{Mia POV}
Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru.
"Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya.Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar.
"Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem.Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobil chevy.
Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip."Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe.
Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya.
"Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub.
"Kukira dulu&nThanks for stay tune di cerita manis yang mewakili sebagian besar kisah hidup Mia yang ditulis dalam buku hariannya. Beberapa pembaca berharapnya cerita ini sampai Jason dan Mia menikah lalu punya anak-anak, tapi menurut aku pribadi mereka berdua sudah punya awal yang luar biasa dengan perasaan satu sama lain jadi kejadian-kejadian selanjutnya dalam hidup mereka berdua pasti bakalan sama luar biasanya seperti yang bisa dibayangkan para pembaca.^^ best regard Author
Dear diary,Akhirnya saat yang kutunggu datang juga. Hari ini hasil audisi The Winter Snow akan diumumkan. Semoga saja aku mendapatkan perannya.Aku mulai tertarik pada drama musikal sejak menonton pertunjukan teater Broadway pertamaku tahun lalu. Ibuku tahu aku suka semua hal yang berbau musik, jadi untuk merayakan aku diterima di universitas Columbia dia membeli tiket Phantom of the Opera. Kami menonton pertunjukannya di hari yang kedua. Sulit dijelaskan tapi kesanku untuk acara itu cukup mendalam.Sejak itu aku jadi ketagihan melihat pertunjukannya. Tiketnya sendiri tidak murah, karena itu aku kerja paruh waktu di Red Roaster, sebuah restoran keluarga di daerah Lenox Ave, supaya aku tak perlu sampai meminta uang saku pada ibu bila ingin membeli tiketnya. Hingga datanglah kesempatan emas itu.Bulan lalu saat sedang mengerjakan tuga
“Aku baru ingat,” celetuk Amy ketika kami berdua tengah berjalan menyusuri koridor sekolah yang lengang setelah jam pelajaran terakhir selesai. “Kim bilang padaku Jason akan mengadakan pesta di Long Island akhir pekan ini di vila pribadinya, katanya semua orang di kelas kita diundang, bukankah itu hebat?!” ujarnya menggebu. Jason Marshall adalah cowok terpopuler di sekolah kami. Dia tampan, kaya dan kebetulan ia juga adalah seorang selebriti. Amy nge-fans padanya. Begitupula para cewek remaja di seantero Sacramento High School. Aku menyebut mereka groupies.Aku sendiri tak begitu mengenalnya selain dari cerita-cerita Amy, namun minggu lalu wali kelas kami ternyata menunjukku untuk mewakili sekolah kami dalam ajang decathlon antar negara bagian, bersama-sama dengan Jason Marshall. Amy sampai heboh karenanya. Sejak itu dia tak pernah absen hadir dalam setiap jadwal latihan tim kami hanya demi melihat Jason.
"Dia membuat kampus ini seperti acara fan meeting setiap harinya." Lauren menggerutu padaku suatu pagi. Kami sedang menunggu jam kuliah berikutnya sembari mempelajari materi yang akan diujikan oleh dosen, namun kumpulan mahasiswi yang mengerumuni Jason untuk meminta foto bersamanya terlampau berisik hingga membuat kami sulit berkonsentrasi. Aku hanya mengangguk lalu segera mengalihkan pandangan dari mereka. Sejak hari itu Jason tak pernah lagi bicara padaku, dia mengacuhkanku seperti aku mengabaikannya. Dan kecuali saat jam kuliah aku menghindari bertemu dengannya sebisa mungkin.Ini cukup mudah, karena kemanapun dia pergi orang-orang akan mengerubunginya seperti lalat. Cewek-cewek groupies yang menjerit histeris, serta deretan mahasiswa yang mengantre untuk meminta tanda tangannya. Jadi di mana ada kehebohan aku tahu siapa yang sedang berada di situ.Awalnya aku tidak mengerti kenapa Jason mau repot-repot masuk kuliah mengingat karir-ny
Jason datang bersama seorang gadis cantik berpotongan pixie yang terus menggelayuti lengannya selagi mereka berjalan. Jason mengenakan t-shirt berwarna gelap dengan aksen robek di bagian dadanya di atas celana kulit cokelat burgundy. Ia hanya mengangkat dagu sekilas menanggapi sapaan Thomas sembari menuju ke tempat kami duduk. Kemudian pandangannya beralih padaku. Ia mengerutkan kening menatapku seolah aku adalah orang yang pernah dia temui namun tak dapat diingatnya, kemudian matanya melebar ketika ia mengenaliku. Jason mengangkat sebelah alisnya memandangiku, kemudian melirik pada Thomas, lalu Lauren. Ketika ia sampai di dekat sofa, dua orang cowok berdiri untuk memberinya tempat lalu mereka berjalan ke luar ruangan. Kini Jason duduk berseberangan denganku. Matanya menatapku tajam. "Kukira kau bakal absen malam ini karena semua artikel itu.” Thomas berbicara sambil menuangkan whiski ke dalam gelas kaca yang telah diisi bongkahan es batu ke
"Jangan ke kampus hari ini!!" Aku mengerutkan kening membaca pesan singkat dari Lauren pagi itu ketika hendak bersiap-siap pergi kuliah. "Kenapa?" balasku. Lalu ia menulis lagi, “GAWAT DARURAT!” tulisnya dengan huruf besar-besar, biasanya itu pertanda kalau ia sedang histeris. Aku bisa membayangkan ekspresi Lauren saat ini."Banyak sekali wartawan yang berkumpul di depan gedung utama dan mereka semua terlihat seperti barracuda, pokoknya jangan datang kemari!!" tambahnya lagi."Benar-benar sial…” aku mengerang seraya membentur-benturkan kepala ke meja. Ingatanku kembali kepada insiden kemarin malam. Ketika Jason Marshall si brengsek itu mempermalukanku di depan para wartawan.Kemarin aku dan Lauren sampai harus bersembunyi selama tiga jam di dalam toilet hanya untuk menunggu mereka semua membubarkan diri. Lalu kami mengendap-endap lewat pintu k
Jason Marshall?! Orang yang paling ingin kucekik seharian ini, sedang duduk dengan santai di sana sambil memandangiku dengan senyum memuakkan yang menghiasi wajahnya. Aku tidak tahan melihatnya dan langsung membuang muka.Setelah berpamitan pada Tim dengan alasan bahwa aku harus mengerjakan tugas penting dari kampus untuk besok, aku bergegas pergi ke loker-ku untuk mengambil jaket dan tas lalu keluar lewat pintu sampingSebenarnya aku benci selalu kabur seperti kucing ketakutan setiap kali melihatnya, tapi aku benar-benar tak ingin bertemu dengan dia, terutama sekarang. Kenapa juga dia bisa muncul di sini?Udara malam yang dingin langsung menyambutku begitu menginjakkan kaki di luar. Aku berjalan sambil merapatkan jaket dan menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku, meniupnya sesekali untuk mengusir hawa dingin.Namun saat hendak berbelok ke126th street tanganku tiba-tiba dicekal dari belakang kemudian tu
"Darimana kau tahu tempat aku bekerja?" tanyaku curiga pada Jason yang sedang menyetir di sebelahku. "Nah, kita sudah sampai." Ia berkata seolah tidak mendengar pertanyaanku.Aku memandang berkeliling, "Kita ada di mana?" Ia menghentikan mobil di depan sebuah gerbang hitam yang tinggi menjulang. "Rumahku. " ia berkata santai sambil mengedikkan kepalanya ke arah pintu gerbang itu."Untuk apa kita mesti ke rumahmu segala, katakan saja apa yang mau kau bicarakandi sini," sahutku ketus. Jason memandang sekeliling sambil mengangkat kedua alisnya. "Di sini? Kau yakin? Maksudku mungkin saja para wartawan sedang mengintai rumahku sekarang ini.""Aku sih tidak masalah kalau kau memang ingin kita terpergok lagi oleh mereka sedang berduaan." ia berkata sambil mengangkat bahu tak acuh. Aku melotot padanya.Jason tersenyum kemudian membelokkan mobilnya ke arah pintu gerbang itu, yang entah bagaimana langsung berderit dan membuka perlahan begitu mo
Aku memerhatikan Paul yang tengah mengemudi di sebelahku sembari berbicara santai dengan seseorang lewat earphone-nya. Kemudian aku melirik lewat kaca spion pada Jason yang setengah rebahan di bangku belakang dengan kepala bersandar pada jok dan kedua mata terpejam. Apakah aku satu-satunya yang merasa cemas di sini? Kami bertiga sedang dalam perjalanan menuju Four Seasons karena manajemen mereka akan mengadakan konferensi pers pagi ini diballroomhotelnya. Paul berkata mereka telah mengundang wartawan dari berbagai tabloid, serta reporter dari beberapa stasiun televisi terkenal untuk meliput acara ini. Mengapa aku ikut? Karena akulah alasan mereka mengadakan konferensi pers ini. Sebab pada malam aku bertemu dengan Paul di rumah Jason waktu itu, aku telah membuat kesepakatan paling gila dalam hidupku demi pertunjukan Hemingway’s. Aku memang setengah mati menginginkan peran itu, dan rasanya tidak rela bila hanya gar