Share

Episode 9

"Syukurlah acaranya sukses. Andy Phelps tadi sempat uring-uringan waktu CNET mengajukan pertanyaan di luar skrip." Paul melirik Jason yang duduk di kursi penumpang belakang lewat kaca spion di atas dashboard.

“Itu berkat Mia, dia tenang sekali selama konferensi pers-nya. Orang-orang jadi gampang percaya, ya,‘kan?”Jason berkata sambil melirikku. Aku mengabaikannya dan berpaling keluar jendela memandangi deretan gedung sepanjang jalan yang kami lewati di Madison Ave.

Kami baru saja menyelesaikan konferensi pers itu setengah jam yang lalu dan pers release tentang Jason dan aku telah dikeluarkan.

Ceritanya adalah aku sebagai kekasih Jason merasa enggan identitasku diketahui banyak orang. Jadi selama ini kami sepakat menyembunyikan hubungan kami, hingga terpergok oleh wartawan di klub malam tempo hari.

Semua gosip tentang kebiasaan buruk Jason selama ini sama sekali tidak benar. Sesungguhnya dia selalu pergi dengan banyak orang, tapi wartawan yang mengikutinya membuat seolah-olah Jason terlihat hanya bersama seorang gadis berbeda setiap kalinya.

Jason yang merasa kesal karena pemberitaan negatif terus menerus, tak bisa mengendalikan emosi ketika suatu kali harus berhadapan langsung dengan mereka.

Saat konferensi pers itu Jason juga menyampaikan permintaan maaf dengan tulus di depan awak media, kemudian ia mengakhirinya dengan kata-kata,

"Sekarang karena aku sudah memberitahukan semuanya pada kalian, kumohon berhentilah membuat gosip yang aneh-aneh, apalagi tentang aku dan cewek manapun, karena aku tak mau kekasihku salah paham."

Kemudian Jason menggenggam jemariku di atas meja sambil tersenyum pada mereka semua, yang langsung disambut oleh tawa riuh para wartawan yang hadir.

Lalu ketika mereka bertanya padaku tentang perasaanku kepada Jason, aku menyilangkan jariku di bawah meja dan berkata, "Dia adalah cowok paling manis yang pernah kukenal, aku benar-benar menyukainya." 

Syukurlah acara itu tidak berlangsung lama, karena aku benar-benar tak sanggup lagi mengucapkan kebohongan apapun tanpa membuat perutku terasa mual.

"Kita pergi ke Roughly Company dulu." Jason berkata padaku. "Buat apa kita kesana? Kau mau minum-minum setelah konferensi pers?" tanyaku heran.

Jason mendengus pelan. "Ada urusan yang harus kuselesaikan, tapi kita bisa minum juga kalau kau mau." ia berkata tak acuh.

"Bawa saja mobilnya, aku tak bisa ikut kalian karena ada klien yang harus kutemui," ujar Paul sambil melirik lewat kaca spion di atas dashboard. "Tentu. Aku bisa mengatasinya sendiri," gumam Jason tanpa mengangkat wajahnya dari layar ponsel.

"Jangan mengacaukannya lagi kali ini.” Paul memeringatkan sambil mendelik pada Jason. “Susah sekali membujuk dia agar mau menemuimu setelah apa yang kau lakukan padanya." 

"Sebenarnya untuk apa kita ke sini?" tanyaku ketika kami berada di depan pintu masuk Roughly. "Kita akan menemui Thomas Parker," ujar Jason sambil menyerahkan kunci  mobilnya pada seorang pelayan valley.

"Teman barumu." dia menambahkan dengan nada menyindir. "Thomas? Kenapa?" tanyaku bingung.

"Kau tidak tahu? Seseorang mengambil video saat kami berdua berkelahi di klub tempo hari, dan dia berencana untuk melaporkan aku ke polisi atas tuduhan penganiayaan." Jason berbicara sambil menahan pintu depan untuk membiarkan aku masuk lebih dulu.

Aku mengangkat alis mendengar perkataannya, "Kau memang pantas menerimanya karena perbuatanmu pada Thomas," sahutku sambil berjalan melewatinya. Namun Jason tiba-tiba meraih lenganku dan menahan langkahku.

"Apa kau lupa pada cerita yang sudah kita sepakati? Aku memukul Thomas karena bajingan itu berniat menggoda kekasihku," Jason menuding wajahku. “Kau. Camkan itu baik-baik,” ujarnya tajam sebelum melepaskan genggamannya lalu berjalan mendahuluiku. Sekarang dia menjadikan semuanya salahku?

Suara musik yang berirama cukup keras memenuhi seluruh bar yang cahayanya temaram. Para pengunjung sebagian besar memenuhi deretan kursi tinggi yang mengelilingi meja bar panjang di sebelah barat ruangan itu.

Interior bar didominasi kayu yang dicat warna gelap, dan semua perabot mereka juga memiliki warna senada. Di beberapa sudut bar diterangi oleh cahaya lampu keemasan yang nampak seperti nyala lilin.

Aku mengikuti Jason yang berjalan melewati deretan kursi hingga hampir ke bagian yang paling ujung. Kemudian aku melihat Thomas yang duduk sendirian sambil menenggak minuman dalam gelas kaca.

"Tunggu di sini, aku akan bicara padanya," perintah Jason sebelum berlalu pergi. Aku mengawasinya sambil mencibir dalam hati.

Jason menghampiri Thomas yang hanya meliriknya sekilas sebelum ia kembali menyesap minumanya. Lalu aku melihat Jason mengatakan sesuatu dengan wajah serius namun ditanggapi oleh Thomas dengan seringai sinis di wajahnya.

Apapun yang sedang Jason lakukan saat ini aku menduga itu tidak berjalan lancar, karena sekarang Thomas bahkan tak mau menatapnya sama sekali, sedangkan Jason terus saja mengoceh dengan mimik wajah penuh emosi.

Kemudian aku melihat Jason mengulurkan tangannya dan mencengkeram bahu Thomas dengan raut wajah tidak sabaran. Thomas langsung menepiskan tangan Jason dengan marah. Gawat.

Aku langsung bergidik teringat peristiwa perkelahian mereka di klub malam tempo hari. Karena takut mungkin akan terjadi adegan kekerasan yang sama, aku buru-buru berlari ke arah mereka.

Tepat saat itu, Thomas melihatku. Senyum cerah langsung terkembang di wajahnya. "Kulihat kau membawa tawaran perdamaian," ujarnya sambil melirik Jason sekilas sebelum kembali melihatku.

"Apa kabar Mia?" ia menyapa sambil menyeringai." "Hai Thomas," ujarku canggung. Kemudian dia kembali menoleh pada Jason dan berkata, "Nah, sekarang masalahnya sudah terpecahkan."

"Semua berawal dari dia, jadi kalau kau sungguh-sungguh menyesal, maka aku berhak mendapatkan kesempatan untuk pergi dengannya, itu baru adil."

Jason terlihat semakin murka. Dia menggertakkan rahang, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Kau tak akan pergi kemanapun dengan pacarku."

"Kalau begitu, kita sudah selesai di sini," sahut Thomas enteng. "Sampai ketemu di pengadilan." Dengan cepat aku menahannya ketika Thomas hendak beranjak pergi.

Sebenarnya aku mau-mau saja membiarkan Jason dilaporkan. Mungkin menghabiskan satu dua malam di kantor polisi bakal mendinginkan kepalanya.

Tapi masalahnya kalau dia sampai dipenjara, walaupun tidak secara langsung aku bakal ikut terkena imbasnya. Sebab sejak konferensi pers itu sekarang aku jadi terlibat dengannya.

"Thomas, please, ini semua salahku. Jika aku bilang padamu dari awal kalau aku bersama Jason, semua kesalahpahaman ini tidak akan terjadi." aku memasang tampang menyesal.

"Tapi bukan kau yang memukulku Mia," tukasnya, kemudian menuding Jason.

"... dia yang melakukannya."

"Iya aku tahu, tapi Jason marah karena mengira kau mencoba mendekatiku." "Memang," sahut Thomas sambil mengangkat sebelah bahu. "Tapi itu karena kau tidak tahu aku kekasih Jason, ya, ‘kan?" aku menahan dada Jason dengan telapak tanganku ketika ia nyaris merangsek maju ke arah Thomas.

"Seperti yang kukatakan, ini cuma salah paham, Thomas." aku melanjutkan ketika melihatnya masih tampak ragu-ragu. "Baiklah, begini saja, satu kali makan siang, dan aku yang memilih tempat dan juga waktunya, bagaimana?"

Thomas menatapku dengan mata melebar, kemudian sebuah seringai menghiasi wajahnya. "Kau dan aku, dia tidak diajak, " ujarnya sambil mengedikkan kepala ke arah Jason yang kini melotot dengan garang padaku.

Aku menganggukan kepala pada Thomas. "Tapi kumohon kau mau mencabut laporannya lalu membuat pernyataan tertulis bahwa kau tak akan menuntut Jason," ujarku.

Thomas tersenyum simpul sambil melihat Jason dengan tatapan mencemooh. "Anggap saja sudah selesai," ujarnya santai. Aku menghela nafas lega, "Terima kasih Thomas."

Ia tersenyum padaku sembari mengeluarkan segulung uang kemudian meletakkannya di bawah gelas di atas meja bar. “Kalau begitu kutunggu kabar darimu soal makan siang kita,” ujar Thomas sambil melirik Jason kemudian ia melenggang pergi meninggalkan kami berdua.

"Apa-apaan kau?!" Jason menepiskan tanganku yang masih menahan dadanya ketika Thomas sudah tidak kelihatan lagi. "Percayalah padaku, semua beres." aku berkata jengah. Masalah dengannya seperti tidak ada habisnya.

"Apa kau tahu seperti apa bajingan itu?!" semburnya. "Satu-satunya hal yang diinginkan Thomas Parker hanyalah— "

"Diam Jason!" aku memotong ucapannya.

"Kau pikir dirimu lebih baik darinya? Apa perlu kuingatkan kita baru saja menyebarkan kebohongan ke semua orang tentang hubungan kita demi popularitasmu?!" desisku marah.

"Pelankan suaramu." dia berkata tajam dengan suara di rendahkan. Aku mengabaikan ucapannya. "Berhubung kau terlanjur melibatkanku dalam hal ini, biarkan aku yang mengatasinya dengan caraku.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status