“Grrr”
Sempat kuhiraukan beberapa saat, aku kembali sadar bahwa bahaya masih berdiam dibelakangku. Perasaan marah, sebab menggunakan diriku untuk menahan monster itu, selagi melarikan diri. Tak kusangka, manusia sekejam dan selicik itu benar-benar ada didunia ini.
Entah kebetulan atau tidak, ketika aku berbalik menghadap kearah monster itu, dia juga melakukan hal yang sama. Beberapa saat telah berlalu. Meskipun begitu, aku tidak menyangka akan secepat itu.
Efek lumpuh akibat terkena sambaran kilat itu sudah mulai hilang, meskipun dia masih sulit untuk bergerak... Itu dibuktikan dengan kami yang masih saling pandang.
Setiap mata, dari ketiga kepalanya memandangiku. Pandangan yang tampak mengintimidasi. Ketakutan menggeser amarahku. Tubuhku bergetar merespon ketakutan.
Saat ini aku adalah manusia. Manusia yang dapat mati kapan saja. Meski memiliki kekuatan untuk meregenerasi luka apa pun, itu percuma jika aku langsung mati. Jika sedetik saja aku kehilangan kesadaranku dapat dipastikan aku akan mati.
Tidak ada yang dapat kulakukan untuk melawan makhluk itu. Tidak ada senjata, kemampuan menyerang, bahkan pukulanku tidak akan melukainya. Benar-benar SKAKMAT
Saat ini matahari masih tinggi, teriknya siang hari membuat aku berkeringat. Tetapi walau saat ini sedang siang hari tidak ada suara yang terdengar di sekitar. Kesunyian. Rasa sunyi ini sungguh membuatku tidak nyaman.Suara hentakan tanah yang keras memecah kesunyian. Tanpa diduga-duga, Cerberus itu melompat dan mencoba menerkamku...
Saat itu kupikir aku tidak akan selamat. Tapi, nasib berkata lain. Tubuhku melompat sendiri untuk menghindari serangannya. Ketika mendarat, kaki kananku yang pertama kali menyentuh tanah, diikuti tubuhku yang menindihnya.
Suara tulang bergeser menimbulkan rasa sakit yang teramat sangat. Kupikir ini karena sejak awal kakiku memang sudah keseleo.
Tetapi tak disangka. aku berhasil menghindar dari gigitan monster itu. Meski memiliki tiga kepala, tetapi tidak ada satupun yang mengenaiku
Tidak lama setelah itu suara keras kembali terdengar. Disana aku melihat Cerberus itu kehilangan keseimbangan lalu terjatuh. Mencari kesempatan, aku mengambil beberapa batu untuk dilemparkan pada monster itu, berharap dapat melukainya.
Layaknya merundung anak kecil, aku melempari batu kearah Cerberus yang sedang berusaha untuk kembali berdiri.
Tentu saja, semua usaha itu tidak akan membuahkan hasil. Tidak ada dampak sama sekali. Bahkan, sepertinya dia sama sekali tidak terganggu oleh lemparan batu tersebut.
Dia berdiri, menyerang, berdiri. melakukan hal itu terus menerus. Hingga akhirnya sesuatu terjadi.....
Setelah beberapa kali melancarkan serangan. Akhirnya salah satu serangannya mengenaiku. Karena tangan kiriku tidak dapat bergerak. Ketika mencoba menghindar, itu tergores taring salah satu kepala monster itu.
Luka yang ditimbulkan juga cukup parah. Hingga darah keluar dari luka tersebut. Darah mengalir hingga menetes dan jatuh ketanah.
Waktu terus berjalan. Serangan monster itu semakin akurat. Dia sudah dapat bergerak lebih lincah, meski kecepatannya belum secepat ketika pertama kali muncul.
Sedahsyat itukah dampak serangan yang ditimbulkan dari sambaran kilat itu. Meski berefek menimbulkan lumpuh dan menurunkan kelincahan Cerberus itu. Tapi sama sekali tidak melukainya
Apakah ada kesempatan menang bagiku, melawan dia.
Ketika aku melamun sebentar, Cerberus itu tiba-tiba kembali menyerang. Tapi karena aku sedang tidak fokus. Serangan telak mengenaiku. Aku dipukul dengan kaki kanan depannya.
Akibatnya, aku terlempar cukup jauh. Hingga akhirnya tubuhku menabrak dinding kubah yang mengelilingi tempat ini. Kerasnya tabrakan itu membuat seluruh tubuhku serasa tersetrum.
Tidak berhenti sampai disitu. Serigala itu kembali berlari mendekatiku. Lalu menggigitku.
“AAARRGGH!!!!”
Rasa sakit yang ditimbulkan, ketika bahu kiriku digigit oleh puluhan gigi taring tajam, sungguh luar biasa sakit. Rasanya berbeda dari semua luka yang telah kurasakan. Hingga rasanya seperti jiwaku serasa mulai meninggalkan tubuhku.
Air mata mengalir keluar, rasa sakit yang tak dapat kutahan membuatku berteriak kesakitan.
Sekali lagi, kepala yang lain menggigitku dibagian pinggang sebelah kiri.
“AAARRRGGHHHH!!!!!”
Bagaikan kucing yang mempermainkan mangsanya, hanya dengan menggigit hingga mati. Hal yang sama juga dilakukan oleh Cerberus ini.
Padahal, dia dapat dengan mudah merobek tubuhku menjadi dua jika dia mau.
Karena ukuran tubuhku yang cukup kecil dibandingkan dengan monster itu. Kepala ketiganya tidak dapat menggigitku.
Berusaha untuk melepaskan diri. Aku memukul kepalanya dengan sekuat tenaga, tetapi dia sama sekali tidak berkutik. Pasti pukulanku terlalu lemah baginya. Ketika mencoba menggoyangkan badan, rasa sakit yang ditimbulkan malah semakin menjadi-jadi.
Tidak ada lagi yang dapat kulakukan, sepertinya hanya sampai disini cerita hidupku.
Waktu terus berjalan, aku tidak berdaya, aku lemah, bodoh, pengecut, pembunuh. Semua sifat buruk ada padaku.
Putus asa. Aku menghentikan perlawanan yang sia-sia. Aku melemaskan badanku, bersiap untuk memberikan jiwaku pada sang dewa kematian.
“maaf karena tidak dapat menepati janjiku, meski itu hanya sekedar janji untuk bertahan hidup”
Perlahan aku menutup kedua mataku. Kegelapan mengurungku bersama keputusasaan. Kesunyian kembali menyelimuti tempat ini.
Tetapi.... Disaat aku telah bersiap untuk menghadapi kematianku....
“Kadit, Krysla”
“Hmm?”
Didalam keheningan terdengar sesuatu. Itu terdengar seperti ada orang yang berbicara. Tetapi terdengar tidak jelas. Bahasa asing?
“Krysla!!! Lais!”
Meski terdengar tidak jelas. Aku merasakan sebuah emosi. Dan ini suara seorang wanita.
“hwaaaaa!!!”Kemarahan, kesedihan, penyesalan, perasaan untuk balas dendam. Semua itu bercampur aduk didalam sebuah teriakan.
Sebenarnya ada apa ini. Kenapa harus dalam keadaan seperti ini. Dan juga, siapa sebenarnya yang sedang mempermainkanku. Tidak bisakah aku mati dengan tenang.
Pertarungan antara kekuatan regenerasi dengan daya rusak dari gigitan Cerberus ini. Membuatku sulit untuk mati.
Padahal pasti akan lebih cepat jika langsung merobek tubuhku menjadi dua bagian. Dan dengan begitu aku akan terbebas dari penderitaanku ini. Sampai kapan dunia ini ingin terus menyiksaku seperti ini.
Suara berisik terus terdengar didalam kepalaku.
“Privly, Iridreb!”
“Ipat?!”
Kali ini terdengar suara laki-laki. Jika dikira-kira suaranya terdengar seperti seorang bapak-bapak berumur diatas 30 tahun. Sepertinya sedang terjadi sesuatu
“Tapec, ualak kadit atik a--”
“Triysta!!!”
Entah apa yang terjadi, sepertinya sesuatu terjadi pada laki-laki itu. Dan perempuan itu terdengar sedih.
“Nalais, uka umkutugnem awed nalais. Utaus irah itnan naka ada gnaroeses gnay naka umhunubmem. Nupapais gnay ragnednem ini nakharesuk nataukek ini umadap”
...
“AARGGH, Hadus aynutkaw ay?”
.....
.........
Setelah itu, suara tersebut menghilang diikuti kesunyian yang kembali membawa keputusasaan.
Beberapa menit telah berlalu, Cerberus itu masih terus menggigitku. Badanku mulai mendingin, darah tidak keluar sederas tadi, tubuhku mulai kehilangan tenaga, pusing. Sekilas aku melihat bayangan masa lalu.
“Ahh, kilas balik... Ya? Sepertinya memang sudah tidak lama lagi”
Ketakutan memenuhiku, aku takut mati, aku belum siap, masih banyak yang ingin kulakukan.
Aku membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah atap kubah yang mengurungku saat ini, bersama monster mengerikan yang sedang menunggu kematianku.
“Sialan”
Aku kembali terbayang wajah Dicky. Wajah sombongnya membuatku kembali merasakan amarah. Meski begitu tetap saja tidak mengubah fakta kelemahanku.
Tiba-tiba dari arah bawah, muncul sebuah cahaya. Meski aku tidak dapat melihat sumbernya. Tapi aku dapat melihat terangnya cahaya tersebut.
Kurasa cahaya itu berasal dari sekitar telapak tangan kananku. Aku tidak dapat melihatnya dengan pasti karena. Kepala ketiga monster itu menghalangi pandanganku.
Berusaha untuk memberikan perlawanan terakhir, aku mengepalkan tanganku lalu mengarahkannya pada kepala tersebut. Sensasi berbeda terasa pada tangan yang kugunakan untuk menyerangnya.
Sesuatu yang cair mengalir pada tanganku....
Ternyata aku berhasil melukainya. Entah apa yang terjadi. Pada tangan yang kugunakan untuk menyerang, terdapat sebilah pisau yang menusuk dagu salah satu kepala cerberus itu.
Merasa ada kesempatan, aku menggorok leher itu hingga meninggalkan luka parah.
Karena merasa ada yang tidak beres. Kedua kepala lainnya melemparkanku menjauh. Hingga aku terguling-guling di tanah. Ketika aku masih terbaring ditanah. Aku melihat kearah monster itu.
Disana aku melihat, kepala yang tadi kulukai, telah tergulai lemas. Itu tergelantung kebawah. Kedua kepala lainnya menjilatinya, berharap luka tersebut dapat sembuh.
Darah mengucur deras, sama seperti ketika tubuhku digigit olehnya.
Setelah beberapa lama, dia akhirnya menyerah. Meski lukanya tertutup, kepala yang telah kulukai sudah tidak dapat ditolong.
Masih diposisi yang sama. Layar status tiba-tiba muncul pada pandanganku. Sebuah tulisan besar ditengah muncul.
Itu bertuliskan; [ANUGRAH SANG PENCIPTA: CREATION]
“Sebuah kekuatan untuk menciptakan segala sesuatu berdasarkan imajinasi pengguna, begitu lengkapnya”
Tepat setelah aku membaca kalimat itu, aku terdorong oleh sesuatu. Bagaikan tertabrak mobil, aku terdorong mundur.
Ketika layar status menghilang. Aku melihat sumber dari dorongan tersebut.
Ternyata yang menubrukku adalah Cerberus tadi. Meski kekuatannya telah berkurang, tetapi itu masih terasa sakit. Setelah itu, sekali lagi aku dipojokkan ditembok.
“Sialan....lagi?!”
Ketika itu, aku langsung terpikirkan kekuatan tadi. Imajinasi.
Aku menutup mataku, membayangkan bentuk pisau, ketajamannya, panjangnya. Untung saat aku mencoba menguasai sihir elemen, aku latihan membayangkannya.
Sebuah pisau sekali lagi muncul pada tangan kananku. Tetapi yang muncul adalah sebuah pisau dapur yang sering kulihat dirumah. Tapi apapun itu, jika dapat digunakan untuk menyerang. Itu cukup.
Dengan menggenggam pisau itu, aku mengayunkannya ke arah Cerberus itu. Sekali lagi itu menusuk tubuhnya.
Karena kesakitan, dia melompat menjauh. Luka yang ditimbulkan, membuat dia semakin marah. Saat ini, kami sedang berhadapan. Mata kami saling memandang.
Dan mulai dari sinilah pertarungan sebenarnya. Pertarungan babak kedua antara aku dan monster itu.
“Dia adalah Nossal… Nossal Kalamithi.”“Nossal? Hmm… Maksudmu dia? Mengapa kamu berpikir demikian?”“Dia—”Sebelum Luna lanjut bercerita mengenai Nossal, Venda menghentikannya. “Luna, sebaiknya kamu jangan menceritakan hal tersebut kepadaku. Nossal berusaha menyembunyikan masa lalunya dan tidak ingin diketahui oleh siapa pun. Seandainya aku mengetahui masa lalunya, aku harap dia sendiri yang menceritakannya.Mendengar nasihat temannya, Luna tidak jadi menceritakan masa lalu Nossal. Tetapi tampaknya Venda tidak menyangkal bahwa masa lalu Nossal lebih buruk dari apa yang ia alami.“Mari kita kembali; anak laki-laki pasti sudah bosan menunggu.”“Kamu benar; sebaiknya kita bergegas.”Mereka berdua segera beranjak dari tempat itu dan kembali. Venda, yang berjalan di belakang Luna, menatap bagian belakang Luna.“Padahal kamu selalu menyuruhku
Di malam hari yang gelap, hanya ada cahaya bulan redup yang menyinari jalan setapak, sementara suara angin yang lembut menyelusup reruntuhan kota menciptakan suasana yang tenang dan damai. Venda, Ryan, dan Rudy menunggu Nossal yang berjuang untuk meyakinkan Luna untuk kembali.“Kira-kira Nossal berhasil tidak ya membawa Luna kembali?”“Aku percaya padanya”“Sepertinya kamu benar. Kita harus percaya padanya, bukankah begitu, Ven?”Menggosok matanya yang masih terlihat lembap, Venda setuju dengan kedua temannya.“Ya, mereka pasti kembali. Di sinilah kita, menunggu dan akan menyambut mereka.”Tidak berselang lama, dari kejauhan tampak sosok Nossal dan Luna yang berjalan pelan mendekati mereka bertiga. Mereka berdua berjalan seolah mereka sedang dalam perjalanan sepulang sekolah. Melihat Nossal berhasil membawa kembali Luna bersamanya, Ryan melompat dan mengayunkan tangannya ke atas, kemudian berse
Di dalam Akademi Tunas Harapan, di area tempat penahanan anak kelas 6 SD Tunas Harapan.Di antara anak-anak kecil yang sedang meringkuk dalam ketakutan dan rasa lapar, seorang perempuan mencoba keluar dari jendela ruangan yang mengurungnya. Melihat dari balik jendela, anak itu memastikan keadaan di luar. Setelah memastikan kalau keadaannya telah aman, dia melompat keluar lewat jendela.“Seperti biasa, tidak ada seorang pun penjaga yang mengawasi setelah matahari tenggelam,” pikirnya. Akan sangat gawat jika dia sampai ketahuan anggota patroli.Dengan hati-hati, dia berjalan perlahan ke bangunan di sampingnya.“Seharusnya dia sudah kembali ke ruangannya.”Tangisan lirih terdengar dari balik pintu ruangan yang dituju perempuan itu. Perempuan itu mengintip dari luar jendela, memastikan tidak ada orang di dalam, kemudian berusaha membuka pintu ruangan tersebut tanpa menimbulkan suara. Namun ketika hendak masuk ke dalam, seseorang
Nossal yang masih sedikit terhuyung-huyung akibat diapit dua dinding yang dibuat Luna, berlutut di hadapan Luna.“Apa-apaan itu. Kau ingin aku membantu? Sepertinya kau sendiri paham jika sebenarnya tindakan yang kau lakukan ini berbahaya,” Ejek Nossal.Luna sedikit menundukkan kepalanya. Mata mereka berdua bertemu, akan tetapi tatapan matanya berubah. Tekad yang kuat masih terasa dari sorot matanya yang tajam. Dia menutup matanya sejenak, kemudian menjawab,“Itu benar. Aku masih memiliki keraguan dalam menggunakan kekuatan ini. Dalam pikiranku, aku merasa kalau kekuatan ini tidak layak aku terima.”Membuka mata, Luna kembali melanjutkan perkataannya,“Dengan adanya kekuatan, harus disertai tanggung jawab yang besar. Semakin besar kekuatan itu, semakin besar pula tanggung jawab yang harus dipikul, dan aku baru saja menyadarinya.”“Ya. Aku juga sering mendengar perkataan seperti itu. Memangnya kenapa? Pada akhirnya, keputusan untuk memenuhi tanggung jawab itu kembali pada diri sendiri.”
Berdiri di depan jalan masuk ke dalam gedung, aku hampir tidak dapat melihat apa pun. Berjalan masuk perlahan sambil meraba-raba sekitar membuatku sedikit demi sedikit mulai paham bagian dalam mall ini. Pada lantai 1 bagian lobby, berbagai jenis pakaian dipajang pada beberapa rak pakaian, meskipun semua telah hancur dan berserakan dimana-mana. Dengan jumlah yang tidak terlalu banyak dan telah rusak, pakaian-pakaian itu telah berserakan di lantai yang kotor dan lembap dikarenakan kebocoran di beberapa sisi bangunan. Selain itu, lantai 1 juga terdapat supermarket dan beberapa konter reparasi handphone dan jam. Setelah menyusuri area lantai 1, aku berdiri di tengah bangunan, di depan tangga yang menghubungkan lantai 1 dan 2. Sebenarnya dari tengah bangunan mall ini aku sudah dapat melihat area lantai 3 yang sepertinya merupakan area food court.Aku beberapa kali menoleh ke pintu masuk dan area sekitar untuk memastikan apakah ada monster di dalam ataupun di luar bangunan, tidak l
“Itu Luna.” Ujar Venda menghela nafas lega. Dia yang tidak mendengar percakapan dari awal membuatnya tidak tahu lokasi Luna. Meski dia penasaran, Venda segera memberikan beberapa karak dan air putih gelasan pada masing-masing orang. Tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya, Venda bertanya, “Di mana Luna berada?”Menerima makanan dari Venda, perempuan yang sedari tadi berbisik, memberanikan diri untuk berbicara dengan ragu-ragu,“A-aku melihatnya di gedung yang ada di sana. Di lantai 3 di sana, kalian dapat melihat orang sedang berdiri sambil menatap tempat kita berada.”Mengalihkan pandangan setelah mendengar jawaban perempuan itu, Adit bertanya kepada laki-laki yang ada di depannya,“Apakah itu kekuatannya? Melihat jarak jauh? Tapi dalam kondisi gelap gulita seperti ini memangnya kelihatan?” tanyanya penasaranLaki-laki itu menggigit karak yang dibagikan Venda. Hanya dalam 3 kali gigitan, karak itu lenyap, masuk ke dalam mulutnya. Setelah meminum air, dia menjawab,“Kalau tidak s
“Dengan ini selesai...” “Terima kasih,” ucap laki-laki itu. Perawat itu menjawabnya dengan tersenyum lalu menyimpan kembali alat-alat dan obat merah yang telah digunakan ke dalam tas kecil di pinggangnya. “Linda! Apa kamu masih punya sisa perban? Milikku sudah habis ini.” “Ada. Tapi punyaku juga tinggal sedikit. Nih, kamu pake saja.” Perawat bernama Linda itu melemparkan gulungan perban yang sudah terlihat tipis pada rekannya. Menangkapnya, perawat itu mengerutkan alisnya. “Tinggal ini?” “Iya, tinggal segitu doang.” “Yah... Segini mah kurang,” ucapnya sambil menatap gulungan perban yang barusan dia terima. Serbuan kera biru sebelumnya menyebabkan Nossal, Ryan, dan orang-orang yang mereka coba selamatkan mendapatkan luka yang cukup serius. Selain cairan anti septic untuk membersihkan luka, perban yang telah sediakan dengan cepat habis. “Simpan saja sisa perban itu untuk yang lain. Aku tidak memerlukannya.”
Selepas kami kembali, semua masalah tampaknya telah selesai. Wajah Tia masih terlihat marah, alisnya menjadi tegang dan sedikit menurun, nada bicaranya ketika berkoordinasi dengan anggota kelompoknya yang lain juga terdengar meninggi. Di sisi lain, si anak pembuat onar dari kelas 7 hanya berdiri dengan beberapa teman laki-laki kelas 7-nya. Karena suasana tegang akibat kejadian sebelumnya, hal itu membuat semua orang tidak banyak bicara. Mereka hanya fokus dengan masing-masing anggota kelompoknya saja. Dalam kelompok kami, aku menyerahkan urusan koordinasi pada Ryan. lagipula, sepertinya aku jadi dibenci oleh semua anggota kelompokku. Tatapan mereka terasa seperti terpaan angin dingin di musim panas. Terlebih lagi di antara mereka, si pembuat onar yang menerima pukulanku tadi melirikku seolah menyiratkan niat jahat yang tak terungkapkan. Bagaimanapun, aku tidak berniat untuk menanggapinya. *** Kembali, Nossal dan yang lainnya melanjutkan perjalanan dengan formasi yang sama seperti s
Clara meninggalkan Nossal. Dia berlari sesenggukan kembali ke tempat teman-teman yang lain berkumpul. Setiap tetesan air mata yang mengalir dari matanya dia seka dengan punggung tangannya. Berlari, pikirannya tidak dapat melupakan yang barusan Nossal ucapkan. Dadanya sesak setiap kali dia mengingatnya, membuat air mata tidak dapat berhenti menetes. Tanpa Clara sadari, seekor monster mengintainya dari balik bayangan. Seekor kalong yang sedang bergelantungan di bawah atap sebuah bangunan yang tidak jauh darinya. Hendak menjadikannya santapan malam, Kalong itu terbang dengan cepat sambil mengarahkan cakarnya pada Clara yang sedang lengah. Mata Clara terbuka lebar melihat sosok monster itu terbang mendekatinya. Perasaan takut yang luar biasa seperti mencekik dirinya. “Aku harus segera menyingkir” ucapnya dalam hati. Dia mencoba menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu tetapi tidak bisa. Rasanya seperti kedua kakinya terpaku di atas tempatnya berpijak. Tidak kuat lagi menahan beba