Share

CHAPTER 3 (Hukuman Tuan Ridwan)

"Wah ... Tuan hebat sekali!" Fatma berteriak kegirangan ketika melihat Tuan Ridwan begitu lihai menunggangi seekor harimau yang berukuran sangat besar. Sungguh pertunjukan yang tak biasa. Bukankah hewan itu adalah hewan pemangsa. Namun, kehebatan Tuan Ridwan seolah membuat hewan buas itu menjadi selayaknya seekor kucing penurut.

Kedua bibir Fatma terbuka menganga tak henti karena begitu takjub menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan yang ditampilkan di panggung. Baru kali ini remaja cantik itu merasakan dunia luar yang sesungguhnya, yang tidak pernah diperoleh sejak dia kecil.

Riuh tepuk tangan dari pengunjung yang menyaksikan pertunjukan seolah membuat para pemain merasa semakin bersemangat untuk mempertontonkan keahlian mereka. Mulai dari aksi panjat memanjat akrobatik, interaksi dengan hewan buas, bahkan interaksi dengan benda-benda berbahaya seperti lingkaran besi panas berapi.

Beberapa saat setelahnya, pertunjukan berakhir seiring berakhirnya tepukan riuh pengunjung yang sedari tadi terdengar meramaikan suasana. Beberapa pemain terlihat berbenah dan berkemas. Tak terkecuali Tuan Ridwan sendiri. Sementara Fatma ragu untuk melakukan apapun jika tidak mendapatkan instruksi sama sekali dari pria tua yang berstatus sebagai suaminya itu.

Seperti itulah hari-hari baru yang dilalui Fatma. Seolah mempunyai jadwal kegiatan yang teratur, setiap pagi Fatma disibukkan dengan kegiatannya 'mencuri ilmu' di sekolah hingga siang hari. Kembali ke rumah setelahnya untuk sekedar mencuci atau membersihkan rumah, hingga malam menjelang dia kembali melayani kebutuhan sang suami seperti biasanya sebelum mereka kembali menuju tempat pertunjukan.

Dalam waktu singkat, Fatma berhasil mewujudkan salah satu mimpinya. Kini remaja cantik yang telah menikah itu memiliki kemampuan membaca dengan sempurna. Bahkan kini dia bisa menulis dan berhitung.

Namun, hal itu tidak serta-merta membuat seorang Fatma puas. Dia tetap bertekad untuk berusaha lebih baik lagi mempelajari hal-hal apa saja yang perlu dia ketahui. Meskipun tidak sekolah, setidaknya dia tidak ingin digelari sebagai wanita bodoh.

Seiring waktu berlalu, Fatma akhirnya resmi bergabung dengan grup sirkus milik suaminya sendiri, setelah sebelumnya dia  berlatih secara otodidak layaknya seorang akrobatik. Hingga dalam waktu singkat dia memiliki kemampuan yang patut diacungi jempol. Sebagai satu-satunya perempuan yang menjadi performer di antara anggota grup yang seluruhnya adalah laki-laki, Fatma menampilkan kemampuannya bak seorang primadona.

"Fatma, tolong ambilkan aku pecut." Pria tua itu menatap Fatma dengan tatapan yang sulit diartikan. Dari gesture yang dia tunjukkan, Tuan Ridwan terlihat bersikap sedikit aneh hari ini. Bahkan sejak semalam raut wajah pria tua itu seolah memendam sebuah perasaan yang Fatma sendiri pun tidak mengerti. Atas perintah sang suami, Fatma memindai ruang ganti yang biasa digunakan para performer sirkus untuk berganti pakaian, mencoba menemukan pecut yang dimaksud oleh Tuan Ridwan.

Sepertinya Tuan Ridwan ingin berlatih dengan hewan-hewan buas peliharaannya. Fatma melongok ke dalam sebuah peti yang berisikan perlengkapan sirkus, berharap menemukan benda itu. Tiba-tiba saja, dari arah belakang Tuan Ridwan muncul dan membuat Fatma terkejut bukan main.

"Bagaimana bisa benda sebesar ini tidak kamu temukan, padahal sudah jelas menggantung di ujung pintu." Dengan menggenggam sebuah pecut yang terlihat kusam, Tuan Ridwan menatap sinis Fatma yang berada di hadapannya. Tatapannya terlihat menyimpan misteri, seolah ada luapan lahar yang sebentar lagi menyembur dari puncak gunung yang tadinya terlihat tenang.

"Ma-maaf ..." Hanya kata itulah yang mampu diucapkan oleh Fatma. Ucapan tulus dari bibir manisnya. Namun, seolah tidak berpengaruh terhadap suasana hati Tuan Ridwan yang terlihat menyimpan amarah.

"Aku pikir kamu merasa nyaman berada disini, bukan?" Pertanyaan Tuan Ridwan terdengar ringan. Namun, sorot matanya menyiratkan kemarahan. Fatma tidak mengerti ke mana arah pembicaraan suaminya itu. Langkah demi langkah terayun dari kedua tungkai kaki pria itu. Menambah kengerian di dalam benak Fatma kala jaraknya semakin mendekat.

"Ma-maksud Tuan?" Fatma mengernyit dengan langkah mundur dengan kaku.

"Percayalah, aku sangat pandai menggunakan pecut ini. Bukankah kamu tahu betapa ahlinya suamimu ini bermain-main dengan binatang buas, hem?"

Fatma semakin tak mengerti apa yang diucapkan suaminya, yang dia tahu bahwa sikap sang suami terlihat akan membahayakan dirinya. Sorot mayata pria itu terlihat menggelap dan tentu itu bukanlah pertanda baik. Fatma hanya mampu mendengarkan tanpa membalas perkataan Tuan Ridwan. Meskipun gusar, dia mencoba untuk tetap bersikap tenang. Namun, pergerakan  kakinya yang melangkah mundur menyiratkan bahwa rasa takut itu tak mampu dia sembunyikan.

Sementara itu, langkah demi langkah terdengar dari tapak kaki Tuan Ridwan yang semakin mendominasi suasana.

"Kenapa? Bingung? Lontarkan saja pertanyaan sialanmu jika kamu memang benar-benar penasaran!" Lagi-lagi sikap Tuan Ridwan tidak dapat diprediksi. Tiba-tiba saja pria tua itu bersikap demikian, bahkan selama usia pernikahan mereka, tak sekalipun Fatma menyaksikan sikap kasar Tuan Ridwan, berbeda dari apa yang dia saksikan saat ini.

"Bagaimana menurutmu penampilan semalam, hem? Tuan Ridwan bertanya sambil melanjutkan langkahnya mendekati sang istri yang saat ini benar-benar semakin bingung.

"Ke-kenapa Tuan bertanya soal semalam?" ucap Fatma dengan wajah yang memucat, sementara dia mencoba untuk mengatur embusan napasnya yang pendek. Langkah mundurnya semakin cepat sehingga tersisa jarak kurang dari dua meter di antara kedua pasangan menikah itu.

"Hm ... Bukankah semalam begitu menyenangkan, Fatma? Kamu terlihat sangat cantik. Dan ..." Tiba-tiba saja pecut itu menyentuh tubuh Fatma dengan keras.

Syut!

"Aw ...!" Fatma memekik bersamaan dengan kulit pahanya yang robek akibat pecutan yang dilayangkan sang suami secara tiba-tiba.

"Aku pikir kamu bukan perempuan murahan. Ternyata, kamu berperilaku tak lebih dari seorang jalang." Sekali lagi Tuan Ridwan memecut Fatma layaknya seekor binatang yang biasa dipertontonkan dalam pertunjukan sirkus. Suara pecutan itu nampak menakutkan bagi siapa pun yang mendengar. Namun, bagi Tuan Ridwan suara yang dihasilkan benda panjang di tangannya justru terdengar merdu di indra pendengarannya.

Cambukan kasar diiringi ringisan kesakitan dari mulut Fatma, napas wanita malang itu terengaah-engah menahan perih. Namun, tetap saja dia tidak mampu melawan laju air matanya yang tertumpah.

"Berteriaklah! sebelum pria lain yang membuatmu berteriak di atas ranjang mereka! Bukankah ini juga nikmat, Fatma?"

Rupanya Tuan Ridwan tersulut rasa cemburu karena beberapa pria yang menyaksikan penampilan istrinya di atas panggung memuja bahkan beberapa dari mereka memberikan hadiah. Tanpa peduli, Tuan Ridwan mengacuhkan sebuah fakta bahwa sebenarnya Fatma sama sekali tidak bersalah. Bahkan, Fatma sendiripun beberapa kali menolak pemberian tersebut karena merasa sungkan.

Tuan Ridwan yang kalap memecut istri kecilnya berkali-kali seperti seorang yang sedang kesetanan. Berkali-kali pula Fatma memohon ampun, berteriak kesakitan, berlutut dan menangis pilu. Malang benar nasib seorang Fatma yang harus menanggung hukuman dari kesalahan yang sama sekali tidak ia lakukan. Pria tua itu seakan tidak memiliki hati nurani. Semakin istrinya memohon, semakin bersemagat pula dia memberikan siksaan.

Di dalam ruang berukuran tak terlalu luas itulah yang menjadi saksi bisu ketika Fatma menerima hukuman demi hukuman yang dijatuhkan oleh suaminya sendiri. Fatma tak henti-hentinya memohon, bahkan terdengar sangat menyayat bagi siapa pun yang mendengar.

Tak sampai di situ saja, puas dengan memecut tubuh istrinya, Tuan Ridwan kembali melakukan kekerasan dengan cara yang lain. Si cantik Fatma yang begitu malang dipaksa untuk menuntaskan hasratnya dalam keadaan sekujur tubuh penuh dengan bekas luka cambukan yang terlihat masih basah dan pastinya begitu perih. Perlakuan yang tak pantas dan  tak terhormat bahkan lebih buruk dari perilaku binatang buas.

"Rasakan!"ucap Tuan Ridwan dengan seringai kepuasan yang tercetak jelas di wajah tuanya yang masih terlihat tampan tapi menakutkan itu.

Beberapa saat kemudian Fatma yang malang pada akhirnya kehilangan kesadarannya. Miris, iblis berwujud manusia itu justru meninggalkan Fatma dalam keadaan entah masih hidup atau mungkin sudah tidak bernyawa dengan perasaan puas. Fata tergeletak tak berdaya dengan keadaan yang memprihatinkan untuk beberapa saat.

Setelah kepergiannya meninggalkan Fatma begitu saja, salah seorang anggota sirkus yang tak sengaja kembali ke camp menemukan Fatma dengan kondisi tragis. Dia berinisiatif untuk melarikan Fatma ke rumah sakit. Dari kondisi tubuhnya yang seperti itu, jelas sekali menunjukkan bahwa perempuan malang itu telah mengalami penyiksaan di sekujur tubuh. Bahkan sangat jelas tumpahan darah membasahi lantai yang berasal dari area sensitifnya. Tak seorang pun menyangka jika perempuan cantik itu baru saja mengalami penganiayaan oleh suaminya sendiri.

Sesampainya di rumah sakit, dengan sigap seorang dokter memberikan tindakan kepada Fatma yang sudah tidak sadarkan diri. Sementara salah seorang anggota sirkus yang tadinya membawa Fatma ke sana kini sudah meninggalkan bocah malang itu di rumah sakit.

"Keluarga pasien?" Dokter itu pun keluar dari ruangan pemeriksaan untuk memastikan jika ada salah satu anggota keluarga yang menunggu Fatma disana. Namun tak seorang pun menyahut.

Secara kebetulan seorang aparat keamanan melintas di depan pintu pemeriksaan. Dia berada di sana untuk menjaga seorang narapidana yang kehilangan kesadaran akibat serangan dari narapidana lain saat berada di dalam tahanan. Usianya berkisar kurang lebih empat puluh tahun. Pria itu berhenti sejenak menatap sang dokter.

Keduanya bingung dikarenakan tak ada seorang pun yang menyahut, sementara sang dokter masih terus memanggil dengan sebutan 'keluarga pasien'.

Pria yang berprofesi sebagai aparat keamanan itu merasa penasaran. Dia mencoba meminta penjelasan kepada dokter tentang kondisi pasien yang tidak didampingi keluarganya.

"Siapa yang sakit, Dok?" Pria itu bertanya dan mendekat.

Sang dokter membuka masker penutup mulut dan hidung dengan segera, untuk membalas pertanyaan aparat itu, "Pasien perempuan. Sepertinya dia sendiri, Sir. Tidak ada keluarga yang mendampingi. Dari kondisinya terlihat pasien baru saja mengalami penyiksaan."

"Penyiksaan?" Sang aparat menyipitkan kedua matanya dengan dahi yang membentuk garis kerutan tajam. Tentu saja ini sudah termasuk ranah hukum, dan sebagai seorang aparat, tentu dia berhak untuk ikut campur.

"Perkenalkan, saya Sir Badr. Bisa katakan apa yang Anda ketahui?" ucap pria yang mengenakan seragam aparat itu. Dokter Harun mempersilahkan Sir Badr masuk ke dalam ruangan kerjanya untuk membicarakan hal ini secara pribadi.

Keduanya saling berjabat tangan ...

"Maaf, sebelumnya. Perkenalkan, saya Dokter Harun. Tadi ada seseorang membawa perempuan muda itu kemari. Kondisinya memprihatinkan. Saya sendiri tidak tega ketika melihat kondisinya pertama kali dengan luka-luka di tubuhnya." Sejenak Dokter Harun mengamati berkas hasil pemeriksaan yang berada di atas meja kerja. Wajah lelahnya terlihat menunjukkan mimik miris dengan apa yang sudah dia saksikan hari ini. 

"Saya pikir luka-luka itu berasal dari cambukan, dan yang lebih parah lagi, sepertinya perempuan muda itu telah mengalami kekerasan seksual. Dia mengalami pendarahan yang cukup hebat. Ini sangat riskan terhadap kehamilannya, apalagi sepertinya dia masih belum cukup umur," jelas Dokter Harun lagi.

"Hamil? Apa dia sudah bersuami? Bukankah dia belum cukup umur seperti yang Anda sampaikan barusan?" Sir Badr mengangkat kedua alisnya seolah tidak menyangka dengan apa yang sedang ia dengar saat ini. "Baiklah, saran saya sebaiknya Anda membuat laporan jika tidak ada seorang pun yang mau bertanggung jawab atas kejadian ini. Seperti yang Anda bilang, bahwa pasien tidak didampingi siapa pun saat ini. Lakukan visum secepatnya, Dok. Saya akan membantu prosesnya, yang terpenting Anda bersedia," ucap Sir Badr.

Tak butuh waktu lama, laporan pun dibuat oleh Dokter Harus dengan mengatas namakan dirinya sebagai masyarakat Desa Assouira, tempat di mana Fatma juga berdomisili. Secepat mungkin pihak berwenang bertindak, dan tentu saja hal ini merupakan masalah besar bagi kehidupan Tuan Ridwan di masa mendatang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status