lagi. Pria itu sudah mendapatkan jawaban mengapa istrinya bersikap demikian.Barusan, Mahira menolaknya. Dengan alasan yang kurang lebih mirip dengan yang perempuan itu berikan pada anak mereka.Besok.Riga tidak memaksa. Pria itu berbaring telentang, membiarkan Mahira memunggunginya. Sedari tadi istrinya diam, tetapi ia yakin Mahira belum tidur."Riga?"Panggilan itu membuat Riga tersenyum sinis. Dasar perempuan banyak drama. Ia yakin, Mah
Bersandar di depan meja kerjanya, Riga menatap tajam pada Alex yang duduk di depannya. Hari ini, pria itu meminta sang sepupu untuk datang. Riga menuntut banyak penjelasan.Pertanyaan pertama sudah disuarakan tadi. Soal mengapa bisa Righa tahu soal Renzo dan Lena. Riga sudah menunggu selama dua menit, tetapi sepupunya masih saja diam."Alex?"Alex berdecak kesal. "Menurutmu karena apa? Hanya kau yang otaknya mirip babi busuk. Bukannya menjaga istrimu, kau malah menyuruhnya pergi."Riga menendang kaki kursi Alex, hingga sepupunya itu nyaris terjungkal. "Aku tidak meminta pendapatmu. Jelaskan, sejak kapan Ayah berhubungan dengan Mahira."Menghela napas, Alex memilih membuat ini mudah. Riga tak akan membiarkan lepas, seelum mendapatkan apa yang diinginkan. Maka itu, si lelaki pun mulai menjelaskan."Aku memberitahu mereka saat aku tahu Mahira hamil. Sejak itu, mereka sering menghubungi Mahira. Saat Righa lahir, mereka datang menjenguk.""Diam-diam?"Alis Alex mengait. "Kau melarang siapa