"Syukurlah acaranya sukses. Andy Phelps tadi sempat uring-uringan waktu CNET mengajukan pertanyaan di luar skrip." Paul melirik Jason yang duduk di kursi penumpang belakang lewat kaca spion di atas dashboard.
“Itu berkat Mia, dia tenang sekali selama konferensi pers-nya. Orang-orang jadi gampang percaya, ya,‘kan?”Jason berkata sambil melirikku. Aku mengabaikannya dan berpaling keluar jendela memandangi deretan gedung sepanjang jalan yang kami lewati di Madison Ave.
Kami baru saja menyelesaikan konferensi pers itu setengah jam yang lalu dan pers release tentang Jason dan aku telah dikeluarkan.
Ceritanya adalah aku sebagai kekasih Jason merasa enggan identitasku diketahui banyak orang. Jadi selama ini kami sepakat menyembunyikan hubungan kami, hingga terpergok oleh wartawan di klub malam tempo hari.
Semua gosip tentang kebiasaan buruk Jason selama ini sama sekali tidak benar. Sesungguhnya dia selalu pergi dengan banyak orang, tapi wartawan yang mengikutinya membuat seolah-olah Jason terlihat hanya bersama seorang gadis berbeda setiap kalinya.
Jason yang merasa kesal karena pemberitaan negatif terus menerus, tak bisa mengendalikan emosi ketika suatu kali harus berhadapan langsung dengan mereka.
Saat konferensi pers itu Jason juga menyampaikan permintaan maaf dengan tulus di depan awak media, kemudian ia mengakhirinya dengan kata-kata,
"Sekarang karena aku sudah memberitahukan semuanya pada kalian, kumohon berhentilah membuat gosip yang aneh-aneh, apalagi tentang aku dan cewek manapun, karena aku tak mau kekasihku salah paham."
Kemudian Jason menggenggam jemariku di atas meja sambil tersenyum pada mereka semua, yang langsung disambut oleh tawa riuh para wartawan yang hadir.
Lalu ketika mereka bertanya padaku tentang perasaanku kepada Jason, aku menyilangkan jariku di bawah meja dan berkata, "Dia adalah cowok paling manis yang pernah kukenal, aku benar-benar menyukainya."
Syukurlah acara itu tidak berlangsung lama, karena aku benar-benar tak sanggup lagi mengucapkan kebohongan apapun tanpa membuat perutku terasa mual.
"Kita pergi ke Roughly Company dulu." Jason berkata padaku. "Buat apa kita kesana? Kau mau minum-minum setelah konferensi pers?" tanyaku heran.
Jason mendengus pelan. "Ada urusan yang harus kuselesaikan, tapi kita bisa minum juga kalau kau mau." ia berkata tak acuh.
"Bawa saja mobilnya, aku tak bisa ikut kalian karena ada klien yang harus kutemui," ujar Paul sambil melirik lewat kaca spion di atas dashboard. "Tentu. Aku bisa mengatasinya sendiri," gumam Jason tanpa mengangkat wajahnya dari layar ponsel.
"Jangan mengacaukannya lagi kali ini.” Paul memeringatkan sambil mendelik pada Jason. “Susah sekali membujuk dia agar mau menemuimu setelah apa yang kau lakukan padanya."
"Sebenarnya untuk apa kita ke sini?" tanyaku ketika kami berada di depan pintu masuk Roughly. "Kita akan menemui Thomas Parker," ujar Jason sambil menyerahkan kunci mobilnya pada seorang pelayan valley.
"Teman barumu." dia menambahkan dengan nada menyindir. "Thomas? Kenapa?" tanyaku bingung.
"Kau tidak tahu? Seseorang mengambil video saat kami berdua berkelahi di klub tempo hari, dan dia berencana untuk melaporkan aku ke polisi atas tuduhan penganiayaan." Jason berbicara sambil menahan pintu depan untuk membiarkan aku masuk lebih dulu.
Aku mengangkat alis mendengar perkataannya, "Kau memang pantas menerimanya karena perbuatanmu pada Thomas," sahutku sambil berjalan melewatinya. Namun Jason tiba-tiba meraih lenganku dan menahan langkahku.
"Apa kau lupa pada cerita yang sudah kita sepakati? Aku memukul Thomas karena bajingan itu berniat menggoda kekasihku," Jason menuding wajahku. “Kau. Camkan itu baik-baik,” ujarnya tajam sebelum melepaskan genggamannya lalu berjalan mendahuluiku. Sekarang dia menjadikan semuanya salahku?
Suara musik yang berirama cukup keras memenuhi seluruh bar yang cahayanya temaram. Para pengunjung sebagian besar memenuhi deretan kursi tinggi yang mengelilingi meja bar panjang di sebelah barat ruangan itu.
Interior bar didominasi kayu yang dicat warna gelap, dan semua perabot mereka juga memiliki warna senada. Di beberapa sudut bar diterangi oleh cahaya lampu keemasan yang nampak seperti nyala lilin.
Aku mengikuti Jason yang berjalan melewati deretan kursi hingga hampir ke bagian yang paling ujung. Kemudian aku melihat Thomas yang duduk sendirian sambil menenggak minuman dalam gelas kaca.
"Tunggu di sini, aku akan bicara padanya," perintah Jason sebelum berlalu pergi. Aku mengawasinya sambil mencibir dalam hati.
Jason menghampiri Thomas yang hanya meliriknya sekilas sebelum ia kembali menyesap minumanya. Lalu aku melihat Jason mengatakan sesuatu dengan wajah serius namun ditanggapi oleh Thomas dengan seringai sinis di wajahnya.
Apapun yang sedang Jason lakukan saat ini aku menduga itu tidak berjalan lancar, karena sekarang Thomas bahkan tak mau menatapnya sama sekali, sedangkan Jason terus saja mengoceh dengan mimik wajah penuh emosi.
Kemudian aku melihat Jason mengulurkan tangannya dan mencengkeram bahu Thomas dengan raut wajah tidak sabaran. Thomas langsung menepiskan tangan Jason dengan marah. Gawat.
Aku langsung bergidik teringat peristiwa perkelahian mereka di klub malam tempo hari. Karena takut mungkin akan terjadi adegan kekerasan yang sama, aku buru-buru berlari ke arah mereka.
Tepat saat itu, Thomas melihatku. Senyum cerah langsung terkembang di wajahnya. "Kulihat kau membawa tawaran perdamaian," ujarnya sambil melirik Jason sekilas sebelum kembali melihatku.
"Apa kabar Mia?" ia menyapa sambil menyeringai." "Hai Thomas," ujarku canggung. Kemudian dia kembali menoleh pada Jason dan berkata, "Nah, sekarang masalahnya sudah terpecahkan."
"Semua berawal dari dia, jadi kalau kau sungguh-sungguh menyesal, maka aku berhak mendapatkan kesempatan untuk pergi dengannya, itu baru adil."
Jason terlihat semakin murka. Dia menggertakkan rahang, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Kau tak akan pergi kemanapun dengan pacarku."
"Kalau begitu, kita sudah selesai di sini," sahut Thomas enteng. "Sampai ketemu di pengadilan." Dengan cepat aku menahannya ketika Thomas hendak beranjak pergi.
Sebenarnya aku mau-mau saja membiarkan Jason dilaporkan. Mungkin menghabiskan satu dua malam di kantor polisi bakal mendinginkan kepalanya.
Tapi masalahnya kalau dia sampai dipenjara, walaupun tidak secara langsung aku bakal ikut terkena imbasnya. Sebab sejak konferensi pers itu sekarang aku jadi terlibat dengannya.
"Thomas, please, ini semua salahku. Jika aku bilang padamu dari awal kalau aku bersama Jason, semua kesalahpahaman ini tidak akan terjadi." aku memasang tampang menyesal.
"Tapi bukan kau yang memukulku Mia," tukasnya, kemudian menuding Jason.
"... dia yang melakukannya.""Iya aku tahu, tapi Jason marah karena mengira kau mencoba mendekatiku." "Memang," sahut Thomas sambil mengangkat sebelah bahu. "Tapi itu karena kau tidak tahu aku kekasih Jason, ya, ‘kan?" aku menahan dada Jason dengan telapak tanganku ketika ia nyaris merangsek maju ke arah Thomas.
"Seperti yang kukatakan, ini cuma salah paham, Thomas." aku melanjutkan ketika melihatnya masih tampak ragu-ragu. "Baiklah, begini saja, satu kali makan siang, dan aku yang memilih tempat dan juga waktunya, bagaimana?"
Thomas menatapku dengan mata melebar, kemudian sebuah seringai menghiasi wajahnya. "Kau dan aku, dia tidak diajak, " ujarnya sambil mengedikkan kepala ke arah Jason yang kini melotot dengan garang padaku.
Aku menganggukan kepala pada Thomas. "Tapi kumohon kau mau mencabut laporannya lalu membuat pernyataan tertulis bahwa kau tak akan menuntut Jason," ujarku.
Thomas tersenyum simpul sambil melihat Jason dengan tatapan mencemooh. "Anggap saja sudah selesai," ujarnya santai. Aku menghela nafas lega, "Terima kasih Thomas."
Ia tersenyum padaku sembari mengeluarkan segulung uang kemudian meletakkannya di bawah gelas di atas meja bar. “Kalau begitu kutunggu kabar darimu soal makan siang kita,” ujar Thomas sambil melirik Jason kemudian ia melenggang pergi meninggalkan kami berdua.
"Apa-apaan kau?!" Jason menepiskan tanganku yang masih menahan dadanya ketika Thomas sudah tidak kelihatan lagi. "Percayalah padaku, semua beres." aku berkata jengah. Masalah dengannya seperti tidak ada habisnya.
"Apa kau tahu seperti apa bajingan itu?!" semburnya. "Satu-satunya hal yang diinginkan Thomas Parker hanyalah— "
"Diam Jason!" aku memotong ucapannya.
"Kau pikir dirimu lebih baik darinya? Apa perlu kuingatkan kita baru saja menyebarkan kebohongan ke semua orang tentang hubungan kita demi popularitasmu?!" desisku marah.
"Pelankan suaramu." dia berkata tajam dengan suara di rendahkan. Aku mengabaikan ucapannya. "Berhubung kau terlanjur melibatkanku dalam hal ini, biarkan aku yang mengatasinya dengan caraku.”
Ada kantung mata berupa memar keunguan di bawah mataku ketika aku bangun pagi ini. Sepanjang malam otakku tak bisa berhenti memutar momen yang terjadi di ballroom hotel itu, lagi dan lagi.Terasa sangat aneh saat aku memikirkannya kembali. Aku tak percaya telah bersekongkol dengan manajemen Jason untuk membuat kebohongan publik. Apa yang akan kulakukan bila nanti tiba-tiba terjadi sesuatu yang salah?Aku mengerang sambil memeluk lututku dan meringkuk seperti bayi. Ini bakal jadi tiga bulan yang sangat lama. Seharusnya aku tak pernah datang ke klub itu.Atau mengikuti Jason ke rumahnya kemudian membuat kesepakatan dengan manajernya. Mengapa Hemingway’s harus begitu penting hingga aku rela menuruti rencana mereka?Semua pikiran-pikiran itu terus saja membusuk di kepalaku hingga terdengar suara lantang yang sanggup merontokkan jantungku.Datangnya dari arah koridor. Ibuku!
“Hati-hati, pertengkaran kalian bisa kedengaran sampai radius satu mil,” kelakar Thomas. Ia mengenakan pakaian yang lebih formal daripada Jason. Setelan jas biru gelap di atas kemeja berwarna merah marun serta sepatu derby yang mengilap. "Thomas? Kenapa kau bisa ada di sini?" Ia berjalan menghampiri kami dengan senyum terkembang. "Tadinya aku sedang mencari auditorium, tapi sepertinya aku tersesat." "Tempat itu tepat di sebelah sana," sahut Jason dingin sambil menuding arah gedung auditorium. "Apa kau buta sampai tak bisa melihatnya saat pergi melewatinya tadi?" "Kau terlihat sangat cantik dengan gaunflorall-mu Mia." Thomas mengomentari penampilanku, terang-terangan mengabaikan Jason. "Uh, terima kasih." "Apa maumu Tom?" Thomas menoleh pada Jason yang tampak terganggu. Tatapannya mengejek. "Tenanglah, aku datang ke sini cuma untuk memenuhi undangan workshop di kampus kalian." "... sekaligus untuk melihat pacarmu,
Aku sedang membantu Joe mengerjakan tugas trigonometri di ruang keluarga saat bel pintu depan tiba-tiba berbunyi. "Biar aku saja!" seru Joe sambil melesat secepat peluru. Sedetik kemudian terdengar jeritan melengking yang membuat bulu kudukku berdiri. Buku yang kupegang sontak terlempar ke udara. Tanpa memedulikan kesopanan aku meloncat dari sofa lalu berlari tunggang langgang mengejarnya. "Kenapa?! Ada apa?!" seruku panik saat mencapai ruang tamu. "King Odyssey datang mencarimu!" Joe menoleh padaku dengan wajah berseri-seri, lalu ia memandang takjub pada Jasonyang berdiri di ambang pintu. Demi Tuhan, bocah ini benar-benar … “Apa kau akan tinggal lebih lama untuk membantuku mengerjakan pe-er?” Joe meraih tangan Jason, menariknya turun. “Mia bilang kau sangat pintar.” Aku ingin sekali membungkamnya. Jason tersenyum padanya. “Aku tidak akan menyangkalnya, tapi sayangnya aku kemari untuk menjemput kakakmu, mungkin lain kali, sobat.”
Aku menoleh dan mendapati Lauren sedang berusaha menyelip di antara kerumunan orang banyak. Dia tampak memukau dalam balutan gaun ketat berwarna hijau zamrud. Lauren melambai penuh semangat ke arah kami. Aku memandang Jason, mengucapkan terima kasih padanya tanpa suara. "Ada tempat kosong untuk satu undangan jadi kuminta Paul agar memasukkan nama Lauren." Ia berkata tak acuh. "Bukan masalah besar." “Selamat ulang tahun!" Lauren menghambur pada Jason ketika sudah sampai di hadapan kami. Dia melingkarkan kedua lengannya memeluk Jason kemudian menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna silver dengan pita keemasan di bagian depannya. "Apa ini?" Jason mengangkat sebelah alis menatapnya sambil membuka penutup kado itu. ”Montblanc 1858?" ia mengeluarkan sebuah jam tangan mewah yang berkilauan dari dalamnya, bagian dalam jam serta permukaannya berlapis emas putih. "Walau itu mungkin hanya bakal jadi salah satu penghuni wardrobe-mu, tapi bisakah setidakn
Semuanya terlalu cepat hingga aku hanya bisa memejamkan mata sambil menunggu tangannya yang tak kunjung menyentuh wajahku. Aku membuka mata perlahan, dan melihat Jason sedang berdiri di sebelahku sambil mencengkeram tangan Amy di udara. Wajahnya tampak sangat marah. Dia melepaskan tangan Amy dengan kasar hingga gadis itu terhuyung mundur."Apa yang terjadi disini?!" dia berkata dengan nada tinggi. Para cewek itu langsung mengkeret mendengarnya. "Bukan apa-apa Jason, kami hanya sedang mengobrol." aku berusaha menenangkannya. Tapi Jason tetap memandangi Amy dengan tatapan tajam selagi gadis itu menggosok pergelangan tangannya yang baru dicengkeram oleh Jason. Ia tampak salah tingkah. Sejurus kemudian cewek-cewek yang lain buru-buru menarik Amy pergi. "Apa yang baru saja terjadi?" Jason bertanya padaku ketika para gadis itu sudah tidak kelihatan lagi. "Cuma percakapan antar cewek," kilahku. Jason masih memandangku dengan tatapan curiga. "Bagaimana
"Kenapa kau melakukannya?!"Aku memandang kesal pada Jason yang menyetir di sebelahku. Kami sedang dalam perjalanan pulang dari pesta ulang tahunnya. Untung saja dia tidak menuruti kawan-kawannya dan tinggal sampaiafter party-nya selesai hingga dini hari. Karena tak peduli betapa ibuku menyukai Jason, ia pasti akan membunuhku bila sampai pulang lewat dari tengah malam. "Apa?" Ia melirikku sekilas dengan sebelah alis terangkat. "Yang tadi!" ujarku gusar. "Waktu kau naik ke panggung. Saat kau tiba-tiba... " aku tak sanggup meneruskan perkataanku. "Kau bicara apa sih Mia? " ia bergumam tanpa memandangku. Tapi aku bisa melihat kilatan humor di matanya, yang berarti dia tahu maksudku! Kemudian Jason tersenyum meski ia langsung memalingkan wajah agar aku tak melihatnya. "Kau cuma ingin aku mengatakannya iya kan?!" tuduhku marah. Jason tergelak. Ia mengacak rambut belakang kepalanya dengan sebelah tangan. "Maksudmu waktu kita berciuman di
Kurasa dialah yang baru saja kutabrak. Aku menoleh dengan cepat ke arah empat pemuda yang lain. Mereka semua menatapku dengan pandangan yang membuatku ngeri. Aku menelan ludah dengan susah payah lalu buru-buru berdiri. Dengan tertatih kucoba berjalan menjauh melewati si pemuda berkulit hitam namun langsung menangkap lenganku lalu menarikku kembali. "Mau kemana cantik?" dia berkata sambil memegangi lenganku erat-erat, sebuah seringai kejam menghiasi wajahnya. Aku berusaha melepaskan diri, mendorongnya sekuat tenaga, tapi sia-sia. Kini satu persatu para pemuda lainnya berjalan menghampiriku sambil tertawa senang. "Dia terlihat lezat." salah seorang pemuda dengan rambut acak-acakan menyeringai padaku memperlihatkan deretan giginya yang hitam dan tak lagi utuh. Sedangkan yang lain menertawakanku. Darah surut dengan cepat dari kepalaku, tubuhku gemetar ketakutan dan aku mulai dikuasai rasa panik. Karena aku sadar apa yang akan mereka lakukan padaku.
Aku mengusir ngengat yang berputar-putar di sekitar wajahku. Ada lebih banyak lagi yang datang. Menyebalkan. Ini bahkan belum musim panas. Seharusnya tadi kubawa losion pengusir serangga. Itu juga kalau aku tahu Jason bakal mengajakku ke tengah hutan begini. Dengan kesal kutepuk seekor nyamuk yang hinggap di lenganku. Kemarin Paul berhasil membujuk sebagian besar sponsor untuk menunda kontrak mereka selama Jason dalam masa pemulihan. Namun rupanya ada satu brand pakaian olahraga yang menolaknya. Mereka bersikeras agar pemotretan di selesaikan sebelum akhir minggu ini sesuai kesepakatan, agar mereka tetap bisa meluncurkan produknya untuk koleksi musim panas. Sedangkan untuk lengan Jason yang cedera mereka bilang akan menutupinya dengan properti yang senada. Jason menyetujuinya. Aku? Seperti aku punya pilihan lain saja… Berhubung konsepnya berhubungan dengan alam maka lokasi syuting dilakukan di West Park, hutan kota yang ada di pinggir