Share

Episode 9

Author: Racie4s
last update Last Updated: 2021-07-20 20:25:21

"Syukurlah acaranya sukses. Andy Phelps tadi sempat uring-uringan waktu CNET mengajukan pertanyaan di luar skrip." Paul melirik Jason yang duduk di kursi penumpang belakang lewat kaca spion di atas dashboard.

“Itu berkat Mia, dia tenang sekali selama konferensi pers-nya. Orang-orang jadi gampang percaya, ya,‘kan?”Jason berkata sambil melirikku. Aku mengabaikannya dan berpaling keluar jendela memandangi deretan gedung sepanjang jalan yang kami lewati di Madison Ave.

Kami baru saja menyelesaikan konferensi pers itu setengah jam yang lalu dan pers release tentang Jason dan aku telah dikeluarkan.

Ceritanya adalah aku sebagai kekasih Jason merasa enggan identitasku diketahui banyak orang. Jadi selama ini kami sepakat menyembunyikan hubungan kami, hingga terpergok oleh wartawan di klub malam tempo hari.

Semua gosip tentang kebiasaan buruk Jason selama ini sama sekali tidak benar. Sesungguhnya dia selalu pergi dengan banyak orang, tapi wartawan yang mengikutinya membuat seolah-olah Jason terlihat hanya bersama seorang gadis berbeda setiap kalinya.

Jason yang merasa kesal karena pemberitaan negatif terus menerus, tak bisa mengendalikan emosi ketika suatu kali harus berhadapan langsung dengan mereka.

Saat konferensi pers itu Jason juga menyampaikan permintaan maaf dengan tulus di depan awak media, kemudian ia mengakhirinya dengan kata-kata,

"Sekarang karena aku sudah memberitahukan semuanya pada kalian, kumohon berhentilah membuat gosip yang aneh-aneh, apalagi tentang aku dan cewek manapun, karena aku tak mau kekasihku salah paham."

Kemudian Jason menggenggam jemariku di atas meja sambil tersenyum pada mereka semua, yang langsung disambut oleh tawa riuh para wartawan yang hadir.

Lalu ketika mereka bertanya padaku tentang perasaanku kepada Jason, aku menyilangkan jariku di bawah meja dan berkata, "Dia adalah cowok paling manis yang pernah kukenal, aku benar-benar menyukainya." 

Syukurlah acara itu tidak berlangsung lama, karena aku benar-benar tak sanggup lagi mengucapkan kebohongan apapun tanpa membuat perutku terasa mual.

"Kita pergi ke Roughly Company dulu." Jason berkata padaku. "Buat apa kita kesana? Kau mau minum-minum setelah konferensi pers?" tanyaku heran.

Jason mendengus pelan. "Ada urusan yang harus kuselesaikan, tapi kita bisa minum juga kalau kau mau." ia berkata tak acuh.

"Bawa saja mobilnya, aku tak bisa ikut kalian karena ada klien yang harus kutemui," ujar Paul sambil melirik lewat kaca spion di atas dashboard. "Tentu. Aku bisa mengatasinya sendiri," gumam Jason tanpa mengangkat wajahnya dari layar ponsel.

"Jangan mengacaukannya lagi kali ini.” Paul memeringatkan sambil mendelik pada Jason. “Susah sekali membujuk dia agar mau menemuimu setelah apa yang kau lakukan padanya." 

"Sebenarnya untuk apa kita ke sini?" tanyaku ketika kami berada di depan pintu masuk Roughly. "Kita akan menemui Thomas Parker," ujar Jason sambil menyerahkan kunci  mobilnya pada seorang pelayan valley.

"Teman barumu." dia menambahkan dengan nada menyindir. "Thomas? Kenapa?" tanyaku bingung.

"Kau tidak tahu? Seseorang mengambil video saat kami berdua berkelahi di klub tempo hari, dan dia berencana untuk melaporkan aku ke polisi atas tuduhan penganiayaan." Jason berbicara sambil menahan pintu depan untuk membiarkan aku masuk lebih dulu.

Aku mengangkat alis mendengar perkataannya, "Kau memang pantas menerimanya karena perbuatanmu pada Thomas," sahutku sambil berjalan melewatinya. Namun Jason tiba-tiba meraih lenganku dan menahan langkahku.

"Apa kau lupa pada cerita yang sudah kita sepakati? Aku memukul Thomas karena bajingan itu berniat menggoda kekasihku," Jason menuding wajahku. “Kau. Camkan itu baik-baik,” ujarnya tajam sebelum melepaskan genggamannya lalu berjalan mendahuluiku. Sekarang dia menjadikan semuanya salahku?

Suara musik yang berirama cukup keras memenuhi seluruh bar yang cahayanya temaram. Para pengunjung sebagian besar memenuhi deretan kursi tinggi yang mengelilingi meja bar panjang di sebelah barat ruangan itu.

Interior bar didominasi kayu yang dicat warna gelap, dan semua perabot mereka juga memiliki warna senada. Di beberapa sudut bar diterangi oleh cahaya lampu keemasan yang nampak seperti nyala lilin.

Aku mengikuti Jason yang berjalan melewati deretan kursi hingga hampir ke bagian yang paling ujung. Kemudian aku melihat Thomas yang duduk sendirian sambil menenggak minuman dalam gelas kaca.

"Tunggu di sini, aku akan bicara padanya," perintah Jason sebelum berlalu pergi. Aku mengawasinya sambil mencibir dalam hati.

Jason menghampiri Thomas yang hanya meliriknya sekilas sebelum ia kembali menyesap minumanya. Lalu aku melihat Jason mengatakan sesuatu dengan wajah serius namun ditanggapi oleh Thomas dengan seringai sinis di wajahnya.

Apapun yang sedang Jason lakukan saat ini aku menduga itu tidak berjalan lancar, karena sekarang Thomas bahkan tak mau menatapnya sama sekali, sedangkan Jason terus saja mengoceh dengan mimik wajah penuh emosi.

Kemudian aku melihat Jason mengulurkan tangannya dan mencengkeram bahu Thomas dengan raut wajah tidak sabaran. Thomas langsung menepiskan tangan Jason dengan marah. Gawat.

Aku langsung bergidik teringat peristiwa perkelahian mereka di klub malam tempo hari. Karena takut mungkin akan terjadi adegan kekerasan yang sama, aku buru-buru berlari ke arah mereka.

Tepat saat itu, Thomas melihatku. Senyum cerah langsung terkembang di wajahnya. "Kulihat kau membawa tawaran perdamaian," ujarnya sambil melirik Jason sekilas sebelum kembali melihatku.

"Apa kabar Mia?" ia menyapa sambil menyeringai." "Hai Thomas," ujarku canggung. Kemudian dia kembali menoleh pada Jason dan berkata, "Nah, sekarang masalahnya sudah terpecahkan."

"Semua berawal dari dia, jadi kalau kau sungguh-sungguh menyesal, maka aku berhak mendapatkan kesempatan untuk pergi dengannya, itu baru adil."

Jason terlihat semakin murka. Dia menggertakkan rahang, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Kau tak akan pergi kemanapun dengan pacarku."

"Kalau begitu, kita sudah selesai di sini," sahut Thomas enteng. "Sampai ketemu di pengadilan." Dengan cepat aku menahannya ketika Thomas hendak beranjak pergi.

Sebenarnya aku mau-mau saja membiarkan Jason dilaporkan. Mungkin menghabiskan satu dua malam di kantor polisi bakal mendinginkan kepalanya.

Tapi masalahnya kalau dia sampai dipenjara, walaupun tidak secara langsung aku bakal ikut terkena imbasnya. Sebab sejak konferensi pers itu sekarang aku jadi terlibat dengannya.

"Thomas, please, ini semua salahku. Jika aku bilang padamu dari awal kalau aku bersama Jason, semua kesalahpahaman ini tidak akan terjadi." aku memasang tampang menyesal.

"Tapi bukan kau yang memukulku Mia," tukasnya, kemudian menuding Jason.

"... dia yang melakukannya."

"Iya aku tahu, tapi Jason marah karena mengira kau mencoba mendekatiku." "Memang," sahut Thomas sambil mengangkat sebelah bahu. "Tapi itu karena kau tidak tahu aku kekasih Jason, ya, ‘kan?" aku menahan dada Jason dengan telapak tanganku ketika ia nyaris merangsek maju ke arah Thomas.

"Seperti yang kukatakan, ini cuma salah paham, Thomas." aku melanjutkan ketika melihatnya masih tampak ragu-ragu. "Baiklah, begini saja, satu kali makan siang, dan aku yang memilih tempat dan juga waktunya, bagaimana?"

Thomas menatapku dengan mata melebar, kemudian sebuah seringai menghiasi wajahnya. "Kau dan aku, dia tidak diajak, " ujarnya sambil mengedikkan kepala ke arah Jason yang kini melotot dengan garang padaku.

Aku menganggukan kepala pada Thomas. "Tapi kumohon kau mau mencabut laporannya lalu membuat pernyataan tertulis bahwa kau tak akan menuntut Jason," ujarku.

Thomas tersenyum simpul sambil melihat Jason dengan tatapan mencemooh. "Anggap saja sudah selesai," ujarnya santai. Aku menghela nafas lega, "Terima kasih Thomas."

Ia tersenyum padaku sembari mengeluarkan segulung uang kemudian meletakkannya di bawah gelas di atas meja bar. “Kalau begitu kutunggu kabar darimu soal makan siang kita,” ujar Thomas sambil melirik Jason kemudian ia melenggang pergi meninggalkan kami berdua.

"Apa-apaan kau?!" Jason menepiskan tanganku yang masih menahan dadanya ketika Thomas sudah tidak kelihatan lagi. "Percayalah padaku, semua beres." aku berkata jengah. Masalah dengannya seperti tidak ada habisnya.

"Apa kau tahu seperti apa bajingan itu?!" semburnya. "Satu-satunya hal yang diinginkan Thomas Parker hanyalah— "

"Diam Jason!" aku memotong ucapannya.

"Kau pikir dirimu lebih baik darinya? Apa perlu kuingatkan kita baru saja menyebarkan kebohongan ke semua orang tentang hubungan kita demi popularitasmu?!" desisku marah.

"Pelankan suaramu." dia berkata tajam dengan suara di rendahkan. Aku mengabaikan ucapannya. "Berhubung kau terlanjur melibatkanku dalam hal ini, biarkan aku yang mengatasinya dengan caraku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Falling for you   Episode 89

    {Mia POV} Aku menggenggam tangan Jason yang menangkup wajahku sambil tersenyum haru."Thanks. Ini sangat berarti untukku." aku berkata kemudian mencodongkan tubuhku dan mencium pipinya. Jason melihatku dengan pandangan berbinar-binar."Ini adalah momen yang bagus Mia,” ujarnya dengan suara yang ditarik-tarik, senyum samar menghiasi bibirnya," dan sungguh, aku bisa melakukan ini seharian.""Kalau saja Joe tidak menonton kita dari tadi," imbuhnya kalem. Mataku melebar terkejut, aku menoleh dengan cepat dan mendapati Joe sedang berdiri tidak jauh dari mobilchevy.Ia tengah memperhatikan kami berdua tanpa berkedip. "Hai sobat, apa kabar?" Jason melambaikan tangannya dengan kasual pada Joe. Anak itu melihat ke arah chevy dengan pandangan terkesima. Melihat Jason lebih tepatnya. "Kau berhasil menghidupkan benda ini kembali." ekspresinya campuran ngeri dan takjub."Kukira dulu&n

  • Falling for you   Episode 88

    Jason memejamkan matanya, terlihat gusar. Namun ketika ia membuka mata dan memandangku lagi, aku menangkap sorot geli di matanya, seolah ia mendapati diri sedang berada dalam situasi yang konyol dan tak terduga. “Tidak juga,” ujarnya. “Itu jawaban yang aneh,” gumamku bingung. “Lantas, untuk apa sebenarnya kunci yang ada di dalam kotak itu, aku tidak mengerti…” Ia merengkuh wajahku lalu menyandarkannya ke dadanya. “Jangan dipikirkan.” Ia menghembuskan napas panjang. “Ceritakan padaku tentang kontrak terbaru Blues, apa kau menerimanya?” Aku menggangguk pelan. “Dengan syarat-syarat seperti yang kau beritahukan kepadaku,” kataku teredam. “Siapa yang menyangka.” aku berkata lirih. Setelah pementasan teater Hemingway’s, lalu OST itu dan sekarang kontrak baru ini…” “Aku menyangkanya, kau yang terlalu memandang rendah dirimu sendiri.” Aku tersenyum di dadanya. “Bagaimana denganmu? Apa syutingnya berjalan lancar?” “Ya, sutradara

  • Falling for you   Episode 87

    {Mia POV} “Kenapa aku tidak melihat ibuku dan Joe, atau Lauren malam ini?” aku bertanya seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling teater Delacorte selagi kami berjalan meninggalkan tribun. “Mereka pergi duluan.” Jason mengangguk kepada sopirnya yang menunggu, pria itu dengan cekatan segera membuka pintu belakang mobil dan menahannya untuk kami. “Aku ditunggu untuk makan malam bersama anggota yang lain,” kataku ketika Jason menggiringku masuk ke mobilnya. "Jean-Pierre mengadakan pesta untuk semua kru dan pemain di Forestier, aku wajib datang." aku mengingatkannya. "Kau tidak akan ke sana," sahut Jason ringan, ada jejak humor dalam suaranya. "Karena kau sedang diculik." *** Aku tertegun saat melihat di mana mobilnya berhenti. Jason tersenyum mengamati ekspresiku. "Kau menyukainya?" Dia membawa kami ke Montreal. Aku tertawa pelan lalu berpaling padanya. "Sepertinya kau

  • Falling for you   Episode 86

    {Mia POV} Dua belas jam sebelum pertunjukan Delacorte “Kau ikut? Aku dan Joe ingin ke Forestier.” ibuku berhenti di ambang pintu kamar saat melihatku masih belum beranjak dari depan meja belajar. “Sebentar,” gumamku tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer. Aku sedang menyelesaikan balasan email yang akan kukirimkan pada Blues Record. Setelah kontrak OST yang terakhir kali mereka mengajukan penawaran lain dan aku memerlukan beberapa detailnya sebelum memutuskan. Kemarin aku telah memberitahu Jason tetang prospek tersebut, dan dia mengusulkan beberapa hal dalam klausul kontraknya bila aku memang ingin kembali bekerja sama dengan label mereka. Jason sangat terperinci. Aku harus bersyukur atas pengalamannya berurusan dengan banyak agensi dan manajemen artis sejak kecil, kini itu membantuku. Sudah satu bulan sejak dia berangkat ke Prancis, dan alih-alih berbicara dan saling menan

  • Falling for you   Episode 85

    {Mia POV} Aku memusatkan pikiran, berusaha menghapal dialog yang sudah kuulangi sekitar seratus kali di kepalaku. Mencoba meredam suara-suara di sekitarku dengan berpikir lebih keras meskipun itu tak terlalu berhasil. Aku masih bisa mendengar Jean-Pierre berseru dengan lantang pada para pemain lain serta kru agar bersiap untuk adegan selanjutnya.Adegan penutup yang menentukan. Ini adalah hari terakhir dari rangkaian pertunjukan teater Hemingway's, "The Winter Snow".Sudah empat hari ini mereka mengadakan pertunjukannya di Delacorte. Bahkan malam ini penonton yang datang semakin membludak. Melihat lagi ke belakang, kupikir ini seperti mukjizat. Sampai sebulan yang lalu, aku masih berada dalam perawatan. Dokter yang memeriksaku secara teratur mengatakan meskipun luka tembak yang kualami tidak mengenai bagian yang vital, tapi trauma lukanya membuat tubuhku sempat sulit merespon obat-obatan.Mereka harus melakukan

  • Falling for you   Episode 84

    {Mia POV} “Aku belum memutuskan apapun.” Jason berkata tenang. Ia mengusap punggung tanganku yang digenggamnya dengan ibu jari. “Aku ingin memberitahumu lebih dulu.” Aku menelan ludah dengan sudah payah. ”Itu tidak ada bedanya, kau tetap harus pergi.” Jason mengalihkan pandangannya diriku, tatapannya menekuri jalinan tangan kami di atas selimut. “Sebenarnya aku memiliki beberapa prioritas.” ia berkata lalu menatapku penuh arti. “… dan kekasih yang memerlukan kehadiranku ada di daftar teratas.” Dia ragu karena aku. Untuk sesaat hatiku diliputi kebahagiaan. Sampai perkataannya tersebut membuatku berpikir ulang tentang banyak kemungkinan, dan apa jadinya bila dia mengabaikan kesempatan dalam hidupnya demi aku. Jason telah melakukan banyak hal untukku, bukan saja mendukung namun dia juga menciptakan kesempatan-kesempatan hingga impianku menjadi penyanyi terwujud. Kesal dan frustasi karena sadar tidak mungkin m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status