Share

CHAPTER 2 (Berdamai Dengan Takdir)

Hari- hari berjalan tanpa ada sesuatu yang istimewa. Fatma kini sudah berstatus sebagai istri sah dari Tuan Ridwan, pemilik usaha pertunjukan sirkus yang berusia 59 tahun.

Tempaan hidup yang dilalui Fatma tak lantas membuat dirinya hanya berserah dan pasrah dengan keadaan. Fatma yakin suatu hari nanti dia akan bangkit dari keterpurukan yang tidak ada habis-habisnya ini.

Diam-diam gadis malang itu pergi ke sekolah untuk mendapatkan pendidikan. Lebih tepatnya mengintip pelajaran yang berlangsung di dalam kelas melalui celah-celah di sudut ruangan yang terbuat dari kayu.

Selama hidup bersama sang ayah, Fatma tidak mendapatkan kebebasan untuk menuntut ilmu. Sepertinya dia sengaja dibiarkan menjadi bodoh, yang buta akan pendidikan oleh ayah kandungnya sendiri. Sesekali dia mencatat apa yang tertulis di papan tulis. Merapalkan bacaan yang ditirunya dari seorang guru yang diam-diam dia curi ilmunya. Pantaskah Fatma disebut sebagai pencuri ilmu? Yang pasti apapun itu, Fatma hanya ingin ada perubahan di dalam hidupnya yang terlanjur menyedihkan.

Selama hidup bersama Tuan Ridwan, hari-hari yang dilalui Fatma tidaklah semenyedihkan seperti yang dia jalani ketika dia tinggal bersama sang ayah. Namun, hal itu bukan berarti bisa dikatakan sebagai kehidupan impian bagi seorang Fatma. Tuan Ridwan memang tak sekalipun menyiksa fisik Fatma ataupun berkata kasar kepada wanita muda itu.

Namun, sikap Tuan Ridwan sebagai pria dewasa yang selalu meminta haknya sebagai seorang suami, membuat Fatma merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Meskipun awalnya dia tidak mengerti apa yang dilakukan suaminya itu, dia tetap bersedia diperlakukan demikian. Hingga seiring waktu, dia pun memahami bahwa seperti itulah jalannya sebuah pernikahan, sampai pada fase dirinya mampu menerima dan terbiasa dengan ritme rutinitas itu.

Tak sekali pun Fatma berani menolak meski jauh di lubuk hati, dia tidak menginginkan hal seperti itu terus berulang. Menatap wajah Tuan Ridwan yang semakin banyak kerutan itu saja terkadang terasa menjijikkan, apalagi harus saling bersentuhan.

Ya, mungkin berdamai dengan takdir adalah salah satu pilihan agar dia mampu menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur. Manusia mana yang tak pernah bermimpi hidup bahagia layaknya seorang putri raja? Namun, tak jarang ekspetasi justru bertolak belakang dengan realita. Lalu apakah ironi hidup yang Fatma jalani lantas memadamkan mimpi-mimpi yang telah terukir? Realita tetaplah realita, tidak peduli jika Fatma ingin menghindarinya atau tidak. Semua itu tidak akan mengubah kenyataan yang ada, kecuali jika mencoba untuk tegar dan bersyukur.

Dan ... Seperti inilah Fatma. Menjalani lika-liku hidup dengan badai yang tidak ada habis-habisnya. Bersamaan dengan kepasrahan, dia berusaha memantaskan dan memantapkan diri untuk melangkah menuju kehidupan yang lebih baik.  Tak sekali pun terbelesit di dalam benaknya untuk menyalahkan keadaan. Karena jalannya sebuah kehidupan sungguh di luar kuasa manusia untuk memprediksi.

Hari-hari sudah berlalu hingga tanpa terasa kehidupan berumah tangga bersama Tuan Ridwan sudah berjalan selama dua tahun. Di mana usia Fatma sudah beranjak tujuh belas tahun. Masih tergolong terlalu muda jika disandingkan dengan statusnya yang kini merupakan seorang wanita bersuami. 

Setiap hari, Tuan Ridwan jarang terlihat di rumah karena disibukkan dengan grup sirkus miliknya, yang menampilkan berbagai atraksi dari beberapa anggotanya, termasuk Tuan Ridwan sendiri yang terlibat. Usaha pertunjukan sirkus itulah yang menjadi salah satu penghasilan bagi Tuan Ridwan. Pendapatan yang dihasilkan dari usaha tersebut terbilang cukup menjanjikan. Bahkan rumah megah yang mereka tempati saat ini adalah bentuk dari hasil jerih payah Tuan Ridwan dalam menjalankan usahanya itu.

Sebagai  seorang suami yang tidak menampakkan rasa sayangnya dengan terang-terangan, Tuan Ridwan hanya akan berkomunikasi terhadap istrinya ketika pria berumur itu sedang membutuhkan sang istri untuk menuntaskan kebutuhan seksualnya saja. Namun, di balik sikapnya yang tak biasa, Tuan Ridwan tetap melaksanakan kewajiban untuk menafkahi Fatma, memenuhi segala kebutuhan istrinya dengan nominal yang terbilang lebih dari cukup.

Malam ini, tak berbeda dari malam-malam sebelumnya. Fatma menjalankan tugas sebagai istri sah seorang pria tua yang hanya membutuhkannya ketika berada di atas ranjang. Tak sedikit pun Fatma menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh pria berumur itu. Pikirannya menerawang entah ke mana. Setiap detik berlalu seakan terlalu lamban. Rasa jijik kini sudah diabaikan karena suka tidak suka, hal itu akan tetap terjadi. Saat aktifitas itu berakhir, saat itu pula Fatma seolah menemukan kembali kebebasannya. Berbeda dengan pasangan suami istri pada umumnya yang menjadikan aktifitas malam sebagai sesuatu yang begitu dinantikan, bersama-sama menuju ke tujuan yang sama, yakni mencapai puncak yang diusahakan bersama dengan kerja keras yang sebanding dengan apa yang mereka harapkan.

Membersihkan tubuh adalah pilihan yang akan dilakukan Fatma saat ini. Namun, tangan berkerut milik pria itu seketika menahan pergerakan Fatma. "Jangan ke mana-mana, ada yang ingin aku bicarakan." Suara pria itu terputus-putus dengan napasnya yang masih tak beraturan, seiring dengan pergerakan dadanya yang menembang dan mengempis. Namun, kata-katanya masih jelas terdengar. Fatma mengurungkan niatnya untuk menjauh, tapi wanita cantik itu tak sekalipun menjawab. Hanya menunggu sang suami mengungkapkan maksudnya.

"Sebaiknya mulai besok kamu ikut aku bekerja." Tuan Ridwan membuka pembicaraan, sementara Fatma tak sekali pun menjawab atau bahkan sekedar bertanya. Yang dia tahu, jika Tuan Ridwan memerintahkan sesuatu, maka tak ada alasan baginya untuk membantah. Diam adalah tindakan terbaik, karena dia tahu apapun yang dia ucapkan nantinya tak akan berpengaruh sama sekali.

Tuan Ridwan membenarkan posisi dan menatap istri kecilnya, "Aku tidak memintamu untuk bekerja jika kamu belum siap, Fatma. Sebaiknya kamu ikut saja dan saksikan seperti apa orang-orangku mengumpulkan uang. Dan kamu bisa sambil belajar melakukannya. Jika kamu sudah mampu, maka kamu bisa ikut bergabung."

Tuan Ridwan mengusap wajahnya dengan kasar, "Sebenarnya aku membutuhkan setidaknya satu orang perempuan untuk meramaikan pertunjukan. Karena minat  pengunjung sepertinya sudah mulai berkurang." Pria itu kemudian pergi meninggalkan Fatma sendiri di atas tempat tidur. Masih dengan kondisi tanpa busana. Tubuh Gadis itu masih terlihat khas seperti bocah ingusan yang baru saja tumbuh menjadi seorang remaja.

Bagaimana bisa pria berumur seperti Tuan Ridwan memiliki gairah terhadap gadis polos seperti Fatma. Hingga setiap malam gadis cantik itu harus merelakan dirinya untuk selalu disentuh. Entah haruskah Fatma bersedih atau justru berbahagia. Hidup menderita bersama sang ayah kini sudah berakhir. Setidaknya perlakuan Tuan Ridwan lebih manusiawi dari pada orang tuanya sendiri.

Seperti biasanya, malam itu Tuan Ridwan dapat dipastikan tidak akan kembali ke kediaman mereka. Pertunjukan sirkus biasanya memang berlangsung di malam hari. Bahkan terkadang bisa berakhir hingga pagi menjelang.

Keesokan harinya.

"Kamu sudah siap, Fatma?" tanya Tuan Ridwan.

Fatma mengangguk. Pakaian yang dikenakannya pun berbeda dari sebelum gadis cantik itu menikah dengan Tuan Ridwan. Penampilannya terlihat lebih layak, tak ada lagi goresan-goresan di tubuh yang menjadi tanda penyiksaan yang selalu dilakukan sang ayah dengan istri-istrinya.

"Aku harap kamu tidak bosan nantinya. Jika kamu lelah, kamu boleh beristirahat di ruang ganti. Tapi ingat! Jangan sekali-kali kamu berbicara dengan pria lain. Jika tidak, aku tidak akan segan-segan memberimu pelajaran yang tidak bisa kamu lupakan seumur hidup. Kamu mengerti, Fatma?" Lagi-lagi Fatma mengangguki ucapan sang suami.

Fatma mengekori langkah suaminya. Pasangan menikah itu terlihat layaknya hubungan seorang ayah dengan anak. Usia mereka terpaut begitu jauh meskipun tidak dipungkiri penampilan Tuan Ridwan masih terbilang tampan dan bugar. Tubuhnya terlihat sehat dan terawat, berbeda dengan pria-pria lain yang seusia dengannya. Namun, Fatma tidak memedulikan pandangan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan aneh. Beberapa dari mereka terlihat iba, dan selebihnya menatap jijik terhadap Fatma, hingga tibalah mereka di lokasi pertunjukan yang dimaksud.

Fatma, seorang bocah cantik yang kini tumbuh menjadi seorang wanita muda, dengan semangat menyaksikan pertunjukan yang ada di hadapannya. Layaknya seorang remaja berusia 17 tahun, sesekali dia bersorak dan bertepuk tangan dengan antusias. Selama ini yang dia tahu bahwa suaminya memiliki sebuah grup sirkus. Namun, tak sekalipun Fatma diajak untuk menyaksikan. Kali ini Fatma akan meminta izin kepada Tuan Ridwan agar dirinya diperbolehkan untuk diajak melihat pertunjukan itu setiap hari. Sungguh menyenangkan bisa menyaksikannya tanpa membayar, bukan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status