Share

Episode 8

Aku memerhatikan Paul yang tengah mengemudi di sebelahku sembari berbicara santai dengan seseorang lewat earphone-nya. Kemudian aku melirik lewat kaca spion pada Jason yang setengah rebahan di bangku belakang dengan kepala bersandar pada jok dan kedua mata terpejam.

Apakah aku satu-satunya yang merasa cemas di sini?

Kami bertiga sedang dalam perjalanan menuju Four Seasons karena manajemen mereka akan mengadakan konferensi pers pagi ini di ballroom hotelnya. Paul berkata mereka telah mengundang wartawan dari berbagai tabloid, serta reporter dari beberapa stasiun televisi terkenal untuk meliput acara ini.

Mengapa aku ikut? Karena akulah alasan mereka mengadakan konferensi pers ini. Sebab pada malam aku bertemu dengan Paul di rumah Jason waktu itu, aku telah membuat kesepakatan paling gila dalam hidupku demi pertunjukan Hemingway’s.

Aku memang setengah mati menginginkan peran itu, dan rasanya tidak rela bila hanya gara-gara ulah Jason aku harus kehilangan kesempatan untuk bermain dalam pertunjukan pertamaku. Namun sekarang aku justru meragukan keputusanku.

Malam itu Paul menjelaskan padaku bahwa manajemen bermaksud menghentikan semua gosip miring yang beredar tentang Jason agar dia kembali menjadi idola yang disukai oleh semua orang, karenanya mereka membutuhkan alibi.

Supaya orang-orang percaya bahwa Jason sebenarnya tidak seburuk yang ditulis oleh media. Karenanya mereka memerlukan seseorang yang dapat meyakinkan masyarakat akan hal itu. Aku.

Paul berkata bahwa aku punya profil yang sempurna. Aku seorang mahasiswi teladan peraih beasiswa di salah satu kampus Ivy League, serta berasal dari keluarga baik-baik, dan juga aku dan Jason telah lama saling mengenal sejak SMU.

Jadi mereka memintaku untuk menjadi pasangan Jason di depan umum. Karena mereka yakin para penggemar akan menyukai kisah yang manis tentang seorang idola yang jatuh cinta kepada teman sekolahnya, seperti dalam film-film drama.

Waktu itu aku memandangi Paul seolah ia sudah gila. Kemudian ia buru-buru menambahkan bahwa hal ini hanya untuk tiga bulan. Waktu yang cukup untuk meredakan semua gosip yang beredar sehingga Jason bisa mempromosikan film terbarunya. 

Sedangkan Paul menjanjikan kalau aku bakal mendapatkan kembali peranku di Hemingway's. Dengan begitu semua orang akan mendapatkan keinginannya.

Tiga bulan waktu rehearsal-nya sebelum rangkaian pertunjukan musim panas Hemingway’s dimulai. Jadi sekalipun saat itu kesepakatan kami sudah berakhirpun aku dipastikan tetap akan tampil dalam pertunjukannya.

Aku sempat memikirkan kemungkinan lain jika aku menolak tawaran itu. Selain kehilangan kesempatan bergabung di Hemingway's, aku juga mesti menghadapi para wartawan, lalu teman-teman kampusku, untuk menjelaskan tentang foto itu. Dan tentu saja ibuku.

Paul memberitahuku, jika kami tidak segera melakukan klarifikasi lebih dulu, maka para media cepat atau lambat akan memberitakan hal-hal dari sudut pandang mereka sendiri, a.k.a skandal, karena berita-berita semacam itu dapat mendongkrak popularitas berita mereka.

Kupikir bila nanti mereka sampai tahu identitasku lalu mulai memberitakan yang aneh-aneh tentangku, habis lah sudah. Bayangan tentang reaksi ibuku saat hal itu benar-benar terjadi jauh lebih mengerikan ketimbang menerima tawaran Paul.

"Kau baik-baik saja?" suara Paul menarik pikiranku kembali. Aku menghela napas dalam-dalam. “Apakah kau yakin benar-benar tak ada jalan lain?” tanyaku putus asa.

Paul tersenyum minta maaf, pandangan matanya seolah berharap aku memahami situasinya. “Hanya konferensi pers ini dan sesekali menampilkan diri kalian di depan publik agar masyarakat percaya, itu saja.” ia berkata. Perutku langsung mulas mendengarnya.

“Jangan membuatnya gugup Paul." aku mendengar Jason berbicara dengan nada mengantuk dari kursi belakang. Aku melirik garang kepadanya melalui kaca spion di atas dashboard.  

"Ada dua hal yang pasti akan terjadi setelah hari ini, Mia." Jason berbicara kembali. "Pertama karena kau mengekspose dirimu, maka para wartawan akan berusaha untuk mewawancaraimu."

"Kedua, para fans-ku pasti bakal mengincarmu, mereka akan menilaimu, jadi nanti jangan mengeluh. Karena kau tahu semua cewek menginginkan posisimu saat ini."

Aku mendengus sinis mendengar kalimat terakhirnya. Dia masih saja bersikap arogan dan sok, bahkan ketika ia membutuhkan bantuanku!

"Kau tak perlu mencemaskan wartawan dan para fans, karena manajemen akan mengatasinya. Fokus saja agar kau tidak berbuat kesalahan yang membuat orang-orang curiga tentang rencana kita."

"Dan yang terpenting, jangan katakan tentang hal ini kepada siapapun," ujar Jason tajam. Aku menyipitkan mata memandangnya lewat kaca spion.

"Bahkan Lauren? Dia sahabatku," tukasku. "Terutama dia," gumam Jason kemudian kembali memejamkan matanya. Aku menghela napas kemudian mengalihkan pandangan keluar jendela.

"Jangan kuatir, semua akan baik-baik saja." Paul menenangkanku. Aku meliriknya lalu tersenyum sekilas. Bagaimana mungkin akan baik-baik saja

Saat kami tiba beberapa pria dengan dandanan bodyguard tampak bersiaga di depan lobi hotel. Ketika Paul menghentikan mobil salah seorang di antara mereka bergegas menghampiri mobil kami kemudian membukakan pintu penumpang bagian belakang untuk Jason.

Aku menggenggam sabuk pengaman erat-erat, seakan itu adalah pegangan hidupku.

Kupalingkan wajah memandang Paul yang sedang berbicara dengan salah seorang pria di luar. Aku menelan ludah dengan gugup,

"Kau yakin ini akan berhasil?" aku bertanya ketika Paul mengemasi barangnya dari atas dashboard. "Maksudku bagaimana kalau keadaaan justru menjadi semakin buruk?" tanyaku parau.

Paul mengangkat wajahnya dan mengamatiku sejenak, "Jangan khawatir selama kita melakukan semua seperti rencana tak akan ada masalah," ujarnya menenangkan.

Sebuah ketukan di jendela membuatku terlonjak, Aku memalingkan wajah ke luar jendela mobil dan melihat Jason berdiri di sana.

Jason membuka pintu mobil lebar-lebar dan menungguku melangkah keluar. Rasanya kakiku agak gemetar. Aku masih berharap dengan sia-sia mereka akan membatalkan semua ini. Tentu saja itu tidak terjadi.

"Kau terlihat sempurna," bisik Jason ketika aku telah melangkah keluar, sebelum ia menutup pintu mobil di belakangku.

Aku menatap sekilas pada pakaian yang kukenakan. Ini pertama kalinya aku memakai baju rancangan seorang desainer. Jason bersikeras agar aku berpenampilan seperti salah satu tamu yang kulihat dalam acara Met Gala tahunan di televisi.

"Ini benar-benar tidak perlu," protesku saat salah satu asisten wanita di butik menyodorkan gaun one shoulder model Yunani dari bahan duchesse warna salem yang bagian bawahnya menjuntai hingga mata kakiku.

Mereka juga membuatku memakai sepasang sepatu decoltish Louboutin serta satu set perhiasan berwarna senada. Jujur saja aku merasa aneh, seperti bukan diriku.

"Ayo masuk." Jason berkata seraya menyodorkan lengannya. Aku menelan ludah dengan susah payah lalu mengaitkan tanganku pada lengannya kemudian kami berjalan bersama memasuki tempat itu.

"Gugup?" bisiknya di dekat telingaku saat kami menyusuri anak tangga yang terbuat dari kaca mengarah ke lantai dua ballroom. "Jangan khawatir, aku ada di sampingmu." ia berbisik seraya tersenyum padaku. Aku menatapnya sengit.

Dia pikir gara-gara siapa aku sampai harus melakukan semua ini? Dasar menyebalkan. "Urus saja urusanmu sendiri!" bentakku dengan suara pelan.

Jason tertawa pelan kemudian tiba-tiba ia menghentikan langkahnya sehingga membuatku kehilangan keseimbangan. Aku memekik kaget dan berusaha meraih pegangan, tepat saat dia mengulurkan tangannya yang lain untuk menangkap pinggangku sebelum aku jatuh tersungkur.

"Hati-hati, sayang. Kau selalu saja ceroboh. Apa jadinya kalau aku tak ada di sampingmu?" ia berkata dengan nada lembut yang dibuat-buat. Aku ternganga tak percaya melihatnya.

Jason menatapku dengan sebelah alis terangkat seolah menantangku. "Terima kasih kembali," ujarnya enteng kemudian kembali memalingkan wajahnya memandang ke depan.

Aku tahu dia mati-matian menahan tawa, karena aku melihat bibirnya yang terkatup erat tampak gemetaran karena menahan tawa. Aku melotot padanya.

"Apa kau mau aku berubah pikiran?!" bisikku sengit. Dia mendengus pelan, "Kau tidak akan begitu." Jason berkata santai. “Oh ya?”tantangku.           

"Mm-hm," ia bergumam santai. "Tak ada jalan untuk kembali Mia. Kau pasti menyadarinya." Aku benci mengakui kalau ucapannya benar.

"Sekarang singkirkan ekspresi cemberutmu itu dan tersenyumlah. Kita harus terlihat super bahagia di depan mereka." ia berbisik tajam di telingaku.

Detik berikutnya ketika kami melangkah masuk ke dalam ballroom Jason sudah memasang senyum lebar di wajahnya menyapa seisi ruangan yang telah dipenuhi oleh para awak media.

Aku melihat sekeliling dengan gugup hingga langkahku hampir terhenti. Namun Jason menurunkan lengannya yang tadinya mengamit tanganku dan sebagai gantinya ia menggandengku berjalan bersamanya menuju bagian depan ruangan.

 Ada sebuah meja panjang yang di atasnya penuh mikrofon dengan logo berbagai stasiun tv di depan deretan kursi berlengan di balik meja itu. "Tersenyumlah," desak Jason.

Setelah memaki diriku dalam hati, karena telah menempatkan diriku sendiri dalam situasi ini, aku mengerahkan segenap kekuatanku lalu memusatkannya pada setiap otot yang ada di wajahku. Aku bersyukur kalau wajahku tidak sampai retak karenanya.

“Bersiaplah, Mia.” Jason berbisik di dekat telingaku selagi kami mengambil tempat di kursi yang telah disediakan. Aku menyipitkan mata melihat senyum liciknya. “Sebentar lagi kau bakal terkenal, karena aku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status